Aqidah (Bagian 3): Orangtua Nabi, Kafirkah?
Kita meyakini sebagai aqidah suci, aqidahnya ahulussunnah wal jama’ah,
bahwa kedudukan para Nabi dan
Rasul itu tinggi di mata Allah,
manusia pilihan Allah yang diutus sebagai penyebar syariat-Nya. Namun hal itu bukanlah sebagai jaminan bahwa seluruh keluarga Nabi dan
Rasul mendapatkan petunjuk dan keselamatan serta aman dari ancaman siksa neraka
karena keterkaitan hubungan keluarga dan nasab.
Hal ini terbukti dengan adanya di antara beberapa keturunan dan atau keluarga
para Nabi yang Allah binasakan dengan Adzab-Nya karena kekafiran mereka.
Anak Nabi Nuh As.
Allah telah berfirman tentang kekafiran anak Nabi Nuh As. yang akhirnya
termasuk orang-orang yang ditenggelamkan Allah bersama orang-orang kafir.
وَقِيلَ يَأَرْضُ ابْلَعِي مَآءَكِ وَيَسَمَآءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَآءُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيّ وَقِيلَ بُعْداً لّلْقَوْمِ الظّالِمِينَ * وَنَادَى نُوحٌ رّبّهُ فَقَالَ رَبّ إِنّ ابُنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنّ وَعْدَكَ الْحَقّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ * قَالَ يَنُوحُ إِنّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِـي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنّيَ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Dan difirmankan: ”Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,”
dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di
atas bukit Judi, dan dikatakan: ”Binasalah orang-orang yang zalim”. Dan Nuh
berseru kepada Tuhannya sambil berkata: ”Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku
termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan
Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”. Allah berfirman: ”Hai Nuh,
sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu
janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui
(hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan
termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS Huud: 44-46)
Ayah
Nabi Ibrahin As.
Allah juga berfirman tentang keingkaran Azar ayah Nabi Ibrahim As.
Allah juga berfirman tentang keingkaran Azar ayah Nabi Ibrahim As.
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلاّ عَن مّوْعِدَةٍ وَعَدَهَآ إِيّاهُ فَلَمّا تَبَيّنَ لَهُ أَنّهُ عَدُوّ للّهِ تَبَرّأَ مِنْهُ إِنّ إِبْرَاهِيمَ لأوّاهٌ حَلِيمٌ
”Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak
lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu.
Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka
Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang
sangat lembut hatinya lagi penyantun” (QS At-Taubah: 114)
Istri Nabi Luts As.
Dan Allah
pun berfirman tentang istri Nabi Luth As. sebagai orang yang dibinasakan oleh adzab Allah.
فَأَنجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلاّ امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ
Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya;
dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). (QS Al-A’raf: 83)
Tidak terkecuali hal itu terjadi pada kedua orang tua Rasulullah SAW. Mereka berdua sesuai
dengan kehendak kauni Allah SWT mati dalam keadaan kafir. Hal itu ditegaskan oleh beberapa nash di
antaranya:
1. Al-Quran
مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
”Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu
adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang
musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (QS
At-Taubah: 113)
Sababunnuzul (sebab turunnya) ayat
ini adalah berkaitan dengan permohonan Nabi SAW kepada
Allah SWT untuk memintakan ampun ibunya (namun kemudian Allah tidak
mengijinkannya).
(Tafsir Ath-Thobari dan Tafsir
Ibnu Katsir QS At-Taubah: 113)
2. As-Sunnah
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Dari Anas RA, bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah SAW ”Wahai Rasulullah, dimanakah tempat ayahku (yang telah
meninggal) sekarang berada?”. Beliau menjawab ”Di neraka”. Ketika orang
tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata ”Sesungguhnya ayahku
dan ayahmu di neraka”. (HR.
Muslim no. 203, Abu Dawud no. 4718, Ahmad no. 13861, Ibnu Hibban no. 578,
Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no. 13856, Abu ‘Awanah no. 289, dan Abu
Ya’la no. 3516)
Imam An-Nawawi berkata, di dalam hadits tersebut yaitu hadits:
إن أبي وأباك في النار
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”
Terdapat pengertian bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan
kafir, maka dia akan masuk neraka. Dan
kedekatannya dengan orang-orang yang mendekatkan diri (dengan Allah) tidak
memberikan manfaat kepadanya. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung makna
bahwa orang yang meninggal dunia pada masa di mana bangsa Arab tenggelam dalam
penyembahan berhala, maka diapun masuk penghuni neraka. Hal itu bukan termasuk
pemberian siksaan terhadapnya sebelum penyampaian dakwah, karena kepada mereka
telah disampaikan dakwah Ibrahim dan juga para Nabi yang lainshalawaatullaah
wa salaamuhu ‘alaihim. (Syarah Shahih Muslim oleh An-Nawawi juz 3 :
79)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي
Dari Abi Hurairoh RA ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW ”Sesungguhnya
aku telah memohon ijin Robb-ku untuk memintakan ampun ibuku, dan Ia tidak
mengijinkanku. Namun Ia mengijinkan aku untuk menziarahi kuburnya” (HR Muslim
no. 976, Abu Dawud no. 3234, An-Nasa’i dalam Ash-Shughraa no. 2034,
Ibnu Majah no. 1572, dan Ahmad no. 9686)
Imam Al-Baihaqi berkata:
وأبواه كانا مشركين, بدليل ما أخبرنا
“Sesungguhnya kedua orang tua Nabi SAW adalah musyrik dengan
dalil apa yang telah kami khabarkan...”.
Kemudian beliau membawakan dalil hadits dalam Shahih Muslim di atas (no.
203 dan 976). (As-Sunanul-Kubraa juz 7 Bab Nikaahi Ahlisy-Syirk wa
Thalaaqihim).
Al-’Allamah Syamsul-Haq ’Azhim ’Abadi berkata :
فلم يأذن لي : لأنها كافرة والاستغفار للكافرين لا يجوز
”Sabda beliau SAW ”Dan Ia (Allah) tidak mengijinkanku” adalah
disebabkan Aminah adalah seorang yang kafir, sedangkan memintakan ampun terhadap
orang yang kafir adalah tidak diperbolehkan” (Aunul
Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Kitaabul-Janaaiz, Baab Fii Ziyaaratil Qubuur)
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال "جاء ابنا مليكة - وهما من الأنصار - فقالا: يَا رَسولَ الله إنَ أمَنَا كَانَت تحفظ عَلَى البَعل وَتكرم الضَيف، وَقَد وئدت في الجَاهليَة فَأَينَ أمنَا؟ فَقَالَ: أمكمَا في النَار. فَقَامَا وَقَد شَق ذَلكَ عَلَيهمَا، فَدَعَاهمَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَرَجَعَا، فَقَالَ: أَلا أَنَ أمي مَعَ أمكمَا
Dari Ibnu Mas’ud RA ia berkata: Datang dua orang anak laki-laki
Mulaikah, mereka berdua dari kalangan Anshor, lalu berkata: ”Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ibu kami semasa hidupnya memelihara unta dan memuliakan tamu. Dia
dibunuh di jaman Jahiliyyah. Di mana ibu kami sekarang berada?”. Maka beliau SAW menjawab: ”Di neraka”.
Lalu mereka berdiri dan merasa berat mendengar perkataan beliau. Lalu
Rasulullah SAW memanggil keduanya lalu berkata: ”Bukankah ibuku bersama ibu
kalian berdua (di neraka)?” (Lihat Tafsir Ad-Durrul-Mantsur juz 4: 298 – Diriwayatkan oleh
Ahmad no. 3787, Thabarani dalam Al-Kabiir 10/98-99 no. 10017,
Al-Bazzar 4/175 no. 3478, dan yang lainnya)
3. Ijma’
Imam Ibnul-Jauzi berkata:
وأما عبد الله فإنه مات ورسول الله صلى الله عليه وسلم حمل ولا خلاف أنه مات كافراً، وكذلك آمنة ماتت ولرسول الله صلى الله عليه وسلم ست سنين
”Adapun ’Abdullah (ayah Nabi), ia mati ketika Rasulullah SAW masih
berada dalam kandungan, dan ia mati dalam keadaan kafir tanpa ada khilaf.
Begitu pula Aminah (tentang kekafirannya tanpa ada khilaf), di mana ia mati
ketika Rasulullah SAW berusia enam tahun” (Al-Maudlu’aat juz
1 hal. 283)
Al-’Allamah ’Ali bin Muhammad Sulthon Al-Qori telah menukil adanya
ijma’ tentang kafirnya kedua orang tua Rasulullah SAW.
وأما الإجماع فقد اتفق السلف والخلف من الصحابة والتابعين والأئمة الأربعة وسائر المجتهدين على ذلك من غير إظهار خلاف لما هنالك والخلاف من اللاحق لا يقدح في الإجماع السابق سواء يكون من جنس المخالف أو صنف الموافق
”Adapun ijma’, maka sungguh ulama salaf dan kholaf dari kalangan
shahabat, tabi’in, imam empat, serta seluruh mujtahidin telah bersepakat
tentang hal tersebut (kafirnya kedua orang tua Nabi SAW) tanpa adanya
khilaf. Jika memang terdapat khilaf setelah adanya ijma’, maka tidak
mengurangi nilai ijma’ yang telah terjadi sebelumnya. Sama saja apakah
hal itu terjadi pada orang-orang menyelisihi ijma’ (di era setelahnya) atau
dari orang-orang yang telah bersepakat (yang kemudian ia berubah pendapat
menyelisihi ijma’)” (Adilltaul
Mu’taqad Abi Haniifah)
Al-Imam Abu Hanifah berkata:
ووالدا رسول الله مات على الكفر
”Dan kedua orang tua Rasulullah mati dalam keadaan kafir” (Al-Adillatul-Mu’taqad Abi
Haniifah)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thobari rahimahullah berkata dalam Tafsirnya ketika
menjelaskan QS Al-Baqarah: 119:
فإن فـي استـحالة الشكّ من الرسول علـيه السلام فـي أن أهل الشرك من أهل الـجحيـم, وأن أبويه كانا منهم
”Semua ini berdasar atas keyakinan dari Rasulullah SAW bahwa
orang-orang musyrik itu akan masuk Neraka Jahim dan kedua orang tua Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam termasuk bagian dari mereka”.
Al-Imam Ibnul-Jauzi berkata ketika berhujjah dengan hadits ”Sesungguhnya
aku telah memohon ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku”; yaitu
berdasarkan kenyataan bahwa Aminah bukanlah seorang wanita mukminah” [Al-Maudlu’aat juz
1 hal. 284].
Beberapa imam ahli hadits pun memasukkan hadits-hadits yang disebutkan
di atas dalam bab-bab yang tegas menunjukkan fiqh (pemahaman)
dan i’tiqad mereka tentang kekafiran kedua orang tua
Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam. Misalnya, Al-Imam Muslim
memasukkannya dalam Bab
بيان أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تناله شفاعة ولا تنفعه قرابة المقربين
“Penjelasan bahwasannya siapa saja meninggal dalam kekafiran maka ia
berada di neraka dan ia tidak akan memperoleh syafa’at dan tidak bermanfaat
baginya hubungan kekerabatan”.
Al-Imam Ibnu Majah memasukkannya dalam Bab [ما جاء في زيارة قبور المشركين] ”Apa-Apa yang Datang Mengenai Ziyarah ke
Kubur Orang-Orang Musyrik”. Al-Imam An-Nasa’i memasukkannya dalam Bab [زيارة قبر المشرك] ”Ziyarah ke Kubur Orang-Orang Musyrik.
Dan yang lainnya.
Keterangan di atas adalah hujjah yang sangat jelas yang menunjukkan
kekafiran kedua orang tua Nabi SAW. Namun, sebagian orang-orang yang
datang belakangan menolak ’aqidah ini di mana mereka membuat khilaf setelah adanya
ijma’ (tentang kekafiran kedua orang tua Nabi SAW). Mereka mengklaim bahwa kedua orang tua beliau termasuk ahli surga.
Yang paling menonjol dalam membela pendapat ini adalah Al-Haafidh As-Suyuthi.
Ia telah menulis beberapa judul khusus yang membahas tentang status kedua orang
tua Nabi seperti:
Masaalikul-Hunafaa fii Waalidayal-Musthafaa,
At-Ta’dhiim wal-Minnah fii Anna Abawai Rasuulillah fil-Jannah,
As-Subulul-Jaliyyah fil-Aabaail-’’Aliyyah, dan
lain-lain.
Bantahan Terhadap yang Kontra
1. Mereka menganggap bahwa kedua orangtua nabi
termasuk ahli fatrah sehingga mereka dimaafkan.
Orangtua Nabi SAW wafat pada masa fatrah,
yakni masa sebelum kedatangan rasul. Orang-orang yang hidup pada masa itu tidak
sampai kepada mereka dakwah. Para imam mazhab Asy’ari dalam kalam, ushul, dan fiqh Syafi’i bersepakat menyatakan
bahwa orang yang meninggal sebelum menerima dakwah, dia akan masuk surga.
Hal
ini didasarkan pada firman Allah:
Artinya: Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami
mengutus seorang rasul (QS Al-Isra: 15).
Nabi SAW
bersabda: “Barangsiapa yang wafat
dalam (masa) fatrah akan berkata: Ya Tuhanku, tak ada kitab suci atau rasul
yang sampai kepadaku. Dan dia membaca ayat:
Artinya: Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab
menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan: “Ya Tuhan kami, mengapa
Engkau tidak mengutus seorang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat
Engkau dan jadilah kami termasuk orang-orang mukmin.” (QS Al-Qashash: 47). (HR
Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan
masa wafat kedua orangtua Nabi ini pun kita bisa simpulkan bahwa mereka tidak
layak dituduh sebagai orang musyrik yang masuk neraka dan kekal di dalamnya.
Selain
itu, nama ayah Nabi, Abdullah (hamba Allah) dan nama ibu beliau, Aminah (wanita
yang amanah) telah mengisyaratkan bahwa mereka adalah orang-orang yang
menghambakan diri kepada Allah Ta’ala.
Jawab:
Definisi fatrah menurut bahasa kelemahan dan penurunan. (Lisaanul-’Arab oleh
Ibnul-Mandhur 5/43).
Adapun secara istilah, maka fatrah bermakna tenggang
waktu antara dua orang Rasul, di mana ia tidak mendapati Rasul pertama dan tidak
pula menjumpai Rasul kedua (Jam’ul-Jawaami’ 1/63).
Hal ini seperti selang waktu antara Nabi Nuh dan
Nabi Idris As. serta seperti selang
waktu antara Nabi ’Isa As. dan Muhammad SAW. Definisi ini dikuatkan oleh firman Allah SWT:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلا نَذِيرٍ
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami,
menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul,
agar kamu tidak mengatakan "Tidak datang kepada kami baik seorang pembawa
berita gembira maupun seorang pemberi peringatan” (QS
Al-Maaidah: 19).
Ahli fatrah terbagi menjadi dua macam:
a. Yang
telah sampai kepadanya ajaran Nabi.
b. Yang
tidak sampai kepadanya ajaran/dakwah Nabi dan dia dalam keadaan lalai.
Golongan pertama di atas dibagi menjadi dua.
Pertama, Yang sampai
kepadanya dakwah dan dia bertauhid serta tidak berbuat syirik. Maka mereka
dihukumi seperti ahlul-islam/ahlul-iman. Contohnya adalah Waraqah bin Naufal,
Qus bin Saa’idah, Zaid bin ’Amr bin Naufal, dan yang lainnya.
Kedua, Yang tidak sampai
kepadanya dakwah namun ia merubah ajaran dan berbuat syirik. Golongan ini
tidaklah disebut sebagai ahlul-islam/ahlul iman. Tidak ada perselisihan di
antara ulama bahwa mereka merupakan ahli neraka. Contohnya adalah ’Amr bin
Luhay, Abdullah bin Ja’dan, Shahiibul-Mihjan, kedua orangtua Rasulullah SAW,
Abu Thalib, dan yang lainnya.
Golongan kedua, maka mereka akan diuji oleh Allah kelak di hari
kiamat.
Kedua orang tua Rasulullah SAW memang termasuk ahli fatrah, namun telah sampai kepada
mereka dakwah Nabi Ibrahim As. Maka, mereka tidaklah dimaafkan akan kekafiran mereka sehingga layak
sebagai ahli neraka.
2. Hadits-hadits
yang menceritakan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua
Rasulullah SAW ke dunia, lalu mereka beriman kepada ajaran beliau.
Di antara hadits-hadits tersebut adalah:
عن عائشة رضي الله عنها قالت: حج بنا رسول الله حجة الوداع ، فمرّ بي على عقبة الحجون وهو باكٍ حزين مغتم فنزل فمكث عني طويلاً ثم عاد إلي وهو فرِحٌ مبتسم ، فقلت له فقال : ذهبت لقبر أمي فسألت الله أن يحييها فأحياها فآمنت بي وردها الله
Dari ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa ia berkata: ”Rasulullah SAW melakukan haji
bersama kami dalam haji wada’. Beliau melewati satu tempat yang bernama Hajun
dalam keadaan menangis dan sedih. Lalu beliau shallallaahu ’alaihi
wasallam turun dan menjauh lama dariku kemudian kembali kepadaku dalam
keadaan gembira dan tersenyum. Maka akupun bertanya kepada beliau (tentang apa
yang terjadi), dan beliau pun menjawab: ”Aku pergi ke kuburan ibuku untuk
berdoa kepada Allah agar Ia menghidupkannya kembali. Maka Allah pun
menghidupkannya dan mengembalikan ke dunia dan beriman kepadaku”. (Diriwayatkan oleh Ibnu
Syahin dalam An-Nasikh wal-Mansukh no. 656, Al-Jauzaqaani
dalam Al-Abaathil 1/222, dan Ibnul-Jauzi
dalam Al-Maudlu’aat 1/283-284).
Hadits ini tidak shahih karena perawi yang bernama Muhammad bin Yahya
Az-Zuhri dan Abu Zinaad. Tentang Abu Zinaad, maka telah berkata Yahya bin
Ma’in: Ia bukanlah orang yang dijadikan hujjah oleh Ashhaabul-Hadiits,
tidak ada apa-panya”. Ahmad berkata: ”Orang yang goncang haditsnya (mudltharibul-hadiits)”.
Berkata Ibnul-Madiinii: ”Menurut para shahabat kami ia adalah seorang
yang dla’if”. Ia juga berkata pula: ”Aku melihat Abdurrahman bin Mahdi
menulis haditsnya”. An-Nasa’i berkata: ”Haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah”.
Ibnu ’Adi berkata: ”Ia termasuk orang yang ditulis haditsnya” [silakan lihat
selengkapnya dalam Tahdzibut-Tahdzib]. Ringkasnya, maka ia termasuk
perawi yang ditulis haditsnya namun riwayatnya sangat lemah jika ia
bersendirian.
Adapun Muhammad bin Yahya Az-Zuhri, maka Ad-Daruquthni
berkata: ”Matruk”. Ia juga berkata: ”Munkarul-Hadits, ia dituduh
memalsukan hadits” [lihat selengkapnya
dalam Lisaanul-Miizaan 4/234].
Dengan melihat kelemahan itu, maka para ahli hadits menyimpulkan sebagai
berikut. Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat (1/284) berkata: ”Palsu
tanpa ragu lagi”.
Ad-Daruquthni dalam Lisaanul Mizan (biografi ’Ali bin Ahmad Al-Ka’by): ”Munkar lagi bathil”.
Ibnu ’Asakir dalam Lisanul-Mizan (4/111): ”Hadits munkar”.
Adz-Dzahabi berkata (dalam biografi ’Abdul-Wahhab bin Musa): ”Hadits ini adalah
dusta”.
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا كان يوم القيامة شفعت لأبي وأمي وعمي أبي طالب وأخ لي كان في الجاهلية
Dari Ibnu ’Umar RA ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: ”Pada
hari kiamat nanti aku akan memberi syafa’at kepada ayahku, ibuku, pamanku Abu
Thalib, dan saudaraku di waktu Jahiliyyah.” (Diriwayatkan oleh Tamam Ar-Razi dalam Al-Fawaaid 2/45)
Hadits ini adalah palsu karena rawi yang bernama Al-Waliid bin
Salamah. Ia adalah pemalsu lagi ditinggalkan
haditsnya. (Al-Majruhiin oleh Ibnu Hibban 3/80 dan Mizaanul-I’tidaal oleh Adz-Dzahabi 4/339].
Pembahasan selengkapnya hadits ini dapat dibaca dalam Silsilah Al-Ahaadits
Adl-Dla’iifah wal-Ma’udluu’ah oleh Asy-Syaikh Al-Albani no. 322.
عن علي مرفوعاً : « هبط جبريل علي فقال إن الله يقرئك السلام ويقول إني حرمت النار على صلبٍ أنزلك وبطنٍ حملك وحجرٍ كفلك
Dari ’Ali RA secara marfu’: ”Jibril turun kepadaku
dan berkata: ’Sesungguhnya Allah mengucapkan salaam dan berfirman: Sesungguhnya
Aku haramkan neraka bagi tulang rusuk yang telah mengeluarkanmu (yaitu
Abdullah), perut yang mengandungmu (yaitu Aminah), dan pangkuan yang merawatmu
(yaitu Abu Thalib).” (Diriwayatkan
oleh Al-Jauzaqaani dalam Al-Abaathil 1/222-223 dan Ibnul-Jauzi
dalam Al-Maudlu’aat 1/283)
Hadits ini adalah palsu (maudlu’) tanpa ada keraguan sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat (1/283) dan Adz-Dzahabi dalam
Ahaadiitsul- Mukhtarah no. 67.
Dan hadits lain yang senada yang tidak lepas dari status sangat lemah,
munkar, atau palsu.
3. Hadits-hadits yang menjelaskan tentang
kafirnya kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi
wa sallam dinasakh (dihapus) oleh hadits-hadits yang menjelaskan
tentang berimannya kedua orang tua beliau.
Jawab:
Klaim nasakh hanyalah diterima bila
nash naasikh (penghapus) berderajat shahih. Namun, kedudukan
haditsnya yang dianggap naasikh adalah sebagaimana yang kita lihat (sangat
lemah, munkar, atau palsu). Maka bagaimana bisa diterima hadits shahih
di-nasakh oleh hadits yang kedudukannya sangat jauh di bawahnya? Itu yang
pertama. Adapun yang kedua, nasakh hanyalah ada dalam masalah-masalah
hukum, bukan dalam masalah khabar. Walhasil, anggapan nasakh adalah anggapan
yang sangat lemah.
Pada akhirnya, orang-orang yang menolak hal ini berhujjah dengan
dalil-dalil yang sangat lemah. Penyelisihan dalam perkara ini bukan termasuk
khilaf yang diterima dalam Islam (karena tidak didasari oleh hujjahyang kuat).
Orang-orang Syi’ah berada pada barisan terdepan dalam memperjuangkan pendapat
bathil ini. Di susul kemudian sebagian habaaib (orang yang mengaku keturunan
Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam) di mana mereka
menginginkan atas pendapat itu agar orang berkeyakinan tentang kemuliaan
kedudukan mereka sebagai keturunan Rasulullah. Hakekatnya, motif dua golongan
ini adalah sama. Kultus individu.
Keturunan Nabi adalah nasab yang mulia dalam Islam. Akan tetapi hal itu
bukanlah jaminan – sekali lagi – bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam surga
dan selamat dari api neraka. Allah hanya akan menilai seseorang – termasuk
mereka yang mengaku memiliki nasab mulia – dari amalnya. Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنْ بَطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
”Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak bisa
mempercepatnya” (HR Muslim – Arba’un
Nawawiyyah no. 36)
Kesimpulan:
Kedua orang tua Nabi SAW adalah meninggal dalam keadaan kafir. Wallohu a’lam.
Oleh:
Abu Quthbie Al-Isyariy
Tidak ada komentar