Konsep Ulil Amri
Terdapat perbedaan cara pandang
dalam memahami Ulil Amri, setidaknya melahirkan dua Kutub yang mempunyai
kesimpulan masing masing. Ada yang mengartikan Ulil Amri adalah Pemerintahan
khas bagi orang-orang yang beriman (daulah/Negara Islam). Dan ada pula yang
mengartikan Ulil Amri adalah pemerintahan setempat—selama ia muslim dan taat
kepada Allah & Rasul-Nya. Dua bentuk pemahaman ini akan sangat menentukan
pada aspek yang lainnya dalam kerangka berfikir, yaitu satu pihak memahami
bahwa Imam negara Islamlah yang dimaksud oleh Ulil Amri di dalam Al-Quran.
Sedangkan pihak yang lain memahami bahwa Pemerintahan yang sah (Pemerintah
setempat) lah Ulil Amri yang harus ditaati selama mereka muslim dan taat kepada
Allah & Rasul-Nya.
Manakah pendapat yang lebih tepat dalam
memahami ulil amri sesuai dengan manhaj Ahlus sunnah wal jama'ah? Semoga
makalah ini dapat memberikan jawaban terhadap persoalan itu.
Pengertian Ulil Amri
Kata Ulil Amri merupakan kata yang
akrab ditelinga kita. Seringkali dalam perbincangan sehari-hari kita
menggunakan istilah ini.
Istilah Ulil Amri sebenarnya dirujuk
dari Al-Quran Surat An-Nisa: 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya."
Jika merujuk kepada arti secara bahasa,
ulil amri bermakna yang mempunyai wewenang, urusan, perintah. Bisa kita sebut
sebagai pihak yang berwenang, yang mengatur urusan, atau pemerintah.
Apa sebenarnya makna ulil amri yang
dimaksud dalam ayat tersebut? Kita mencoba merujuk kepada sejumlah kitab tafsir
untuk menjawab makna Ulil Amri yang dimaksud ayat tersebut.
Pakar tafsir, Abu Jafar Muhammad bin
Jarir At-Thabari (224-310 H), atau yang lebih popular dengan sebutan Imam
At-Thabari, di dalam kitab tafsirnya Jâmi’ Al-Bayân ‘an Ta`wîl âyi Al-Qurân,
popular dengan sebutan Tafsîr at-Thabarî, sebagai kitab tafsir klasik yang
banyak dirujuk oleh para mufassir berikutnya, menyebutkan bahwa para ahli
ta'wil berbeda pandangan mengenai arti ulil amri. Satu kelompok ulama
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah umara (pemimpin yang
konotasinya adalah pemimpin politik). Ini merupakan pendapat Abu Hurairah, Ibn
Abbas, Ibn Zaid, dan as-Suddy.
Sementara menurut sebagian ulama
lain, masih dalam kitab tafsir yang sama, bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi
wal fiqh atau ulama dan fuqaha (pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin
spiritual/keagamaan). Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah, Ibnu Abas, Ibnu
Abu Najih, al-Hasan Al-Bishri, Atha bin As-Sa`ib, dan Abu al-Aliyah.
Sebagian ulama yang lain berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah sahabat-sahabat Rasulullah. Ini
menurut pendapat Mujahid. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu
Bakar dan Umar. Ini menurut pendapat Ikrimah. (Penjelasan selengkapnya, lihat Tafsîr
at-Thabarî, VII:176-182)
Perbedaan para ulama di atas dalam
memaknai ulil amri itu, dielaborasi kembali oleh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad
bin Muhammad bin Habib Al-Bishri Al-Baghdadi (w. 450 H), atau yang lebih
popular dengan sebutan Imam Al-Mawardi, di dalam kitab tafsirnya An-Nukat wa
al-‘uyûn, popular dengan sebutan Tafsîr Al-Mawardî, beliau menyebutkan ada
empat pendapat dalam mengartikan kalimat "ulul amri" pada QS
An-Nisa:59.
Pertama, ulil amri
bermakna umara. Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Suddy, dan Abu Hurairah
serta Ibn Zaid.
Imam al-Mawardi memberi catatan
bahwa walaupun mereka mengartikannya dengan umara namun mereka berbeda pendapat
dalam sabab nuzul turunnya ayat ini. Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul
mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikuti oleh
Rasulullah saw.). Sedangkan As-Suddy berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Rasul
sebagai pemimpin dalam sariyah.
Kedua, ulil amri
itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah,
al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah.
Ketiga, Pendapat
dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat
Rasulullah saw.
Keempat, yang
berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua
sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar.
(Lihat, An-Nukat wa al-‘uyûn, I:499-500)
Analisa
Imam Ath-Thabari, setelah
menyebutkan perbedaan pandangan para ahli tafsir mengenai arti ulil amri,
selanjutnya beliau bersikap terhadap perbedaan itu dengan menyatakan:
وَأَوْلَى الأَقْوَالِ فِي ذَلِكَ بِالصَّوَابِ
قَوْلُ مَنْ قَالَ : هُمُ الأَمَرَاءُ وَالْوُلاَةُ , لِصِحَّةِ الأَخْبَارِ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالأَمْرِ بِطَاعَةِ الأَئِمَّةِ وَالْوُلاةِ
فِيمَا كَانَ لله طَاعَةً وَلِلْمُسْلِمِينَ مَصْلَحَةً
“Dan pendapat yang lebih mendekati
kebenaran tentang hal itu ialah yang menyatakan bahwa ulil amri itu adalah
umara dan para wali, karena terdapat khabar yang sahih dari Rasulullah saw.
tentang perintah menaati para pemimpin dan wali dalam perkara ketaatan kepada
Allah dan mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin.” (Lihat,
Tafsîr at-Thabarî, VII: 182)
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa
Imam At-Thabari cenderung memaknai ulil amri itu sebagai pemimpin yang
konotasinya adalah pemimpin politik. Dan pendapat ini menjadi pegangan
mayoritas ahli tafsir dan juga ahli fiqih.
Imam Asy-Syafi’i menguatkan pendapat
pertama, yaitu maksud ulil amri adalah para pemimpin/pemerintah (lihat, Fath
Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, VIII:106). Sehubungan dengan itu Imam An-Nawawi
membuat judul bab untuk hadis Ibnu Abbas Ra. mengenai tafsir ayat ini dengan
judul (terjemahnya) “Kewajiban taat kepada pemerintah selama bukan dalam
kemaksiatan dan diharamkannya hal itu dalam perbuatan maksiat.” Kemudian beliau
menukilkan ijma’ (consensus) para ulama tentang wajibnya hal itu (Lihat, Syarh
Shahih Muslim, VI:467).
Adapun Ibnul Qayyim menguatkan
pendapat yang menyatakan bahwa kandungan ayat ini mencakup kedua kelompok
tersebut; yaitu ulama maupun umara (pemerintah). Dikarenakan kedua penafsiran
ini sama-sama terbukti sahih dari para sahabat. (Lihat, adh-Dhaw’ Al-Munir ‘ala
At-Tafsir, II:235 dan 238)
Dari berbagai penjelasan di atas,
kita dapat mengetahui bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai makna ulil
amri. Ada yang mencoba meluaskan makna ulil amri dengan semua ulama dan umara.
Ada pula yang mencoba menyempitkannya dengan khusus pada Abu Bakar dan Umar
semata. Ada yang hanya melihat pada ulama saja (ahlul ilm) dan ada yang hanya
berpegang pada arti pemimpin perang.
Tidak adanya kesepakatan tentang
pengertian ulul amri itu disebabkan kata amr itu sendiri mempunyai banyak arti.
Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935) mencoba merumuskan ulul
amri dengan merangkum seluruh cakupan makna amr itu sendiri. Menurut mereka,
ulul amri adalah para pemegang otoritas di sebuah negara yang terdiri dari
penguasa, para hakim, ulama, komandan militer, dan pemuka masyarakat yang
menjadi rujukan umat dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.
Rasyid Ridha, juga memasukkan mereka yang memegang otoritas di bidang
kesehatan, perburuhan, perniagaan, pemimpin media massa, dan pengarang sebagai
ulul amri. (Lihat, Al-Khilâfah, hlm. 22-23)
Apapun pendapat yang kita pilih
tentang makna ulil amri, namun perlu dicatat bahwa perintah taat kepada ulil
amri tidak digandengkan dengan kata "taat":
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Berbeda dengan perintah taat kepada
Allah dan Rasul-Nya digandengkan dengan kata "taat":
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
Tidak disebutkannya kata "taat"
pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri
sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul,
dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan
Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh Rasulullah saw.
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ
اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tidak dibenarkan adanya ketaatan
kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wajalla." (HR. Ahmad,
Musnad Ahmad, II:333, No. hadis 1095)
Dalam riwayat Al-Baghawi dengan
redaksi:
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيةِ
الخَالِقِ
“Tidak dibenarkan adanya ketaatan
kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah)." (Syarh
As-Sunnah, X:44)
Sebagai “kompensasi” dari ketaatan
dan kepatuhan masyarakat terhadap ulul amri, maka mereka harus bertindak dan
berbuat untuk kepentingan orang banyak dengan tugas pokok amar makruf nahi
munkar.
Inilah yang disebutkan dalam
Al-Quran:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُون
"Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang baik
dan mencegah kemunkaran. merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. Ali Imran: 104)
Dan selaras dengan kaidah fiqih
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ
بِالْمَصْلَحَة“
“Kebijakan pemimpin atas rakyat
bergantung pada kemaslahatan.” (Lihat, Al-Asybâh wa an-Nazhâ`ir,
h. 123)
Berdasarkan penjelasan dari para
ulama di atas, baik pendapat pertama dan kedua maupun yang menggabungkan
keduanya, kami cenderung memahami bahwa Ulil Amri dapat dimaknai pula
pemerintahan setempat—selama ia muslim dan taat kepada Allah & Rasul-Nya.
Oleh Ust.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar