Derajat Hadis Man Wajada Sa’atan
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ
يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“siapa yang mempunyai keleluasaan untuk berqurban, kemudian ia tidak
berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami”
Katanya hadis ini dha’if. Benarkah demikian?
Jawaban Kami
Sejauh pengetahuan kami, hadis yang dimaksud diriwayatkan oleh
beberapa mukharrij (pencatat hadis) dengan redaksi yang sedikit berbeda
sebagai berikut.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Abdurrahman, dari Abdullah
bin Ayyasy, dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari
Rasulullah saw. dengan redaksi:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ
يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“siapa yang mempunyai keleluasaan untuk berqurban, kemudian ia
tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami” (Lihat, Musnad Ahmad, II:321, No. 8256)
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi
(Lihat, Syu’ab al-Iman, IX:449, No. 6952) melalui Abu Abdurrahman
as-Salami, dari Muhamad bin al-Qasim bin Abdurrahman as-Suba’i, dari Muhamad
bin Ahmad bin Anas, dari al-Muqri, dari Haiwah bin Syuraih, dari Abdullah
bin ‘Ayyasy al-Qitbani, dari al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Rasulullah
saw. dengan redaksi:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ
يَذْبَحْ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dan al-Hakim
dengan redaksi:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً لأَنْ
يُضَحِّىَ فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَحْضُرْ مُصَلاَّنَا
Al-Baihaqi meriwayatkannya melalui Abu Abdullah al-Hafizh
(al-Hakim), dari al-Hasan bin Ya’qub, dari Yahya bin Abu Thalib, dari Zaid bin
al-Hubab, dari Abdullah bin Ayyasy al-Mishri, dari Abdurrahman
al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Rasulullah saw. (Lihat, As-Sunan Al-Kubra,
IX:260, No. 18.791)
Sementara Al-Hakim meriwayatkannya melalui al-Hasan bin Ya’qub,
dari Yahya bin Abu Thalib, dari Zaid bin al-Hubab, dari Abdullah bin
Ayyasy al-Qitbani, dari al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Rasulullah saw. (Lihat, Al-Mustadrak ‘Ala
Ash-Shahihain, II:422, No. 3468)
Selain itu al-Hakim juga meriwayatkan dengan redaksi:
مَنْ كَانَ لَهُ مَالٌ فَلَمْ
يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا وَقَالَ مَرَّةً مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ
يَذْبَحْ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Redaksi ini diriwayatkan melalui al-hasan bin al-Hasan bin
Ya’qub, dari Abu Hatim ar-Razi, dari Abdullah bin Yazid al-Muqri, dari Abdullah
bin Ayyasy, dari al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Nabi saw. (Lihat, Al-Mustadrak ‘Ala
Ash-Shahihain, IV:258, No. 7565)
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah (Sunan
Ibnu Majah, II:1044, No. 3123) melalui Abu Bakar bin Abu Syaibah, dari
Zaid bin al-Hubab, dari Abdullah bin Ayyasy, dari Abdurrahman
al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Rasulullah saw. dengan redaksi:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ
يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh ad-Daraquthni
(Sunan Ad-Daraquthni, IV:285, No. 53) melalui Ahmad bin Ishaq bin Muhamad
bin al-Fadhl az-Zayat, dari Muhamad bin Haban, dari Amr bin al-Hushain, dari
Ibnu ‘Alatsah, dari Ubaidullah bin Abi Ja’far, dari al-A’raj, dari
Abu Huraerah, dari Rasulullah saw. dengan redaksi:
مَنْ وَجَدَ منكم سَعَةً فَلَمْ
يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Selain itu al-Baihaqi (As-Sunan Al-Kubra, IX:260, No.
18.792) dan al-Hakim (Al-Mustadrak, IV:258, No. 7566) meriwayatkan pula hadis
itu secara mawquf (ucapan Abu Huraerah). Riwayat al-Baihaqi dengan
redaksi:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ
يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّا فِي مَسْجِدِنَا
Sedangkan riwayat al-Hakim dengan redaksi:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ
يُضَحِّ معنا فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Analisa Takhrij (sumber) Hadis
§ Dilihat dari
aspek nisbah al-qaa`il (penyandaran siapa yang mengucapkan)
hadis di atas dapat dibagi menjadi dua kategori: Pertama, marfu’ (sabda
Nabi). Kedua, mawquf (ucapan sahabat, yakni Abu Huraerah).
§ Dilihat dari
aspek thabaqat (lapisan generasi) rawi, hadis di atas dengan
berbagai variasi redaksinya bersumber dari rawi yang sama, yaitu Abu Huraerah
(sahabat, w. 57 H), Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj (Ausath Tabi’in/tabiin
pertengahan, w. 117 H), dan Abdullah bin ‘Ayyasy (Kibar Tabi’
Tabi’in/ Tabi’ Tabi’in senior, w. 170 H). Namun pada riwayat
ad-Daraquthni bersumber dari Abu Huraerah, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, dan
Ubaidullah bin Abi Ja’far (Shigar Tabi’in/ Tabi’in yunior, w. 132 H). Bila
yang dijadikan sebagai hadis pokok adalah jalur Abdullah bin Ayyasy,
jalur Ubaidullah bin Abi Ja’far dikategorikan sebagai mutabi’ (pengikut).
Demikian pula sebaliknya.
§ Dilihat dari aspek
pencatat hadis, hadis Abu Hurairah itu diriwayatkan oleh 5 mukharrij, yaitu
Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M), dalam kitabnya al-Musnad. Ibn Majah (W.
273 H/887 M) dalam kitab Sunan-nya, al-Baihaqi (w. 458 H/1065 M) dalam
kitab as-Sunan al-Kubra dan Syu’ab al-Iman, al-Daraquthni (W.
385 H/995 M) dalam kitabSunan-nya, dan al-Hakim (W. 405 H/1014 M) dalam
kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain.
Sedangkan dilihat dari jalur periwayatan, hadis itu diriwayatkan
lebih dari 37 jalur periwayatan. Paling tidak dalam Al-Kutub al-Sittah saja
34 jalur, dengan perincian sebagai berikut: dalam Shahih al-Bukhari 5
jalur, Shahih Muslim 7 jalur, Sunan al-Tirmizi 3
jalur,Sunan an-Nasai 6 jalur, Sunan Abu Dawud 1
jalur, Sunan Ibnu Majah 1 jalur, Musnad Ahmad 13
jalur.
Penilaian Para Ulama Terhadap Status Hadis
Para ulama berbeda pendapat dalam menilai status hadis tersebut
antara yang menolak dan yang menerima kesahihannya.
Argumentasi Ulama yang Menerima
Kata Imam al-Hakim:
هذا حديث صحيح الإسناد و لم
يخرجاه
“Ini hadis sahih isnad, dan keduanya (al-Bukhari-Muslim) tidak meriwayatkannya” (Lihat, Al-Mustadrak, IV:258)
Kata Imam ad-Dzahabi pada kitab at-Talkhish, “(Hadis ini)
sahih” Lihat, Ta’liq Ad-Dzahabi dalam al-Mustadrak, IV:258
Ibnu Hajar berkata:
حَدِيث من وجد سَعَة فَلم يضح
فَلَا يقربن مصلانا ابْن ماجة وَأحمد وَابْن أبي شيبَة وَإِسْحَاق وَأَبُو يعْلى
وَالدَّارَقُطْنِيّ وَالْحَاكِم من حَدِيث أبي هُرَيْرَة وَقد اخْتلف فِي وَقفه
وَرَفعه وَالَّذِي رَفعه ثِقَة
“Hadis man wajada…diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ahmad, Ibnu Abi
Syaibah, Ishaq, Abu Ya’la, ad-Daraquthni, dan al-Hakim dari Abu Huraerah. Dan
hadis itu diperselisihkan tentang mauquf (sebagai ucapan Abu
Huraerah) dan marfu’nya (sebagai sabda Nabi). Dan yang memarfu’kannya
(rawi) tsiqat” (Lihat, Ad-Dirayah
fii Takhrij Ahadits Al-Hidayah, II:213)
Dalam kitabnya yang lain, beliau berkata:
رجاله ثقات لكن اختلف في رفعه
ووقفه والموقوف أشبه بالصواب قاله الطحاوي وغيره
“Para rawi hadis itu tsiqat, namun diperselihkan tentang marfu '(sebagai
sabda Nabi) dan mauqufnya (sebagai ucapan Abu Huraerah). Penetapan mauquf lebih
mendekati kebenaran sebagaimana dikatakan at-Thahawi dan yang lainnya” (Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, X:3).
Penilaian Ibnu Hajar dijadikan acuan oleh para ulama setelahnya,
antara lain Abdur Rauf al-Munawi (Faidh al-Qadir, III:235), Muhamad bin Abd
al-Baqi bin Yusuf az-Zarqani (Syarh az-Zarqani ‘ala Muwatha al-Imam Malik,
III:104), Muhamad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakafuri (Tuhfah al-Ahwadzi
bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, V:79), Abu al-Hasan Ubaidullah bin Muhamad Abd
as-Salam (Mir’ah al-Mafatih Syarh Miskah al-Mashabih, V:72), Abu Thayyib
Muhamad Shiddieq Khan (Ar-Raudhah an-Nadyah Syarh ad-Durar al-Bahiyah,
II:218-219), Muhamad bin Ali bin Muhamad as-Syaukani (As-Sa`il al-Jarrar
al-Mutadaffaq ‘Ala Hadaiq al-Azhar, I:715; Nail al-Authar Min Ahadits
Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar, V:169)
Argumentasi Ulama yang Menolak
Kata Imam As-Sindiy:
وَفِي الزَّوَائِد فِي إِسْنَاده
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَيَّاشٍ وَهُوَ وَإِنْ رَوَى لَهُ مُسْلِمٌ فَإِنَّمَا
أَخْرَجَ لَهُ فِي الْمُتَابَعَات وَالشَّوَاهِد وَقَدْ ضَعَّفَهُ أَبُو دَاوُدَ
وَالنَّسَائِيُّ وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ صَدُوقٌ وَقَالَ اِبْنُ يُونُسَ مُنْكَر
الْحَدِيث وَذَكَرَهُ اِبْنُ حِبَّانَ فِي الثِّقَات
“Dan dalam kitab Majma’ Az-Zawaid disebutkan bahwa pada sanadnya
terdapat rawi Abdullah bin ‘Ayyasy, meskipun hadis-hadisnya diriwayatkan oleh
Muslim, namun dikategorikan sebagai hadis pelengkap (mutabi’ dan syahid)—bukan
hadis utama—sungguh ia telah dinilai dhaif oleh Abu Dawud dan An-Nasai. Dan Abu
Hatim berkata, ‘Ia Shaduq (jujur).’ Ibnu Yunus berkata, ‘Munkar Al-Hadits (hadisnya
diingkari).’ Dan Ibnu Hiban menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqat (kumpulan
para rawi yang kredibel).” (Lihat,
Hasyiah As-Sindi ‘Ala Sunan Ibn Majah, VI:161)
Syekh Syu’aib Al-Arnauth berkata:
إسناده ضعيف عبد الله بن عياش
ضعيف يعتبر به وقد اضطرب فيه أيضا ... وحسنه الألباني في تخريج مشكلة الفقر فأخطأ
“Sanad hadisnya dhaif, karena Abdullah bin ‘Ayyasy dhaif yang
teranggap. Dan ia mengalami kekacauan dalam hadisnya…Hadis itu dinyatakan hasan
(dibawah derajat shahih, namun di atas derajat dhaif) dalam kitabnya Takhrij
Musykilah Al-Faqr, maka ia keliru (dalam penilaian itu).” (Lihat, Ta’liq ‘ala Musnad al-Imam Ahmad, II:321)
Sikap Kami
Setelah melakukan perbandingan terhadap kedua argumentasi di
atas, kami cenderung kepada pihak yang menerima kesahihan hadis tersebut dengan
pertimbangan sebagai berikut.
§ Hadis di atas telah
memenuhi kriteria kesahihan sanad, baik dilihat dari kebersambungan sanad
maupun dari kualitas para rawi. Andaikata hadis itu dianggap bermasalah karena
terdapat rawi Abdullah bin Ayyasy, namun periwayatan hadis tersebut
memiliki syahid (jalur lain berbeda shahabat) dan mutabi’ (jalur
lain dengan shahabat yang sama), yaitu Ubaidullah bin Abu Ja’far.
Kata Abu Hatim, An-Nasai, dan Ibnu Sa’ad, “Dia tsiqah (kredibel).” (Lihat, Siar
A’lam An-Nubala`, XI:5)
§ Dengan adanya jalur
pendukung baik pada tingkat sahabat (syahid) maupun pada
tingkat tabi’in sampai pada tingkat mushanif, maka periwayatan
hadis tersebut semakin baik dan kuat. Dari 37 jalur sanad hadis yang diteliti
terlihat bahwa redaksi matan hadis tersebut memiliki perbedaan satu dengan
lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa hadis itu diriwayatkan secara makna.
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar