Hakikat Nuzul Al-Quran (Bagian IV)
Sikap Nabi saw. Terhadap Nuzulul Quran: Periode Mekah
Di awal (Bagian I) sudah disebutkan bahwa Al-Quran
diturunkan kepada Nabi saw. itu secara berangsur-angsur:
Pertama, ketika
hidup di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, terhitung sejak tanggal 17
Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran Nabi atau bertepatan dengan 6 Agustus 610
M, hingga 1 Rabi’ul Awwal tahun ke-54 dari tahun kelahirannya. (Lihat, Mawshu’ah
al-Qur’aniyyah, I:326)
Berdasarkan keterangan Ibnu Abas, pada periode ini
turun 86 surat atau sekitar 4.780 ayat, dan turunnya bukan hanya di bulan
Ramadhan. (Lihat, Fadha’il al-Qur’an, II:200, No. 813;Al-Itqan
fii Ulum al-Qur’an, I:26; Al-Burhan fii Ulum al-Qur’an, I:193)
Surat Pertama Diturunkan
Surat yang pertama diturunkan adalah al-Alaq dengan
jumlah 5 ayat: dari ayat 1 sampai 5. Ketika itu Nabi Muhammad saw. Sedang
berkhalwat di gua Hira, sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut ini:
عَنْ يُونُسَ بْنِ
يَزِيدَ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ شِهَابٍ أَنَّ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ
أَخْبَرَهُ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَتْ كَانَ أَوَّلَ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الرُّؤْيَا الصَّادِقَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا
إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ
فَكَانَ يَلْحَقُ بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ قَالَ وَالتَّحَنُّثُ التَّعَبُّدُ
اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ
وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ بِمِثْلِهَا
حَتَّى فَجِئَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ
اقْرَأْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَنَا
بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجُهْدَ ثُمَّ
أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي
الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجُهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ
قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ حَتَّى بَلَغَ
مِنِّي الْجُهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ الْآيَاتِ إِلَى قَوْلِهِ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ
يَعْلَمْ } فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَرْجُفُ بَوَادِرُهُ حَتَّى دَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ فَقَالَ زَمِّلُونِي
زَمِّلُونِي فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ
Dari Yunus bin Yazid, ia berkata, “Ibnu Syihab telah
mengabarkan kepadaku bahwa Urwah bin Zubair telah mengabarkan kepadanya, bahwa
Aisyah Ra isteri Nabi saw. berkata, ‘Peristiwa awal turunnya wahyu kepada
Rasulullah saw. adalah diawali dengan Ar-Ru`yah Ash-Shadiqah (mimpi
yang benar) di dalam tidur. Tidaklah beliau bermimpi, kecuali yang beliau lihat
adalah sesuatu yang menyerupai belahan cahaya subuh. Dan di dalam dirinya
terdapat perasaan untuk selalu ingin menyendiri. Maka beliau pun memutuskan
untuk berdiam diri di dalam gua Hira, beribadah di dalamnya pada malam hari
selama beberapa hari dan untuk itu, beliau membawa bekal. Setelah perbekalannya
habis, maka beliau kembali dan mengambil bekal. Begitulah seterusnya sehingga
kebenaran pun datang pada beliau, yakni saat beliau berada di dalam gua Hira.
Malaikat mendatanginya seraya berkata, ‘Bacalah.’ Maka Rasulullah saw.
menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Beliau menjelaskan, ‘Lalu Malaikat itu pun
menarik dan menutupiku, hingga aku pun merasa kesusahan. Kemudian Malaikat itu
kembali lagi padaku dan berkata, 'Bacalah.' Aku menjawab, 'Aku tidak bisa
membaca.' Malaikat itu menarikku kembali dan mendekapku hingga aku merasa
kesulitan, lalu memerintahkan kepadaku untuk kedua kalinya seraya berkata,
'Bacalah.' Aku menjawab, 'Aku tidak bisa membaca.' Ia menarik lagi dan
mendekapku ketiga kalinya hingga aku merasa kesusahan. Kemudian Malaikat itu
menyuruhku kembali seraya membaca, 'iqra` bismikal ladzii khalaq,
khalaqal insaana min 'alaq iqra` wa rabbukal akram alladzii 'allamal bil qalam..
hingga 'Allamal Insaana Maa Lam Ya'lam.' (QS. Al-Alaq:1-5) Maka
dengan badan yang menggigil, akhirnya Rasulullah saw. kembali kepada Khadijah
seraya berkata, ‘Selimutilah aku, selimutilah aku.’ Hingga perasaan takut
beliau pun hilang…” HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, I:4, No. 3;
IV:1894, No. 4670; Muslim, Shahih Muslim, I:139, No. 160; Ahmad, Musnad
Ahmad, VI:232, No. 26.001; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IX:5,
No. 17.499; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, I:216, No. 33;
Abdurrazaq, al-Mushannaf, V:321, No. 9719; Al-Hakim, al-Mustadrak
‘ala ash-Shahihain, III:202, No. 4843, dengan sedikit perbedaan redaksi
Berdasarkan penjelasan Ibnu Hajar—sebagaimana
diterangkan sebelumnya (bagian III)—kita dapat mengetahui bahwa turunnya 5 ayat
ini pada tanggal 24 Ramadhan atau malam ke-25 bulan itu.
Adapun ayat-ayat selanjutnya (6-19) dalam surat itu
diturunkan kepada Nabi saw. beberapa tahun kemudian berhubungan dengan sikap
Abu Jahal, sebagaimana diterangkan pada hadis berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
قال قَالَ أَبُو جَهْلٍ هَلْ يُعَفِّرُ مُحَمَّدٌ وَجْهَهُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ
قال فَقِيلَ نَعَمْ. فَقَالَ وَاللاَّتِ وَالْعُزَّى لَئِنْ رَأَيْتُهُ يَفْعَلُ
ذَلِكَ لأَطَأَنَّ عَلَى رَقَبَتِهِ أَوْ لأُعَفِّرَنَّ وَجْهَهُ فِى التُّرَابِ -
قال - فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَهُوَ يُصَلِّى زَعَمَ
لِيَطَأَ عَلَى رَقَبَتِهِ - قال - فَمَا فَجِئَهُمْ مِنْهُ إِلاَّ وَهُوَ
يَنْكِصُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَيَتَّقِى بِيَدَيْهِ - قال - فَقِيلَ لَهُ مَا لَكَ فَقَالَ
إِنَّ بَيْنِى وَبَيْنَهُ لَخَنْدَقاً مِنْ نَارٍ وَهَوْلاً وَأَجْنِحَةً. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « لَوْ دَنَا مِنِّى لاَخْتَطَفَتْهُ
الْمَلاَئِكَةُ عُضْواً عُضْواً ». قال فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( كَلاَّ إِنَّ
الإِنْسَانَ لَيَطْغَى أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى
أَرَأَيْتَ الَّذِى يَنْهَى عَبْداً إِذَا صَلَّى أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى
الْهُدَى أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى ) -
يَعْنِى أَبَا جَهْلٍ - ( أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى كَلاَّ لَئِنْ
لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعاً بِالنَّاصِيَةِ نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ
فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ كَلاَّ لاَ تُطِعْهُ )
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Abu Jahal berkata,
‘Apakah Muhammad menundukkan wajahnya (di tanah) di tengah-tengah kalian?’ Ada
yang menjawab, ‘Ya.’ Ia berkata, ‘Demi Lata dan Uzza, bila aku melihatnya
melakukan seperti itu, aku akan menginjak lehernya atau aku akan benamkan
wajahnya di tanah’.” Abu Hurairah berkata, “Kemudian Ia mendatangi Rasulullah
saw. saat beliau tengah shalat (di dekat Kabah), ia hendak menginjak leher
beliau. Tidak ada yang mengejutkan mereka selain ia (Abu Jahal) mundur dan
melindungi diri dengan tangan. Ada yang bertanya padanya, ‘Kamu kenapa?’ Ia
menjawab, ‘Antara aku dan dia ada parit dari api, huru hara dan banyak sayap.’
Rasulullah saw. bersabda, "Andai ia mendekatiku, malaikat akan menyambar
anggota badannya satu per satu’." Abu Hurairah berkata, “Lalu Allah 'azza
wajalla menurunkan -ayat-ayat: ‘(artinya) Ketahuilah! Sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.
Sesungguhnya hanya kepada Rabbmulah kembali(mu). Bagaimana pendapatmu tentang
orang yang melarang, seorang hamba ketika mengerjakan salat. Bagaimana
pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia
menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang
itu mendustakan dan berpaling?" (yaitu Abu Jahal) "Tidaklah dia
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? Ketahuilah,
sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya kami tarik
ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka
biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak kami akan
memanggil malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh
kepadanya’." (QS. Al-'Alaq: 6-19) HR. Muslim, Shahih Muslim,
IV:2154, No. hadis 2797. Dalam riwayat Ahmad, ayat itu disebutkan sampai
kalimat: wasjud waqtarib. (Musnad Ahmad, II:370, No.
8817)
Sementara dalam riwayat al-Hakim dan ath-Thabrani
disebutkan:
فَلَمَّا بَلَغَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آخِرَ السُّورَةِ سَجَدَ
“Maka setelah Rasulullah saw. sampai di akhir ayat,
beliau sujud.” HR. al-Hakim, al-Mustadrak’ala ash-Shahihain,
III:368, No. 5413; ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath, VIII:298, No.
8691.
Keterangan di atas memberikan petunjuk kepada kita
bahwa turunnya surat Al-'Alaq, ayat 6 sampai 19, setelah disyariatkan ibadah
salat. Sementara para ulama sepakat, bahwa ibadah salat lima waktu mulai
disyariatkan sekitar 3 tahun sebelum hijrah (Lihat, Tawdhih al-Ahkam
Min Bulugh al-Maram, I:469) Jika dihitung berdasarkan tarikh, sekitar tahun
52 hingga 54 dari tahun kelahirannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa turunnya
surat Al-'Alaq: 6-19 pada kisaran tahun 52- 54 dari tahun kelahirannya.
Meski dilihat dari tartiib an-Nuzuul (urutan
turun) surat ini berada diurutan pertama, namun secara tartiib as-Suwar
(urutan surat), surat ini berada pada urutan ke-96 dari 114 surat dalam
Al-Qur’an. Penempatan surat al-Alaq demikian itu berdasarkan petunjuk dari Nabi
saw., bukan ijtihad para sahabat.
Selanjutnya, jika kita perhatikan rangkaian “dua
gerbong” ayat-ayat dalam surat Al-'Alaq, yaitu “Gerbong I: ayat 1 hingga 5” dan
“Gerbong II: ayat 6 hingga 19”, maka kita mendapatkan petunjuk yang nyata bahwa
“Gerbong I” diawali dengan seruan kepada “Membaca dan Belajar” “Sementara
Gerbong II” diakhiri dengan seruan kepada “Salat dan Ibadah.” Kedua rangkaian
ini hendak memberikan pesan kepada kiat agar terdapat keselarasan antara ilmu
dan amal.
Masa Fatrah Wahyu
Setelah perasaan takut Nabi saw. atas peristiwa yang
terjadi di gua Hira mulai mereda—sebagaimana dalam hadis di atas—Nabi saw.
berkata kepada Khadijah:
أَيْ خَدِيجَةُ مَا
لِي لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي فَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ قَالَتْ خَدِيجَةُ
كَلَّا أَبْشِرْ فَوَاللَّهِ لَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا فَوَاللَّهِ إِنَّكَ
لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ
الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
"Wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku,
sungguh aku merasa khawatir atas diriku sendiri." Akhirnya, beliau pun
menuturkan kejadian yang beliau alami. Khadijah berkata, "Tidak.
Bergembiralah engkau. Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu
selama-lamanya. Sesungguhnya engkau benar-benar seorang yang senantiasa
menyambung silaturahmi, seorang yang jujur kata-katanya, menolong yang lemah,
memberi kepada orang yang tak punya, engkau juga memuliakan tamu dan membela kebenaran."
HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, I:4, No. 3; IV:1894, No. 4670
Akhirnya Khadijah pergi dengan Nabi saw. untuk bertemu
dengan Waraqah bin Naufal, ia adalah anak pamannya Khadijah, yakni saudara
bapaknya. Waraqah adalah seorang penganut agama Nashrani pada masa Jahiliyah.
Ia seorang yang menulis kitab Arab. Ia menulis dari kitab Injil dengan bahasa
Arab. Saat itu, ia telah menjadi syeikh yang tua renta lagi buta. Khadijah
berkata padanya, "Wahai anak pamanku. Dengarkanlah kabar dari anak saudaramu."
Maka Nabi saw. pun mengabarkan padanya tentang kejadian yang telah beliau
alami. Kemudian Waraqah pun berkata, "Ini adalah Namus yang pernah
diturunkan kepada Musa. Sekiranya aku masih muda, dan sekiranya aku masih
hidup..." ia mengatakan beberapa kalimat. Kemudian Rasulullah saw.
bertanya, "Apakah mereka akan mengusirku?" Waraqah menjawab,
"Ya, tidak ada seorang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang
kamu bawa, kecuali ia akan disakiti. Dan sekiranya aku masih mendapati hari
itu, niscaya aku akan menolongmu dengan pertolongan yang hebat." HR.
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, I:4, No. 3; IV:1894, No. 4670
Tidak lama kemudian, Waraqah pun meninggal, sementara
wahyu terputus (fatrah) hingga membuat Rasulullah saw. sedih.
Kata Ibnu Hajar al-Asqalani:
وَفُتُور الْوَحْي
عِبَارَة عَنْ تَأَخُّره مُدَّة مِنْ الزَّمَان ، وَكَانَ ذَلِكَ لِيَذْهَب مَا
كَانَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَدَهُ مِنْ الرَّوْع ، وَلِيَحْصُل
لَهُ التَّشَوُّف إِلَى الْعَوْد
“Dan fatrah wahyu itu ialah keterangan tentang
keterlambatan turunnya wahyu pada beberapa masa. Demikian itu untuk
menghilangkan ketakutan yang dirasakan oleh Nabi saw. dan agar beliau tetap
mengawasi (memperhatikan) kedatangannya kembali.” (Lihat,Fath al-Bari Syarh
Shahih al-Bukhari, I:27)
Dengan demikian, kata Ibnu Hajar, yang dimaksud dengan
masa fatrah di sini bukan dalam pengertian Malaikat Jibril tidak datang menemui
Nabi saw. melainkan keterlambatan turunnya Al-Quran, yaitu antara awal surat
al-‘Alaq dan awal surat al-Mudattsir.
Berapa lama masa fatrah terjadi? Sebagian ulama dan
para penulis kitab ilmu-ilmu Al-Quran berpendapat bahwa masa fatrah wahyu
itu selama 3 tahun. (Lihat, misalnya Muhammad Rasyid Ridha dalam al-Wahy
al-Muhammadiy:125; Muhammad Abdullah Daraz, Madkhal Ilaa al-Qura’an
al-Kariim:30; Suhbhi ash-Shalih, Mabahits fii ‘Ulum al-Quran:36;
dan Malik ben Nabi, azh-Zahirah al-Qur’aniyyah:185)
Pendapat mereka merujuk kepada sebuah riwayat yang
bersumber dari Amir asy-Sa’bi, salah seorang ulama generasi Tabi’in yang wafat
tahun 103 H.
Namun menurut ulama lainnya, keterangan yang lebih
kuat menunjukkan bahwa masa fatrah itu tidak mencapai 3 tahun, dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, keterangan
as-Sya’bi, dilihat dari aspek matan pada dasarnya tidak menceritakan tentang
fatrah wahyu. Sementara dilihat dari aspek sanad riwayat itu tidak kokoh
menurut ulama hadis,
Kedua,
riwayat-riwayat shahih yang menerangkan fatrah wahyu tidak menyebutkan batasan
masa fatrah antara turunnya awal surat al-‘Alaq dan awal surat al-Mudattsir.
Yang jelas, masa itu tidak mencapai interval waktu yang terlalu lama. Di dalam
riwayat al-Bukhari hanya disebutkan:
وَفَتَرَ الْوَحْيُ
فَتْرَةً حَتَّى حَزِنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dan wahyu terputus (fatrah) hingga membuat
Rasulullah saw. sedih.” HR. Al-Bukhari,Shahih al-Bukhari, I:4, No. 3;
IV:1894, No. 4670
Ketiga, keterangan Ibnu Abbas menunjukkan bahwa masa
fatrah yang dimaksud hanya beberapa hari. (Lihat, Fath al-Bari Syarh
Shahih al-Bukhari, I:27)
Dengan demikian, menurut pendapat yang kuat bahwa masa
fatrah itu tidak lebih dari beberapa hari atau beberapa minggu.
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar