“TERJAJAH SAAT INDONESIA MERDEKA”
Hari Senin (besok), 17 Agustus 2015,
negara kita genap berusia 70 tahun. Usia yang relatif tua kalau ukuran manusia,
tentu telah melewati banyak musim, mengalami macam perubahan dan tuntutan
zaman, dan pasti banyak pelajaran yang bisa dipetik.
Negara kita memang telah merdeka.
Namun sebagai bangsa, apakah kita telah benar-benar merdeka? Jawabannya bisa
’ya’ ataupun ’tidak’. Jika merdeka yang dimaksud adalah bebas dari penjajahan
fisik bangsa lain, jawaban ‘ya’ tepat untuk dilontarkan. Namun, jika maksudnya
terlepas dari “penjajahan hidup layak”, tentu saja jawaban ‘tidak’ dapat
diterima. Karena faktanya masih banyak warga negara yang tak bersekolah, rakyat
masih miskin, banyak anak bangsa ini yang tidak bisa hidup layak dengan
sandang, papan dan pangannya terpenuhi. Mengapa ini bisa terjadi, bukankah
negara kita kaya?
Literatur yang kita baca tentang
data kekayaan yang dimiliki oleh negara kita memang menunjukkan hal itu. Emas
kita adalah terbaik. Cadangan gas alam terbesar di dunia, terdapat di blok cepu
dan natuna. Batu bara yang kita punya berkualitas terbaik didunia ada di
Kalimantan Timur. Hutan tropis kita terluas di dunia, menjadi salah satu
paru-paru dunia. Laut kita juga terluas, bisa menambah pendapatan negara dengan
sumber daya alam di dalamnya. Jadi, mengapa negara sudah merdeka namun
rakyatnya masih tetap “terjajah”?
Jawaban Al-Qur’an hanya satu:
“Bangsa Indonesia masih menjadi bangsa yang kufur.” Allah Swt. berfirman:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ
كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim:
7)
Harus menjadi kesadaran kolektif
seluruh anak bangsa ini, baik para pemimpin maupun rakyatnya, bahwa kemerdekaan
merupakan salah satu karunia besar dari Allah Swt. kepada bangsa Indonesia. Ia
merupakan nikmat urutan kedua sesudah nikmat kehidupan. Namun ia tetap berada
pada satu urutan di bawah nikmat termahal, nikmat keimanan. Sebagaimana
terhadap berbagai nikmat lainnya, Allah Swt. memerintahkan anak bangsa negeri
ini untuk mensyukurinya. Sebab mensyukuri nikmat akan menghasilkan
pelipatgandaan nikmat itu sendiri. Sedangkan kufur nikmat akan menyebabkan
nikmat itu berubah menjadi sumber bencana bahkan azab. Bencana yang dimaksud
bukan saja bencana alam, namun juga bencana sosial.
Syukur nikmat, sebagaimana
didefinisikan sebagian ulama, mengandung makna:
إِسْتِعْمَالُ النِّعْمَةِ فِي الطَّاعَةِ
لِزِيَادَةِ النِّعْمَةِ
“menggunakan
kenikmatan di jalan ketaatan agar kenikmatan tersebut bertambah.”
Apabila kita sebagai suatu bangsa
pandai memanfaatkan nikmat kemerdekaan dengan menjalani kehidupan berbangsa,
bermasyarakat dan bernegara penuh dengan berbagai program ketaatan kepada Allah
Swt., niscaya nikmat tersebut akan Allah Swt. tambah kepada kita semua. Namun
sebaliknya, nikmat kemerdekaan malah akan terasa menjadi sumber bencana dan
bahkan azab, bilamana kemerdekaan itu kita sikapi dengan menjalani kehidupan
berbangsa, bermasyarakat dan bernegara jauh dari tuntunan Ilahi. Bukankah saat
sedang terjepit oleh para penjajah hanya Allah Swt. yang kita panggil dan
mohonkan pertolongan-Nya? Di saat yang sama, pekik “Allaahu Akbar” dan ungkapan
Allah Maha Besar menjadi motivasi bangsa ini dalam berjuang berabad-abad
mengusir para penjajah kafir Inggris, Portugis, Belanda dan Jepang.
Hakikat Kemerdekaan
Fakta sejarah menunjukkan bahwa jauh
sebelum ada Magna Carta tahun 1215, sebelum Amerika mengumumkan Declaration of
Independence tahun 1776, sebelum PBB mengumumkan Universal Declaration of Human
Rights tahun 1948, Islam semenjak awal, semenjak tahun 600-an, telah
mengumandangkan seruan kebebasan, kemerdekaan, dan keadilan bagi umat manusia.
Semenjak tumbuhnya di Mekah, Islam
telah menentang penindasan masyarakat kuat terhadap masyarakat lemah. Spirit
penentangan ini dapat kita lihat dari banyaknya ayat-ayat keadilan sosial yang
turun pada fase-fase awal Islam di Mekah.
Sejarah telah membuktikan bahwa jauh
sebelum berbagai bangsa menyatakan: “tidak pada perbudakan”, jauh sebelum
perbudakan dihapuskan secara total dari muka bumi, Islam telah menekankan
dengan kuat ajaran pembebasan para budak. Bahkan, pembebasan budak menjadi
bentuk denda yang lazim dalam Islam. Ajaran pembebasan demikian itu terjadi
pada zaman di mana perbudakan telah menggurita sedemikian kuat di tengah-tengah
masyarakat Arab ketika itu.
Jadi, tiap individu dapat dikatakan
merdeka jika dirinya telah menjadi pribadi yang mandiri. Ia mampu mewujudkan
penghambaan hanya kepada Allah semata, sebagai Pencipta dan Penguasa Seluruh
Hamba, dengan mengikis sifat penghambaan kepada sesama hamba Allah. Ia dapat
keluar dari “dunia yang sempit” menuju “dunia yang luas”. Ia telah terbebas dari
kesewenang-wenangan menuju keadilan. Kemerdekaan ini terefleksi dalam doa yang
diajarkan pribadi nan agung, Rasulullah saw.: ”Wa a’udzubika min ghalabatid
dayni wa qahrir rijaal (Dan aku berlindung kepada-Mu dari jeratan hutang dan
dominasi orang lain).”
Kemerdekaan yang dimaksud tentu saja
bukan kebebasan tanpa batas. Kebebasan tanpa menafikan batasan-batasan Dzat
yang telah menciptakannya, karena kebebasan tanpa batas Ilahi sejatinya bukan
merdeka sebab hawa nafsu telah “menjajah” dirinya sendiri. (QS. An-Nazi’at:
37-41)
Dengan demikian, suatu bangsa,
menurut pandangan Islam, baru akan disebut merdeka bilamana individu dan
kelompok masyarakatnya sadar dan berusaha keras memposisikan dirinya selaku
hamba Allah Swt. semata dalam segenap dimensi kehidupannya. Sebaliknya, ia akan
segera divonis tidak merdeka atau belum merdeka bilamana ia masih menghambakan
dirinya kepada selain Allah Swt. Dengan perkataan lain, kemerdekaan seseorang
atau suatu bangsa sangat ditentukan pada seberapa besar upaya individu atau
bangsa tersebut menjadikan tauhid: Laa ilaaha illallaah sebagai motivator dan
inspirator utama pembebasan diri atau bangsa dari dominasi apapun atau siapapun
selain Allah Swt. sehingga akan lahir kehidupan yang bersih, seimbang dan adil
serta sejahtera. Kehidupan masyarakat tidak akan mengalami degradasi dan
degenerasi dalam segala bidang. Keadilan sosial-ekonomi akan tegak, jurang
antara lapisan kaya dan lapisan miskin tidak akan menganga lebar.
Mari kita nikmati anugerah
kemerdekaan negeri ini dengan mengikis belenggu “penghambaan makhluk” disertai
berbagai program ketaatan kepada Allah Swt., agar segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia terlindung dari bencana alam dan azab sosial.
Wallaahu A’lam.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Tidak ada komentar