Hukum Memperingati Tahun Baru Hijriah
Orang yang beriman tidak akan terkesan dan terpengaruh
oleh sesuatu yang mereka lihat dari musuh-musuh Allah. Sebab ia yakin di dalam
kepribadian Islam terdapat kebaikan serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena
itu, ia akan bersikap hati-hati terhadap berbagai cara dan pola hidup yang
tidak jelas dalilnya. Sikap kehati-hatian itu diwujudkan dengan mempertanyakan
berbagai macam acara dan upacara yang dikenal di dalam Islam, meskipun dikemas
dengan nama dan istilah arabi bahkan islami, seperti tahun baru hijriah atau
tahun baru Islam.
Sejarah Penetapan Tahun Hijriah
Tatkala Ya’la bin Umayah menjadi gubernur di Yaman
pada zaman khalifah Abu Bakar, ia pernah melontarkan gagasan tentang perlunya
kalender Islam yang akan dipakai sebagai patokan penanggalan. Pada waktu itu, catatan
yang dipergunakan kaum muslim belum seragam. Ada yang memakai tahun gajah (‘amul
fil), terhitung sejak raja Abrahah dari Yaman menyerang Kabah (yang secara
kebetulan adalah tanggal kelahiran Nabi saw.), ada yang mendasarkan pada
peristiwa-peristiwa yang menonjol dan berarti yang terjadi di zaman mereka.
Misalnya, tahun pertama hijrah Nabi dinamakan tahun al-Izn, karena izin hijrah
diberikan pada tahun itu. Tahun kedua
disebut tahun Amr, karena pada tahun itu Allah swt. telah memberikan perintah
kepada kaum muslim untuk bertempur untuk melawan kaum musyrik Mekah.
Akan tetapi, realisasi tentang penetapan penanggalan
yang dipakai oleh umat Islam barulah terjadi di zaman Khalifah Umar. Menurut
keterangan al-Biruni, khalifah menerima sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari
yang menjadi gubernur di Bashrah (Irak), isinya menyatakan, “Kami telah banyak
menerima surat dari Amirul Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang harus
dilaksanakan. Kami sudah membaca satu perbuatan yang bertanggal sya’ban, namun
kami tidak tahu sya’ban mana yang maksud. Sya’ban sekarang atau sya’ban
mendatang di tahun depan?”
Surat Abu Musa rupanya dirasakan oleh Khalifah Umar
sebagai sindiran halus tentang perlunya ditetapkan satu penanggalan (kalender)
yang seragam, yang dipergunakan sebagai tanggal, baik dikalangan pemerintahan
maupun untuk keperluan umum.
Untuk menetapkan momentum apa yang sebaiknya
dipergunakan dalam menentukan permulaan tahun Islam itu, Khalifah mengadakan
musyawarah dengan semua ulama dan para tokoh muslim. Dalam pertemuan itu ada
empat usul yang dikemukakan, yaitu:
1. Dihitung dari kelahiran Nabi Muhammad saw.;
2. Dihitung dari wafat Rasulullah saw.;
3. Dihitung dari hari Rasulullah menerima wahyu
pertama di gua Hira yang merupakan awal tugas risalah kenabian;
4. Dihitung mulai dari tanggal dan bulan
Rasulullah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah (usul yang yang terakhir ini
diajukan oleh Ali bin Abu Thalib).
Tetapi baik kelahiran Nabi, maupun permulaan risalah
kenabian tidak diambil sebagai awal penanggalan Islam, karena tanggal-tanggal
tersebut menimbulkan kontroversi mengenai waktu yang pasti dari
kejadian-kejadian itu. Hari wafat Nabi juga tidak berhasil dijadikan tanggal
permulaan kalender, karena dipertautkan dengan kenang-kenangan menyedihkan pada
hari wafatnya. Besar kemungkinan nanti akan menimbulkan perasaan-perasaan sedih
dan sendu dalam kalbu kaum muslim. Akhirnya, disetujuilah agar penanggalan
Islam ditetapkan berdasarkan hijrah Rasul dari Mekah ke Madinah.
Kapankah tepatnya beliau hijrah ke Madinah? Beragam
informasi dijumpai pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam
at-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu
bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul
Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M. waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau
9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari
(hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M. dan membangun mesjid
pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28
September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika
beliau berada di Bathni Wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu
Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat
al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu.
Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan
salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”. (Lihat,Tarikh
at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz
XVIII, hal. 98).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi tiba di
Madinah pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli
tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, namun
ada pula yang menyatakan hari Jumat 12 Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.
Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik
hijriah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah
Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram (awal Muharram
ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).
Ketika para sahabat sepakat menjadikan hijrah Nabi
sebagai permulaan kalender Islam, timbul persoalan lain di kalangan mereka
tentang permulaan bulan pada kalender itu. Ada yang mngusulkan Rabi’ul Awwal
(sebagai bulan hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah). Namun ada pula yang
mengusulkan bulan Muharram. Namun akhirnya Umar memutuskan bahwa tahun 1
Islam/Hijriah di awali dengan 1 Muharram bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622
M. Dengan demikian, antara permulaan hijrah Nabi dan permulaan kalender Islam
sesungguhnya terdapat jarak sekitar 82 hari.
Peristiwa penetapan kalender Islam oleh Umar ini
terjadi pada hari Rabu, dua puluh hari sebelum berakhirnya Jumadil Akhir, tahun
ke-17 sesudah hijrah atau pada tahun ke-4 dari kekhalifahan Umar bin Khatab. (Lihat,
tulisan Dr. Thomas Djamaluddin tentang “Kalender Hijriah” dalam buku Almanak
Alam Islami, hal. 183-184, dan Makalah tentang “Konsistensi Historis-Astronomis
Kalender Hijriah”)
Asal Muasal Peringatan Tahun Hijriah
Peringatan tahun baru Islam tiap 1 Muharam baru
dimulai sejak tahun 1970-an yang berasal dari ide pertemuan cendekiawan muslim
di Amerika Serikat. Waktu itu terjadi fenomena maraknya dakwah, masjid-masjid
dipenuhi jemaah, dan munculnya jilbab hingga kemudian dikatakan sebagai
kebangkitan Islam, Islamic Revival. (Lihat, Pikiran Rakyat Online)
Dari kedua latar belakang sejarah di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa
1. Penetapan bulan Muharram oleh Umar bin Khatab
sebagai permulaan tahun hijriah tidak didasarkan atas pengagungan dan
peringatan peristiwa hijrah Nabi. Buktinya beliau tidak menetapkan bulan
Rabi’ul Awwal (bulan hijrahnya Rasul ke Madinah) sebagai permulaan bulan pada
kalender Hijriah. Lebih jauh dari itu, beliau pun tidak pernah mengadakan
peringatan tahun baru hijriah, baik tiap bulan Muharram maupun Rabi’ul Awwal,
selama kekhalifahannya.
2. Peringatan tahun baru hijriah pada bulan
Muharram dengan alasan memperingati hijrah Nabi ke Madinah merupakan
kesalahkaprahan, karena Nabi hijrah pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan
Muharram.
3. Menyelenggarakan berbagai bentuk acara dan
upacara untuk menyambut tahun baru Hijriah adalah bid’ah dhalalah (sesat
dan menyesatkan).
Oleh Ust.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar