Menjerat Setan Saat Ramadhan
Setiap
kali Ramadhan tiba, segenap kaum muslim di seluruh dunia senantiasa disambangi
“kado gembira” dari Nabi saw., bahwa pada bulan agung ini pintu surga dibuka
dan pintu neraka ditutup. Lebih menggembirakan lagi, karena pada bulan ini pula
dikabarkan para setan dibelenggu. Penghayatan saya terhadap “kado gembira” itu
sempat terhenti tatkala muncul interupsi dari salah seorang jamaah pengajian: “Jika
setan itu dibelenggu pada bulan Ramadhan, mengapa pada bulan itu tetap saja
terjadi kejahatan dan kemaksiatan?” “Bahkan, bisa jadi lebih meningkat,”
jawab saya refleks.
Terkesan
dengan interupsi sang jamaah, pikiran saya seperti menerawang kembali rekaman
peristiwa pada Ramadhan tahun lalu. Betapa tidak, tren kejahatan selama bulan
Ramadhan 1436 H./2015 M. cenderung naik. Berdasarkan Crime Index atau Indeks
Kejahatan selama bulan Juni 2015, dua kategori kejahatan yang mendominasi
adalah aksi premanisme dan kejahatan jalanan. Belum lagi kejahatan terselubung
“pemilik kerah putih” atau “kelas elit”, baik dalam strata sosial ekonomi
maupun birokrasi, yang dampaknya jauh lebih besar ketimbang jenis kejahatan
“kelas alit”.
Pada
tahun ini, tren kejahatan selama bulan puasa hingga lebaran diprediksi akan
terus meningkat pula. Meningkatnya angka kriminalitas tersebut konon
dikarenakan adanya desakan dari para pelaku kejahatan terhadap kebutuhan
Lebaran. Pihak Kepolisian pun mengimbau agar masyarakat selalu mewaspadai
modus-modus kejahatan yang kerap terjadi selama puasa hingga lebaran.
Beberapa
modus kejahatan yang diprediksi akan kembali menggejala, seperti yang terjadi
pada tahun-tahun sebelumnya, meliputi:
- Perampokan nasabah bank. Nasabah bank umumnya jadi incaran karena biasanya ada pembagian THR jelang lebaran.
- Perampokan minimarket. Sasaran para pelaku biasanya minimarket yang buka 24 jam. Para pelaku melakukan aksinya menjelang tengah malam hingga dini hari.
- Perampokan toko emas. Selain minimarket dan nasabah bank, para pelaku kejahatan juga menyasar perniagaan. Toko emas kerap menjadi sasaran empuk para pelaku kejahatan.
- Pembiusan pemudik. Modusnya pelaku mengajak korban ngobrol, tanya alamat rumah asalnya. Nanti mereka pura-pura satu alamat, kemudian diberi minuman yang sudah dicampur obat bius.
- Pencurian di rumah kosong. Pencurian di rumah kosong menjadi salah satu kejahatan yang trennya akan mengalami peningkatan. Terutama menjelang lebaran. Pelaku melakukan aksinya di rumah yang ditinggal warga untuk mudik.
Mencermati
beragam modus yang terjadi di bulan Ramadhan itu, saya teringkat kembali
pertanyaan jamaah yang saya ceritakan di awal, dan membuat batin saya berdialog
sendiri, “Apakah ada yang keliru dalam “kado gembira” Nabi itu? Tentu saja Nabi
saw. tidak keliru karena dibimbing wahyu. Jangan-jangan kita yang keliru
menafsirkan? Bisa jadi demikian, bahkan kita keliru menghayati “kado gembira”
yang disampaikan beliau.
Hayati
“Terbelenggu” Secara Islami
Istilah
“setan terbelenggu” seharusnya dipahami secara tuntas dan lugas, tidak
diartikan dengan mentah-mentah. Makna setan terbelenggu saat bulan Ramadhan
tidak dapat ditafsirkan sebagai keterpasungan setan dalam sebuah rantai atau
apapun bentuknya, hingga “non aktif” menggoda manusia atau “pensiun sementara”
selama Ramadhan tiba.
Sejumlah
ulama telah mengingatkan bahwa konsep setan terbelenggu hanya berlaku bagi
orang yang sedang shaum. Pastinya, mereka yang shaum dengan benar, sesuai
dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Ruang godaan setan lebih sempit
karena banyaknya peluang-peluang kebaikan yang sedang digapai para hamba Allah,
yang serius beribadah pada bulan agung ini. Dan ruang yang memperkikis atau
mempersempit itu antara lain ibadah shaum. Maka “dibelenggu setan” adalah
ungkapan sebagai kiasan dari keadaan manusia selalu beribadah dengan serius
serta menahan diri dari nafsu yang berujung pada tertutupnya pintu neraka dan
setan tak mampu menggoda dirinya. Telusuri jejak penafsiran lebih lengkap dalam
edisi khusus sigabah di sini http://www.sigabah.com/beta/penghayatan-makna-setan-setan-dibelenggu/
Ulama
lain menekankan pemaknaan bahwa, di bulan Ramadhan memang setan dari kalangan
jin terbelenggu, tapi ada setan lain dalam wujud manusia yang hawa nafsunya
tidak terbelenggu. Mereka itulah yang melakukan kedurhakaan. Sebagian ulama
menjelaskan bahwa ada perbedaan antara godaan setan dan rayuan nafsu. Setan
menggoda dengan tujuan merugikan manusia, atau paling tidak menjadikannya tidak
beruntung. Karena itu setan dapat mengubah rayuannya, dari suatu bentuk ke
bentuk lain atau dari satu fase ke fase berikutnya, jika gagal dalam rayuan
pertama. Ini berbeda dengan nafsu yang hanya ingin memuaskan dirinya, sehingga
jika menginginkan sesuatu, dia tidak akan mengubahnya dan terus mendesak hingga
keinginan tercapai. Setan jenis ini tak kalah penting untuk diwaspadai
sebagaimana diingatkan oleh Allah dalam firman-Nya (QS. Al-An’am, 6:112).
Begitu
pula Nabi saw. mengingatkan agar senantiasa waspada terhadap gangguan dan
bahaya setan jenis manusia, bahkan Rasul pun menempatkan bahaya gangguan setan
jenis manusia mendahului bahaya gangguan setan jenis jin. (Baca Nasehat Nabi
kepada Abu Dzar, seperti diriwayatkan Imam Ahmad)
Kalau
begitu, meski setan dari kalangan jin yang sangat jahat terbelenggu pada bulan
Ramadhan, bukan berarti tidak akan terjadi keburukan dan kemaksiatan. Pasalnya,
setan-setan kecil dan setan-setan dari kalangan manusia masih tetap berkeliaran
tidak dibelenggu. Jiwanya kerapkali memerintahkan kepada kejahatan. Begitu pula
teman-teman setianya dengan perilaku buruk, yang memang senang memicu fitnah,
pertikaian, dan kemaksiatan. Semua ini tetap ada di tengah manusia, tetap aktif
tanpa “pensiun sementara” selama Ramadhan.
Hal
ini berarti, tren kejahatan selama bulan Ramadhan hingga lebaran itu tidak
menganulir atau membatalkan “kado gembira” bahwa “setan dibelenggu”. Sebab
dapat dipastikan, para perampok nasabah bank, minimarket, toko emas; pembius
dan penipu pemudik, pencuri, juga penjahat “berkerah putih”, mereka tidak
sedang beribadah saat menjalankan aksi kejahatannya, atau jangan-jangan begitulah
bentuk “ibadah” mereka.
Jadi,
hakikatnya konsep “setan terbelenggu” tidak berlaku bagi mereka pelaku kejahatan,
karena mereka sedang “berselingkuh” dengan setan, atau bisa jadi mereka sendiri
yang sedang menjadi setan. Karena itu, biarkanlah “setan jenis” ini dibelenggu
secara serius oleh pihak berwenang melalui satuan tugas khusus (satgas) yang
dibentuk dalam Operasi Pekat (penyakit masyarakat) dan Satuan Tugas Khusus
Tindak Pidana Korupsi (Satgassus Tipikor), selama bulan Ramadhan dan bulan
lainnya, agar Indonesia tidak menjadi “negeri setan”.
Sementara
setan dari kalangan jin yang sangat jahat dapat kita belenggu dengan keseriusan
ibadah kita kepada Allah, sehingga ruang godaannya terhadap diri kita kian
dipersempit.
Tidak ada komentar