Bolehkah Perempuan Beri’tikaf?
Hukum Itikaf bagi Perempuan
Jawaban Majalah Risalah rubrik
Istifta: Perempuan terlarang untuk I’tikaf. Dukunglah orang yang I’tikaf untuk
mendapatkan pahala yang sama dengannya. (Edisi Juli 2014: 39)
PENJELASAN:
- Jawaban Majalah Risalah berbeda dengan jawaban
Ust. Wawan Shafwan dalam bukunya “Risalah Shaum” padahal beliau
merupakan salah seorang anggota Tim Majelis Ifta pada rubrik tersebut. Berikut
kutipannya:
I’tikaf bagi
Perempuan
Anjuran
I’tikaf Rasulullah SAW kepada perempuan tidaks ebagaimana kepada laki-laki.
Kepada laki-laki Rasulullah SAW menganjurkannya dan beliau sendiri
mendawamkannya, sedangkan kepada perempuan Rasulullah SAW walaupun tidak secara
tekstual, namun secara dalalatul isyarah menetapkan beberapa syarat. (HR.
Al-Jama’ah kecuali at-Tirmidzi)
Keterangan di atas cukup untuk
menunjukkan ketidaksukaan beliau kepada I’tikafnya perempuan.
Pertanyaan: Apakah keterangan di
atas menunjukkan haramnya I’tikaf bagi perempuan?
Jawaban: Tidak demikian. Jika hadits
shahih di atas menunjukkan ketidaksetujuan Rasulullah SAW terhadap I’tikafnya
para ibu, di dalam riwayat lain diterangkan bahwa setelah Rasulullah SAW wafat,
I’tikaf beliau yang didawamkan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan itu
dilanjutkan oleh istri-istri beliau. (Shahih Muslim 1:528 no. 1172)
Maka dari gabungan dalil-dalil di
atas dapat diambil kesimpulan, bahwa I’tikaf bagi perempuan memiliki beberapa
syarat, antara lain tidak menjadi kebaikan apabila beri’tikaf sambil
meninggalkan tugas pokoknya dirumah sebagai istri atau ibu. (Risalah Shaum,
Wawan Shafwan Shalehuddin :125-128)
- Istilah hukum “terlarang” bisa bermakna haram
atau makruh. Namun menurut KH. E. Abdurrahman hukum makruh dalam masalah ta’abbudi
(ibadah mahdlah) itu tidak ada (tidak bisa diberlakukan), yang ada adalah hokum
haram karena jika dilakukan termasuk kategori bid’ah. I’tikaf termasuk masalah ta’abbudi
yang hukum asalnya sunat (jumhur ulama: Sunnah muakkadah/ sangat-sangat
dianjurkan), baik untuk laki-laki maupun perempuan. Pertentangan antara hukum
sunat dengan wajib taat suami dalam masalah hukum I’tikaf ini tidak dapat
mengalihkan status hukum sunat menjadi makruh/ terlarang. Tidak seperti hukum
istri melaksanakan shaum sunat dengan syarat atas seizin suaminya. Jika istri
melakukan shaum sunat tanpa izin suaminya hukumnya adalah haram bukan makruh,
karena menyalahi hukum wajib taat kepada suami dan ada dalil yang shahih
dan sharih yang melarangnya. Dalam hadits muttafaqun ‘alaih, dari
Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْتَصُومَ
وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita
untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin
suaminya.”
(HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026).
An-Nawawi rahimahullah
menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’
dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah,
larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.” (Al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An-Nawawi, Dar Ihya’ At-Turots, 1392,
7/115).
- Ketidaksukaan Nabi terhadap I’tikaf
istri-istrinya bukan dalil I’tikaf istri harus seizin suami. Ibnu Abdil Bar
menjelaskan: hadits “AALBIRR TAQULUNA BIHINNA; Apakah kalian melihat kebaikan
ada padanya (dengan membuat tenda-tenda ini)?" maksudnya adalah “mereka menyangka
itu suatu kebajikan padahal aku khawatir mereka ingin selalu bersamaku seperti
umumnya wanita tidak ingin menyendiri dan berpisah dari suami mereka setiap
saat apalagi saat berjima’. Maka seakan-akan keinginan mereka itu akan merusak
niat I’tikafnya yang tidak lagi ikhlas karena Allah semata. Maka beliau
membenci hal itu, dan ini semakna dengan lafaz hadits lain riwayat Malik:
AALBIRR TURIDNA AW YURIDNA, seakan-akan ungkapan sindiran: “aku tidak melihat
mereka bertujuan baik”. (Al-Istidzkar-Ibnu Abdil Bar)
http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=93&ID=1266
- Nabi SAW memerintahkan agar para suami
mengizinkan istrinya untuk pergi kemasjid dengan syarat menutup aurat dan
terjaga dari fitnah.
إِذَا اسْتَأذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَىالمَسَاجِدِ
فَأْذَنُوْا لَهُنَّ
“Jika para
isteri kalian minta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid maka izinkanlah
mereka”.
Dalam riwayat lain disebutkan
لاَتَمْنَعُوا النِّسَاءَ حُظُوْ ظَهُنَّ
مِنَالْمَسَاجِدِ إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ
“Janganlah kalian melarang mereka
untuk berada di dalam masjid jika merekaminta izin kepada kalian”.
Maka berkata Bilal –salah seorang
anak Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu- “Demi Allah kami pasti akan
melarang (mereka ke masjid)”, maka Abdullah berkata: “Aku katakan kepadamu
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan itu tapi
(mengapa malah) engkau berkata: “Kami pasti akan melarang mereka”. (HR.
Bukhari 2/347 dalam Fathul Bari, Muslim 442, dan Nasa’i2/42).
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta
VII/330-332 no. 873]
- Perintah untuk memakmurkan masjid (QS.
At-Taubah: 18) dan larangan menghalangi orang-orang, baik laki-laki maupun
perempuan untuk beribadah di masjid.
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid
Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta
tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain
kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan
orang-orang yang mendapat petunjuk.
وَمَنْأَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ
اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَىفِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ
أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلا خَائِفِينَلَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ
عَذَابٌ عَظِيمٌ (١١٤)
“Siapakah yang lebih zalim daripada
orang yang melarang menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid-Nya, dan
berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa
takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat
azab yang berat”. (QS. Al-Baqarah: 114)
- Yang jelas dilarang (haram) I’tikaf di masjid
ialah perempuan haid dan nifas atau dalam keadaan junub (hadats besar). Adapun
hukum istri beri’tikaf di masjid tanpa izin suaminya tidak ada dalil yang
shahih & sharih yang melarangnya, yang ada justru perintah kepada suami
untuk mengizinkan istrinya memakmurkan masjid.
Musthafa Al-Adawi berkata: “Bila
tidak dijumpai adanya sebab yang dapat menghalangi keluarnya wanita menuju ke
masjid maka wajib bagi suami untuk mengizinkannya karena adanya larangan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mencegahnya. Wallahu a’lam.” (Jami’
Ahkamin Nisa’ 1/279)
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, kecuali sekedar lewat saja, hingga kamu mandi”. (QS.
An-Nisa: 43)
KH. E. Abdurrahman berpendapat bahwa
“shalat” pada ayat di atas bermakna masjid/tempat shalat. Alasan/qarinahnya ialah
adanya kata “ILLA” (kecuali) dalam susunan kalimatnya. Coba kita perhatikan
kalimat yang berikut: “Tidak boleh masuk ke ruangan ini kecuali panitia dan
yang mendapat undangan.” Artinya (1) Pada pokoknya terlarang masuk ke ruangan
tersebut. (2) Panitia diperbolehkan masuk tanpa undangan. (3) Hanya yang sudah
mendapat undangan yang boleh masuk. Lalu perhatikan terjemahan ayat tersebut: “Dan
janganlah kamu sekalian mendekati “shalat” dalam keadaan junub kecuali yang
hanya lewat, sehingga ia mandi.” Artinya (1) Pada pokoknya terlarang
mendekati shalat bagi yang junub. (2) Yang dalam keadaan junub diperbolehkan lewat
melintasi “shalat”. (3) Yang sudah mandi boleh mendekati “shalat”. Bila “shalat”
dalam ayat tersebut diartikan shalat (prakteknya-pen) maka artinya: bagi yang
hanya lewat dalam keadaan junub boleh shalat tanpa mandi terlebih dahulu,
hal-hal seperti itu tak dapat dibenarkan. Dan bila diartikan “’Abirissabil”
itu orang junub sedang safar, sedang dalam perjalanan itu tak dapat diterima,
sebab kita tak dapat mengatakan yang junub boleh shalat tanpa mandi wajib
dahulu. Karenanya “shalat” dalam ayat tersebut diartikan masjid, tak ubahnya
dengan ucapan kita “minta kopi susu”, tentu lengkap dengan tempatnya. (Istifta:
123-124)
قال مالك في المرأة إنها إذا اعتكفت
ثم حاضت فياعتكافها إنها ترجع إلى بيتها فإذا طهرت رجعت إلى المسجد أية ساعةطهرت ثم
تبني على ما مضى من اعتكافها ومثل ذلك المرأة يجب عليها صيام شهرينمتتابعين فتحيض ثم
تطهر فتبني على ما مضى من صيامها ولا تؤخر ذلك (شرح الزرقاني على موطأ الإمام مالك
محمدبن عبد الباقي بن يوسف الزرقاني
المصري الأزهري)
“Imam Malik berpendapat tentang
perempuan yang beri’tikaf lalu datang haid dalam I’tikafnya. Ia harus pulang ke
rumahnya dan jika sudah bersih (berhenti haid) ia kembali ke masjid langsung
sesaat setelah ia bersih, lalu melanjutkan I’tikafnya yang terlewat.
Sebagaimana juga wanita yang melaksanakan shaum wajib dua bulan berturut-turut
kemudian datang haid, setelah bersih ia harus melaksanakan shaumnya yang
terlewat dan tidak menunda-nundanya”. (Syarah Az-Zarqany ‘ala Muwatha’
Imam Malik)
http://library.islamweb.net/Newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=77&ID=1433
BAHAN-BAHAN :
- - وأما قوله في
الحديث : " آلبر تقولون بهن " فمعناه يظنون بهن البر ، وأنا أخشىعليهن أن
يردن الكون معي على ما يريد النساء من الانفراد بالأزواج في كل حين وإنلم يكن حين جماع
، فكأنهن مع إرادتهن لذلك لم يكن اعتكافهم خالصا لله ، فكره لهن ذلك، وهو معنى قوله
في غير حديث مالك :" آلبر تردن - أو يردن " كأنه توبيخ ، أي : ما أظنهن يردن
البر . الاستذكار الجامع لمذاهب فقهاء الأمصار-أبو عمر يوسف بن عبد الله بنمحمد بن
عبد البر
http://almanhaj.or.id/content/2128/slash/0/berangkatnya-wanita-muslimah-ke-masjid/
http://www.al-azim.com/masjid/hormatmasjid.html
http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/shalatnya-wanita-di-masjid/
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-wanita-haid-memasuki-masjid-untuk-menghadiri-majelis-ilmu-atau-halaqah-tahfidzul-quran.html
http://assyahidahkhadijah.blogspot.com/2013/09/hukum-wanita-haid-duduk-dalam-masjid.html
http://abumushlih.com/keutamaan-memakmurkan-masjid.html/
Tidak ada komentar