Niat Dalam Beribadah
Niat secara bahasa artinya kehendak,
rencana dan tujuan atas sesuatu. Dalam istilah para ulama, niat dimaksudkan
untuk dua pengertian : Pertama, Niat dalam pengertian kehendak hati yang
membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti membedakan
shalat wajib dzuhur dari shalat wajib Ashar atau yang membedakan shaum Ramadhan
dengan shaum Nadzar. Kedua, niyat dalam pengertian sesuatu yang menjadi dasar
dorongan dan harapan atau motivasi suatu amal perbuatan. Yaitu apakah sesuatu
pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar mengharap keridhaan dan pahala Allah SWT
atau karena mengharap pujian dari manusia.
Dalam Alquran disebutkan kandungan
dari niyat itu, yaitu ”keinginan, harapan, dan kehendak.” Iraadah,
ibtighaa, dan rajaa. Seperti dalam Firman Allah :
”Barangsiapa yang menginginkan
keuntungan (pahala) akhirat, kami akan tambahkan keuntungannya, dan barang
siapa yang menginginkan keuntungan dunia saja, Kami akan berikan sebagian
darinya dan baginya tidak ada bagian keuntungan di akhirat sedikit pun”. (Q.S
As-Syura : 20)
”Dan perumpamaan orang-orang yang
menginfakkan harta mereka dengan mengharap keridhaan Allah…” (Q.S
Al-Baqarah : 265)
”Barangsiapa yang mengharapkan
perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah ia beramal dengan amal saleh dan jangan
menyekutukanNya dengan sesuatu apapun dalam beribadah kepadaNya”. (Al-Kahfi :
110)
Dalam Al-Hadits tentang niyat nabi
SAW dengan tegas bersabda :
”Dari Umar Ibn Khaththab ’aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda” Sesungguhnya amal-amal itu tergantung
niatnya dan bagi tiap orang apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrah kepada
Allah dan RasulNya , maka pahalanya karena Allah dan rasulNya. Dan barangsiapa
yang hijrah karena dunia atau wanita yang dinikahinya, maka pahala hijrahnya
itu apa yang di hijrahi”. (H.R Al-Bukhari, Shahih Muslim (3530)
Mengenai pengucapan niat tidak ada
satupun keterangan dari Al-Quran maupun Al-hadits, Niat itu urusan hati tidak
terkait dengan lisan atau ucapan. Walaupun seseorang mengucapkan niat dengan
mengatakan ia mengamalkan sesuatu karena Allah, tetap saja yang jadi penilaian
Allah adalah apa yang ada di hatinya. Sebagaimana dalam Hadits shahih yang
diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
”Sesungguhnya Allah tidak melihat
jasad dan rupa kalian melainkan melihat hati kalian”
Yang dinilai Allah adalah hati
karena hati merupakan tempat ditanamnya niat dalam suatu amal. Benarnya amal
lisan dan perbuatan badan belum dapat menjamin benarnya niat yang merupakan
amalan hati. Sebaliknya apa yang telah diniatkan secara benar dalam hati
kemudian terjadi kekeliruan dalam ucapan dan perbuatan, maka kesalahan itu termasuk
perkara yang dimaafkan. Oleh karena itu tidak ada syariat untuk mengucapkan
niat.”
(Risalah No. 6 Th. 46 Ramadhan 1429 / September 2008)
Menurut A. Hassan kalau seseorang
mengerjakan sesuatu perkara dengan sengaja, maupun perkara ibadat atau yang lainnya,
maka dinamakan dia orang yang telah berniat. Seorang yang didalam tidur, kalau
menampar atau menendang sesuatu, maka ia tidak dikatakan berniat waktu
mengerjakannya. Kalau seorang memecahkan sesuatu atau menikam seseorang
lantaran latah, maka kita namakan orang itu tidak sengaja atau tidak berniat.
Dengan contoh diatas nyatalah bahwa
niat itu adalah sengaja.
Masalah ini sudah terlalu banyak
orang-orang bicarakan dimana-mana. Maka disini kami hendak memberi jawaban yang
umum dan terang, supaya pembaca dapat gunakan kaidah itu dimana-mana masalah
yang duduknya sama dengan masalah melafazkan niat.
Yang dikatakan Agama itu ialah
beberapa perintah Allah dan perintah Rasul, dan beberapa larangan Allah dan
larangan Rasul. Perintah-perintah itu ada dua macam: Pertama, perintah yang
berhubungan dengan hal keduniaan, kedua, perintah-perintah yang berhubungan
dengan hal ibadat.
Perintah-peritah keduniaan itu,
mesti kita kerjakan, tetapi cara-caranya tidak mesti sama dengan perbuatan
Nabi, seperti perang umpamanya, Nabi kita lakukan dengan pedang dan panah, maka
tidak ada halangan kita kerjakan dengan senapan dan meriam, karena yang
diperitah dan yang dimaksudkan itu perangnya bukan caranya.
Adapun perintah-perintah yang
berhubungan dengan hal ibadat itu wajib kita kerjakan menurut sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi saw tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Karena
perkara ibadat itu tak dapat diatur-atur dan dipikir-pikir oleh manusia.
Misalnya dapatkah kita pikirkan
dengan jelas mengapa kita diperintah tayamum waktu tidak ada air, dan mengapa
diwaktu subuh diwajibkan dua rakaat saja, sedang dzuhur empat rakaat padahal
waktu subuh yang lebih lapang?
Kedua, tiap-tiap perkara dunia pada
asalnya harus, yaitu boleh kita kerjakan boleh tidak, melainkan yang mana diwajibkan
oleh agama, maka wajib kita kerjakan dan mana yang dilarang, tidak boleh kita
kerjakan.
Ketiga, tidak boleh kita berbuat
ibadah dengan kemauan dan cara kita sendiri. Tidak boleh dinamakan ibadat yang
sebenarnya, kalau tidak diperintah oleh agama serta ditunjukan oleh Nabi.
Keempat, berbuat bid’ah itu dilarang
keras di dalam agama karena sabda nabi saw. “Tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan
tiap-tiap kesesatan itu di neraka” (H.R Muslim dan Nasai). Tetapi jangan
salah faham tentang larangan bid’ah itu. Bid’ah itu dilarang di dalam urusan
ibadat, bukan di dalam hal keduniaan karena sabda Nabi saw. “Kamu terlebih
mengerti hal urusan dunia kamu”. (H.R Muslim).
Bahkan orang yang mengadakan bid’ah
yang baik diperkara dunia dengan sabdanya “Barangsiapa adakan (atau mulakan)
di dalam Islam satu cara (keduniaan) yang baik, maka ia dapat pahalanya dan
(juga banyak) pahala orang-orang yang turut mengerjakannya dengan tidak kurang
sedikit pun daripada pahala mereka itu” (H.R Muslim).
Kelima, tidak boleh kita katakan
perkara itu wajib atau sunnat dan perkara ini haram atau makruh, kalau tidak
ada keterangan dari Agama, karena wajib atau sunnat itu artinya perkara dapat
pahala dan haram itu perkara yang tidak disukai oleh Allah. Maka bagaimanakah
bisa seseorang mengetahui hal yang gaib itu kalau tidak diterangkan oleh Agama?
Keenam, di dalam Agama dibenarkan
qias tetapi hanya dihukum-hukum keduniaan saja tidak sekali-kali dihukum-hukum
ibadat. Tidak pernah seorangpun dari sahabat-sahabat Nabi mengambil qias di
dalam ibadat dan tidak pula imam-imam mujtahidin, bahkan telah berkata imam
Syafi’I “tidak ada qias di hukum ibadat” dan “Barangsiapa menganggap baik satu
ibadat, berarti ia telah membikin Agama”. Kata Imam Ar-Ruyani “Dan barang siapa
membikin Agama, kufurlah dia”. Maksudnya bahwa apabila seseorang menganggap
baik akan satu perkara ibadat dengan tidak ada keterangan dari Agama, maka
bearti orang itu menambah satu ibadat, maka barang siapa menambah satu ibadat
tidak dipungkiri lagi ia jadi kafir.
Ketujuh, kita wajib menerima ijma,
tetapi supaya tidak jadi salah faham, perlu kita dapat tahu ijma manakah yang
wajib kita turut. Ijma uang wajib kita turut itu tidak lain melainkan ijma
sahabat Nabi. Turut ijma itu tidak berarti kita turut hukum yang mereka bikin
dengan kemauan mereka sendiri, tetapi berarti kita turut kerjakan salah satu
ibadat atau hukum yang mereka ramai-ramai telah setuju mengerjakannya, dengan
kepercayaan kita bahwa mustahil mereka bersetuju mengerjakan sesuatu kalau
tidak mereka lihat Nabi saw kerjakan dihadapan mereka.
Oleh sebab itu Nabi kita telah
bersabda “Hendaklah kamu berpegang kepada cara-caraku dan cara-cara
khalifah-khalifah yang lurus tepimpin” (H.R Abu Dawud). Adapun ijma yang
lain daripada itu tidak boleh kita turut dan juga tidak ada. Lantaran itu berkata
Imam Ahmad bin Hanbal “Barangsiapa mengaku ada ijma, maka orang itu
pendusta”.
Sesudah ada beberapa kaidah yang
tersebut di atas itu, tentulah mudah kita memaham suatu hukum.
Melafazkan niat waktu berwudu, mandi
atau sembahyang itu tidak ada di quran , hadis, perbuatan sahabat Nabi dan
tidak pula dipandang sunat oleh Imam yang empat, istimewa pula ijma tidak ada
sama sekali.
Hanya ada sebagian daripada ulama
madzhab syafi’i (bukan Imam syafi’i) menyunatkannya, dan golongan itu terbagi
atas beberapa bagian pula :
1. Ada yang berkata bahwa menyebut niat dengan
lidah itu menolong hati, lantaran itu jadi sunat.
Kita jawab, bahwa alasan itu bukan dari
agama dan tidak dibenarkan oleh agama, karena dengan alasan itu telah bertambah
satu ibadah, sedang menambah satu ibadat itu terlarang keras, dan juga
perkataan mereka bahwa lidah menolong hati itu tidak betul sekali-kali, karena
lidah orang yang sadar itu tidak akan menyembunyikan sesuatu, kalau tidak
hatinya lebih dahulu hendak menyembunyikannya. Jadi hatilah yang menggerakan
lidah, bukan lidah menggerakan hati.
2. Ada yang berkata bahwa menyebut niat dengan
lidah itu ada dikerjakan oleh Nabi di dalam ibadat Hajji. Oleh sebab itu
diqiaskan perbuatan itu disembahyang dan lainnya.
Kita jawab, bahwa riwayat Nabi menyebut
niat haji itu tidak sah, walaupun ditakdirkan sah, tidak boleh diqiaskan kepada
sembahyang, karena haji itu diwajibkan atas orang Islam sesudah sembahyang.
Maka tidak ada kaidah membenarkan ambil qias dari hukum terkemudian buat hukum
yang terdahulu dan lagi tidak boleh diqiaskan satu hukum dengan lainnya di
dalam urusan ibadat. Kalau mau diqias-qiaskan di perkara ibadat, mengapakah
tidak diadakan adzan dan iqamah di salat jenazah, salat hari raya, salat
tarawih dan yang lainnya?
3. Adapun yang berkata bahwa melafazkan niat
itu sungguhpun bid’ah tetapi bid’ah hasanah, karena perkara itu baik dan Nabi
tidak ada bersabda “jangan kamu melafazkan niat”
Kita jawab, bahwa tiap-tiap bid’ah
dalam suatu ibadat itu bid’ah dalalah, tidak ada hasanah. Bid’ah yang
dibagi-bagi itu ialah bid’ah dalam hal keduniaan, yaitu mana yang baik
dikatakan bid’ah hasanah dan mana yang tidak baik dikatakan bid’ah dhalalah.
Kalau tambahan itu dipandang baik, mengapakah salat yang subuh tidak boleh kita
tambah dua rakaat supaya jadi empat?
Apakah dua rakaat tambahan itu tidak
baik, atau adakah pernah Nabi berkata “jangan kamu sembahyang subuh empat
rakaat?. Mengapakah bacaan attahiyat yang bukan dari quran itu tidak diganti
dengan bacaan quran saja?. Ringkasnya, kita orang Islam wajib sembahyang
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi, padahal Nabi tidak melafazkan niat dengan
mulutnya, maka janganlah kita berbuat apa-apa ibadat yang tidak diperbuat
olehnya.
Dalam semua amal kita memang
diperintah berniat “niat” yang dimaksudkan dalam hadis Nabi saw ialah ketentuan
kita mengerjakan sesuatu itu karena Allah atau bukan jarena Allah. Inilah
sebenarnya yang dikatakan niat dalam bahasa Arab, ini adalah dalam bathin
Adapun perkataan “niat hamba…” yang
disebutkan di atas itu ialah ucapan atau pemberitahuan, bukan niat. Boleh juga
disimpulkan demikian; niat itu ialah kemauan kita dalam keadaan sadar.
Ucapan atau pemberitahuan tersebut
sama sekali tidak ada perintah atau kebenarannya dalam agama. Tiap-tiap yang
tidak ada perintah, contoh atau kebenarannya dari agama seharusnya kita jauhi.
(Pengajaran Shalat CV Diponegoro, 2007)
Pendapat sebagian pengikut madzhab
Syafi’iy tentang melafazhkan niat dengan dalil ”janganlah salah seorang
diantara kamu memulai shalat kecuali dengan dzikir”. Menurut Imam An-Nawawi
berkata ”bahwa yang dimaksud dengan dzikir disini adalah takbir”. (Al-majmu’ (243))
Ibnul Qayyim berkata ”adalah
Rasulullah SAW jika mendirikan shalat ia mengucapkan ’Allahu Akbar’, tidak
mengucapkan apapun sebelumnya, dan sama sekali tidak melafazhkan niat, tidak
juga mengucapkan ’Ushalli lillahi shalata….Mustaqbila Al-qiblati arba’a
raka’atin imaman atau ma’muman, tidak juga mengatakan ’adaan’, atau qadhaa’an’,
tidak juga menentukan waktu. Ini semua adalah bid’ah yang tidak seorangpun
meriwayatkannya dari nabi Saw dengan sanad yang shahih, atau dhaif, atau
musnad, atau mursal, satu lafazhpun sama sekali tidak pernah. Bahkan tidak
pernah diriwayatkan dari sahabat, tidak pernah dianggap baik oleh seorang
tabi’in, tidak juga oleh imam yang empat”. (Zaadu al-Ma’ad (1/201)
Kesimpulan
Melafazhkan niat hendak shalat tidak
disyari’atkan karena Nabi Bersabda ”Jika engkau hendak mendirikan shalat,
maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, kemudian takbirlah,
kemudian bacalah…”. (H.R Bukhari (1/145, 2/172), Muslim (2/11), dan Abu
daud (856), Tirmidzi (2/103), Ibnu majah (1060), dari Abu Hurairah)
Niat itu ialah kemauan kita dalam
keadaan sadar dan tempatnya dalam hati.
Oleh Ust. Amin
Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar