Hadis "Aqiqah Dibagikan Masak"
Kebolehan daging
aqiqah dibagikan dalam keadaan masak didasarkan pada hadis sebagai berikut:
Ishaq bin Rahawaih meriwayatkan melalui Abdul Malik, dari Atha,
dari Abu Kurz, dari Ummu Kurz, ia berkata:
قَالَتْ
امْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ إنْ وَلَدَتْ
امْرَأَةُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ غُلاَمُا نَحَرْنَا عَنْهُ جَزُورًا فَقَالَتْ
عَائِشَةُ لَا بَلْ السُّنَّةُ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ
الْجَارِيَةِ شَاةٌ يُطْبَخُ جُدُولًا وَلَا يُكْسَرُ لَهَا عَظْمٌ فَيَأْكُلُ
وَيُطْعِمُ وَيَتَصَدَّقُ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ فَإِنْ لَمْ
يَفْعَلْ فَفِي أَرْبَعَةَ عَشْرَةَ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَفِي إحْدَى
وَعِشْرِينَ
Seorang perempuan dari keluarga Abdurrahman bin Abu Bakar
berkata jika istri Abdurrahman melahirkan anak laki-laki, kami akan menyembelih
kambing. Maka Aisyah berkata, “Tidak perlu, bahkan sunah (yaitu) dua kambing
untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan. Dimasak anggota
badannya dan tidak dihancurkan tulang-tulangnya, lalu makan, dibagikan dan
disadaqahkan. Hal itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak bisa pada hari
ke-14, jika tidak bisa pada hari ke-21” Lihat, Musnad Ishaq bin Rahawaih,
III:692, No. hadis 1292
Keterangan:
1. Hadis
di atas dikategorikan sebagai hadis mauquf (ucapan Aisyah)
2. Pada
hadis ini digunakan ungkapan yuthbakhu
judulan. Artinya
aqiqah itu dimasak sepenggal-sepenggal. Dengan demikian, menurut hadis ini
aqiqah itu dimasak dengan cara “seanggota-seanggota badannya”, tidak boleh
direcah sehingga anggota-anggotanya terpotong-potong, tidak boleh pula
tulangnya pecah-pecah atau terpotong-potong.
Namun dalam riwayat al-Hakim melalui Muhamad bin Ya’qub
as-Syaibani, dari Ibrahim bin Abdullah, dari Yazid bin Harun, dari Abdul Malik
bin Abu Sulaiman, dari Atha, dari Ummu Kurz dan Abu Kurz, mereka berdua
berkata:
نَذَرَتْ
امْرَأَةٌ مِنْ آلِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ إنْ وَلَدَتْ امْرَأَةُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ نَحَرْنَا جَزُورًا فَقَالَتْ عَائِشَةُ لَا، بَلْ السُّنَّةُ
أَفْضَلُ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
تُقْطَعُ جُدُولًا وَلَا يُكْسَرُ لَهَا عَظْمٌ فَيَأْكُلُ وَيُطْعِمُ
وَيَتَصَدَّقُ وَلْيَكُنْ ذَاكَ يَوْمَ السَّابِعِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي
أَرْبَعَةَ عَشَرَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَفِي إحْدَى وَعِشْرِينَ
Seorang perempuan dari keluarga Abdurrahman bin Abu Bakar
bernazar jika istri Abdurrahman melahirkan, kami akan menyembelih kambing. Maka
Aisyah berkata, “Tidak perlu, bahkan sunah lebih utama (yaitu) dua kambing
untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan. Dipotong-potong
anggota badannya dan tidak dihancurkan tulang-tulangnya, lalu makan, dibagikan
dan disadaqahkan. Lakukanlah itu pada hari ke-7, jika tidak bisa lakukanlah
pada hari ke-14, jika tidak bisa lakukanlah pada hari ke-21” Kata al-Hakim,
“Ini hadis sahih sanad, dan keduanya (al-Bukhari-Muslim) tidak meriwayatkannya” Lihat,
al-Mustadrak, IV:266, No. hadis 7595
Pada hadis ini digunakan ungkapan tuqtha`u judulan. Kata tuqtha`u artinya dipotong. Sedangkan kata judulanadalah bentuk
jamak (plural) dari kata Jidlun,
artinya “anggota”.
Dengan demikian, pada hadis ini tidak terdapat keterangan aqiqah
itu dimasak, namun hanya diterangkan mesti dipotong dengan cara
“seanggota-seanggota badannya”, tidak boleh direcah sehingga anggota-anggotanya
terpotong-potong, tidak boleh pula tulangnya pecah-pecah atau terpotong-potong.
Sedangkan dalam riwayat al-Baihaqi melalui Ali bin Ahmad bin
Abdan, dari Ahmad bin Ubed, dari Usman bin Umar, dari Musaddad, dari Abdul Waris,
dari Amir al-Ahwal, dari Atha, dari Ummu Kurz, dengan redaksi langsung tanpa
diterangkan kisah nadzarnya juga tidak disertai komentar dari Aisyah, sebagai
berikut:
عَنْ
أُمِّ كُرْزٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- :« عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
Dari Ummu Kurz, ia berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Dua
kambing untuk anak laki-laki dan satu kambing untuk anak perempuan’.”
Setelah itu al-Baihaqi menyertakan keterangan Atha bin Rabah
dengan dua redaksi sebagai berikut:
Pertama (jalur Amir al-Ahwal):
تُقْطَعُ
جُدُولاً وَلاَ يُكْسَرُ لَهَا عَظْمٌ أَظُنُّهُ قَالَ وَتُطْبَخُ قَالَ وَقَالَ
عَطَاءٌ : إِذَا ذَبَحْتَ فَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذِهِ
عَقِيقَةُ فُلاَنٍ
“Dipotong-potong anggota badannya dan tidak dihancurkan
tulang-tulangnya” Kata rawi (Amir): aku menduga ia mengatakan: “tuthbakhu
(dimasak)” Ia (Amir) berkata, “Atha berkata, ‘Apabila kamu hendak menyembelih
ucapkanlah: Bismillah wallahu Akbar, ini aqiqah si Polan’.”
Kedua (jalur Ibnu Jurej):
تُقْطَعُ
آرَابًا آرَابًا وَتُطْبَخُ بِمَاءٍ وَمِلْحٍ وَيُهْدِى فِى الْجِيرَانِ
“dipotong seanggota-seanggota, dimasak dengan air dan garam,
dihadiahkan kepada tetangga”
Semua keterangan di atas tercatat dalam karya al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra,
IX:302, No hadis 19.765
Analisa
Ketiga riwayat di atas menunjukkan 3 versi. Pertama, versi Ishaq
bin Rahawaih, yaitu Aisyah mengatakan aqiqah itu dimasak sepenggal-sepenggal.
Kedua, versi al-Hakim, yaitu Aisyah mengatakan aqiqah itu dipotong
sepenggal-sepenggal, bukan dimasak. Ketiga, versi al-Baihaqi bahwa yang
mengatakan aqiqah itu dimasak sepenggal-sepenggal adalah Atha, bukan Aisyah.
Padahal jalur periwayatan ketiga versi itu sama, yaitu dari Atha, dari Ummu
Kurz. Jadi, mana yang benar?
Hemat kami yang benar adalah versi ketiga, yaitu aqiqah dimasak
sepenggal-sepenggal semata-mata hanya pendapat Atha bin Abu Rabah, seorang
tabi’in (w. 114 H), bukan pendapat Aisyah. Karena versi pertama (dimasak) dan
kedua (dipotong), kedua-duanya daif, yaitu terjadi inqitha (keterputusan sanad)
antara Atha dan Ummu Kurz, karena Atha tidak pernah menerima hadis apapun dari
Ummu Kurz, sebagaimana dinyatakan oleh para ulama hadis, antara lain Ali bin
al-Madini.
رَأَى
ابْنَ عُمَرَ وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ وَرَأَى أَبَا سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ
يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْ زَيْدِ بْنِ
خَالِدٍ وَ لاَ مِنْ أُمِّ سَلَمَةَ وَ لاَ مِنْ أُمِّ هَانِى وَ لاَ مِنْ أُمِّ
كُرْزٍ شَيْئًا
Ia melihat Ibnu Umar dan tidak menerima hadis darinya. Melihat
Abu Sa’id al-Khudriyyi dan thawaf di Baitullah dan tidak menerima hadis
darinya. Ia tidak menerima hadis dari Zaid bin Khalid, Ummu Salamah, Ummu Hani,
dan Ummu Kurz. Lihat, Tahdzib
at-Tahdzib, karya Ibnu Hajar (w. 852 H), VII:202; Tuhfah at-Tahshil fi Dzikr Ruwah
al-Marasil, karya al-‘Iraqi (w. 826 H), I:228.
Selain itu, dengan memperhatikan riwayat al-Baihaqi, kuat dugaan
bahwa kalimat
تُقْطَعُ
جُدُولًا...
Pada versi pertama dan kedua merupakan idraj (sisipan kalimat)
dari Atha bin Abu Rabah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anjuran agar aqiqah
dimasak dahulu sebelum dibagikan/dibagikan dalam keadaan masak bukan bagian
dari syariat Islam.
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar