KH. Isa Anshari (1916-1969) : "Sang Singa Podium"
Ia
dijuluki "Singa Podium". Sebuah julukan yang sangat beralasan
demikian karena kefasihan kemampuan berorasi mampu mengobarkan semangat setiap
orang yang mendengarnya. Pemuda yang bertubuh pendek, gemuk dengan bahu yang
agak bungkuk ini lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 1 Juli 1916. Di usianya
yang masih remaja, Isa Anshari telah terjun ke dunia politik. Di kota
kelahirannya itu ia sudah menjadi kader PSII dan aktif sebagai mubaligh
Muhammadiyah. Seperti halnya para pemuda lainnya, Isa Anshari merantau ke pulau
Jawa dan menetap di kota Bandung. Di kota Kembang inilah ia bertemu dengan
Soekarno. Selain dikenal sebagai pemuda yang taat beragama, aktivitas
politiknya makin menggebu-gebu. Di usianya yang muda, ia telah memimpin
beberapa organisasi, yaitu Ketua Persatuan Muslimin Indonesia Bandung, Pemimpin
Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia Bandung, Sekretaris Partai Islam Indonesia
Bandung serta ikut mendirikan Muhammadiyah cabang Bandung. Dalam pergerakan
itu, ia bergabung dengan kelompok pemuda yang disebut-sebut radikal, seperti M.
Natsir. Aktivitasnya di PERSIS yang sempat dipimpinnya beberapa periode
seakan-akan semakin tersemai subur. Ia juga menjadi anggota Indonesia
Berparlemen, Sekretaris Umum Komite Pembela Islam dan pemimpin redaksi majalah
Daulah Islamyah.
Satu
hal yang mencolok dari tokoh yang pernah menjadi pembantu tetap Pelita Andalas
dan Perbincangan ini adalah sikapnya yang tegas. Ia sering dinilai tidak
bersikap kompromistis. Tidak mengherankan kalau Herbert Feith menyebutnya
dengan figur politisi fundamentalis yang memiliki keyakinan teguh. Oleh karena
itu, pada zaman Jepang, ia telah mengomandoi gerakan Anti Fasis (Geraf), Biro
Penerangan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Priangan, memimpin Angkatan Muda
Indonesia dan mengorganisasi Majelis Islam yang membentuk kader-kader Islam.
KH. Isa Anshari adalah salah satu pilar yang membangun PERSIS. Pada tahun
1935-1960 ia sempat menjadi ketua umumnya. Selama memimpin PERSIS, perannya
sangat menonjol. Ia selalu memberikan arahan dan warna bagi organisasi itu.
Pidatonya selalu bergelora membuat pandangan yang mendengarkan selalu tertuju
kepadanya. Bukan sekali dua kali ia ditegur oleh aparat keamanan karena
“garangnya” pidato yang ia sampaikan. Dalam hal tulis menulis analisisnya cukup
tajam. Di antaranya hasil karyanya adalah Bahaya Merah Indonesia (1956),
Barat dan Timur (1948), Islam Menentang Komunisme (1956), Tuntunan
Puasa (1940), Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953), dan
lain-lain.
Dalam
kancah politik, Masyumi menjadi ladangnya. Bagi para ulama kritis , berpolitik
merupakan bagian tuntutan agama. Mereka selalu meneriakkan kebenaran walaupun
pahit dirasakan. Bagi mereka, berpolitik adalah alat untuk mencapai cita-cita
umat Islam. Di bawah bendera Masyumi, ia semakin memperkuat posisinya sebagai politisi.
Tahun 1949, ia memimpin sebuah kongres Gerakan Muslimin Indonesia. Keterlibatan
KH. Isa Anshari dalam pentas politik membuat dia harus menghadapi risiko yang
tidak kecil. Ketika terjadi razia terhadap orang-orang yang diisukan ingin
membunuh presiden dan wakil presiden pada bulan Agustus 1951 oleh PM Sukiman
Wirdjosandjoyo, KH. Isa Anshari ditangkap. Namun beberapa saat kemudian ia
dilepaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Sepak terjangnya di bidang politik
sempat menyedot perhatian massa. Di mana ia memberikan pidato, pasti dipenuhi
massa yang ingin mendengarkan suaranya. Biasanya massa yang hadir bukan hanya
partisipan Masyumi, tapi juga masyarakat umum. Pada masa Soekarno, Masyumi
menjadi salah satu lawan politik pemerintah yang terus digencet. Saat tragedi
Permesta meledak (1958), banyak tokoh-tokoh yang diciduk. Termasuk KH. Isa
Anshari yang saat itu berada di Madiun bersama Prawotomangkusasmito, M. Roem,
M. Yunan Nasution dan EZ. Muttaqien serta beberapa tokoh lainnya.
Pada
masa demokrasi parlementer, muncul beberapa konflik antar kelompok. Ada yang
menginginkan Indonesia berideologi sekuler-nasionalis dengan dasar negara
Pancasila. Di sisi lain ada yang menginginkan terbentuknya negara Islam, atau
paling tidak negara yang berideologikan hukum-hukum Islam. Di tubuh Masyumi,
cita-cita untuk membangun Negara Islam sangat subur. KH. Isa Anshari tetap
menjadi juru bicara yang ulet bagi Masyumi. Namun sayang, keinginan mereka
untuk mewujudkan Negara Islam gagal. Ketidakberhasilan ini disebabkan beberapa
hal, di antaranya munculnya polarisasi mengenai bentuk dan konsep negara Islam
itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa aturan dan ajaran Islam harus terwujud
lebih dahulu yang nantinya dengan sendiri akan terbentuk negara Islam. KH. Isa
Anshari termasuk dalam kelompok ini. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa
negara Islam harus di bentuk dahulu, baru kemudian diberi corak dan warna
Islam. Di Luar itu, muncul kelompok yang lebih keras lagi. Maka meledaklah
peristiwa DII/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh serta gerakan Ibnu
Hajar di Kalimantan. Gerakan-gerakan itu dapat dipadamkan oleh Soekarno. Pada
era berikutnya, KH. Isa Anshari terus berkecimpung dalam membangun umat. Di
usianya yang kian lanjut, ia lebih banyak mengkader generasi muda. Ia tidak
lagi menjadi pemimpin di organisasi yang membesarkannya, tapi cukup sebagai
penasehat. Begitulah contoh seorang pemimpin yang mengetahui keadaannya.
Kendati demikian ia tetap saja mendapat halangan. Ia sempat dijebloskan ke
dalam penjara oleh Soekarno. Dari balik terali besi ia masih sempat mengirimkan
tulisan-tulisan ke para sahabatnya. KH. Isa Anshari tidak mengenal lelah.
Menjelang akhir hayatnya ia tetap bekerja untuk umatnya. Pada 11 Desember 1969
atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri 1369 H ia meninggal dunia, di RS
Muhammadiyah Bandung. Sehari sebelumnya ia menyatakan bersedia memberikan
khutbah Idul Fitri, namun takdir berkehendak lain. Naskah khutbah itu sempat
diketiknya dua halaman, dan tak sempat terbacakan. [Muhammad Ilham/
ulama-minang.blogspot.com]
Sumber:
wikipedia.com - Majalah Panjimas Juli 1989
Tidak ada komentar