Ketentuan Qadha & Fidyah (Bagian I)
Firman Allah Swt.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ # أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ
تَعْلَمُونَ البقرة : 183-184
Hai
orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari
yang ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian di antara kamu, maka
hendaklah ia menghitung (qadla) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang
merasa payah boleh membayar fidyah dengan memberi makanan pada orang yang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang
miskin untuk satu hari, maka itulah yang lebih baik baginya. (Q.s. Al-Baqarah :
183-184)
Ayat ini
menjelaskan bahwa secara umum mukalaf (orang Islam yang
terbebani tugas atau subjek hukum) terbagi menjadi dua kelompok: Pertama, orang
yang wajib shaum, dan tidak dibenarkan berbuka (tidak shaum). Kedua, orang yang
wajib shaum, namun dibenarkan berbuka. Kelompok kedua, terbagi menjadi dua
kategori: (1) wajib qadha, (2) wajib fidyah.
Pengertian
Qadha Shaum
Qadha shaum
artinya melaksanakan shaum di luar bulan ramadhan sesuai dengan jumlah hari
tidak shaum pada bulan ramadhan sebagai gantinya. (Lihat, Al-Mawsu’ah
Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 36, hlm. 37)
Siapa yang
wajib Qadha?
Di dalam
Al-Quran ketentuan qadha disyariatkan bagi mereka yang menghadapi kondisi
sebagai berikut:
1. Maridh (Orang
yang sakit). Firman Allah Swt.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا
“maka siapa
yang sakit.” (Q.s. Al-Baqarah : 184)
Penyakit
dalam kaitannya dengan shaum secara garis besar terbagi menjadi dua macam:
a. penderita
tidak dapat shaum, maka ia wajib berbuka
b. penderita
dapat shaum tetapi mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia
lebih baik tidak shaum
Ketika
seseorang merasa bahwa dirinya sakit, tentulah ia dapat mengukur kemampuannya
dalam hal melakukan shaum. Paling tidak ia dapat berkonsultasi dengan dokter.
Apabila dalam keadaan sakit yang memang menyebabkan tidak kuat atau dapat
menimbulkan bahaya bagi keselamatannya, ia mendapat keringanan tidak
melaksanakan shaum. Bahkan ketika shaum itu membahayakan dan dapat mengancam
keselamatan, maka shaum itu tidak menjadi ibadah, melainkan menjadi maksiat dan
kelaliman, paling tidak kelaliman terhadap diri sendiri.
Rasulullah
saw. mengecam orang yang memaksakan shaum padahal kondisinya sudah sangat
mengkhawatirkan. Tentang mereka beliau bersabda :
أُولئِكَ العُصَاةُ.
“Mereka itu
pelaku maksiat” (HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 785, No. 1114;
An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:177, No. 2263)
Sebaliknya,
jangan terlalu menganggap enteng dan gegabah terhadap berbuka shaum. Selama hal
itu hanya karena luka kecil, sakit yang tidak mengganggu keselamatan, dan juga
kuat untuk melaksanakan shaum dengan tenang dan nyaman, maka berarti ia masih
wajib melaksanakan shaum dan tidak boleh berbuka.
2. Musafir (Orang
yang Bepergian). Firman Allah Swt.:
أَوْ عَلَى سَفَرٍ
“atau
berpergian” (Q.s. Al-Baqarah : 184)
Dengan
ketentuan sebagai berikut:
Pertama, ketika safar itu ringan dan tidak memberatkan, maka
dipersilahkan untuk memilih antara berbuka dan shaum. Jika memilih berbuka,
berarti mengambil sedekah dari Allah dan hal itu baik, dan jika ia tidak
mengambilnya, hal itu tidak apa-apa.
Kedua, Ketika safar itu cukup memberatkan tetapi masih kuat
shaum, maka Rasulullah saw. menganjurkan untuk berbuka.
Ketiga, ketika safar itu memberatkan dan membahayakan
kesehatan dan keselamatan badan, maka Rasulullah saw. mewajibkan berbuka. Shaum
pada keadaan seperti itu bukan kebaikan bahkan pelakunya dihukumi sebagai
pelaku maksiat.
Bagi yang
sedang melakukan safar, tidak mengapa berbuka puasa. Tentang hal ini oleh
sahabat Hamzah al-Aslami pernah ditanyakan kepada Nabi Saw. Di
dalam sebuah hadis diterangkan :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ حَمْزَةَ ْالأَسْلَمِيَّ قَالَ
للنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَ أَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ قَالَ : إِنْ
شِئْتَ فُصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأفْطِرْ. - رواه الجماعة -
Dari Aisyah,
bahwasanya Hamzah al-Aslami bertanya kepada Nabi saw., “Apakah saya harus
melakukan shaum pada waktu safar? “Beliau menjawab,”Jika kamu mau melakukan
shaum, silahkan, dan jika ingin berbuka, silahkan”. H.R. Al-Jama’ah (Ahmad, Musnad
Ahmad, VI: 207, No. 25.771; Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:686. No. hadis 1841; Muslim, Shahih Muslim, I: 500, No. hadis
1121; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:316, No. hadis 2402;
At-Tirmidzi,Sunan At-Tirmidzi, III: 92, No. hadis 711; An-Nasai, Sunan
An-Nasai, IV : 2304-2307; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II :
307. No. hadis 1662)
Hadis ini
menunjukkan bahwa Rasulullah saw. memberikan pilihan secara seimbang antara
shaum dan berbuka, dan sama sekali tidak menetapkan afdhaliyat (keutamaan)
antara keduanya.
Ada hadis
lain yang semakna yang menggambarkan para sahabat dalam satu rombongan safar,
mereka secara bebas terbagi kedalam dua kelompok.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ رَسُولِ
اللهِ صلى الله عليه و سلم فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى
الْمُفْطِرِ وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ - متفق عليه
Dari Anas,
ia mengatakan,”Kami melakukan safar bersama Rasululah saw. Maka yang melakukan
shaum tidak mencela yang berbuka dan demikian pula yang berbuka tidak mencela
orang yang shaum.” Mutafaq alaih (Al-Bukhari-Muslim, Shahih
Al-Bukhari, II:687, No. 1845;Shahih Muslim, II:787, No. 1118)
Di dalam
periwayatan lain dari sahabat Hamzah bin Amr al-Aslami, pernah pula ia bertanya
kepada Rasulullah saw.
وَعَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَسْلَمِيِّ قَالَ : يَا
رَسُولَ اللهِ أَجِدُ مِنِّي قُوَّةً عَلَى الصَّوْمِ فِي السَّفَرِ فَهَلْ
عَلَيَّ جُنَاحٌ ؟ فَقَالَ: هِيَ رُخْصَةٌ مِنَ اللهِ تَعَالىَ فَمَنْ أَخَذَ
بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ
Dari Hamzah
bin Amr Al-Aslami, ia berkata,”Wahai Rasulullah, saya kuat melakukan shaum pada
waktu safar, bolehkah saya melakukannya.?”Beliau menjawab,”Berbuka itu rukhshah
dari Allah. Barangsiapa mengambilnya, maka itu adalah baik, dan barangsiapa
lebih suka shaum, hal itu tidak apa-apa baginya.’.” H.R.Muslim
dan An-Nasai (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi, VI: 421)
Hadis ini
merupakan dalil paling kuat yang menunjukkan bahwa berbuka puasa pada waktu
safar itu lebih baik. Terbukti kepada yang memilih berbuka Rasulullah
saw. menjawab dengan kata-kata “baik”, sedangkan kepada yang memilih shaum
menyatakan “tidak apa-apa”. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. dalam
riwayat lain:
وَعَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ ،
فَاقْبَلُوهَا
Perhatikanlah
rukshah dari Allah yang Ia rukhshah-kan atas kamu, maka terimalah. (HR.
Muslim, Shahih Muslim, I: 498. No. 1946)
Ketika
Rasulullah saw. melakukan suatu safar pada hari yang sangat terik, para sahabat
yang turut besertanya hampir seluruhnya berbuka shaum.
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ
اللهِ صلى الله عليه و سلم فيِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى
إِنْ كَانَ اَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ لِشِدَّةِ الْحَرِّ، وَمَا
فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَعَبْدُ
اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ
Dari Abu
ad-Darda, ia mengatakan, ”Kami bepergian bersama Rasulullah saw. pada bulan Ramadan
pada hari yang sangat terik, sehingga di antara kami banyak yang menutupkan
tangannya di atas kepalanya disebabkan sangat panasnya. Maka di antara kami
tidak ada yang shaum, selain Rasululah saw. dan Abdullah bin Rawahah.” (HR.
Muslim, Shahih Muslim, I:501. No. 108; Abu Dawud, Sunan
Abu Dawud, II: 317, 2409)
Bahkan di
dalam keterangan lain Rasulullah saw. memerintah berbuka, sehingga berbuka
puasa itu menjadi wajib hukumnya bagi yang melakukan safar, sekiranya safar itu
membuatnya payah. Atau diperlukan berbuka puasa karena kebutuhan menambah
tenaga yang sudah sangat kritis.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
و سلم فِي سَفَرٍ فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ : مَا
هذَا؟ فَقَالُوا : صَائِمٌ، فَقَالَ : لَيْسَ مِنَ البِرِّ اَلصَّومُ فِي
السَّفَرِ - متفق عليه -
Dari Jabir,
ia berkata,“Pernah Raswulullah saw. pada suatu perjalanan melihat kerumunan dan
seorang laki-laki yang sudah kepayahan. Ia bertanya,’Ada apakah gerangan ini ?’
Mereka menjawab,’ Seorang yang shaum’. Maka beliau bersabda,’Bukan kebaikan
melakukan shaum pada waktu safar.’.” Mutafaq ‘Alaih (Shahih Al-Bukhari,
II:687, No. 1844; Muslim, Shahih Muslim, III:142, No. 2581)
Maka
jelaslah bahwa tidak menjadi suatu kebaikan memaksakan diri melakukan shaum
pada waktu safar jika sudah payah. Hal ini tentunya akan membahayakan kesehatan
dan keselamatan. Sedangkan Allah swt. telah berfirman:
{ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا اَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَياَّمٍ أُخَرَ} { يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ
اْلعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا اْلعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ }
“Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka ia harus menggatinya (menurut
bilangan hari yang ia berbuka) pada hari-hari lainnya. Allah menghendaki
kelapangan untukmu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan supaya
kamu dapat menyempurnakan bilangan hari bulan dan supaya kamu mengagungkan
Allah atas apa yang Allah telah menunjuki kamu, dan supaya kamu mensyukurinya.”
(QS. Al-Baqarah : 185)
Lebih tegas
lagi bahwa Rasulullah saw. menyebutnya sebagai pelaku maksiat terhadap orang
memaksakan shaum pada waktu safar, padahal situasi dan kondisi menuntut
berbuka. Diriwayatkan oleh Muslim dari sahabat Jabir, bahwa Rasulullah saw.
sengaja berbuka puasa pada suatu safarnya ke Mekah waktu futuh Mekah. Berbukanya
beliau sengaja diperlihatkan kepada khalayak. Ketika keadaan sudah
sedemikian rupa, ternyata di antara para sahabat masih ada yang enggan berbuka
puasa. Rasulullah saw. memperingatkan mereka dengan sabdanya:
أُولئِكَ العُصَاةُ
“Mereka itu
pelaku maksiat”
3. Perempuan
Haid dan Nifas
Perempuan
yang haid dan perempuan yang nifas. Keduanya ini diharamkan shaum berdasarkan
hadis-hadis sebagai berikut.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى
الله عليه و سلم: أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ - أخرجه
البخاري -
Dari Abu
Said r.a, ia mengatakan, “Nabi saw. telah bersabda, ‘Bukankah perempuan itu
apabila haid tidak shalat dan tidak shaum ?’...” H.R. Al-Bukhari (Shahih
Al-Bukhari, II: 689, No. hadis 1850)
كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ
اللهِ صلى الله عليه و سلم أَرْبَعِينَ يَوْمًا
“Keadaan
perempuan-perempuan yang nifas duduk (tidak shalat dan tidak shaum) pada masa
Rasululah saw. selama empat puluh hari.” H.r. Al-Musnad, Musnad Ahmad,
I:194. No. 26.646; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:74;
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:107
Berdasarkan
kedua hadis di atas, perempuan-perempuan yang nifas dan haid haram shalat dan
haram shaum. Apabila datang bulan Ramadan, keduanya tidak dibenarkan shaum dan
wajib mengqadhanya pada hari-hari lain, bukan dengan fidyah. Aisyah berkata:
فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ
بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Maka kami
diperintah mengqadha shaum dan tidak diperintah mengqadha shalat.” HR. Muslim, Shahih
Muslim, I:164. No. 325
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar