Asyura: Antara Sunnah & Syiah (Bagian V)
Pengkhianatan Terhadap Muslim bin
‘Aqil
Hasyim Ma'ruf asy-Syi'i menerangkan:
"Gubernur baru berkuasa untuk membuat rekayasa guna menangkap Hani bin
Urwah pemilik rumah di mana utusan Husen Ra. berada, dan yang telah menjamunya
dengan sangat baik, bekerja sama di dalam pemikiran-pemikiran dan strategi.
Lalu Gubernur itu pun menangkapnya dan membunuhnya setelah melalui perdebatan
panjang di antara mereka berdua. Dan ia pun melemparkan bangkainya dari atas
istana ke bahwa ke arah masyarakat yang berkerumun di sekitar istana. Lalu
timbullah ketakutan dan kecemasan di kalangan masyarakat. Masing-masing orang
pulang kerumahnya sendiri-sendiri. Seolah-olah tidak lagi perduli dengan
situasi." (Lihat, Siirah al-Aimmah al-Itsna 'Asyar, II:61)
Pemuka Syi'i Muhammad Kazhim
al-Qazwaini menerangkan: "Lalu Ibnu Ziyad masuk Kufah. Ia mengirim utusan
kepada para pemuka setempat dan pimpinan-pimpinan kabilah, mengancam mereka
dengan datangnya pasukan dari Syam, dan memikat mereka, sehingga mereka pun
membubarkan diri sedikit demi sedikit meninggalkan Muslim sehingga tingggal
Muslim seorang diri." (Lihat, Faaji'ah ath-Thaff, hal. 7. Pernyataan
serupa juga tersebut di dalam Tazhlim az-Zahraa', hal. 149).
Abdul Husein Nuruddin al-'Amili
mengatakan: "Kemudian masyarakat pun bercerai-berai. Ketika itu para
wanita menjumpai putranya dan saudaranya, lalu berkata, ‘Pulanglah, orang lain
sudah cukup bagimu !’ Sementara kaum lelaki datang menjumpai putra dan saudaranya,
lalu berkata, ‘Besok akan datang orang-orang Syam, apa yang akan engkau perbuat
terhadap peperangan dan musibah? Pulanglah !’ Kemudian ia pun membawanya pergi.
Dan secara terus menerus mereka bercerai berai, sehingga ketika tiba sore
harinya dan hendak melakukan salat Maghrib, sudah tidak lebih orang-orang yang
tinggal bersamanya kecuali tiga puluh orang di dalam masjid. Tatkala ia melihat
sudah tiba sore hari sedang ia hanya berada bersama mereka ini. Lalu ia pun
keluar dari masjid dan pergi menuju gerbang-gerbang kabilah Kindah, tetapi
belum lagi sampai ke gerbang-gerbang tersebut, kini orang-orang yang bersamanya
sudah tinggal sepuluh orang. Dan ketika keluar dari gerbang tersebut, ia sudah
tidak bersama seorang pun.” (Lihat, Ma'saah Ihda wa Sittiin, hal. 27)
Menurut hemat kami: "Inilah
situasi yang terjadi pada diri Muslim bin 'Aqil ketika ia meminta kepada Husen
Ra. agar memaafkan dirinya karena situasi ini. Sebab sekarang ia telah
menyadari pengkhianatan Syi'ah terhadap pamannya Ali, juga terhadap putra
pamannya Hasan Ra. Kini kian nyata bukti peristiwa itu. Dan Muslim pun dibunuh
di hadapan dan di depan mata dan telinga orang-orang yang telah mengundangnya
untuk dibaiat atas nama Husein."
Seorang pemuka Syi'i fanatik Abdul
Husein Syarafuddin dalam menyinggung pengkhianatan para pendahulunya
(orang-orang Syi'ah) terhadap Muslim bin Aqil, ia mengatakan: "Tetapi
justru sesudah itu mereka mengingkarinya, sesudah berbaiat kepadanya,
menguburkan beban tanggung jawabnya, tidak teguh memegang janji, pun tidak
kokoh memegang ikrar. Sungguh itu merupakan peristiwa paling tragis,
merobek-ro-bek hak-hak, kehinaan paling rendah, peristiwa yang paling layak
untuk dikenang. Tetapi berkaitan dengan sikapnya ketika diterima oleh para
sahabatnya dan situasi kian menekan antara dirinya dengan musuh-musuhnya,
terbukti ia bersikap mulia, dan berpendirian teguh. Pada saat datang
musuh-musuh dari atas, dari bawah, dan mengepungnya dari berbagai penjuru,
sedang dia hanyalah seorang diri, tanpa penolong tak ada pembela . . . ,
sehingga terjatulah ia ke tangan mereka selaku tawanan perang." (Lihat,
al-Majaalis al-Faakhirah, hal. 62).
Husein Ra. Menuju Ke Kufah
Para Sahabat seperti Ibnu Abbâs Ra.
kerap kali menasehati Husen Ra. agar tidak memenuhi keinginan mereka, karena
ayah Husen Ra, Ali bin Abi Thalib Ra, dibunuh di Kufah dan Ibnu Abbas Ra.
khawatir mereka membunuh Husen Ra juga di sana.
Sebagian riwayat menyatakan bahwa
beliau Ra. mengambil keputusan ini karena belum mendengar kabar tentang
sepupunya Muslim bin 'Aqil yang telah dibunuh di sana.
Nasehat yang sama disampaikan pula
oleh Muhammad bin Ali bin Abu Thalib atau yang populer dengan gelar Ibnu
al-Hanif. Ia berkata, “Wahai saudaraku, penduduk Kufah sudah Anda ketahui
betapa pengkhianatan mereka terhadap bapakmu (Ali Ra.) dan saudaramu (Hasan
Ra.). Saya khawatir nanti keadaanmu akan sama seperti keadaan mereka
sebelumnya!” (Lihat, al-Luhuuf, karya Ibnu Thawus, hal. 39; Asyuura', karya
al-Ihsa’I, hal. 115; Al-Majaalis al-Faakhirah, karya Abdul Husen, hal. 75;
Muntaha al-Aamaal, I:454; Alaa Khathi al-Husain, hal. 96)
Menyikapi nasehat-nasehat itu, Husen
Ra. mengatakan, "Saya sudah melakukan istikharah dan akan berangkat
kesana." Akhirnya, berangkatlah Husen Ra. bersama keluarga menuju Kufah.
Dikutip oleh seorang pakar hadis
Syi'i Abbas al-Qumi, dan juga oleh seorang tokoh penulis Syi'i Abdul Hadi
ash-Shalih, bahwa al-Husein ketika hendak berangkat dari Mekah, beliau
melalukan thawaf dan sa'i, memotong rambut beliau dan berta-halul dari ihram
beliau. Sebab, beliau tidak tenang untuk menyelesaikan hajinya karena takut
akan ditangkap atau di-bunuh di Mekah. Lalu beliau mengumpulkan sahabat-sahabat
be- liau pada malam delapan Dzul Hijjah dan berpidato kepada me-reka seraya
berkata: "Segala puji bagi Allah. Segala sesuatu adalah atas kehendak
Allah. Tiada kekuatan melainkan dari Allah. Semoga sholawat terlimpah kepada
Rasul-Nya. Dia telah menetapkan kematian atas anak Adam, dan telah pula
mene-tapkan kepemimpinan kepada sebaik-baik pemuda. Alasan yang mendorongku untuk
mengenang orang-orang sebelumku adalah se-bagaimana kerinduan Ya'qub kepada
Yusuf. Dan sebaik-baik tempat kematianku adalah yang akan kudapati. Seolah-olah
de-ngan kedatanganku terhalang oleh lebah-lebah padang belan-tara di antara
an-Nawawis dan Karbala'. Lalu merenggut da-riku sepenuh perutnya dengan sangat
rakus. Tiada jalan kelu-ar dari hari-hari yang telah tertulis oleh
"Pena" (takdir). Kerelaan Allah adalah kerelaan kami para Ahlul Bayt.
Kami akan bersabar terhadap ujian-Nya, dan semoga kami dikaruniai pahala
orang-orang yang bersabar. . . " (Lihat, Muntaha al-Aamaal, I:453; Khair
al-Ashhaab, hal. 33)
Dr. Ahmad Rasim an-Nafis mengatakan:
"Bahkan Farazdaq si penyair telah berjumpa dengan kafilah Husein. Ia
mengucapkan salam kepada beliau, dan berkata kepada beliau, ‘Demi bapak dan
ibuku, wahai putra Rasulullah, dorongan apa yang membuat tuan menyegerakan
ibadah haji?’ Beliau menjawab, ‘Sekiranya saya tidak terburu-buru, niscaya saya
akan ditangkap..,’ Lalu Abu Abdillah (Husein) bertanya tentang keadaan
masyarakat. Farazdaq menjawab, ‘Hati mereka ada pada tuan, tetapi pedang mereka
pun akan menyerang tuan.’ Beliau menjawab, ‘Maha Benar Allah di dalam mengatur
dan setiap hari Dia dengan urusan-Nya. Sekiranya terjadi ketentuan sesuai yang
kami sukai dan kami rela, maka kami pun akan memuji karunia-Nya. Sedang Dia-lah
tempat kita memanjatkan syukur. Tetapi jika yang terjadi di luar harapan, maka
tidak akan tersia-sia orang yang baik niatnya dan takwa batinnya’."
(Lihat, 'Alla Khathi al-Husain, hal. 99-100;
asy-Syii'ah wa Asyuura', hal. 178).
Perhatikanlah keterangan tentang
ucapan beliau: "Sekiranya terjadi ketentuan sesuai yang kami sukai
..." Keterangan ini berlawanan dengan pernyataan yang dikutip oleh Abbas
al-Qumi: "Seolah-olah dengan kedatanganku terhalang oleh lebah-lebah
padang belantara di antara an-Nawawis dan Karbala'."
Pemuka Syi'i bernama Ali bin Musa
bin Ja'far bin Thawus al-Huseini mengatakan: "Si perawi menerangkan:
"Husen As. berangkat sehingga tinggal berjarak dua hari perjalanan dari
Kufah. Tiba-tiba beliau berjumpa dengan al-Hurr bin Yazid bersama seribu orang
penunggang kuda. Husen Ra. pun bertanya kepadanya, ‘Adakah Anda berpihak kepada
kami ataukah memusuhi kami?’ Ia menjawab, ‘Kami akan memusuhi Anda wahai Abu
Abdillah.’ Beliau berkata, ‘Tiada daya maupun kekuatan melainkan dari Allah
Yang Mahatinggi lagi Mahaagung.’ Selanjutnya terjadilah dialog di antara mereka
berdua, sehingga Husen Ra. berkata kepadanya, ‘Jika kalian pada posisi yang
berbeda dari surat-surat kalian yang datang kepadaku, dan juga utusan-utusan
yang Anda utus kepadaku. Maka saya akan kembali ke tempat saya pergi."
Al-Hurr melarang beliau bersama para
sahabat beliau untuk melakukan itu. Dan ia pun berkata: "Wahai putra
Rasulullah, ambillah jalan yang kiranya tidak memasukkan Anda ke Kufah, dan
tidak pula mengantar Anda ke Madinah, agar saya dapat beralasan kepada Ibnu
az-Ziyad, seolah-olah Anda telah berlawanan jalan denganku di perjalanan."
Kemudian Husen Ra. berbelok ke kiri, sehingga beliau sampai di Adzib al-Hajanat."
(Lihat, al-Luhuuf, hal. 47; al-Majaalis al-Faakhirah, hal. 87).
Ayatullah Muhammad Taqiy Ali Bahri
al-Ulum menerangkan: " Husein keluar seraya mengenakan kain, selendang,
sepasang sendal, dan bersandar pada penghulu pedang beliau. Lalu beliau menghadapi
kelompok tersebut, memuji dan menyanjung Allah, lalu berkata, ‘Dengan
merendahkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla dan juga kepada kalian. Sebenarnya
saya tidak datang kepada kalian sehingga datang kepada saya surat-surat kalian.
Dan dinyatakan oleh utusan-utusan kalian, ‘Datanglah kepada kami karena kami
tidak memiliki imam. Semoga Allah berkenan mempersatukan kita di atas
petunjuk.’ Jika kalian memang bersikap seperti itu, maka sekarang kami datang
kepada kalian, maka penuhilah janji dan ikrar kalian dengan si kap yang baik.
Tetapi sekiranya kalian tidak menyukai kehadiranku, maka saya pun akan
meninggalkan kalian kembali ke tempat di mana saya berangkat.’ Mereka pun
terdiam semuanya. Lalu al-Hajjaj bin Masruq al-Ju'fi menyerukan salat zhuhur. Kemudian
Husen berkata kepada al-Hurr, ‘Apakah Anda hendak bertindak sebagai imam salat
sahabat-sahabat Anda?’ Ia menjawab, ‘Tidak, namun kami semuanya akan bermakmum
kepada Anda.’ Kemudian Husein pun bertindak sebagai imam salat mereka. Seusai
salat, beliau menghadap mereka, memuji dan menyanjung Allah, dan bersholawat
kepada Nabi Muhammad, beliau berkata, ‘Wahai hadirin, sekiranya kalian bertakwa
kepada Allah dan memahami hak-hak ahli-Nya, niscaya itu lebih diridhai Allah.
Kami adalah Ahlul Bayt Muhammad saw., lebih layak untuk menduduki jabatan ini
dibanding mereka yang merasa memiliki apa-apa yang tiada pada mereka. Dan
mereka orang-orang yang suka melakukan kejahatan dan permu-suhan. Tetapi
sekiranya kalian merasa enggan dan tidak menyukai kami, tidak memahami hak-hak
kami, dan sekarang kalian berpendapat (dengan pendapat baru) yang berbeda
dengan pernyataan-pernyataan surat-surat kalian. Kami akan pergi meninggalkan
kalian’."
Al-Hurr berkata, "Saya tidak
mengerti tentang surat-surat yang Anda sebutkan itu?" Lalu Husein
memerintahkan kepada Uqbah bin Sam'an (agar mengeluarkan surat-surat tersebut).
Ia pun mengeluarkan dua kantung penuh dengan surat-surat.
Al-Hurr berkata, "Saya bukan
dari golongan mereka. Bahkan saya diperintah untuk tidak berpisah dari Anda
apabila bisa menjumpai Anda sampai saya membawa Anda ke Kufah menjumpai Ibnu
Ziyad." Husein menjawab, "Maut lebih dekat pada diri Anda daripada
melaksanakan hal itu."
Lalu beliau memerintahkan
sahabat-sahabat beliau agar menunggangi kendaraan, para wanita pun sudah
menunggangi kendaraan. Tetapi tiba-tiba al-Hurr melarang mereka pergi menuju ke
Madinah." Husen berkata kepada al-Hurr, "Celakalah ibumu, apakah yang
kalian harap dari kami?"
Al-Hurr berkata, "Sekiranya
yang mengucapkan kata-kata itu orang Arab lain selain Anda, dan ia dalam posisi
seperti Anda sekarang, niscaya tidak akan kubiarkan ia menyebut celaka terhadap
ibunya, betapa pun alasannya. Demi Allah, saya tidak memiliki kemampuan untuk
menyebut ibu Anda, kecuali dengan ucapan yang baik dan kami hormati. Tetapi
sekarang silahkan ambil jalan tengah yang mana tidak memasukkan Anda ke Kufah
dan bukan ke arah Madinah, sehingga saya dapat menulis surat kepada Ibnu Ziyad.
Semoga Allah berkenan mengaruniakan kesejahteraan kepada kita, dan saya pun
tidak mendapat musibah karena persoalan Anda ini." (Lihat, Waaqi'ah
ath-Thaff, karya Bahr al-'Ulum, hal. 191-192)
Peristiwa yang berkaitan dengan
upaya Husen Ra. hendak pulang kembali ke tempat semula, dan betapa beliau
dihinakan dan dikhianati oleh orang-orang Syi'ah Kufah, pada dasarnya telah
dikutip oleh beberapa pakar sejarah Syi'ah, bahkan diterangkan juga oleh para
tokoh Syi’ah seperti Abbas al-Qumi (dalam Muntahaa al-AAmaal, I:464), Abdur
Razaq al-Musawi al-Muqarram (dalam Maqtal al-Husain, hal. 183), Baqir Syarif
al-Qurasyi (dalam Fii Hayaah al-Imaam al-Husain, hal. 102), Dr. Ahmad Rasim
an-Nafis (dalam ‘Alaa Khathi al-Husain, hal. 102), Fadhil Abbas al-Hayawi
(dalam Maqtal al-Husain, hal. 11), Syarif al-Jawahiri (dalam Mutsiiru
al-Ahzaan, hal. 43), Asad Haidar (dalam Ma'a al-Husaini fii Nahdhatih, hal.
165), Arwa Qushair Qalith (dalam Khuthbu al-Masiirah al-Karbala’iyyah, hal.
49), Muhsin al-Huseini (Al-Imaam al-Husain Bashiirah wan Hadhaarah), juga oleh
pemikir Syi'i Abdul Hadi ash-Shalih, sebagaimana diterangkan Abdul Husein
Syarafuddin (dalam al-Majaalis al-Faakhirah, hal. 87). Juga dinyatakan oleh
Ridha al-Qazwaini (dalam Tadhlim az-Zahraa', hal. 174 dan halaman berikutnya).
Abbas al-Qumi juga mengutip riwayat,
bahwa Husen Ra. melakukan perjalanan sehingga sampai di Qashr Bani Muqatil.
Ternyata di sana sudah tersedia tenda-tenda terbentang, anak-anak panah yang
disiagakan, kuda-kuda yang dipersiapkan. Lalu Husen Ra. Bertanya, "Bagi
siapakah tenda-tenda ini?’ Mereka menjawab, ‘Bagi Ubaidullah bin al-Hurr
al-Ju'fi.’ Kemudian Husen Ra. mengutus salah seorang sa-habat beliau bernama
al-Hajjaj bin Masruq al-Ju'fi untuk menghadap kepadanya. Ia pun menghadap dan
mengucapkan salam kepadanya. Ubaidullah menjawab salamnya, kemudian berkata,
"Siapakah di belakang Anda?’ Ia menjawab, ‘Di belakang saya wahai Ibnu
al-Hurr, kiranya Allah akan mengaruniakan kehormatan kepada tuan sekiranya tuan
bersedia menerima beliau.’ Ibnu al-Hurr bertanya, ‘Apakah karunia kehormatan
itu?’ Ia menjawab, ‘Beliau adalah Husen bin Ali, beliau mengundang Anda agar
bersedia membelanya. Sekiranya Anda berperang di hadapan beliau, niscaya Anda
akan dikaruniai pahala, dan jika Anda terbunuh di hadapannya, niscaya Anda akan
mati syahid’.
Ubaidullah bin al-Hurr menjawab,
"Demi Allah, hai Hajjaj, saya tidak berangkat dari Kufah melainkan karena
khawatir, bahwa Husen Ra. akan masuk ke sana, sedang saya berada di sana dan
tidak dapat membelanya. Sebab di Kufah tidak ada orang-orang Syi'ah maupun
penolong-penolong melainkan para materialistis, kecuali (beberapa orang) yang
diselamatkan Allah dari kalangan mereka. Sekarang kembalilah kepada beliau dan
beritahukan hal itu kepada beliau."
Kemudian Husen bangkit memakai
sendal dan pergi menjumpainya bersama sejumlah sahabat dari kalangan
saudara-saudara dan Ahlul Bayt beliau. Tatkala masuk dan mengucapkan salam,
melonjaklah Ubaidillah bin al-Hurr dari posisi duduknya, mencium kedua tangan
dan kaki beliau. Kemudian Husen duduk seraya memuji dan menyanjung Allah, lalu
ber-kata, ‘Hai Ibnu al-Hurr, sebenarnya penduduk kota Anda telah menulis surat
kepada saya dan menjelaskan kepada saya bahwa mereka telah berkumpul hendak
membelaku, dan mereka pun memohon kepadaku untuk datang kepada mereka. Saya pun
datang, dan persoalannya bukan seperti anggapan mereka. Sekarang saya mengajak
Anda untuk membela kami para Ahlul Bayt. Sekiranya hak-hak kami diberikan,
niscaya kami akan memuji Allah dan menerimanya. Tetapi sekiranya hak-hak kami
ditolak dan dianggap kami melakukan kezaliman, maka sebenarnya tujuan saya
adalah menuntut kebenaran."
Ubaidillah menjawab, "Wahai
putra Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam wa aalih, sekiranya di Kufah
terdapat Syi'ah (sejati) dan para pembela yang akan berperang bersama Anda,
niscaya saya orang yang paling mengetahuinya. Tetapi saya mengetahui bahwa
Syi'ah Anda di Kufah itu telah meninggalkan rumah-rumah mereka masing-masing
karena takut kepada pedang-pedang Bani Umayah."
Husein tidak menjawab ucapan itu,
dan beliau berlalu. . . "
Peristiwa tersebut diterangkan oleh
Abbas al-Qumi di dalam Muntahaa al-Aamaal, I:466. Juga di catatan pinggir
(haamisy), kitab an-Nafs al-Mahmuum, hal. 177.
Kabar Buruk
Abbas al-Qumi menerangkan:
"Lebih lanjut perhatikanlah (maksudnya Husein), sehingga ketika tiba waktu
sahur, beliau berkata kepada bujang-bujang dan pelayan-pelayan beliau,
"Perbanyaklah air, sehingga kalian memiliki persediaan minum. Dan
perbanyak lagi, kemudian berangkatlah. Lalu beliau melakukan perjalanan.
Sehingga ketika beliau sampai di tempat sampah, datang kepada beliau berita
tentang Abdullah bin Yaqthar. Kemudian beliau mengumpulkan para sahabat beliau.
Mengeluarkan sepucuk surat di hadapan hadirin, dan beliau membacakannya di
hadapan mereka. Ternyata tertulis di dalamnya sebagai berikut:
"Bismillahirrahmanirrahim. Lebih lanjut, telah datang berita buruk kepada
kami, Muslim bin Aqil dibunuh, Hani bin Urwah, dan juga Abdullah bin Yaqthar.
Kita telah dihinakan oleh Syi'ah kita sendiri. Barangsiapa di antara kalian
hendak pulang, silahkan pulang tanpa dipersalahkan dan tanpa dibebani
sangsi."
Kemudian para hadirin pun
bercerai-berai meninggalkan beliau, yaitu dari kalangan orang-orang yang
mengikuti beliau demi memperoleh harta rampasan dan kehormatan. Sehingga beliau
hanya tinggal bersama Ahlul Bayt beliau dan para sahabat-sahabat beliau yang
tetap memilih tinggal dan patuh bersama beliau atas dasar yakin dan
iman."(Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:462) diterangkan pula oleh al-Majlisi
di dalam kitab Bihaar al-Anwaar, XXXXIV:374; Muhsin al-Amin dalam Lawaa’ij
al-Asyhaan, hal. 67; Abdul Husein al-Musawi dalam al-Majaalis al-Faakhirah,
hal. 85; Abdul Hadi ash-Shalih di dalam Khair Ashhaab, hal. 37, dan hal. 107.
Oleh Ust.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar