Haruskah Berbarengan Antara Shaum Arafah dan Wukuf di Arafah?
Kalau TIDAK ADA PERUBAHAN, tanggal 9
DZULHIJJAH 1435 H, di Saudi Arabia akan jatuh bertepatan dengan hari JUMAT 3
OKTOBER 2014 M. Hingga kegiatan WUKUF di Arafah pun akan di laksanakan pada hari
JUM’AT tersebut.
Sementara Pemerintah Indonesia
melalui Sidang Isbat yangdiselenggarakan di Kantor Kementerian Agama RI, Jl.
Thamrin Jakarta, 24September 2014 menetapkan bahwa 1 Dzulhijjah 1435 H. jatuh
pada hari Jum'at 26 September 2014 M. tanggal 9 Dzulhijjah 1435 H akan
bertepatan dengan hari SABTU 4 OKTOBER 2014 M. dan SHAUM ARAFAH akan
dilaksanakan pada hari SABTU tersebut.
Dengan demikian antara SHAUM ARAFAH
DI INDONESIA DAN WUKUF ARAFAH DI ARAB SAUDI BERBEDA HARI.
PERTANYAANNYA
Bagaimana hukumnya orang yang tidak
wukuf di Arafah, ia berpuasa BUKAN PADA HARI disaat para hujjaj melakukan wukuf
di Arafah?.
JAWAB
Wukuf di Arafah dan Shaum Arafah
merupakan dua Syari'at yang BERBEDA. Wukuf di Arafah adalah salah-satu diantara
pekerjaan-pekerjaan haji, sedangkan shaum Arafah bukan salah-satu bagian dari
Ibadah haji, dan sama sekali bukan karena wukufnya para hujjaj di padang
Arafah.
Namun ada sebagian orang yang
berpendapat bahwa Shaum ‘Arafah harus bersesuaian dengan wukuf di Arafah dengan
dalil:
قَالَ: وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِعَرَفَةَ؟
فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Ia (Qatadahal-Anshari) berkata:
(Rasulullah Saw) di tanya tentang “Shaum Hari Arafah”. Beliau Manjawab: “ia (Shaum
‘Arafah) akan menghapus (dosa) setahun yang telah berlalu dan setahun yang akan
datang.
(HR. Muslim II: 819)
Mereka berkesimpulan dengan penamaan
shaum ini dengan “SHAUMU YAUMI ‘ARAFAH” maka shaum Arafah itu waktunya harus
BERSESUAIAN dengan WAKTU WUKUF DI ‘ARAFAH.
Benarkah Istinbat di Atas?
Untuk mengetahui kebenaran Istinbath
di atas adabaiknya di perhatikan keterangan-keterangan berikut ini:
WUKUF BUKAN MUQADDAMAH WUJUD
Ada sebagian ulama yang berpendapat
bahwa Idul Adha ditetapkan berdasarkan waktu wukuf di Arafah. Dengan perkataan
lain wukuf itus ebagai standar penetapan Iedul Adha. Istinbath ini ditetapkan
berdasarkan sabda Nabi saw. tentang shaum ‘Arafah dalam hadis Abu Qatadah
al-Anshari:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِيَوْمِ عَرَفَةَ
فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Berdasarkan penamaan shaum ini
dengan “shaumu yaumi‘arafah” maka dipahami bahwa shaum Arafah itu waktunya
harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah. Karena Idul Adha didahului
oleh shaum hari Arafah, maka Idul Adha pun ditetapkan berdasarkan wukuf di
Arafah itu.
Hemat kami, istinbath demikian tidak
tepat dilihat dari beberapa aspek:
1. Latar Belakang Penamaan Arafah
Ibnu Abidin menjelaskan:
عَرَفَةُ إِسْمُ اليَوْمِ
وَعَرَفَاتُ إِسْمُ المَكَانِ
“Arafah adalah ismul yaum (nama
hari) dan Arafaat adalah ismul makan (nama tempat)” (Hasyiah
Raddil Mukhtar, II: 192)
Menurut Imam ar-Raghib, al-Baghawi,
dan al-Kirmani Arafah adalah
إِسْمٌ لِلْيَوْمِ
التَّاسِعِ مِنْ ذِي الحِجَّةِ
Nama hari ke-9 dari bulan
Dzulhijjah.
Hari tersebut dinamakan Arafah
berkaitan dengan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim yang diperintah untuk
menyembelih anaknya. Pada pagi harinya
فَعَرَفَ أَنَّهُ مِنَ
اللهِ فَسُمِّيَ يَوْمَ عَرَفَةَ
“Maka ia mengenal/mengetahui bahwa
mimpi itu benar-benar (datang) dari Allah. Maka (hari itu) dinamakan hari
Arafah”.
(Lihat, al-Mughni, III:58)
Menurut Imam al-‘Aini dan ar-Raghib
Arafat adalah
عَلَمٌ لِهذَا المَكَانِالمَخْصُوصِ
Nama bagi tempat yang khusus ini. (Lihat,
Umdatul Qari, I:263; dalam redaksi ar-Raghib: buq’ah makhshushah [tanah/daerah yang
khusus] Lihat, al-Mufradat fi Gharibil Quran, hal. 969)
Adapun tempat tersebut dinamakan
Arafah berkaitan dengan peristiwa ta’arufnya antara Nabi Adam dan Hawa ditempat
itu, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abas
وَتَعَارَفَا بِعَرَفَاتِ فَلِذلِكَسُمِّيَتْ
عَرَفَاتِ
Dan keduanya ta’aruf di Arafat,
karena itu dinamai ‘Arafat. (Lihat, al-Kamil fit Tarikh, I:12).
Keterangan Ibnu Abas itu dijadikan
pinjakan oleh para ulama, antara lain Yaqut bin Abdullah al-Hamuwidalam Mu’jam
al-Buldan (IV:104), Ahmad bin Yahya bin al-Murtadha, dalam at-Tajal-Madzhab li
Ahkam al-Madzhab, (II:89); ar-Raghib al-Ashfahani dalam al-Mufradatfi Gharibil
Quran (hal. 969).
Berbagai keterangan di atas
menunjukkan bahwa
(a) Penamaan Arafah, baik sebagai ismul yaum
maupun ismul makan, sudah digunakan sebelum disyariatkan ibadah haji.
(b) Penamaan Arafah bukan karena fi’lun
(wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam
ibadah haji) bukan muqaddamah wujud penamaan Arafah.
2. Latar Belakang Penamaan Shaum dengan
Arafah
Nabi menyatakan:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ
Kalimat Yaum Arafah disebut idhafah
bayaniyyah, yakni bayan zamani (keterangan waktu), bukan idhafah
makaniyyah, apalagi idhafah fi’liyyah. Berdasarkan latar belakang
penamaan di atas maka struktur kalimat Shaum Yaum Arafah harus dipahami “Shaum
pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah yang disebut hari Arafah” Dengan demikian,
penyandaran kata shaum pada kalimat Yaum ‘Arafah untuk menunjukkan bahwa Yaum
Arafah (hari ke-9) itu sebagai muqaddamah wujud, yaitu syarat sahnya
shaum tersebut. Dengan perkataan lain, shaum itu terikat oleh miqat zamani
(ketentuan waktu). Apabila struktur kalimat Shaum Yaum Arafah akan dipahami
bahwa “shaum itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah”,
maka harus disertakan qarinah (keterangan pendukung), karena cara
pemahaman seperti ini khilaful qiyas (menyalahi kaidah), dalam hal ini
kaidah tentang idhafah bayan zamani, juga dalil-dalil tentang shaum itu. Karena dalam berbagai hadis untuk shaum ini
digunakan beberapa sebutan, yaitu:
(a) Tis’a Dzilhijjah (9 Dzulhijjah)
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِالنَّبِيِّ
ص قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ
ص يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ– رواهأبو داود وأحمد والبيهقي
-
Dari sebagian istri Nabi saw., ia
berkata, “Rasulullahsaw. shaum tis’a Dzilhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap
bulan”
(H.R. Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz VI:418, No. 2081; Ahmad, Musnad
Ahmad,45:311, No. 21302, 53:424. No. 25263, dan al-Baihaqi, as-Sunan
al-Kubra,IV:285, Syu’abul Iman, VIII:268)
Dalam hadis ini disebut dengan lafal
Tis’aDzilhijjah, yang berarti tanggal 9 Dzulhijjah. Hadis ini memberikan
batasanmiqat zamani (ketentuan waktu pelaksanaan) shaum ini, yaitu pada tanggal
9Dzulhijjah.
(a) Shaum al-‘Asyru
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ :أَرْبَعٌ لَمْ
يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ ص : صِيَامَ عَاشُورَاءَ
وَ العَشْرَوَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ
-رواه أحمد و النسائي -
Dari Hafshah, ia berkata,” Empat
perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. : shaum Asyura,
shaum Arafah, shaum tiga hari setiap bulan dan dua rakaat qabla subuh.” H.R. Ahmad,
al-Musnad, X :167. No. 26521 dan an-Nasai, Sunan an-Nasai, II : 238
Kata al-‘Asyru secara umum
menunjukkan jumlah 10 hari. Berdasarkan makna umum itu, maka dapat dipahami
dari hadis tersebut bahwa Rasul tidak pernah meninggalkan shaum 10 hari bulan
Dzulhijjah. Namun pemahaman itu jelas bertentangan dengan ketetapan Nabi sendiri
yang melarang shaum pada hari Iedul Adha (10 Dzulhijjah) (H.R. An-Nasai,
as-Sunan al-Kubra, II:150) serta penjelasan Aisyah “Aku sama sekali tidak
pernah melihat Nabi shaum pada10 (Dzulhijjah)” (H.R. Muslim)
Dengan demikian kata al-Asyru pada
hadis ini sama maksudnya dengan Tis’a Dzilhijjah pada hadis di atas. Adapun penamaan
shaum tanggal 9 Dzulhijjah dengan al-‘Asyru, karena hari pelaksanaan shaum
tersebut termasuk pada hari-hari al-‘Asyru (10 haripertama bulan Dzulhijjah)
yang agung sebagaimana dinyatakan Rasul dalam hadis sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللهِ
ص مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ
أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِفَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ
وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ رَسُولُاللهِ صلعم وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ
خَرَجَبِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ – رواه الترمذي
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata,
‘Rasulullah saw. Bersabda, ‘Tidak ada dalam hari-hari yang amal shalih padanya
lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini. Para sahabat bertanya,
‘(apakah) jihad fi Sabilillah juga tidak termasuk? Rasul menjawab, ‘Tidak,
kecuali seseorang yang berkorban dengan jiwanya dan hartanya kemudian dia tidak
mengharapkan apa-apa darinya.’ HR. At-Tirmidzi, Tuhfah
al-Ahwadzi, III: 463
Selain itu penamaan tersebut
menunjukkan bahwa hari ‘Arafah itu hari yang paling agung di antara hari-hari
yang sepuluh itu, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw.
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَمِنْ أَنْ يَعْتِقَ
اللهُ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ المَلاَئِكَةُ
فَيَقُولُ : مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ؟ - رواه مسلم -
“Tiada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka
melebihi hari Arafah, dan bahwa Ia dekat. Kemudian malaikat merasa bangga dengan
mereka, mereka (malaikat) berkata, ‘Duhai apakah gerangan yang diinginkan mereka?’.” (Lihat,
Shahih Muslim, I : 472)
Berbagai keterangan di atas
menunjukkan bahwa
(a) Penamaan Shaum itu dengan yaum Arafah, Tis’a
Dzilhijjah, dan al-Asyru menunjukkan bahwa pelaksanaan shaum tersebut terikat
oleh miqat zamani (tanggal 9 Dzulhijjah)
(b) Penamaan shaum Arafah bukan karena fi’lun
(wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam
ibadah haji) bukan muqaddamah wujud disyariatkannya shaum Arafah. Karena
itu, penamaan tersebut tidak dapat dijadikan dalil bahwa waktu shaum itu harus
bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah.
Untuk lebih mempertegas bahwa waktu
shaum itu tidak disyaratkan harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah,
maka kita kaji berdasarkan Tarikh Tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha.
3. Tarikh Tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَرَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ
فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَالْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah
saw. datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main
pada keduanya pada masa jahiliyyah. Maka beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah
mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan
Hari Fitri’.”
H.R. Ahmad, Musnad Ahmad, XXIV:114, No. 11568; Abu Daud, SunanAbu Daud,
III:353, No. 959. Dan redaksi di atas versi Ahmad.
Sehubungan dengan hadis itu para
ulama menerangkan bahwa Ied yang pertama disyariatkan adalah Iedul Fitri,
kemudian Iedul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijrah. (Lihat,
Shubhul A’sya,II:444; Bulughul Amani, juz VI:119; Subulus Salam, I:60)
Dalam hal ini para ulama
menerangkan:
وَإِنَّمَا كَانَ يَوْمُ
الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عِيدًا لِجَمِيعِ
هَذِهِ الْأُمَّةِ إشَارَةً لِكَثْرَةِالْعِتْقِ قَبْلَهُ كَمَا أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ
هُوَ الْعِيدُ الْأَكْبَرُلِكَثْرَةِ الْعِتْقِ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ قَبْلَهُ إذْ لَا
يَوْمَ يُرَى أَكْثَرُعِتْقًا مِنْهُ
“Yaum fitridari Ramadhan
(ditetapkan) sebagai ied bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena
banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahar, yang dia itu ied
akbar, karena banyaknya pembebasan (dari nereka) pada hari Arafah sebelum Iedul
Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada
hari itu (Arafah)” (Lihat, Hasyiah al-Jumal, VI:203;Hasyiah al-Bajirumi
‘alal Manhaj, IV:235)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa
Shaum Arafah mulai syariatkan bersamaan dengan Iedul Adha, yaitu tahun ke-2 hijriah. Keduanya
disyariatkan setelah syariatkannya Shaum Ramadhan dan Iedul Fitri pada tahun
yang sama.
Adapun ibadah haji (termasuk di
dalamnya wukuf di Arafah) mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriah
sebagaimana dinyatakan oleh jumhur ulama (lihat, Fathul Bari, III:442).
Namun menurut Ibnu Qayyimdisyariatkan tahun ke-9/ke-10 Hijriah. (lihat, Zaadul
Ma’ad, II:101, ManarulQari, III:64)
Keterangan-keterangan di atas
menunjukkan bahwa
(a) Waktu tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha
lebih dahulu daripada tasyri’ wukuf di Arafah.
(b) Wukuf di Arafah bukan muqaddamah wujud
shaum Arafah dan Iedul Adha.
Allohu
A'lam
Oleh Abu Sabda
Dikutip dengan
sedikit tambahan dari catatan Ust. Amin Saefullah Mukhar
Tidak ada komentar