Sejarah dan Proses Penetapan Syariat Tarawih (Bagian I)
Beberapa minggu setelah peristiwa di
Gua Hira, Nabi mendapat perintah shalat malam dengan turunnya surat Al-Muzammil
ayat 1-11 (di antara ayatnya)
يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ # قُمْ اللَّيْلَ إِلَّا
قَلِيلًا
Hai orang yang berselimut
(Muhammad). Bangunlah (untuk salat) di malam hari kecuali sedikit (daripadanya). Q.S.
Al-Muzammil: 1-2.
Kata Aisyah, "Maka beliau
dan para sahabatnya melaksanakan perintah itu setiap malam hingga kaki-kaki
mereka bengkak dan Allah menahan (belum menurunkan) ayat akhir dari surat itu (al-muzammil)
selama 12 bulan. Kemudian Allah memberikan keringanan dengan menurunkan ayat
terakhir dari surat itu (ayat 20). (Setelah turunnya ayat ke-20 Al-Muzammil)
salat itu hukumnya menjadi sunat (bagi kaum muslimin, namun tetap wajib
hukumnya bagi Nabi saw)" (H.R. Abdurrazaq, Al-Mushannaf, III:39; Al-Baihaqi,
As-Sunan Al-Kubra, II:499; Ishaq bin Rahawaih, Al-Musnad, III:711)
Ibnu Abas menegaskan bahwa selisih
waktu turun antara ayat-ayat pertama dan terakhir pada surat itu selama 1
tahun. (Lihat, Ahkam Al-Quran al-Jashash, V:365)
Demikian Nabi melaksanakan salat
malam itu selama 13 tahun hidup di Mekah
sebelum hijrah, yakni sejak tahun ke-40 (dari kelahirannya) yang bertepatan
dengan bulan Agustus 611 M, hingga tahun ke-53 (dari kelahirannya) yang
bertepatan dengan bulan April tahun 623 M. Dan selama itu, istilah shalat malam
hanya disebut qiyamul lail dan tahajjud, walaupun dilakukan di bulan
Ramadhan.
Setelah Nabi hijrah ke Madinah, dan
baru menetap selama 17 bulan di Madinah, sejak Rabi’ul Awwal hingga Sya’ban 2
H, salat malam terus dilakukan oleh Nabi dan istilah salat ini masih qiyamul
lail dan tahajjud. Namun setelah turunnya ayat 183-184 Al-Baqarah, yang
turun pada hari Kamis tanggal 28 Sya’ban tahun ke-2 H yang bertepatan dengan
tanggal 23 Februari 624 M, Nabi menyebut Istilah lain bagi shalat tersebut
dengan ungkapan Qiyamu Ramadhan, sebagaimana dalam sabdanya:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا
Selain menyebut dengan istilah baru,
Nabi pun menetapkan beberapa aturan pada salat malam di bulan Ramadhan itu yang
sebelumnya tidak dilakukan, antara lain:
a. Dikerjakan dengan berjama’ah atau munfarid.
Hanya berjamaah lebih utama. Hal itu tampak jelas dari ajakan dan pengumuman
yang dilakukan beliau pada sore hari ketika ba'da ashar, kepada halayak untuk
berjamaah salat Tarawih.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ لَمَّا كَانَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ إِعْتَكَفَ رَسُولُ
اللهِ فِى الْـمَسْجِدِ فَلَمَّا صَلَّى الـنَّبِيُّ صَلاَةَ العَصْرِ مِنْ يَوْمِ اثْـنَـيْنِ وَعِشْرِينَ
قَالَ : إِنَّا قَائِمُونَ اللَيْلَةَ إِنْ شَاءَ اللهُ، مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ
يَقُومَ فَلْيَقُمْ وَهِيَ لَيْلَةُ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ فَصَلاَّهَا الـنَّبِيُّ جَمَاعَةً بَعْدَ العَتَمَةِ حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ
اللَيْلِ ثُمَ انْصَرَفَ، فَلَمَّا كَانَ لَيْلَةَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ
شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ قَامَ بَعْدَ صَلاَةِ
العَصْرِ يَوْمَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ ، فَقَالَ
إِنَّا قَائِمُونَ اللَّـيْلَةَ إِنْ شَاءَ الله ُ يَعْنِى لَيْلَةَ خَمْسٍ
وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَقُمْ فَصَلَّى
بِالنَّاسِ حَتَّي ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ فَلَمَّا كَانَ لَيْلَةَ
سِتٍّ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَ عِنْدَ صَلاَةِ
العَصْرِ مِنْ يَوْمِ سِتٍّ وَعِشْرِينَ قَامَ فَقَالَ إِنَّا قَائِمُونَ إِنْ شَاءَ اللهُ يَعْنِى لَيْلَةَ
سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ قَالَ أَبُو ذَرٍّ فَـتَجَلَّدْنَا لِلْقِيَامِ فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ ص. حَتَّى ذَهَبَ
ثُلُـثَا اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ اِلَى قُـبَّتِهِ فِى الْـمَسْجِدِ فَقُلْتُ لَهُ
إِنْ كُنَّا لَقَدْ طَمِعْنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَنْ تَقُومَ بِنَا حَتَّى تُصْبِحَ،
فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ إِذَا صَلَّيْتَ
مَعَ إِمَامِكَ وَانْصَرَفْتَ إِذَا انْصَرَفَ كُتِبَ لَكَ قُنُوتُ لَيْلَتِكَرواه
احمد
Dari Abu Dzar, ia berkata, ”Tatlaka
sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah saw. itikaf di masjid, ketika salat ashar pada hari ke-22, ia bersabda,
'Insya Allah kita akan berjamaah malam ini, siapa di antara kamu yang akan
salat pada malam itu silahkan ia salat, yakni malam ke-23, kemudian Nabi salat
malam itu dengan berjamaah setelah salat isya sampai lewat sepertiga malam.
Kemudian beliau pulang. Pada malam ke-24, ia tidak berkata apapun dan tidak
mengimami, pada malam ke-25 beliau berdiri setelah salat ashar, yaitu pada hari
ke-24, kemudian bersabda, 'Kita akan berjamaah malam ini Insya Allah yakni pada
malam ke-25, siapa pun yang mau ikut berjamaah silahkan’ kemudian ia mengimami
orang-orang sampai lewat sepertiga malam. Kemudian ia pulang. Tatkala malam ke-26
ia tidak berkata apa pun dan tidak mengimami kami, tatkala malam ke-27, beliau
berdiri setelah salat ashar pada hari ke-26, kemudian berdiri dan bersabda,
'Insya Allah kita akan berjamaah malam ini yakni pada malam ke-27, siapa yang
akan mengikuti berjamaah silahkan ‘Abu Dzar berkata, 'Maka kami berusaha keras
untuk ikut salat berjamaah itu, lalu Nabi saw. mengimami kami sampai lewat dua
pertiga malam. Kemudian beliau pergi menuju Qubahnya di masjid (karena sedang
I’tikaf). Saya berkata padanya, 'Bagaimana jika kami sangat menginginkan tuan
mengimami kami sampai subuh. Beliau bersabda, 'Wahai Abu Dzar jika engkau salat
beserta imammu, dan engkau selesai (salat) ketika imam itu selesai, telah
ditetapkan (pahala) untukmu karena panjangnya salatmu pada malamku. (H.R.
Ahmad, Musnad Al-Imam Ahmad, V: 172)
Sikap seperti ini tidak pernah
dilakukan oleh beliau selama 13 tahun di Mekah, termasuk pada bulan Ramadhan.
Demikian pula selama di Madinah di luar bulan Ramadhan sikap ini tidak
dilakukan oleh beliau.
b. Dikerjakan pada awal, tengah, atau akhir
malam. Hal ini berbeda dengan Ramadhan ketika di Mekah atau di luar bulan
Ramadhan ketika sudah hijrah ke Madinah. Pada riwayat Al-Bukhari, Umar bin
Khathab menyatakan:
وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dan orang-orang melakukan (Tarawih
itu) pada awal malam. (H.R. Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, IV: 314 No.
2010)
Keterangan tersebut menunjukkan
bahwa kebanyakan orang-orang melakukannya pada awal malam.
Dari sinilah kita mendapatkan adanya
kaifiyat yang berbeda ketika shalat itu dilaksanakan di luar Ramadhan
yang populer dengan sebutan tahajud dan witir serta yang dilakukan di Ramadhan
yang populer dengan sebutan qiyamu ramadhan dan tarawih.
Adapun istilah taraweh mulai muncul
sejak pertengahan abad ke-1 H. Hal itu terbukti pada jawaban Abu Hanifah (80
H-150 H/699 M-767 M) ketika ditanya oleh muridnya bernama Abu Yusuf tentang fi’il
Umar (Lihat, Awjazul Masalik, II: 293). Jadi tidak benar kalau dikatakan
bahwa istilah taraweh baru dikenal sejak abad ke-2 H.
Siapa yang Paling Tahu Shalat Malam
Rasul?
Yang paling mengetahui salat malam
Rasul adalah Aisyah, dibandingkan dengan para sahabat lainnya, karena Nabi
sering melakukannya waktu bermalam di Aisyah. Ketika Ibnu Abas ditanya oleh
Sa’id bin Hisyam, ia berkata:
..أَلاَ أَدُلُّكَ
عَلَى أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ بِوِتْرِ رَسُولِ اللهِ قَالَ: مَنْ؟ قَالَ: عَائِشَةُ, فَأْتِهَا فَاسْأَلْهَا..
Maukah engkau kutunjukkan orang yang
paling mengetahui dari antara penghuni bumi ini pada witir Rasulullah saw.?
Saad bertanya, Siapakah? Ibnu Abas menjawab, Aisyah, maka datanglah kepadanya
dan bertanyalah... (Lihat, Shahih Muslim, I:298)
Sehubungan dengan itu apabila
terjadi perbedaan pendapat pada salat malam Rasulullah saw. dengan para
sahabatnya, maka riwayat Aisyah-lah yang harus didahulukan sebelum yang lainnya
selama kedudukannya shahih, karena ia yang paling mengetahui tentang salat
Malam Rasulullah saw. Karena itu tidak mengherankan bila banyak di antara
tabi’in yang bertanya kepada Aisyah tentang shalat malam Rasul, antara lain,
Abdullah bin Syaqiq dan Abdullah bin Abu Qais.
Jumlah dan Formasi Rakaat
Bagaimana bilangan dan format rakaat
salat taraweh itu? Mengenai bilangan dan format rakaat dan ini, Ummul Mukminin
Aisyah pernah ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurahman:
كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ، قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى
إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى
ثَلاَثاً، قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَارَسُولَ اللهِ، أَ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟
قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامُ وَلَمْ يَنَمْ قَلْبِي
“Bagaimana (cara) salat Rasulullah
saw. pada malam bulan Ramadhan? Ia (Aisyah) menjawab, ’Tidaklah Rasulullah saw.
menambah pada bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang lainnya, dari sebelas
rakaat. Beliau salat empat rakaat, dan engkau jangan bertanya tentang baik dan
panjangnya, beliau salat (lagi) empat rakaat, dan jangan (pula) engkau bertanya
tentang baik dan panjangnya, kemudian beliau salat tiga rakaat. Aisyah berkata,
‘Aku bertanya wahai Rasulullah! Apakah engkau tidur sebelum witir? Beliau
menjawab, ’Hai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tapi hatiku tidak
tidur.
(H.R. Al-Bukhari, pada bab fadhlu man qama ramadhan. Lihat, Shahih Al-Bukhari,
1997: 396. No. hadis 2.013)
Hadis ini oleh Imam Al-Bukhari
ditempatkan pula pada Kitabut Tahajjud, bab
بَاب قِيَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ
(Bab salat malam Nabi pada bulan
Ramadhan dan bulan lainnya) (Lihat, Shahih Al-Bukhari, hal. 225, No. hadis
1.147)
Dalam riwayat ini Aisyah menerangkan
dengan tegas jumlah rakaat salat taraweh “sebelas”. Kemudian ia memperinci,
empat rakaat, empat rakaat dan tiga rakaat. Tetapi ia tidak menerangkan cara
dan bacaan yang dibaca pada setiap rakaat, karena sudah dimaklumi oleh yang
bertanya khususnya tentang arti rakaat dalam salat.
Yang jadi pokok persoalan, apakah
format 4-4-3 yang ditegaskan Aisyah ini merupakan ta'yiin (kemestian)
atau takhyiir (pilihan). Untuk fi ghairihi (di luar Ramadhan)
format ini bukan ta'yiin, karena ditemukan format lain yang pernah
dilakukan oleh Nabi, sebagaimana keterangan Aisyah sendiri juga sahabat
lainnya, antara lain
1) 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 1 = 11 cara ini disebut
witir dengan 1 rakaat
قَالَتْ عَائِشةُ كَانَ رَسُولُ اللهِ يُصَلِّي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ
كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ
رواه مسلم
Aisyah ra. Berkata, “Rasulullah saw.
salat sebelas rakaat. Beliau salam setiap dua rakaat dan witir dengan satu
rakaat.”
(H.R. Muslim)
2) 2 + 2 + 2 + 2 + 3 = 11 cara ini disebut witir
dengan 3 rakaat
عَنْ عَامِرٍ الشَّعْبِيِّ قَالَ سَأَلْتُ عَبْدَ
اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَعَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ بِاللَّيْلِ فَقَالاَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً
مِنْهَا ثَمَانٍ وَيُوتِرُ بِثَلاَثٍ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْفَجْرِ رواه ابن ماجة
Dari Amir as-Sya’bi, ia berkata,
“Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin ‘Umar ra. tentang
salat malam Rasulullah saw., maka keduanya berkata, ‘Salat Rasulullah pada
malam hari tiga belas rakaat, antara lain delapan rakaat dan witir tiga rakaat,
dan dua rakaat setelah fajar” (H.R. Ibnu Majah)
Sedangkan untuk fii Ramadhan
(di bulan Ramadhan), hemat kami format ini adalah ta'yiin, karena tidak
ditemukan format lain yang dilakukan oleh Nabi pada bulan Ramadhan, selain
keterangan Aisyah. Sedangkan Aisyah adalah orang yang lebih tahu keadaan Nabi waktu
malam. Kata Ibnu Hajar:
مَعَ كَوْنِ عَائِشَةَ أَعْلَمَ بِحَالِ النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم لَيْلاً مِنْ غَيْرِهَا
Di samping Aisyah adalah yang paling
tahu keadaan Nabi di waktu malam daripada istri Nabi lainnya. (Lihat,
Fathul Bari, IV: 254)
Selain ketegasan Aisyah bahwa Nabi
saw. tidak pernah salat tarawih lebih dari 11 rakaat dengan format 4-4-3, dapat
diambil kesimpulan pula bahwa para sahabat pun demikian, sebab para sahabat
adalah makmum-makmumnya. Oleh karena itu apabila dikatakan bahwa terdapat
sahabat yang berbeda darinya tentulah harus ditunjukan dalilnya yang kuat.
Karena itu Syekh Al-Albani menyatakan bahwa keterangan Aisyah tersebut sesuai
dengan keterangan Jabir dan Aisyah sendiri yang menerangkan peristiwa salat
tarawih Nabi secara berjamaah selama tiga malam di awal Ramadhan. (Lihat,
Silsilah Al-Ahadits Ad-Dhaifah, II: 35)
قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَأَوْتَرَ فَلَمَّا كَانَتِ الْقَابِلَةُ إِجْتَمَعْنَا فِي الْمَسْجِدِ
وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُجَ فَلَمْ نَزَلْ فِيهِ حَتَّى أَصْبَحْنَا ثُمَّ دَخَلْنَا
فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ إِجْتَمَعْنَا الباَرِحَةَ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا
أَنْ تُصَلِّيَ بِنَا فَقَالَ إِنِّي خَشِيتُ
أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ
Jabir bin Abdulah telah berkata,
”Rasulullah saw. salat mengimami kami delapan rakaat pada malam Ramadhan dan
beliau melakukan witir. Maka ketika malam berikutnya kami berkumpul dan
berharap beliau akan keluar lagi, dan kami terus menerus di situ sampai pagi,
kemudian kami masuk dan kami berkata kepadanya, ’Wahai Rasulullah, kami
berkumpul di mesjid malam tadi dan kami berharap Anda mengimami kami, beliau
bersabda, saya khawatir dianggap wajib atas kalian.”
Keterangan:
Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani
di dalam Al-Mu’jamus Shagir, I: 190. Selain riwayat di atas masih terdapat
riwayat-riwayat lain yang semakna tetapi terdapat sedikit perbedaan lapal,
yaitu dua riwayat Ibnu Hiban di dalam Shahih Ibnu Hibban, IV: 110 dan 111, No.
2.540 dan No. 2.541; Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la Al-Mushili, III: 336, 337, No.
1.801 dan 1.802; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, II: 138, No. 1.070; Ath-Thabrani,
Al-Mu’jamul Ausath, IV: 440-441, No. 3743 dan 3745, dan Ahmad, Fathur Rabani,
V: 15
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النًّبِيَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ
فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى الثَّانِيَةَ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا
مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ
اللهِ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ رَأَيْتُ الَّذِى
صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِى مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيتُ أَنْ
تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ وَذلِكَ فِي رَمَضَانَ
متفق عليه
Dari Aisyah, (ia berkata),
”Bahwasanya Rasulullah saw. salat di masjid, dan orang-orang pun ikut salat
berjamaah dengannya. Kemudian beliau salat pada hari kedua (dari Ramadhan), dan
orang-orang pun semakin banyak dan berkumpul pada hari kedua atau ke empat
(untuk ikut berjamaah). Kemudian (hari selanjutnya) Rasulullah saw. tidak
keluar menemui mereka (untuk salat). Ketika masuk waktu subuh beliau bersabda,
’Aku melihat apa yang telah kamu kerjakan, tidak ada yang menghalangiku untuk
keluar menemui kalian semua selain aku khawatir (salat itu) diwajibkan atas
kamu, dan itu pada bulan ramadan”. (Muttafaq ‘Alaih. Lihat, Nailul
Authar, III: 62)
Adakah format lain yang dilakukan oleh Nabi pada bulan Ramadhan selain keterangan Aisyah yang tegas itu?
Oleh
Tidak ada komentar