Syariat Seputar Iedul Adha (Bagian IV-Tamat)
KORNETISASI DAGING QURBAN
Pada sub tema: Pembagian Daging
Qurban telah disampaikan beberapa keterangan, baik dari Al-Quran (QS.
Al-Hajj:28 & 36) maupun hadis-hadis Nabi saw. Tentang pelaksanaan ketentuan
syariat Qurban dan kaifiyat (mekanisme) pengelolaan hewan qurban setelah
disembelih.
Berbagai keterangan tersebut
menunjukkan bahwa pada dasarnya pelaksanaan ketentuan syariat Qurban dan kaifiyat
(mekanisme) pengelolaan hewan qurban menjadi tugas dan kewenangan penuh
Qurbani, termasuk dalam menentukan bagian hak dirinya sebagai Qurbani.
Di dalam Al-Quran, tugas dan
kewenangan itu diungkap dengan kalimat:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا
“Maka makanlah sebahagian
daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan” (QS. Al-Hajj:28 & 36).
Sementara di dalam hadis diungkap
dengan kalimat:
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Makanlah, bagikanlah, dan
simpanlah.”
Redaksi Salamah
فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا
بِجُلُوْدِهَا
“Makanlah, sedekahkanlah, dan
manfaatkanlah kulitnya.”
Redaksi Qatadah
فَكُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا
“Maka makanlah, simpanlah, dan
bagikanlah”
Redaksi Abdullah bin Waqid.
Selain menunjukkan tugas dan
kewenangan, ayat Al-Quran dan hadis-hadis itu juga menunjukkan hak-hak mustahiq
(qurbani dan non-qurbani).
Penggunaan kalimat dalam hadis-hadis
itu: kuluu (makanlah) dan iddakhiru (awetkanlah) berkaitan dengan
hak qurbani. Selebih dari itu sudah menjadi bagian wa tashaddaquu
(sadaqahkanlah), yaitu hak orang lain (si penerima). Itulah sebabnya mengapa
kata-kata kuluu (makanlah), wad dakhiruu (dan awetkanlah) disebut
secara terpisah dengan kata wa tashaddaquu (dan sadaqahkanlah), hal itu untuk
menunjukkan hak masing-masing. Karena itu hadis tersebut memberikan kewenangan kepada qurbani
untuk mengelola daging qurban yang
menjadi haknya, tanpa punya kewenangan untuk ikut campur dalam pengelolaan
daging yang dishadaqahkannya. Karena pengelolaan daging qurban bagian dari wa tashaddaqu (sadaqahkanlah),
menjadi kewenangan penerima shadaqah, apakah untuk dimakan (disate, dikornetkan,
diabon) atau diberikan kepada yang lain, termasuk dijual.
Sehubungan dengan itu, ketika
Qurbani mendapatkan tugas wa tashaddaqu (dan sadaqahkanlah) hendaknya ia
membagikan daging kurban itu apa adanya--dalam keadaan mentah—dan tidak berwenang
membagikannya dalam keadaan masak, misalnya disate, dikornetkan, atau diabon,
karena ”memasak” bagian dari wa
tashaddaqu (sadaqahkanlah) sudah menjadi menjadi kewenangan orang lain
sebagai penerima shadaqah.
Ketentuan ini berlaku pula bagi
panitia, bila Qurbani menitipkan pengurusan hewan dan menyerahkan kewenangan
pengelolaannya kepada panitia. Artinya,
panitia pun tidak berwenang membagikan daging kurban dalam keadaan
masak, baik ”pos” kuluu (makanlah) sebagai hak Qurbani, maupun ”pos” wa
tashaddaqu (sadaqahkanlah) sebagai hak non-Qurbani. Kecuali panitia
mendapatkan mandat dari Qurbani atau non-Qurbani untuk ”memasak” bagian masing-masing dari kedua belah pihak. Hal itu
seperti yang dimandatkan oleh Nabi saw. kepada Ali bin Abu Thalib:
وَخُذْ لَنَا مِنْ كُلِّ بَعِيرٍ حُذْيَةً
مِنْ لَحْمٍ ثُمَّ اجْعَلْهَا فِي قِدْرٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى نَأْكُلَ مِنْ لَحْمِهَا
وَنَحْسُوَ مِنْ مَرَقِهَا
“Bagikanlah dagingnya, pelananya dan
kulitnya kepada orang-orang dan jangan engkau memberikan sedikit pun kepada
tukang potongnya. Ambilkan untuk kami sepotong daging dari setiap ekor itu,
kemudian masukkan ke dalam satu periuk sehingga kami memakan dari dagingnya dan
minum dari kuahnya."
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:260, No. hadis 2359)
Sementara terkait dengan hak non Qurbani
Nabi pun tidak ikut campur dalam pengelolaannya, beliau hanya bersabda kepada
Ali:
اقْسِمْ لُحُومَهَا وَجِلَالَهَا وَجُلُودَهَا
بَيْنَ النَّاسِ“
Bagikanlah dagingnya, pelananya dan
kulitnya kepada orang-orang.
Karena itu kita tidak akan
mendapatkan keterangan bahwa pada zaman Nabi saw. daging kurban dibagikan dalam
keadaan masak, padahal masak-memasak daging pada waktu itu sudah biasa
dilakukan. Tapi kenapa Nabi dan para sahabatnya membagikannya dalam keadaan mentah.
Apakah tidak terpikirkan oleh Nabi pada waktu itu? Jadi, hendaknya daging
kurban itu dibagikan dalam keadaan mentah, sebagaimana aqiqah, karena keduanya
termasuk nusuk.
Dengan demikian, jika Qurbani maupun
panitia membagikan daging kurban dalam keadaan masak—padahal tidak mendapatkan
mandat dari orang yang berhak—baik dengan cara dikornetkan, diabonkan, maupun
dengan cara lainnya, telah melanggar hak orang lain (penerima daging tersebut).
Oleh karena itu panitia yang
mengkornetkan daging kurban sebagai amanat umat adalah khianat dan tidak
bertanggung jawab. Apalagi kalau yang menjadi kepentingannya adalah laba atau
keuntungan dari kelebihan harga binatang kurban dan dari proses kornetisasi.
Yang lebih ironis lagi, akibat cara di atas banyak daging qurban yang baru
sampai kepada penerima yang berhak setelah lebih dari lima bulan. Astaghfirullahal
‘azhim
HADIS DHAIF & AMAL TANPA DALIL
SEKITAR QURBAN
Selain hadis-hadis shahih yang telah
disampaikan pada beberapa bagian terdahulu, kita pun mendapatkan hadis-hadis
dhaif dan hadis tanpa sumber yang jelas di seputar kurban, termasuk amaliah
yang biasa dilakukan namun tanpa sandaran dalil yang jelas. Hadis-hadis dan
amaliah itu antara lain sebagai berikut:
A. Menasehati
Hewan Qurban, Bunga Rampe, Cermin, Sisir
Pada sebagian muslim terdapat
kebiasaan sebelum menyembelih hewan qurban, yaitu dilaksanakan acara dan
upacara ritual seperti menyediakan sewadah air, bunga-bunga rampai, sisir,
cermin, dan kain kapan, lalu kambing diusap-usap dan dinasehati agar bersabar,
padahal sejauh pengetahuan kami, acara dan upacara seperti itu merupakan
pengaruh dari agama kultur (luar Islam). Sementara menurut syariat Islam,
Rasulullah saw. memberikan contoh ketika menyembelih qurban sebagaimana
diterangkan dalam hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي
سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ
ثُمَّ قَالَ اسْتَحِدِّيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ
فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ
وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ.
Dari Aisyah Ra. istri Nabi saw.
Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah membawa kibas yang bertanduk yang
kakinya hitam dan perutnya hitam dan sekeliling matanya hitam, kemudian
didatangkan kepadanya untuk disembelih, lalu beliau bersabda kepada Aisyah, “Ya
Aisyah bawakanlah pisau.” Kemudian beliau bersabda lagi, “Asahlah pisau itu
dengan batu.” Lalu Aisyah mengerjakannya, kemudian beliau mengambil pisau itu
dan membaringkan kambing itu, lalu menyembelihnya dan berkata, “Bismillaah, ya
Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad, lalu
beliau berkurban dengannya.
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad, VI:78, No. hadis 24.535, Muslim, Shahih Muslim,
III:1558, No. hadis 1967, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, III:94, No. hadis 2792)
Dengan demikian, cara-cara dan
upacara sebelum menyembelih binatang qurban seperti tersebut di atas merupakan
bid’ah.
B.
Menghadapkan Hewan Qurban Ke Qiblat dan
Membaca Doa Wajahtu Ketika Menyembelih
Dalam penyembelihan binatang qurban,
masih ada di antara kaum muslimin yang berkeyakinan bahwa ketika binatang
qurban itu hendak disembelih, mesti dihadapkan ke arah kiblat dan membaca wajahtu
wajhiya lilladzi fataras samawati wal ardi…wa ana awwalu muslimin. Keyakinan
itu berlandaskan hadis sebagai berikut.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَبَحَ يَوْمَ الْعِيدِ كَبْشَيْنِ
ثُمَّ قَالَ حِينَ وَجَّهَهُمَا إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ
وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ مِنْكَ
وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ.
Dari Jabir bin Abdullah bahwa
Rasulullah saw. berqurban dengan dua kibas pada hari ied (adha). Ketika beliau
menghadapkan keduanya (untuk disembelih) beliau membaca, ‘Wajahtu wajhiya lil
ladzi fatharas samawati wal ardha hanifan musliman wama ana minal musyrikin.
Inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin. Laa syarikalahu
wa bidzalika umirtu wa ana awalul muslimin. Bismillaah Allahu Akbar, Allaahumma
minka wa laka ‘an muhammadin wa ummatihi. (HR. Ahmad, Musnad Ahmad,
III:375, No. hadis 15.064, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1043, No. hadis
3121, Al-Hakim, Al-Mustadrak fii As-Shahihain, I:639, No. hadis 1716, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IX:287, No. hadis
18.968, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:287, No. hadis 2899)
Status hadis
Hadis ini dhaif, karena bersumber
dari dua rawi yang dhaif, yaitu (a) Muhammad bin Ishaq, dan (b) Abu
Ayyas Az-Zuraqi. Ibnu Hajar berkata, “Muhammad bin Ishaq seorang rawi
yang shaduq (jujur), tapi suka memalsu hadits.” Dan Abu Ayyas, ia seorang
rawi yang tidak di kenal. (Lihat, Tahdzib Al-Kamal fi Asma` Ar-Rijal,
XXIV:422-429, Al-Fath Ar-Rabbani, XIV:62).
C. Bintang
Qurban Kendaraan ke Surga di atas Shirat
عَظِّمُوْا ضَحَايَاكُمْ فَإِنَّهَا
عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ
“Berqurbanlah kalian dengan binatang
yang besar dan kuat, karena binatang itu
adalah kendaraanmu pada shirathal mustaqim (jalan menuju surga).”
Status hadis
Menurut Ibnu Shalah, “Ini adalah
hadis yang tidak dikenal dan tidak kuat.” Kata Syekh Al-Albani, “Laa
ashla lahu bihaadzal lafzh (dengan redaksi ini tidak ada sumber asalnya).” (Lihat,
Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Mawdhu’ah, I:173)
Dalam redaksi lain:
إِسْتَفْرِهُوْا ضَحَايَاكُمْ فَإِنَّهَا
مَطَايَاكُمْ عَلىَ الصِّرَاطِ
“Pilihlah oleh kalian binatang
Qurban yang kuat dan tangkas, karena binatang itu adalah kendaraanmu pada
shirathal mustaqim (jalan menuju surga).”
Status hadis
Kata Syekh Al-Albani, “Dha’iif
jiddan (sangat dhaif).” Karena pada sanadnya terdapat dua rawi yang dhaif:
Yahya bin Ubaidullah. Kata Abu Hatim, “Dha’if
Al-Hadits, munkar Al-Hadits jiddan (hadisnya sangat diingkari).” Menurut
Muslim dan An-Nasai, “Matruk Al-Hadits (Hadisnya ditinggalkan karena ia
tertuduh dusta).”
Ubaidullah bin Abdullah bin Mauhab (ayah Yahya di atas). Kata
Asy-Syafi’i dan Ahmad, “Laa yu’rafu (tidak dikenal).” (Lihat,
Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Mawdhu’ah, III:411)
D. Setiap
Bulu Qurban Akan Menjadi Kebaikan
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ قُلْتُ
أَوْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ
إِبْرَاهِيمَ قَالُوا مَا لَنَا مِنْهَا قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ فَالصُّوفُ قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ مِنْ الصُّوفِ حَسَنَةٌ
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata,
“Saya berkata atau mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah apa kurban itu?’ Rasul
menjawab, ‘Sunnah Bapak kalian Ibrahim.’ Mereka bertanya lagi, ‘Apa kebaikan
bagi kita pada kurban itu?’ Rasul menjawab, ‘Pada setiap lembar bulu ada
kebaikan.’ Mereka bertanya lagi, ‘Kalau kulitnya wahai Rasulullah?’ Rasul
menjawab, ‘Pada setiap lembar bulu pada kulit itu ada kebaikan’.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad,
IV:368, No. hadis 19.302, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1045, No. hadis
3127, Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala As-Shahihain, II:422, No. hadis 3467,
Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IX:261, No. hadis 18.796, Ath-Thabrani,
Al-Mu’jam Al-Kabir, V:197, No. hadis 5075. Semua jalur periwayatannya melalui
rawi ‘Aidzullah bin Abdullah
Al-Mujasyi’iy, dari Abu Dawud As-Sabi’iy, dari Zaid bin Arqam)
Status hadis
Hadis di atas dhaif, bahkan maudhu’
(palsu) karena kedhaifan dua rawi:
Aidzullah bin Abdullah Al-Mujasyi’iy. Kata Abu Hatim, “Dia munkar
Al-Hadits.”
Abu Dawud As-Sabi’iy. Namanya Nufai’ bin al-Harits
al-A’ma. Kata Adz-Dzahabi, ”Dia memalsukan hadis.” Kata Ibnu Hibban,
”Tidak boleh meriwayatkan hadis darinya.” (Lihat, Silsilah Al-Ahadits
Adh-Dha’ifah wa Al-Mawdhu’ah, II:14)
Sehubungan dengan itu, Prof. Dr.
Syu’aib al-Arnauth berkata, ”Sanadnya sangat dha’if. Abu Dawud, yaitu Nufai’
bin al-Harits al-A’ma al-Kufi matruk (tertuduh dusta), dan rawi ’Aidzullah
al-Mujasyi daif” (Lihat, Tahqiq ’ala Musnad Ahmad, IV:368)
E. Menyaksikan
Penyembelihan Hewan Qurban
عَنْ أَبيِ سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ
الله عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم لِفَاطِمَةَ عَلَيْهَا الصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ قُوْمِي إِلَى أُضْحِيَتِكَ فَاشْهَدِيْهَا
فَإِنَّ لَكَ بِأَوَّلِ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْ دَمِهَا يُغْفَرُ لَكِ مَا سَلَفَ مِنْ
ذُنُوْبِكِ قَالَتْ يَا َرسُوْلَ الله هَذَا لَنَا أَهْلُ اْلبَيْتِ خَاصَّةً أَوْ
لَنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً قَالَ بَلْ لَنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً.
رواه الحاكم
Dari Abu Said Al-Khudriy, ia berkata,
Rasulullah saw. bersabda kepada Fatimah, “Berdirilah kamu untuk sembelihanmu
dan saksikanlah ia. Karena sesungguhnya bagimu dengan tetesan darah yang
pertama keluar akan menjadi penghapus dosamu yang terdahulu.” Fatimah
mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah hal ini berlaku untuk kami Ahlul Bait
saja atau bagi kami dan muslimin semuanya?” Beliau menjawab, “Bahkan untuk kami
dan bagi semua muslimin.”
(HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala As-Shahihain, IV:247, No. hadis 7525.)
Al-Hakim meriwayatkan pula hadis itu
dari Imran bin Hushain dengan redaksi yang lebih panjang. (Lihat,
Al-Mustadrak ‘Ala As-Shahihain, IV:247, No. hadis 7524)
Status hadis
Hadis di atas dhaif, karena pada
sanadnya terdapat rawi ‘Athiyyah. Kata Abu Hatim, “Sesungguhnya hadis
itu hadis yang munkar.” Sementara yang bersumber dari Imran bin Hushain
juga dhaif, karena pada sanadnya terdapat rawi Abu Hamzah Ats-Tsamali. Namanya
Tsabit bin Abu Shafiyah. Kata Ibnu Hajar, “Dia sangat lemah.” Kata Ibnu
Hajar pula, hadis itu diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi dari Ali, dan pada
sanadnya terdapat rawi Amr bin Khalid Al-Wasithi, dan dia matruk
(tertuduh dusta).” (Lihat, Talkhis Al-Habir fii Ahadits Ar-Raafi’I Al-Kabir,
IV:143)
Adapun redaksi versi Al-Baihaqi sebagai berikut:
عَنْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ
الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عليه وَسَلَّمَ قَالَ لِفَاطِمَةَ يَا فَاطِمَةَ قُوْمِي فَأَشْهِدِي أُضْحِيَتَكِ
أَمَّا إِنَّ لَكِ بِأَوَّلِ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْ دَمِهَا مَغْفِرَةً لِكُلِّ ذَنْبٍ
أَمَّا إِنَّهُ يُجَاءُ بِهَا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ بِلُحُوْمِهَا وَدِمَائِهَا سَبْعِيْنَ
ضِعْفًا حَتَّى تُوْضَعَ فِي مِيْزَاِنكَ. رواه البيهقى
Dari Ali bin Abu Thalib,
sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda kepada Fatimah, “Berdirilah dan
saksikanlah binatang sembelihanmu, sesungguhnya bagimu dengan tetesan darah
yang pertama kali keluar akan menjadi penghapus setiap dosa yang terdahulu.
Sesungguhnya ia akan didatangkan dengan daging dan darahnya pada hari kiamat
tujuh puluh kali lipat sampai diletakan pada timbanganmu. (HR. Al- Baihaqi, As-Sunan
Al-Kubra, IX:283, No. hadis 18.943)
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar