Kedudukan Hadis Shaum Syawal (Bagian II)
Sikap Para ulama
Memang di kalangan ulama terdapat perbedaan dalam
mensikapi kedudukan saum Syawwal. Sebagian berpendapat bahwa saum enam hari di
bulan Syawwal itu disyareatkan yang tentu saja hukumnya sunat. Sedangkan
sebagian lagi menyatakan bahwa saum itu tidak disyariatkan dengan kata lain
bid’ah. Terjadinya perbedaan sikap para ulama terhadap saum syawwal, tampaknya
karena masing-masing pihak berbeda dalam menentukan kedudukan dalil-dalil
yang berkenaan dengan saum itu, apakah sahih atau daif ?
Dalam tulisan ini, kami mencoba menganalisa kedudukan
hadis saum Syawwal dengan mengemukakan alasan-alasan dari kedua belah pihak,
kemudian mencari mana yang lebih rajih (kuat), dengan harapan menjadi bahan
pertimbangan bagi jamaah dan bahan kajian asatidzah untuk menelitinya kembali.
Alasan Pendaifan Hadis Saum Syawwal
Ulama yang menyatakan bahwa saum Syawwal itu tidak
disyariatkan berpendapat bahwa hadis-hadis yang berkaitan dengan saum itu tidak
dapat dijadikan hujjah, karena hadis-hadisnya daif. Adapun alasannya sebagai
berikut:
A. Aspek sanad
1. Hadis-hadis tentang saum Syawwal
diterima dari Sahabat Abu Ayub, dan pada umumnya diriwayatkan melalui
Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit. Saad dinyatakan daif oleh para ulama,
yaitu:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ
أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ عَنْ أَبِيْهِ ضَعِيْفٌ وَقَالَ النَّسَائِيُّ لَيْسَ
بِالْقَوِيِّ وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ سَمِعْتُ أَبِيْ
يَقُوْلُ سَعْدُ بْنُ سَعِيْدٍ الأَنْصَارِيُّ مُؤَدِّيٌ يَعْنِي أَنَّهُ كَانَ
لاَ يَحْفَظُ وَيُؤَدِّيْ مَا سَمِعَ وَذَكَرَهُ بْنُ حِبَّانَ فِي كِتَابِ
الثِّقَاتِ وَقَالَ كَانَ يُخْطِىءُ
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata dari ayahnya
(Imam Ahmad), “Dia dhaif” An-Nasai berkata, “Tidak kuat” Abdurrahman bin Abu
Hatim berkata, “Aku mendengar Bapakku berkata, ‘Saad bin Said Al-Anshari
muaddi, yakni ia tidak hafal dan menyampaikan apa yang didengarnya’.” Ibnu
Hiban menempatkan (rawi) ini di dalam kitab At-Tsiqat, dan berkata, “Dia
melakuan kesalahan.” (Lihat, Tahdzibul Kamal fii Asma` ar-Rijal, X:264)
قَالَ الْحَافِظُ فِي
التَّقْرِيْبِ سَعْدُ بْنُ سَعِيْدِ بْنِ قَيْسِ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِيُّ
أَخُوْ يَحْيَى صَدُوْقٌ سَيِّءُ الْحِفْظِ
Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata dalam kitab At-Taqrib,
“Saad bin Said bin Qais bin Amr Al-Anshari saudara Yahya, dia jujur, buruk
hapalan” (Lihat, Tuhfatul Ahwadzi syarh Sunan At-Tirmidzi, III:468)
قَالَ التِّرْمِذِيُّ : قَدْ
تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيْثِ فِي سَعْدِ بْنِ سَعِيْدٍ مِنْ قِبَلِ
حِفْظِهِ
At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahli hadis membicarakan
Saad bin Said dari segi hapalannya”. (Lihat, Tuhfatul Ahwadzi syarh Sunan
At-Tirmidzi, III:467)
Imam Malik tidak mempergunakannya, dan mengingkari
hadisnya. (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:64)
2. Sanad Saad bin Said dari Umar bin
Tsabit diragukan kemuttashilan (bersambung) nya, karena pada beberapa
riwayat Saad menerima secara langsung dari Umar bin Tsabit, sedangkan pada
riwayat Abu Dawud At-Thayalisi, Saad bin Said tidak menerima secara langsung
dari Umar bin Tsabit, tetapi dari saudaranya yaitu Yahya bin Said. (Lihat, Awnul
Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:64) Demikian pula pada riwayat
At-Thabrani. (Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:162).
3. Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan
melalui rawi selain Saad bin Said, yaitu Abdur Rabbih, kata An-Nasai, “Pada
sanadnya terdapat rawi bernama Utbah, ia tidak kuat. (Lihat, ‘Awnul Ma’bud
Syarh Sunan Abu Dawud, VII:62)
4. Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan
oleh At-Thabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir IV:161), Ibnu Hiban (Al-Ihsan
bi Tartibi Shahihibni Hibban, VIII:396-397), Abu Dawud (Sunan Abu Dawud,
II:544), An-Nasai (As-Sunan Al-Kubra, II:163) semuanya melalui rawi yang
bernama Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi. Dia itu sayyiul hifzhi (buruk
Hapalan). (Siyar A’lam An-Nubala, VIII:367). Karena
itu, di dalam Shahih-nya Imam Al-Bukhari menggunakan rawi
Ad-Darawardi ini secara maqrunan(didampingi) oleh rawi lainnya yang tsiqat (kuat),
seperti Abdul Aziz bin Abu Hazim (lihat, Shahih Al-Bukhari, IV:138,
bab Qishshah Abi Thalib)
5. Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan
oleh At-Thabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:162), melalui Yahya bin Said,
dari Umar bin Tsabit itu juga daif, karena pada sanadnya terdapat rawi yang
bernama Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu Main berkata, “Hadisnya tidak dapat dipakai
hujjah.” Al-Hakim Abu Ahmad berkata, “Dzahibul Hadits (pemalsu hadis)”. Ibnu
Hajar berkata, “Shaduq, rusak hapalannya setelah terbakar kitabnya” (lihat, Tahdzibul
Kamal fii Asma` ar-Rijal, XV:487-503)
6. Kemuttashilan
(bersambungnya) sanad Umar bin Tsabit dari Abu Ayyub diperbincangkan oleh para
ulama, karena riwayat yang pokok dari Abu Ayyub itu melalui rawi bernama
Muhammad bin Al-Munkadir bukan Umar bin Tsabit. Dengan demikian, sanad Saad bin
Said, dari Umar bin Tsabit, yang tidak melalui rawi bernama Muhammad bin
Al-Munkadir, tapi langsung menerima dari Abu Ayyub, tidak muttashil (terputus
sanadnya). (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, VII:65)
Selain diterima oleh sahabat Abu Ayyub Al-Anshari,
hadis saum Syawwal diterima juga oleh sahabat-sahabat lainnya, yaitu
1. Jabir bin Abdullah riwayat Ahmad, Al-Bazzar, dan At-Thabrani dalam kitab
Al-Mu’jamul Ausath, dan pada sanadnya terdapat rawi bernama Amr bin Jabir, dia
itu daif.
2. Abu Hurairah riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jamul Ausath, dan pada
sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal
3. Jabir dan Ibnu Abas riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jamul Ausath, dan
pada sanadnya terdapat rawi bernama Yahya bin Said Al-Mazini, dia itu matruk (dianggap
berdusta).
4. Ibnu Umar riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jam Al-Awsath,
dan pada sanadnya terdapat rawi bernama Maslamah bin Ali, dia itu daif.
5. Ghanam riwayat riwayat At-Thabrani dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabir,
dan pada sanadnya terdapat rawi bernama Abdurrahman bin Ghanam, dia tidak
dikenal. (Lihat, Majma’ Az-Zawa`id wa Manba’ul Fawa`id,
III:186-187)
B. Aspek matan
Dilihat dari segi matan, hadis tentang saum
Syawwal mengandung kejanggalan, yaitu hadis saum Syawwal diriwayatkan
dengan beberapa redaksi, yang termasyhur di antaranya
كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ,
فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
“Keadaannya seperti shaum setahun.” Atau “Seakan-akan
shaum setahun.”
Penggunaan kalimat di atas tidak menunjukkan
kejelasan, apakah yang ditasybihkan (diserupakan) itu saumnya atau shaim-nya
(orang yang saum). Di samping itu, penyerupaan sesuatu kepada sesuatu yang
sejenis, yaitu “saum seperti saum” tidak sesuai dengan ketentuan bahasa.
C. Aspek amaliah ahli ilmu
Hadis saum Syawwal tidak diamalkan oleh ahli ilmu.
Imam Malik berkata, “Saya tidak melihat seorang pun di antara ahli ilmu dan
fiqih melaksanakan saum itu, dan tidak pernah sampai kepadaku khabar dari
seorang pun ulama salaf, serta ahli ilmu memakruhkannya, dan mereka khawatir
saum Syawwal itu bid’ah. (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud,
VII:67)
Demikianlah di antara alasan-alasan sebagian ulama
yang menyatakan bid’ah terhadap saum enam hari pada bulan Syawal.
Oleh Ust.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar