M. Natsir dan Persatuan Islam (PERSIS)
M. Natsir
adalah seorang Dzu Wujuh, mempunyai
banyak wajah dalam arti positif. Beliau adalah seorang guru bangsa, pendidik
umat, mujahid dakwah, politikus terdepan, dan seorang negarawan terkemuka dan
dihormati baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam berbagai perannya
tersebut, beliau banyak meninggalkan atsar
perjuangan yang sangat bernilai untuk dikaji dan diteladani.
M. Natsir
yang bergelar Datuk Sinaro Panjang, terlahir di Jembatan Berukir Alahan
Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat pada hari Jum'at tanggal 17 Jumadil
Akhir 1326 H, bertepatan dengan 17 Juli 1908 dari seorang ibu bernama Khadijah
dan seorang ayah bernama Mohammad Idris Sutan Saripado.
Riwayat
Pendidikan M. Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Maninjau Sumatera
Barat hingga kelas dua. Setelah itu pindah ke HIS Adabiyah di Padang Panjang,
kemudian beliau dipinhkan ke HIS Pemerintah di Solok. Di Solok inilah beliau
belajar Al-Qur'an, Bahasa Arab dan Fikih kepada Tuanku Mudo Amin setiap sore
dan malam hari. Setelah lulus dari HIS beliau melanjutkan pendidikannya di MULO
di Padang, dan mulai aktif berorganisasi dengan masuk Jong Sumatera Bond yang
diketuai Sanusi Pane. M. Natsir kemudian melanjutkan pendidikan formalnya ke
AMS Afdelling A di Bandung. Di Bandung inilah beliau bertemu dan banyak belajar kepada tokoh
Persis Al-Ustadz Ahmad Hassan yang diakuinya sangat mempengaruhi alam
fikirannya.
Tentang
hubungan M. Natsir dengan Persis dijelaskan
DR. Thohir Luth, dalam bukunya M.
Natsir, Dakwah dan Pemikirannya sebagai berikut: Dikemukakan dalam riwayat
hidupnya bahwa M. Natsir benar-benar mempunyai hubungan secara organisatoris
dengan Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Bahkan melalui Persis ini, M.
Natsir dapat bergaul dan mendapat didikan dari tokoh utama Persis, yaitu Ahmad
Hassan. Disebutkan juga bahwa dari Persis
inilah M. Natsir mulai meniti
kariernya sebagai pejuang, negarawan dan agamawan. Ini berarti bagi M.
Natsir, Persis merupakan dapur pertama yang menggodoknya menjadi seorang
pemimpin terkemuka di Negara Republik Indonesia ini; dengan pengertian lain,
Persis sangat berjasa mengantarkan M. Natsir sebagai tokoh dan pemimpin besar dunia.
Pada bulan
Oktober 1932, bersama A. Hassan, M. Natsir turut dalam perdebatan tentang Islam
dan kebangsaan antara H. Mochtar Luthfi (Ketua Persatuan Muslimin Indonesia
(Permi) di Sumatera Barat) dan pemuka-pemuka Islam di Bandung. Seperti
diketahui, Permi menjadikan Islam dan kebangsaan sebagai azas organisasinya.
Bagi Allahu yarham (M. Natsir), itu
aneh baginya, Islam sudah mencakup kebangsaan Jadi, tidak perlu "Islam
dan…." 28. Terhadap hal yang sama pula, M. Natsir memperlakukan pada GPII,
yaitu menolak usul Karim Halim mengenai Islam dan kebangsaan sebagai dasar
GPII. Kehadiran M. Natsir dalam tubuh Persis bukan merupakan suatu kebetulan,
tetapi ada tuntutan dari intelektualitasnya untuk menjatuhkan pilihannya pada
Persis sebagai wadah meniti karier yang lebih jauh lagi. Apalagi, tantangan
yang dihadapi oleh umat Islam pada abad ke-20 itu sangat memotivasinya untuk
merespons tantangan-tantangan tersebut dengan kemampuan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Howard M.
Federspiel menyatakan bahwa paling tidak ada tiga hal yang menuntut perhatian
umat Islam pada abad ke-20, yaitu: Pertama,
menjawab tantangan kebudayaan lokal nonmuslim; kedua, memegang teguh keyakinan dan amalan Islamiyah; ketiga, menyesuaikan diri dengan pikiran
dan teknologi modern. Melihat langkah permainan M. Natsir dalam dunia
pendidkan, politik dan keagamaan, tampaknya ketiga hal tersebut menjadi
obsesinya pada waktu itu. Artinya M. Natsir telah memposisikan dirinya melalui
organisasi yang dianutnya (Persis) untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Ini terlihat pada perdebatan, kegigihan dan perhatiannya yang begitu serius
dalam menjaga Islam dari berbagai tantangan yang menghadangnya.
Ummat
Islam di Indonesia, sebagaimana umat Islam di negeri lain, memberikan jawaban
dengan cara yang berbeda atas ketiga tantangan tersebut. Pertama, kelompok yang menjawab tantangan dengan mencontoh kelompok
sekuler Barat. Dan berusaha mendudukan agama pada batasan kawasan keyakinan dan
peribadahan yang sifatnya individual; agama sekedar memberikan pengaruh moral
dan etis pada masyarakat dan pemerintah. Kedua,
kelompok yang mengidentifikasi diri mereka dengan nilai-nilai religius Asia
Tenggara; dengan hukum adat kebiasaan setempat membentuk keyakinan dan
peribadahan Islami sesuai dengan pendirian itu. Ketiga, kelompok yang mengidentifikasikan diri dengan keyakinan dan
peribadatan serta yurispudensi Timur Tengah tradisional. Kelompok ini berusaha
agar budaya lokal dalam pemikiran modern disesuaikan dengan pendirian mereka.
Pendirian-pendirian itu terlihat dalam organisasi-organisasi Islam di Indonesia
pada periode modern yang dimulai pada awal abad-20. Sebagai contoh, Nahdlatul
Ulama, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis). Organisasi-Organisasi
ini mempunyai kesamaan pendapat tentang keutamaan hukum Islam sehingga Negara
harus bertanggungjawab atas kepastian penerapannya dalam masyarakat Indonesia
sehingga nilai-nilai Islam tradisional dan modern dapat terintegrasi.
Perbedaannya adalah pada perbedaan sikap Organisasi-Organisasi Islam dalam
menginterpretasi informasi-informasi yang datang dari sumber-sumber religius,
yaitu sebagai berikut: Pertama, kaum
tua (tradisional) diwakili Nahdlatul Ulama; mereka percaya bahwa kebenaran
agama terkandung juga dalam tulisan-tulisan ulama terdahulu terutama para fuqaha dan mutakallimin. Kedua, kaum
muda (modernis) diwakili oleh Muhammadiyah. Mereka berpendapat bahwa ijtihad
mengenai pokok-pokok agama lebih penting daripada bersandar pada tradisi
ulama-ulama masa lalu. Ketiga,
variasi kaum muda diwakili Persatuan Islam (Persis). Mereka menekankan pada
pentingnya Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber penelitian.
Persis ini
terbilang terlambat bila dibandingkan dengan gerakan-gerakan modern Islam
lainnya seperti Jami'at Khair (1905), Persyarikatan Ulama (1911), Muhammadiyah
(1912), dan Al-Irsyad (1913). Memang, pada tahun 1913, di Bandung telah
didirikan Sarekat Islam, namun usaha pengikutnya dalam aktivitas keagmaan tidak
tampak jelas, karena pada umumnya mereka para saudagar. Dengan demikian kesadaran
atas keterlmbatan ini merupakan salah satu pendorong untuk mendirikan
organisasi ini. Awal mula ide yang menjadi cikal bakal berdirinya Persis ini
adalah dari diskusi-diskusi tidak resmi yang dilakukan oleh Haji Zam Zam yang
belakangan nanti menjadi tokoh pendiri Persis. Diskusi-diskusi tidak resmi
tersebut membahas bagaimana jawaban Islam terhadap masalah masalah yang sedang
berkembang. Dengan menggunakan kesempatan berkenduri, para jamaah yang dimotori
oleh Haji Zam Zam itu mencoba menjawab masalah-masalah khurafat, tahayul,
bid'ah, dan taqlid, yang menurut pengamatannya sedang merasuk jiwa dan alam
pandangan masyarakat pada waktu itu. Akan tetapi, diskusi tersebut belum
mendapat bentuk dan arah yang jelas sebagai suatu organisasi dakwah yang bisa
digerakkan untuk kepentingan dakwah Islam. Organisasi ini mendapat bentuk yang
jelas setelah bergabungnya Ahmad Hassan (1887-1958) dan M. Natsir di dalamnya
pada tahun 1927. Keterikatan M. Natsir dan Ahmad Hassan pada Persis tak lepas
dari jasa atau ajakan temannya, Fahruddin Al-Khaeri, untuk menghadiri pengajian
dan pengajaran yang dilakukan oleh organisasi ini. Kini, bentuk organisasi
Persis ini menjadi jelas, yaitu sebagai organisasi sosial keagamaan dan
pendidikan. Organisasi mempunyai anggaran dasar yang memuat prinsip-prinsip
pokok alur pergerakan organisasi sebagaimana organisasi sosial-keagamaan yang
lain. Persis sebagai organisasi sosial-keagamaan dan pendidikan, bertujuan
sebagaimana tertulis dalam anggaran dasar pasal IV "Untuk memperjuangkan
berlakunya hukum-hukum Islam dan ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah dalam Masyarakat" Usaha
ini dikelaskan dalam pasal V Anggaran Dasarnya. "Berusaha mengembalikan
kaum muslimin kepada Al-Quran dan As-Sunnah, menghidupkan roh jihad dan Ijtihad
dalam kalangan umat, memperluas tersiarnya tablig dan dakwah Islam kepada
segenap lapisan masyarakat, mendirikan madrasah dan pesantren untuk mendidik
generasi Islam dengan Al-Quran dan As-Sunnah."
Sebagai
upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut maka timbul kiat-kiat para tokoh dan
pimpinan mengadakan kegiatan kegiatan berikut.
1. Bidang Publikasi dan Jurnalistik
Dalam
berbagai kesempatan, Persis selalu menggunakan publikasi dan jurnalistik untuk
menyebarkan pemikiran-pemikirannya. Upaya ini dimaksudkan agar masyarakat luas
dapat memahami secara tepat kedudukan Persis sebagai organisasi sosial
keagamaan dengan tugas mendidik masyarakat Islam sesuai dengan dasar-dasar
Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk kepentingan ini, Persis membuat majalah yang
bernama Pembela Islam. Adapun latar
belakang terbitnya majalah ini dimuat dalam edisi perdananya sebagaimana
ditulis oleh Ajip Rosyidi.
"Maksud
kami ialah akan membela Islam secara sabar dan sopan, tetapi kalau perlu dengan
secara apa saja, kita akan mengatakan hak dengan beralasan Al-Quran dan
al-Hadits. Saudara-saudara kami yang Islam, harap memperingatkan kami jikalau
kami keluar dari garis Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana kami mengatakan
begitu jikalau perbuatan-perbuatan saudara-saudara kita itu bersalahan dengan
Islam sejati. Terhadap kaum-kaum yang tidak seagama dengan kami, kami suka
sekali bertukar pikiran dengan cara yang bijaksana; kami menjawab sekalian
pertanyaan yang bersangkutan dengan agama islam, yaitu: tidak saja mereka yang
hendak merobohkan Islam, tetapi mereka yang mencaci, menghina agama
junjungan kita Muhammad saw., kita
mengambil sikap lelaki dengan artian yang seluas-luasnya. Selama nyawa ada di
badan, kita tidak akan berhenti bekerja memerangi dan memusnahkan mereka itu.
Ketahuilah bahwa musuh yang berbahaya sekali ialah mereka yang menamakan
dirinya Islam, tetapi bukan sebenarnya Islam."
M. Natsir
memanfaatkan kesempatan emas untuk memberikan konstribusi pemikirannya melalui
majalah Pembela Islam. Di dalam majalah ini, M. Natsir mencurahkan pemikirannya
dan mendapat tanggapan dari rohaniawan selain Islam. dengan pemikirannya yang
dituangkan dalam Pembela Islam, ternyata mengundang pro dan kontra, baik yang
datang dari dalam tubuh umat Islam sendiri maupun dari kalangan masyarakat
luas. Hal ini adalah lumrah dan wajar-wajar saja, mengingat misi agama yang
dikembangkan oleh Persis itu memang radikal. sehingga kesiapan masyarakat –termasuk
para intelktualnya- tentunya masih perlu penyesuaian dengan apa yang
dikembangkan oleh Persis tersebut. Syafiq A. Mughni menulis bukunya, Hassan
Bandung Pemikiran Islam Radikal yang menguraikan itu. Pemikiran yang
tertuang didalam buku tersebut, termasuk tulisan M. Natsir, memang sepintas
telihat radikal dalam arti yang positif, karenanya, bisa dipahami mengapa
Pembela Islam dengan pemikiran M. Natsir di dalamnya, dikenal radikal pula.
Disamping
Pembela Islam Persis dengan Ahmad Hassan sebagai penyandang dana, juga menerbitkan
majalah Al-Fatwa (1933-1935) yang mebicarakan masalah-masalah agama semata
tanpa ada tendensi politik menentang pihak-pihak bukan Islam. Al-Lisan
(1935-1942) At-Taqwa (1937-1941), Soal-Jawab (1931-1940) yang mebicarakan dan
melaporkan masalah agama dan perdebatan yang diadakan oleh Persis dengan pihak
lain serta jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh para pembaca. Melalui
publikasi inilah menurut Howard Federspiel, Persis menjadi dikenal oleh
masyarakat Islam Indonesia.
2. Bidang Tabligh–Dakwah
Untuk
mencapai tujuan yang telah digariskan, Persis sejak didirikan telah melaksanakan
dakwah terhadap masyarakat kecil, terutama anggota dan simpatisan serta
masyarakat banyak. Dakwah ini digelar setiap Minggu, Kamis malam, atau Jumat di
tempat-tempat yang telah ditentukan dengan mubaligh-mubaligh yang telah
ditentukan pula. Setiap bulan, jadwal tablig diatur dan materinya dimuat dalam
majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Dalam kesempatan ini, mubalig menjelaskan
ibadah-ibadah yang berdasarkan kepada Al-Quran dan hadits, serta ibadah-ibadah
yang tidak ada dasarnya dalam kedua sumber hukum Islam itu, sehingga harus
dijauhkan. Disamping itu, sejak tahun 1927, Persis mengadakan grup-grup diskusi
yang dipelopori M. Natsir dalam perkumpulan JIB (Jong Islamieten Bond) Bandung. Ia dianggap telah mempunyai
pengetahuan luas tentang agama Islam sehingga ia dimasukkan ke dalam anggota
lembaga inti, Kern-lichaam, yang harus memberi ceramah dan bimbingan bagi para anggota yang masih dangkal
pengetahuan dan kesadarannya tentang agama Islam.
Tampaknya,
kegiatan dakwah melalui bidang tabligh ini dapat dikatakan sebagai tombak
Persis yang diatur secara serius dan digerakkan secara sungguh-sungguh sehingga
hasilnya dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini sesuai
dengan laporan pendirinya, Haji Zam Zam, pada kongres Persis tahun 1938 di
Bogor, Beliau mengatakan:
"Adapun
pekerjaan yang sudah terlebih dahulu kita lakukan ialah tabligh, menyampaikan
seruan Nabi Muhammad Al-Quran dan As-Sunnah saw. kepada umat Islam di Negeri kita
ini, memberi ajaran Islam sejati dari bermacam-macam serangan yang menimpanya,
baik dari luar maupun dari dalam. Mubaligh kita dikirim dari satu cabang ke
cabang lain atau ke tempat lain yang belum ada cabangnya"
Haji Zam
Zam memang benar-benar memberikan perhatian terhadap perkembangan Persis
sehingga tidaklah heran kalau di saat-saat berdirinya Persis menjadi cemoohan
masyarakat. tetapi akhirnya dapat diterima sebagaimana ormas-ormas Islam yang
lain. Hanya saja, Persis ini tidak sebesar NU dan Muhammadiyah yang banyak
pengikut dan amal usahanya dalam berbagai bidang sosial-keagamaan. Keberadaan
Persis dengan segala amal usahanya diakui oleh semua pihak termasuk tokoh-tokoh
Masyumi seperti Moehammad Roem.
Dalam satu
pidatonya yang berjudul Persatuan Islam, Moehammad Roem mengatakan:
"Kalau
saya katakan bahwa Persatuan Islam mempunyai riwayat sudah setengah abad, maka
jelasnya bahwa Persatuan Islam didirikan tanggal 12 September 1923. Akan
tetapi, salah seorang pendirinya, yaitu Haji Zam Zam, pada tahun 1910 sudah
menjadi guru sekolah agama Darul Muta'allimin di Bandung. Sebelum itu, ia sudah bermukim selama tiga
setengah tahun di tanah suci untuk mempelajari ilmu agama Islam. Saya
berkenalan dengan Haji Zam Zam di Kongres Jong Islamieten Bond di Bandung 1928.
Di kalangan pemuda Islam Bandung, ia terkenal sebagai seorang mubalig dan
usahawan yang berhasil dan senantiasa siap sedia membantu JIB dengan apa yang
dimilikinya, berupa kebendaan dan pengetahuan tentang Islam. orangnya agak
gemuk, tidak besar atau tinggi, dengan wajah bersih yang senantiasa senyum, orang
kedua yang saya berbahagia masih mengalami dalam hidup saya adalah Bapak Ahmad
Hassan, di tempat ini sesudah tanah air kita merdeka, ayah dari Ustadz A. Kadir
Hassan yang sekarang memimpin Pesantren Persatuan Islam. Orang yang saya tidak
berbahagia pernah berkenalan ialah Haji Muhammad Yunus."
Federspiel,
setelah mempelajari sepak terjang Persis selama 45 tahun, mengatakan:
"Persatuan
Islam sangat penting karena ia sudah berusaha memberi pola bagi masyarakat
Islam, apakah sebenarnya Islam itu. Apakah dasar-dasar pokok dari agama itu,
dan bagaimana seorang muslim harus mengatur kehidupannya. Dalam penyajian
tentang hal ini, Persatuan Islam mengelak memberi konsep yang remang-remang
atau dalam garis-garis besar. Ini adalah suatu hal yang tidak biasa di
Indonesia, yaitu menganggap cara hidup menurut agama dengan tegas dan teliti.
Anggota-anggotanya menentukan sikapnya yang tegas terhadap kebudayaan Indonesia
Tradisional, terhadap perkembangan-perkembangan zaman yang berlangsung dalam
abad XX, terhadap kebudayaan Barat dan terhadap pemikiran dan praktik orang
Islam yang tradisional..."
Meskipun
Persis –sebagai penggerak—tidak pernah besar, tidak mempunyai anggota sampai
ratusan ribu atau berjuta-juta, tetapi pikiran-pikiran yang dilancarkannya
dengan tegas tidak separo-separo, menggerakkan banyak orang.
Terbitan-terbitannya, baik dalam bentuk brosur, majalah, dan buku-buku,
mencapai kalangan lebih luas dan lebih besar dari batas-batas anggotanya. Pikirannya
yang mencapai kalangan yang sangat luas, bersifat merangsang, menggugah, malah
menantang untuk menyambutnya. Orang merasa terpaksa menanggapi dan menyatakan
setuju atau tidak terhadap apa yang dikemukakan oleh Persis. Kalau tidak
setuju, orang harus mencari alasan dan mengatakan mengapa tidak setuju. Persis
adalah gerakan yang mengolah otak dan fikiran, salah satu karunia Tuhan yang
paling berharga bagi manusia. Akal dan pikiran memerlukan lisan, sarana
komunikasi yang penting dari manusia.
Memang sepintas
lalum sepak terjang Persis mengingatkan kita pada majalah Pembela Islam, suara
komunikasi dengan seluruh masyarakat di masa tahun 1920-an dan 1930-an. Nama
majalah itu tepat sekali untuk zamannya, Islam perlu dibela karena mendapat
serangan bertubi-tubi, terutama dari dunia Barat yang orangnya banyak
berkeliaran di tanah air. Termasuk mereka yang mendapat pelajaran dan pengaruh
dari dunia Barat itu adalah kalangan terpelajar bangsa Indonesia sendiri. Di
masyarakat kita di tahun 1920-an itu, cukup kesempatan untuk membela agama
Islam. Karena serangan itu bertubi-tubi maka pengaruh pembela-pembela Islam
seolah-olah tumbuh menjadi pembela-pembela yang cakap dan berpengalaman,
Serangan ilmiah dijawab dengan pembelaan ilmiah.
Sasaran
Pembela Islam tidak saja ditujukan kepada dunia Barat yang terpelajar, tetapi
juga terhadap pengertian-pengertian atau kebiasaan-kebiasaan yang salah menurut
penglihatan pembela Islam. Di sini, sebenarnya tidak membela, tetapi menyerang
pengertian-pengertian yang salah. Caranya sering tajam dan tegas seperti sudah
menjadi kebiasaan di Persis. Yang terkena serangan itu tentunya merasa sakit.
Ada kalanya Persis mendapat kritik bahwa cara pemimpin-pemimpinnya memperbaiki
itu terlalu tajam sehingga menyakiti hati orang. Dalam pada itu, kita
mengetahui perkataan yang menyebutkan bahwa kebenaran itu memang sering terasa
pahit; sedangkan membela dengan cara menyerang adalah sesuai dengan ilmu
militer, yaitu pembelaan yang paling baik adalah dengan menyerang. Akan tetapi,
akibat yang abadi dari penulisan di majalah Pembela Islam adalah bahwa
pembaca-pembacanya dirangsang untuk memikirkan lebih saksama akan ajaran-ajaran
Islam.
"Saya (Moh. Roem, ed) berbahagia dapat mengenal golongan muda dari Persis, generasi kedua setelah pendiri-pendirinya, yang sekarang usianya sudah tua seperti saya, mendekati 70 tahun. Ada yang masih hidup (sewaktu pidato ini diucapkan. ed.) seperti M. Natsir dan Fachruddin al-Khairi, dan yang sudah tidak ada adalah Sabirin dan Isa Anshary. Di waktu mudanya, mereka itu mempunyai pena yang tajam, berbicara tegas, dan melihat persoalan dengan pendekatan langsung. Yang masih hidup itu sekarang sudah lebih matang. Karena itu, mungkin agak lain dengan waktu mereka masih muda, dengan tetap teguh kepada cita-citanya."
Di tahun
1920, bangsa kita dengan sadar dan tekun memakai bahasa melayu sebagai bahasa
sendiri, sehingga diadakan sumpah pemuda tahun 1928. Persiapan untuk itu sudah
berlangsung puluhan tahun. Sehubungan dengan ini, dalam ikut mengembangkan
bahasa Melayu, Persis telah memberikan darma bakti yang tidak sedikit, terutama
bahasa yang ditulis oleh Persis. Kalau dilihat keanggotaannya, Persis bukan
gerakan yang besar, tetapi kalau dilihat apa yang ditulis dan diterbitkan
barangkali Persislah yang paling besar, setidaknya yang paling rajin. Brosur
dan Buku, Persis, terutama dari A. Hassan, M. Natsir, Sabirin dan lain-lain,
sudah menulis di majalah dan penerbitan lainnya, tentang berbagai persoalan
dengan menggunakan bahasa Indonesia. A. Hassan mulai menulis tafsir Al-Quran
pada bulan Juli 1928, empat bulan sebelum Sumpah Pemuda. Tulisan tulisan A.
Hassan ini mempunyai ciri –ciri khas.
Kalau
Rendra –sebagai penyair— merasa bersyukur karena bangsa Indoonesia mempunyai
bahasa sendiri maka ia menekankan keindahan bahasa. Akan tetapi, A. Hassan yang
menafsirkan Al Quran dan menerangkan sebagai ajaran, dalam bahasannya yang
menyangkut hukum, diutamakan tidak mencari keindahan, melainkan kejelasan,
ketertiban dan ketegasan. Agar hukum benar-benar dimengerti maka janganlah
dipakai kata-kata yang remang-remang, agar yang membaca mengetahui apa yang
dikehendaki oleh hukum. Begitulah ciri-ciri dari tulisan pemimpin-pemimpin
Persis. Buku Tanya Jawab yang mengalami cetak berulang-ulang, tentu
mengutamakan pemberian jawaban yang terang dan tegas. Kebiasaan ini sudah
berjalan seperempat abad, sebelum bangsa Insonesia benar-benar memerlukan
pemakaian bahasa untuk kepentingan hukum sebagai negara yang merdeka. Saya
pikir, dalam bidang ini, Persis sudah berperan dalam mengembangkan bahasa
nasional.
Sebagaimana
diketahui, dalam pidato Mochamamad Roem tersebut, nama M. Natsir disebut dua
kali dengan kegiatan dan fungsi yang berbeda dalam Persis, Pertama, M. Nastsir
disebut sebagai generasi kedua sesudah pendiri-pendiri Persis, pemilik pena
yang tajam, berbicara tegas terhadap persoalan-persoalan yang mengyangkut agama
Islam. Pada sisi ini, M. Natsir di mata Mochammad Roem adalah sebagai generasi
penerus Persis dengan kemampuannya sebagai jurnalis dan mubalig yang andal.
Kedua, M. Natsir disebut sebagai salah satu diantara pemimpin-pemimpin Persis
yang secara organisatoris mempunyai andil yang besar terhadap Persis dan Dakwah
Islam secara keseluruhan. Hal ini berarti peran dan fungsi yang dilakukan oleh
M. Natsir dalam Persis diakui sebagai satu asset nasional Indonesia. Secara
langsung atau tidak, tulisan M. Natsir dan kawan-kawan dengan menggunakan
bahasa Indonesia dalam majalah Pembela Islam itu, ikut membangkitkan bangsa
Indonesia menggunakan bahasanya sendiri.
Karenanya bagaimanapun juga dalam peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, M. Natsir
dan kawan-kawan bersama Persis yang mereka pimpin itu mempunyai jasa terhadap
bangsa Indonesia.
3. Bidang Pendidikan
Selain
bidang dakwah (tablig), Persis juga
menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana dan wahana bagi tercapainya
tujuan Persis, Pada tahun 1930, di Bandung diselenggarakan pertemuaan antara
Persis dengan tokoh umat Islam yang menaruh perhatian terhadap pendidikan
generasi muda Islam. Pertemuan tersebut telah menghasilkan satu keputusan untuk
mendirikan sebuah yayasan pendidikan Islam, berusaha memadukan dan
mengembangkan pelajaran dan pengetahuan modern dengan pendidikan dan pengajaran
Islam dalam arti yang seluas-luasnya. Program yang telah disetujui dalam
pertemuan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Memenuhi kekurangan pelajaran
bagi generasi muda mengingat mereka haus sekali terhadap pengetahuan modern dan
sesusai pula dengan penghematan pemerintah dalam pendidikan
b. Mengatur pendidikan dan
pengajaran generasi muda dengan berdasarkan kepada jiwa Islam dan
mempraktikannya secara lebih rapi
c. Mengatur dan menjaga pendidikan
generasi muda agar mereka tidak bergantung kepada gaji dan honor setelah keluar
dari sekolah dan dapat bekerja dan percaya kepada kemampuan sendiri.
Untuk
mencapai tujuan itu, usaha yang dilakukan ialah mendirikan sekolah-sekolah
seperti Taman Kanak-kanak, HIS, MULO, pertukangan dan perdagangan, kursus
kursus, dan ceramah-ceramah.
Pada tahun
1930, salah seorang anggota yang bernama A.A. Banama mendirikan sekolah yang
diberi nama "Pendidikan Islam". Sekolah tersebut kemudian dipimpin
oleh M. Natsir. Dua tahun kemudian (tahun 1932), Persis mendirikan Kweekscshool
di Bandung, kemudian di beberapa daerah luar kota. Bagi Persis, keberadaan
pendidikan sudah tentu mengikutsertakan M. Natsir di dalamnya, apakah sebagai
pemrakarsa ataukah sebagai pengelola. Hal tersebut mengingat bahwa M. Natsir
termasuk salah satu anggota aktif Persis yang dalam momen-momen tertentu
mengikuti A. Hassan untuk kepentingan kegiatan Persis, Karenanya, bukan
merupakan satu hal yang mustahil bahwa suksesnya Persis dalam bidang pendidikan
adalah karena jasa M. Natsir Juga. Dengan pengertian lain, Persis dalam mendayagunakan
pendidikan sebagai salah satu wahana dakwah Islamiyah, tidak bisa dilepaskan
dari peranan M. Natsir dalam pendidikan tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh
Yusuf Abdullah Puar:
"Motivasi
M. Natsir terjun ke lapangan pendidikan yang dilaksanakan oleh Persis ialah
suatu pemikiran dan cita-cita hendak membangun suatu system pendidikan yang
sesuai dengan hakikat ajaran Islam. Hal ini sebagai akibat system pendidikan
yang pincang dari kolonial Belanda dan system pendidikan Indonesia sendiri dalam
pesantren dan madrasah yang tidak memenuhi hajat-hajat atau keinginan
masyarakat pada jaman itu."
M. Natsir
tampaknya sangat tanggap terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan
termasuk masalah pendidikan pada lembaga pesantren dan madrasah-madrasah. Sikap
tanggapnya ini kemudian diantisipasi dengan konsep atau pemikiran-pemikiran
sekaligus keterlibatannya di dalam pendidikan sebagai pengelola dan pendidik.
Khusus
untuk pesantren yang dilaksanakan oleh Persis, M. Natsir memang sebagai
pengurus, pengelola, dan tenaga pendidik. Hal tersebut ditulis oleh Syafig A.
Mughni:
"Di
samping itu, didirikan pula lembaga pendidikan berupa pesantren dengan nama "Pesantren
Persatuan Islam" di Bandung pada bulan Maret 1936, sebagai hasil pertemuan
di Masjid Persatuan Islam Jalan Pangeran Sumedang, Bandung. Pengurus dan
guru-gurunya terdiri atas orang-orang yang dengan sukarela mengorbankan waktu
dan tenaganya untuk pesantren. Mereka itu antara lain R. Abdul Kadir (Alumnus
Sekolah Teknik Bandung) yang mengajar ilmu teknik, M. Natsir yang mengajar ilmu pendidikan disamping
Penasehat, serta A. Hassan yang merangkap sebagai kepala pesantren." (K.H.
Shiddiq Amien/ hilmanrasyidamienullah.blogspot.com)
Tidak ada komentar