Fenomena Dakwah Salafy di Indonesia & Menimbang Argumentsi “Manhaj Salafus Sholih“ sebagai Sumber Hukum Ketiga Sesudah Al-Quran dan As-Sunnah
Pertama-tama kita panjatkan puji dan
syukur Alhamdulillah, yang dengan bimbingan rahmat dan inayah-Nya, saya bisa menyusun makalah
sederhana yang disampaikan dalam Majlis
Mubahatasah tentang Salafy yang diselenggarakan oleh PW Persis Jawa
Barat, pada tanggal 6 Rabi’ul Awwal 1428 H / 25 Maret 2007 H di Bandung. Dan
atas usulan dan desakan dari banyak ikhwan agar tulisan ini dibukukan dan
diterbitkan, saya lakukan beberapa koreksi dan tambahan. Mudah-mudahan kajian
tentang Salafiyah ini bermanfaat adanya. Dengan segala keterbatasan pengetahuan
dan kemampuan, izinkan saya menyampaikan hal-hal sebagai berikut.
Salaf, Salafy, dan Salafiyah
Istilah Salaf, Salafy, Salafiyah,
Salafiyyun berasal dari kata dasar Salaf yang berarti terdahulu, telah lalu,
telah selesai, kaum di masa lalu. Dalam kontek kajian ini, yang dimaksud dengan
Salaf adalah “Salafus Shalih“ yakni para pendahulu umat Islam yang shalih. Mereka
adalah para Sahabat Nabi saw, para Tabi’in, dan para Tabi’ut Tabi’in. Salafiyah
berarti ajaran Salafus Shalih. Sementara Salafiyun adalah orang-orang yang
mengikuti ajaran Salafus Shalih. Sedang
Salafy adalah sebutan bagi mereka. Istilah Salafy juga mencerminkan makna
komunitas ideologis yang serupa dengan sebutan Maliki (pengikut madzhab Imam
Malik), Hanbali (pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal), Ikhwani (pengikut
Ikhwanul Muslimien), Tabligi (Pengikut Jamaah Tabligh), Khariji (Pengikut paham
Khawarij). Salafy juga adalah sebuah madzhab, seperti diakui oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan yang
pernah dimuat dalam situs www.almanhaj.or.id
tanggal 9 September 2006, ketika menanggapi tulisan Dr. Muhammad Said Ramadhan
Al-Buthi dalam bukunya “As-Salafiyyah Marhalatun Zamaniyyatun Mubarokah Laa
Mazhabun Islamiyyun“ di halaman 236 Al-Buthi menulis judul “Bermazhab Salafy
Adalah Bid’ah“. Syaikh Shalih membantahnya dengan mengatakan “Perkataan ini
mengherankan dan mengagetkan sekali, bagaimana mungkin bermazhab salafy itu
bid’ah dan sesat? Bagaimana mungkin dinyatakan bid’ah padahal ia mengikuti
mazhab salaf. Sementara mengikuti mazhab mereka adalah wajib sebagaimana
dijelaskan Al-Kitab dan As-Sunnah dan ia juga haq dan huda?” Syaikh Shalih
berargumen dengan QS. At-Taubah : 100 dan hadits Nabi saw riwayat At-Tirmidzi
yang memerintahkan untuk mengikuti Sunah Nabi saw dan sunnah para Khulafaur
Rasyidin. Syaikh Shalih kemudian menyatakan “Dengan deminkian bermazhab salaf
itu tidak bid’ah melainkan sunnah, dan justru bermazhab dengan selain salaf
adalah bid’ah “.
Seseorang dinilai sebagai Salafiyun
karena sikap dan prilakunya mengikuti ajaran salafus shalih, meskipun ia
sendiri tidak mengaku sebagai salafy. Sebaliknya tidak jarang ada orang mengaku
sebagai salafy, tapi sikap dan prilakunya tidak mencerminkan ajaran Salafus
Shalih. Kita melihat banyak Pondok Pesantren dengan label Salafiyyah, tapi
tidak jarang di antaranya, di dalamnya masih banyak perbuatan syirik dan
bid’ah. Demikian juga tidak jarang pengakuan sebagai Salafy itu diiringi dengan
sikap kibir dan perasaan sebagai orang yang paling hebat dan bersih, atau dengan
mudah menuduh orang lain sesat atau kafir, sikap seperti itu tentu saja bukanlah
ajaran Salafus Shalih. Allah swt sudah mengingatkan kita dengan firman-Nya :
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنِ اتَّقَى –النجم : 32
Maka janganlah kamu mengatakan
dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (QS.
An-Najm : 32)
Nabi saw. juga sudah mengingatkan
kita :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا
تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا
عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ
وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ
امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ – ر مسلم : ر 4650
Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw
bersabda: “Janganlah kalian saling dengki, saling menjatuhkan, saling benci,
saling membelakangi, dan janganlah sebagian kamu menjual barang dagangan
sebagain kamu, dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah saudara, tidak boleh
menzaliminya, merendahkannya, menghinakannya. Taqwa itu disini !” Nabi saw
menunjuk ke dadanya tiga kali.“ Cukup bagi seseorang terlibat kejahatan dengan
cara menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim haram darahnya, hartanya
dan kehormatannya.” (HR. Muslim : No 4650)
Dakwah Salafy di Indonesia
Prof. DR. H. Dadan Wildan, M.Hum
dalam bukunya “Pasang Surut Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia (2000)”
menjelaskan bahwa gerakan Wahabisme di Saudi Arabia yang dimotori oleh Imam Muhammad bin Abdil Wahab, sebuah gerakan pembaharuan
yang dalam istilah Imam Ibnu Taimiyyah disebut “Muchyi Atsaris Salaf“
dalam waktu singkat telah menyebar ke seluruh pelosok dunia, termasuk
Indonesia.
Pada akhir abad ke-18 gerakan Salaf
ini telah masuk di ranah Minangkabau. Tercatat tokoh Haji Miskin dari Pandai
Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piabang dari Tanah Datar.
Ketiganya menyaksikan secara langsung gerakan kaum Wahabi di Mekah saat mereka
menunaikan ibadah haji, mereka kemudian melakukan upaya yang sama di
Minangkabau.
Perkembangan gerakan pembaharuan
Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 ditandai dengan berdirinya beberapa
organisasi Islam. Organisasi yang pertama muncul adalah organisasi pendidikan
yang dimotori oleh masyarakat Arab-Indonesia yang prihatin terhadap pendidikan
kaum muslimien yang dikuasai oleh kolonial Belanda. Awalnya lembaga pendidikan
itu lebih diperuntukan bagi masyarakat Arab sendiri, namun kehadirannya telah
membawa dampak positif bagi perkembangan pendidikan Islam selanjutnya. Pada
tanggal 17 Juli 1905 didirikan Al-Jam’iyyah Al-Khairiyyah, yang kemudian lebih
dikenal dengan Jami’at Khaer, di Jakarta. Pada Oktober 1911, tiga orang guru
utama dari Timur Tengah, yakni Syekh Ahmad Soorkati As-Sudani dari Sudan, Syekh
Muhammad Thaib dari Maroko, dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah, atas
undangan Jamiat Khaer tiba di Jakarta dan bergabung dengan kelompok itu. Dari
ketiga tokoh itu, Syekh Ahmad Soorkati-lah yang paling banyak memberikan andil
bagi upaya pembaharuan Islam di masyarakat Indonesia. Namun karena ada konflik
dengan masyarakat Arab-Sayyid yang
merasa memiliki derajat yang lebih tinggi karena meyakini memiliki garis
keturunan dengan Nabi saw. pecahlah Jami’at Khaer ini. Syekh Ahmad Soorkati
lantas mendirikan lembaga lain yang diberi nama Al-Irsyad (Al-jam’iyyatul Islah
Wal Irsyadil Arabi) yang didirikan pada tanggal 16 September 1914.
Pada tanggal 18 Nopember 1912 KH.
Ahmad Dahlan di Yogyakarta mendirikan Muhamadiyyah. Organisasi ini didirikan
tidak hanya terdorong oleh upaya
kristenisasi, dan pembatasan akses masyarakat ke dunia pendidikan dan pelayanan
publik seperti kesehatan dan sosial, yang dilakukan oleh kolonial Belanda, tapi
juga merupakan perlawanan terhadap tradisionalisme Islam. Upaya pembaharuan
Islam di Jawa berbeda dengan upaya serupa yang dilakukan di Sumatra Barat,
tantangan tradisionalisme Islam di Jawa relatif lebih berat. Hal ini disebabkan
oleh kuatnya pengaruh nilai-nilai Hindu-Budha serta nilai-nilai paganistik
lainnya yang ada pada masyarakat Islam Jawa waktu itu.
Di Bandung juga terdapat gerakan
yang mempunyai dasar yang sama dengan Muhamadiyyah dalam menyebarkan ajaran
Salaf serta berusaha mengembalikan umat Islam kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Organisasi ini bernama Persatuan Islam (Persis) yang didirikan pada tanggal 12
September 1923 oleh KH. Zamzam dan KH. Muhammad Yunus yang keduanya berasal
dari Palembang. Dalam aktivitasnya Persis berusaha keras mengembalikan umat
Islam ke dalam ajaran Al-Quran dan As-Sunnah, menghidupkan ruhul jihad dan
Ijtihad, serta membasmi segala bentuk bid’ah, khurafat, syirik dan taqlid buta
melalui pendekatan dakwah lisan, tulisan dan lisanil-hal, serta
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.
Abu Abdirrahman At-Thalibi dalam
bukunya “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak, Meluruskan Sikap Keras Da’i Salafi“
(2006) menjelaskan bahwa sejak awal tahun delapan puluhan terjadi perkembangan
dakwah yang berbeda di Indonesia. Saat itu mulai berdatangan elemen-elemen
pergerakan dakwah Islam dari luar negri ke Indonesia. Kebetulan jika merunut
sejarah, tahun 70-an merupakan tahun “internasionalisasi” bagi jama’ah-jama’ah
dakwah tertentu. Di tahun 80-an mulai muncul Tarbiyyah (Ikhwanul Muslimin),
Jama’ah Tabligh (JT), Hizbut Tahrir (HT), Jamaah Islamiyah (IJ) dan belakangan
mereka yang menamakan dirinya Salafy.
Menurut At-Thalibi, kini muncul
kesan kuat bahwa komunitas Salafiyah di Indonesia terpecah ke dalam dua
kelompok besar yang saling “bermusuhan.” Kelompok pertama ialah Salafy Yamani,
yang merupakan kelanjutan dari Laskar Jihad di masa lalu. Mereka merupakan
jaringan para da’i salafy yang berafiliasi kepada syaikh-syaikh salafy di Timur
Tengah. Khususnya Markaz Ilmiyah Darul Hadits Syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i,
di kota Sa’adah, Yaman. Kelompok ini sangat menolak metoda pergerakan (harakiyyah),
sebab hal itu dianggap sebagai bid’ah dan merupakan praktik fanatisme (hizbiyyah).
Salafy Yamani dulu ditokohi oleh Ustadz Ja’far Umar Thalib dari Malang. Ia yang
mendirikan Pondok Pesantren Ihyaus-Sunnah di Degolan, Yogyakarta. Dialah
pelopor Salafy Yamani di Indonesia di awal tahun 90-an sampai dibubarkannya
Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (FKAWJ) yang ia dirikan pada 14
Februari 1998 serta sayap militernya yang diberi nama Laskar Jihad yang ia
dirikan pada tanggal 30 Januari 2000. Ia
juga menerbitkan majalah yang diberi nama Salafy. Tapi kini Ustadz Ja’far Umar
Thalib dianggap bukan lagi bagian dari komunitas Salafy Yamani, demikian juga majalah Salafy-nya. Para Ulama
yang menjadi rujukan para da’i Salafy Yamani, terutama Syeikh Rabi bin Hadi
Al-Madkhali dan Syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i merekomendasikan agar FKAWJ
dan Laskar Jihadnya dibubarkan. Ja’far Umar
juga di-tahdzir (diberi peringatan keras) oleh gurunya sendiri. Dan
setelah kejadian itu ia dijauhi oleh para pemuda Salafy Yamani, Pesantrennya
juga jadi kosong melompong. Para koleganyapun satu persatu menjauhinya, termasuk
Muhammad Umar As-Sewed yang kini menjadi tokoh Salafy Yamani. Dia yang kini
memimpin Pondok Pesantren Dhiyaus Sunnah di Kecapi, Cirebon.
Kelompok kedua ialah Salafy Haraki,
yaitu dakwah salafiyah yang menerapkan sistem pergerakan (harakiyyah).
Metoda tersebut meskipun tidak sama persis, serupa dengan metoda yang ditempuh
oleh Jamaah-jamaah dakwah Islam seperti Ikhwanul Muslimien (IM), Hizbut Tahrir
(HT), Jamaah Tabligh (JT), dll. Pola haraki inilah yang membedakan kelompok ini
dengan Salafy Yamani dan Salafy independen yang tidak mengikatkan diri dengan
jama’ah, madrasah atau organisasi apapun. Menurut Salafy Haraki tanzhim (sistem
organisasi) itu dibutuhkan untuk menunaikan dakwah di tengah berbagai fitnah
kehidupan zaman modern. Mereka menilai bahwa sistem organisasi itu sebagai
bentuk ijtihad yang diperbolehkan dalam Islam. Di kalangan Salafy Yamani dan
sebagian ulama Salafy, baik di Yaman maupun di Timur Tengah pada umumnya ada
sebutan bagi komunitas Salafy Haraki ini, yaitu Sururi atau Sururiyyah. Dinisbahkan kepada seorang tokoh yang
dianggap sebagai perintis gerakan ini, yakni Muhammad Surur bin Neyef Zainal
Abidin, mantan tokoh Ikhwanul Muslimin asal Syiria. Muhammad Surur adalah
pemimpin Yayasan Al-Muntada’ Al-Islamy yang berpusat di London. Lembaga ini
mengkoordinasikan majlis-majlis dakwah salafiyah yang berpola pergerakan.
Selain Muntada’ Al-Islamy, ada juga Jum’iyyah
Ihyaut Turats Al-Islamy yang berpusat di Kuwait yang dipimpin oleh Syeikh
Abdurrahman Abdul Khaliq. Salafy Haraki ini menjadi identik dengan dua
organisasi dakwah ini, meskipun di luar keduanya masih ada lembaga-lembaga lain
yang juga menempuh metoda serupa.
“Permusuhan“ antara Salafy Yamani
dengan Salafy Haraki ini nampak sangat tajam. Pihak Yamani menyebut kelompok
Haraki ini sebagai ahlul bid’ah, sehingga berhak untuk direndahkan
serendah-rendahnya, dihinakan dan dijauhi.
Sekedar contoh saja, dalam tulisan yang berjudul “Membongkar kedustaan
Abdurahman At-Tamimy Al-Kadzab“ seorang tokoh Al-Irsyad di jawa Timur, yang
ditulis oleh Abu Dzulqarnain Abdul Ghafur Al-Malanji, yang pernah dimuat di
situs www.salafy.or.id, untuk katagori syururiyyah, Tulisan yang dipublikasikan
dalam 4 seri itu merupakan bantahan atas
ceramah Abdurrahman At-Tamimi di hadapan komunitas ilmiyah salafiyah di Markaz
Imam Al-AlBani di Yordania. Abu Dzulqarnain menyatakan kepada Markaz Imam Al-Albani
Yordania, antara lain “Antum sekalian telah salah dengan datang menghadiri
daurah yang diadakan oleh ikhwaniyyin itu. Para Kalajengking itu berkumpul
menumpuk racun untuk menyengat saudara kalian sendiri, salafiyyin di Indonesia.
Antum sekalian telah salah mengundang orang, ular berbahaya telah antum
sekalian beri kesempatan untuk menancapkan taring berbisanya kepada penuntut
ilmu dan ulama di markaz antum sekalian.”
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
ketika ditanya tentang Abdurrahman Abdul Khaliq ulama Ihyaut Turats Al-Islamiyyah, Kuwait, seperti
dimuat situs www.freelists.org tgl. 15 Oktober 2003, berkata “Jadi sangatlah cocok jika kita
katakan bahwa Abdurrahman Abdul Khaliq adalah
SALAFTY, dengan sin, lam, dan fa dari Salafy, sedang ta dan ya dari
DEMOCRATY. Dia hanya patut mendapat kritikan (jarh) tanpa ta’dil (pujian). Dulu
ketika dia masih berada di Madinaturrasul dia masih di atas kebenaran, dan
ketika memulai urusannya di Kuwait juga masih di atas kebenaran. Kemudian
Jamiyyah Ihyaut Turats (Yayasan untuk Kebangkita Kebudayaan Islam) pantas
diperingatkan, karena yayasan itu memecah da’i
ilallah.
Pihak yang paling banyak diserang
oleh majalah-majalah Salafy ialah Ikhwanul Muslimien dan tokoh-tokohnya seperti
: Hasan AlBanna, Sayid Qutub, Yusuf Qardhawi, Hasan Turabi, dsb. serta Hizbut Tahrir. Syeikh Muqbil bin Hadi ketika
memberi pengantar buku “Raf’ul Litsaam ‘An Mukhalafatil Qardhawi Li
Syari’atil Islam“ (Menyingkap Tabir Penyimpangan Al-Qardhawi terhadap Syari’at
Islam), dimuat di situs www.Salafy.or.id., 19 April 2004. Kata Pengantar Syeikh
Muqbil diletakkan paling atas sebelum pengantar dari murid-murid beliau dan
ulama lainnya. Buku tersebut merupakan karya dari Syeikh Ahmad bin Muhammad bin
Manshur Al’Udaini. Dalam pengantarnya, Syeikh Mubil antara lain mengatakan “Alhamdulillah,
tiada seorangpun da’i penyeru kepada kesesatan dari kalangan ulama jahat, melainkan ada pada Ahlus Sunnah
yang membidiknya, sampai tersungkur dan tersingkap kebobrokannya. Para da’i
Ahlus Sunnah senantiasa memperingatkan kaum muslimien dari kebathilan dan
kesesatan ulama jahat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Sebenarnya Kami melontarkan
yang hak kepada yang bathil, lalu yang hak itu mengancurkannya, maka dengan
serta merta yang bathil itu lenyap.“ (QS. Al-Anbiya : 18). Di antara sekian
banyak da’i dhalalah yang menyeru kepada
kesesatan pada zaman sekarang ini adalah Yusuf Qardhawi, mufti Qatar. Sungguh
dia telah menjadi amunisi baru bagi musuh-musuh Islam. Dia telah mencurahkan pena dan lisannya guna menyerang
agama Islam. Da’i Ahlus Sunnah tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan
mengarahkan anak panah kepadanya dan menghabisi argumennya, sebagaimana mereka
telah menghabisi dai-dai sesat lainnya. Di antara Da’i Ahlus Sunnah yang
melakukan demikian adalah Syeikh Al Fadhil Ahmad bin Muhmmad bin Manshur Al
‘Udaini. Dia telah banyak meneliti sepak terjang kesesatan Qardhawi.
Pokok-pokok kesesatan Qardhawi itu dipatahkannya berdasarkan dalil-dalil Al-Quran
dan As-Sunnah.“
Sekitar awal 1996 melalui
majalah Salafy, Ja’far Umar juga pernah melontarkan celaan sangat keras terhadap
Yusuf Qardhawi. Ja’far Umar menyebut Al Qardhawi sebagai “Aduwullah“ (Musuh
Allah) dan Yusuf Al Quraizhi (Yusuf dari suku Yahudi Qurazhah). Sebutan
–sebutan tersebut sempat dikoreksi oleh
guru Ja’far Umar di Yaman, dan gurunya memberi sebutan yang menurutnya lebih
baik, yakni Yusuf Al Qaradha (Yusuf Sang Penggunting) maksudnya, penggunting
syaria’t Islam.
Sedangkan pihak Haraki, mereka juga
membela diri. Dan sekaligus menyerang balik Salafy Yamani. Di antaranya seperti
disebutkan oleh Mubarak BM Bamuallim, Lc dalam bukunya “Biografi Syaikh
Al-Albani: Mujadid dan Ahli Hadits Abad ini, hal 187, bagian catatan kaki.
Bamuallim menulis : “Sebagaimana yang terjadi di negri ini, munculnya beberapa
gelintir manusia dengan berpakaian salafiyyah, memberikan kesan seolah-olah
mereka mengajak kepada pemahaman Salaf, namun hakikatnya mereka adalah pengekor
hawa nafsu dan perusak dakwah salafiyyah, akibatnya mereka hancur
berkeping-keping, dan saling memakan daging temannya sendiri.” Wal-Iyadu
billah.
Seorang tokoh Jum’iyyah Ihyaut
Turats Al Islamy yang ditugaskan di Indonesia, yang mengajar di Pesantren
Al-Irsyad Tengaran, Salatiga, Jawa Tengah, bernama Syarief bin Muhammad Fuad Hazza, karena
kegerahannya terhadap cara-cara Ja’far Umar, maka atas inisiatifnya ia
menyebarkan selebaran berjudul “Penjelasan dan Ajakan“ yang diterjemahkan oleh
Yusuf Utsman Baisa pimpinan Pesantren Al-Irsyad Salatiga. Inti selebaran itu
adalah mengajak Ja’far Umar untuk melakukan “mubahalah“ agar Allah melaknati
salah satu dari keduanya yang terbukti sebagai pendusta. Mubahalah itupun
akhirnya terjadi antara dua orang tokoh dakwah Islam, yaitu Ja’far Umar (Salafy Yamani) dan Syarif
Muhammad Hazza (Ihyaut Turats Kuwait/ Salafi Haraki).
Hizbut Tahrir sebagai salah satu
pihak yang juga sering dituding sesat oleh Salafy Yamani atau Salafy Wahabi dalam istilah Hizbut Tahrir,
seperti dimuat dalam majalah Al-Furqan edisi 5 tahun 3,hal 29-33, menuding
balik Salafy dengan pernyataan : 1) Nama Salafiyyah adalah bentuk hizbiyyah dan
bid’ah, karena salafi di masa kini hasil upgrade dari faham Neo-Wahabi yang
dibentuk pada abad ke-19 Masehi oleh Kerajaan Inggris yang mem-back-up Kerajaan
Saudi Arabia. 2) Salafiyyun hanya berkutat pada masalah parsial (juz)
Melalaikan masalah secara komprehensif dan masalah mendasar. 3) Dakwah
Salafiyyah menyepelekan politik bahkan tidak peduli sama sekali. 4) Bodoh
terhadap masalah Waqi’I (realita umat) dan tidak acuh dengan perkara umat ini.
5) Salafiyyun mencari muka di hadapan penguasa dan tidak berbicara dengan
kebenaran. 6) Melalaikan jihad fi
Sabilillah. 7) Tidak memiliki program ke depan yang jelas dan program perbaikan
secara komprehensif. 8) Dakwah Salafiyah, dakwah pemecah belah umat dan pematik
fitnah. 9) Salafiyyun merasa dirinya paling benar, selamat dan masuk surga,
sehingga hanya salafi wahabi saja golongan yang boleh eksis di muka bumi ini,
sedangkan golongan lainnya sesat, bid’ah dan tidak selamat, sehingga layak
untuk dicela dan jangan diungkapkan secuilpun kebaikannya.
Keutamaan Para Sahabat Nabi saw.
Kiranya kita semua sepakat dan tidak
meragukan lagi tentang keutamaan para Sahabat Nabi saw. Baik Muhajirin maupun
Anshar. Mereka adalah komunitas yang mendapat pujian dan jaminan dari Allah
swt. tempat kembalinya di surga. Kita berkewajiban untuk memuliakan mereka dan menjadikan mereka sebagai panutan atau
uswah hasanah dalam kehidupan.
Allah swt berfirman :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ – التوبة : 100
Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah : 100)
Demikian juga keutamaan para Tabi’in
dan Tabi’ut Tabiin, yang di gambarkan dalam hadits:
عن عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُكُمْ قَرْنِي
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ - ر البخاري و مسلم
Dari Imran bin Husein ra berkata,
bersabda Rasulullah saw : Sebaik-baik kamu adalah generasiku, kemudian yang
sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hanya kaum Syi’ah Rafidah dan yang
semacamnya yang merendahkan martabat para Sahabat Nabi saw. mereka menilai
bahwa para sahabat sepeninggal Nabi saw semuanya murtad, kecuali hanya tiga
orang yakni : Al-Miqdad bin Al-Aswad, Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al
Ghifari. Demikian seperti di muat oleh
Al-Kisysyi dalam kitabnya Rijalul Kisyyi : 12-13 dan oleh Al-Kulaini dalam kitabnya
Furu’ul Al-Kafi : 115. Malah Muhammad Baqir Al-Majlisi dalam kitabnya “Haqqul
Yaqin : 533“ dengan menisbahkan perkataan kepada Imam Zainal Abidin yang
ditanya soal Abu Bakar ra dan Umar ra? Beliau menjawab : “Keduanya adalah
kafir, dan mereka yang mengangkatnya juga kafir.” Di halaman 519 Al-Majlisi
mengatakan : “Akidah kami dalam hal kebencian adalah membenci empat berhala,
yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Mu’awiyyah, dan empat wanita, yaitu Aisyah,
Hafsah, Hindun dan Ummul Hakam, serta semua orang yang mengikuti mereka. Mereka
adalah sejelek-jelek makhluk di muka bumi ini. Tidaklah sempurna iman kepada
Allah, Rasul-Nya dan para Imam, kecuali setelah membenci musuh-musuh tersebut.“
Subhanallah !
Al-Qur’an dan As-Sunnah Sebagai Dua
Sumber Hukum Islam
Selama ini para tokoh dan Organisasi
“Muhyi Atsari Salaf“ selalu mendasarkan kegiatan dakwahnya kepada Al-Quran
dan As-Sunnah. Menyeru umat untuk kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah, karena
keyakinan yang kuat atas jaminan Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa siapapun yang berpegang teguh atau
berpedoman kepada Al-Quran dan As-Sunnah tidak akan sesat selamanya.
Allah swt. telah memerintahkan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا – النساء : 59
Hai orang-orang yang beriman,
ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa :59).
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما : كتاب الله و سنة نبيه – ر ملك
فى الموطا : ر 1707 و روى ايضا الحاكم عن ابى
هريرة فى المستدرك 1: 93
Aku tinggalkan dua perkara, kalian
tidak akan sesat, selama berpegang teguh kepada keduanya, Kitabullah (Al-Quran)
dan Sunnah Nabi-Nya. (HR. Malik, dalam Al-Muwatha : No. 1707, juga
diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
1 : 93).
Ketika Umat Islam terpecah belah ke
dalam banyak firqah atau millah, Nabi saw menyatakan masih ada satu
firqah yang selamat (Firqatun najiyah) selebihnya masuk neraka, Nabi saw. tidak
menyebut nama atau kelompok, beliau menjelaskan bahwa yang akan selamat itu
adalah “Al-Jama’ah“, yakni mereka yang berpegang teguh kepada apa-apa yang
dipegang teguh oleh Nabi saw dan para Sahabatnya, yakni Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتْ
النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ
وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي
عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ
فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ - ر ابن ماجه : ر 3982
Dari Auf bin Malik ra berkata,
berabda Rasulullah saw : “ Yahudi terpecah menjadi 71 firqah, satu firqah
di surga dan 70 firqah di neraka.
Kristen pecah menjadi 72 firqah, satu firqah di surga dan 71 firqah di neraka. Dan demi diri
Muhammad yang ada pada kekuasaan-Nya, umatku akan pecah menjadi 73 firqah, satu
firqah di surga dan 72 firqah di neraka. “Lalu ditanyakan : “Ya Rasulullah
siapakah mereka itu?”. Beliau menjawab : “Al-Jama’ah“. (HR. Ibnu Majah
: No. 3982)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي
مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ
مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ
أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً
وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
– ر الترمذي : ر 6565
Dari Abdillah bin Amer ra berkata,
bersabda Rasulullah saw : Benar-benar akan datang/ menimpa kepada umatku
seperti apa yang pernah datang/ menimpa kepada Bani Israil setapak demi
setapak, sampai jika ada pada mereka (Ahlul Kitab) anak yang memperkosa ibunya
dengan terang-terangan, maka pada umatku akan ada yang melakukan perbuatan
(keji) sepeti itu. Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 millah, dan
umatku akan pecah menjadi 73 millah. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu
millah. “Mereka bertanya: “Siapakah dia ya Rasulallah?“ Beliau menjawab :
“Mereka yang berpegang teguh pada apa yang aku dan sahabatku pegang teguh
(yakni Al-Quran dan As-Sunnah)“. (HR. At-Tirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi
7: 399)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ
عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ
يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ
وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ – ر مسلم : ر 1435
Dari Jabir bin Abdillah ra berkata :
Rasulullah saw jika berkhutbah kedua matanya memerah, suaranya keras, (seperti)
sangat marah, seperti seorang komandan pasukan, beliau bersabda : “perhatikan
waktu pagi dan sore kalian, masa kerasulanku dengan kiamat seperti ini,” beliau
berisyarat dengan telunjuk dan jari tengahnya, Beliau bersabda: ”Amma ba’du, sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad saw, dan sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan, dan
setiap bid’ah itu sesat.“ (HR Muslim: No.
1435)
“Manhaj Salafus Shalih” sebagai
Sumber Hukum Ketiga (?)
Bagi Salafy, siapapun yang hanya berdiri
di atas Al-Quran dan As-Sunnah, tapi tidak tidak berdiri di atas Manhaj Salafus Shalih, mereka
adalah sesat. Berikut saya kutif pernyataan Syeikh Al Albani ketika memberi fatwa tentang
Kesesatan Hizbut Tahrir yang dimuat www.Salafy.or.id 1 Juni 2003 sbb.: Ketika ada yang bertanya :
“Saya banyak membaca tentang Hizbut Tahrir, dan saya kagum terhadap banyak
pemikiran-pemikiran mereka, saya ingin anda menjelaskan atau memberikan faidah
pada kami dengan penjelasan yang ringkas ttg Hizbut Tahrir ini?” Syeikh Al
Albani menjawab antara lain : “Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan
islamiyah, selama mereka tidak berdiri di atas Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah
Rasulullah saw serta di atas Manhaj (jalan/cara) Salafus Shalih, maka dia
(golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata! tidak diragukan lagi,
bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini
(Al-Quran, Sunnah Rasulullah saw dan Manhaj Salafu Shalih) maka akan berakibat
atau membawa kerugian pada akhirnya, walaupun mereka itu (dalam dakwahnya)
ikhlas.“
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
juga menjelaskan tentang belum cukupnya jika hanya berdasar Al-Quran dan
As-Sunnah (seperti dimuat situs www.assunnah.or.id 13 Juni 2000). Syaikh Al-Albani menjelaskan : “Sebabnya
kembali kepada dua hal, yaitu : Pertama, Hubungannya dengan dalil Syar’i
, dan Kedua, Fenomena Jama’ah
Islamiyah yang ada.
Berkenaan dengan sebab pertama :
Kita dapati dalam nash-nash yang berupa perintah untuk mena’ati hal lain di samping Al-Kitab dan As-Sunah
sebagaimana dalam firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ – النساء : 59
“Dan tatailah Allah, taatilah Rasul
dan Ulil Amri di antara kalian“ (QS. An-Nisa: 59)
Jika ada Waliyul Amri yang dibai’at
kaum muslimien maka menjadi wajib ditaati seperti keharusan taat kepada Al-Kitab
dan As-Sunnah. Walau kadang muncul kesalahan dari dirinya dan bawahannya. Taat
kepadanya tetap wajib untuk menepis akibat buruk dari perbedaan pendapat dengan
menjunjung tinggi syarat yang sudah dikenal yaitu : “Tidak ada ketaatan kepada
makhluk di dalam bermaksiat kepada Al-Khalik“ (lihat As-Shahihah No.179).
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا – النساء : 115
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
danmengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan mereka
berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan dia
kedalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (An-Nisa :
115)
Allah Maha Tinggi dan jauh dari
main-main. Tidak disangkal lagi, penyebutan SABILIL MU’MINIIN (Jalan kaum
Mukminin) pasti mengandung hikmah dan manfa’at yang besar. Ayat itu membuktikan
adanya kewajiban penting yaitu agar ittiba’ kita terhadap al-Kitab dan
as-Sunnah harus sesuai dengan pemahaman generasi Islam yang pertama (generasi
sahabat). Inilah yang diserukan dan ditekankan oleh dakwah Salafiyah di dalam
inti dakwah dan manhaj tarbiyahnya.
Sesungguhnya Dakwah Salafiyah
benar-benar akan menyatukan umat. Sedangkan dakwah lainnya hanya akan
mencabik-cabiknya. Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ - التوبة :
119
“Dan hendaklah kamu bersama-sama
orang-orang yang benar”. (At-Taubah: 119).
Siapa saja yang memisahkan antara
al-Kitab dan as-Sunnah dengan as-Salafus Shalih bukanlah seorang yang benar
selama-lamanya.
Adapun berkenan dengan sebab kedua.:
Bahwa kelompok-kelompok dan golongan-golongan (umat Islam) sekarang ini sama
sekali tidak memperhatikan untuk mengikuti jalan kaum mukminin yang telah
disinggung ayat di atas dan dipertegas oleh beberapa hadits. Diantaranya hadits
tentang firqah yang berjumlah tujuh puluh tiga golongan, semua masuk neraka
kecuali satu, Rasul mendeskripsikan sebagai : “Dia (golongan itu) adalah
yang berada diatas pijakanku dan para sahabatku hari ini”.
Hadits ini senada dengan ayat yang
menyitir tentang jalan kaum mukminin. Di antara hadits yang juga senada
maknanya adalah, hadits Irbadl bin Sariyah, yang di dalamnya memuat : “Pegangilah
sunnahku dan sunnah Khulafair Rasyidin sepeninggalku”.
Jadi disana ada dua sunnah yang
harus diikuti: “Sunnah Rasul dan sunnah Khulafaur Rasyidin.“ Menjadi keharusan
atas kita (generasi mutaakhirin) untuk merujuk kepada al-Kitab dan as-Sunnah
dan jalan kaum mukminin. Kita tidak boleh berkata: “Kami mandiri dalam memahami
al-Kitab dan as-Sunnah tanpa petunjuk Salafus as-Shalih”.
Demikian juga kita harus memiliki
nama yang membedakan antara yang haq dan batil di zaman ini. Belum cukup kalau
kita hanya megucapkan : “saya seorang muslim (saja) atau bermadzhab Islam.
sebab semua firqah juga mengaku demikin, baik Syi’ah, Ibadhiyyah (salah satu
firqah dalam Khawarij), Ahmadiyyah dan yang lainnya. Apa yang membedakan kita
dengan mereka…?
Kalau kita berkata: “Saya seorang
muslim yang memegangi al-Kitab dan as-Sunnah. Ini juga belum memadai, karena
firqah-firqah sesat juga mengklaim ittiba’ terhadap keduanya. Tidak syak lagi,
nama yang jelas, terang dan membedakan dari kelompok sempalan adalah ungkapan :
“Saya seorang muslim yang konsisten dengan Al-Kitab dan As-Sunnah serta
bermanhaj Salaf,“ atau disingkat “Saya Salafy“.
Dari penjelasan Syeikh Nashiruddin
Al-Albani di atas kita bisa mengetahui bahwa yang menjadi dasar penetapan
Manhaj Salafus Shalih sebagai Sumber Hukum Ketiga setelah Al-Quran dan
As-Sunnah, antara lain Pertama, adalah
firman Allah :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ
مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا - النساء : 115
Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.
Kata “Sabilil Mukminin“ dalam
beberapa tafsier diberi penjelasan sbb :
القاسمى 2: 481
: و هو الدين القيم
المراغى 5: 155
: سبيل اهل الهدى
القرطبي 3: 385
: طريق المسلمين
الصابونى 1 : 305 :
ويتبع منهاجا غير منهاجهم
الفخر الرازي 6: 43:
غير دين الموحدين
النسفى 1 : 282 : اي السبيل الذي هم عليه من الدين الحنفي
المنير 5 : 271 : اي اتفق المجتهدين من امة محمد ص بعد وفاته فى عصر من العصور على حكم
شرعي
Dari beberapa penafsiran di atas
beberapa di antaranya menunjukan bahwa
yang dimaksud dengan “sabilil
mu’minin“ itu adalah ajaran Islam, ajaran tauhid. Terutama jika dikaitkan
dengan sababun nuzul ayat ini terkait dengan orang-orang kafir Quresy yang
datang ke Madinah kemudian menyatakan diri masuk Islam, tapi setelah kembali ke
Mekkah, kemudian mereka murtad dan kembali kepada kemusyrikan. Mereka
meninggalkan Jalan orang-orang yang beriman yakni agama Islam, agama tauhid.
Syeikh Muhammad Mutawali Asy-Sya’rawi dalam
tafsirnya 5 : 2637 menghubungkan kalimat “Sabilil Mu’minin“ dengan ayat
:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ
وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ – الانعام : 153
Dan bahwa (yang Kami perintahkan)
ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS.
Al-An’am : 153)
Jika ayat ini dikaitkan dengan
hadits Nabi saw di atas yang menyebutkan bahwa umat Islam akan pecah menjadi 73
firqah/ millah, semua masuk neraka kecuali satu, yaitu “Ma Ana ‘Alaihi wa
Ashabi“yaitu mereka yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Ayat
di atas sulit untuk dijadikan argumentasi untuk menetapkan bahwa “Manhaj
Salafus Shalih“ adalah sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah.
Argumentasi yang kedua :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا – النساء : 59
Hai orang-orang yang beriman,
ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa : 59)
Argumentasi dengan menggunakan ayat
ini untuk menetapkan “Manhaj Salafus Shalih“ sebagai dasar ketiga, kiranya
kurang relevan sekali. Karena kalimat “Ulil Amri Minkum“ bersifat umum, dan
bisa berlaku pada setiap zaman dan makan (tempat). Tidak hanya
khusus zaman Sahabat sampai generasi Tabi’ut Tabiin. Dalam ayat ini juga dengan
jelas dan terang, jika kita bertentangan atau berselisih dalam satu urusan,
Allah hanya memerintahkan untuk kembali kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(As-Sunnah), tidak ada perintah kembali kepada Ulil Amri.
Allah Maha Mengetahui, tidak
semata-mata kata ATHI’U tidak diulang pada ULIL AMRI, demikian juga ketika umat berselisih dalam satu urusan,
Allah hanya memerintahkan untuk kembali kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(As-Sunnah) tanpa menyebut lagi ULIL AMRI, semua itu pasti mengandung hikmah.
Karena ketaatan kepada Ulil Amri itu ada batasannya, selama Ulil Amri menyuruh
kepada ma’ruf. Ketika Ulil Amri menyuruh kepada maksiat (karena memang terbuka
kemungkinan melakukannya), maka jangankan untuk ta’at, hatta mendengar saja
dilarang. Dalam Hadits dijelaskan :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ عَلَيْهِ وَلَا طَاعَةَ – ر احمد ومسلم وابو داود والترمذي
Dari Ibnu Umar ra berkata, bersabda
rasulullah saw: “Wajib atas orang muslim untuk mendengar dan ta’at, (kepada
pemimpin) baik dalam hal yang ia sukai ataupun tidak, selama tidak disuruh
maksiat, jika disuruh maksiat maka tidak boleh mendengar dan menaatinya.“ (HR. Ahmad,
Muslim, Abu daud dan At-Tirmidzi)
Dalam hadits lain Nabi saw bersabda
:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ – ر ابو داود عن علي
Tidak ada ta’at dalam maksiat
kepada Allah, sesungguhnya ta’at itu hanya pada kebaikan. (HR. Abu Daud
dari Ali bin Abi Thalib ra)
Argumentasi Ketiga :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا
كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ
ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ - ر الترمذي
عن العرباض بن سارية : ر 2600
“Aku berpesan kepada kalian agar
bertaqwa kepada Allah, wajib mendengar dan taat meskipun (pemimpinmu itu)
seorang habsyi. Sesungguhnya barangsiapa yang berumur panjang, akan menyaksikan
perselisihan yang banyak. Hati-hatilah dengan urusan yang diada-adakan, sebab
yang diada-adakan itu sesat. Barangsiapa diantara kalian dengan keadaan seperti
itu, maka hendaklah ia mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaur-Rasyidin
yang mendapat petunjuk, pegang teguhlah dengan sungguh-sungguh.“ (HR. At-
Tirmidzi dari Al-Irbadh bin Sariyah : No. 2600)
Berdasar hadits ini kita
diperintahkan untuk mengikuti Sunnah Nabi saw. dan Sunnah para Khulafaur
Rasyidin. Persoalannya Apakah kalimat atau sebutan “Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin” dalam hadits di atas dapat diberlakukan dalam
pengertian umum yang mencakup semua Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabiin? Untuk
kemudian diambil istinbath (kesimpulan) bahwa “Manhaj Salafus Shalih“ sebagai
sumber hukum Islam yang ketiga? Dari
kata sifat “Ar-Rasyidin dan Al-Mahdiyyin“ menunjukkan bahwa yang wajib diikuti
adalah sunnah para khalifah yang mengikuti dan menaati dua sumber hukum yang
ditinggalkan oleh Nabi saw. yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Sesuai dengan jaminan
Nabi saw. bahwa siapapun termasuk di dalamnya para khalifah yang berpegang
teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah, tidak akan sesat selamanya, mereka akan
termasuk “Rasyidin“ (terpimpin, lurus) dan “Mahdiyyin“ (tetap
dalam hidayah).
Seperti sudah disebutkan di atas bahwa
para Sahabat adalah generasi terbaik yang sudah mendapat pujian Allah dan
Rasul-Nya, Kita berkewajiban menjadikan mereka sebagai uswatun hasanah dalam
banyak aspek kehidupan, mendahulukan mereka dalam memahami nash-nash, baik
al-Quran maupun As-Sunnah, Meski dalam kenyataan kita kerap kali dihadapkan
kepada kesulitan memahami ayat dan atau hadits Nabi saw, ketika di antara sahabat Nabi saw sendiri
terjadi perbedaan pendapat atau sikap. Lantas Sahabat manakah yang harus
diikuti? Kita juga membaca dalam tarikh, bahwa diantara para sahabat bukan
hanya terjadi perbedaan pandangan atau pendapat dan penafsiran, bahkan juga
konflik yang menyeret ke dalam kancah peperangan, seperti perang Jamal dan
perang Sifin.
Dalam memahami nash, kita ambil contoh :
1. Tentang makna “Au laamastumun Nisaa“
dalam QS. An-Nisa : 43 dan Al-Maidah : 6 . Menurut riwayat Al-Baihaqi Ibnu
Mas’ud ra. Berpendapat : “Mencium itu termasuk Lamsu dan hendaklah
berwudlu. Lamsu itu bukan bersetubuh.“ (Nailul Authar 1 : 231). Sementara
Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas
menafsirkan “Mulamasah“ itu dengan arti “Jima/ bersetubuh“. (Tafsir Ath-Thabari 5:65; Subulus salam 1 :
66). Pendapat sahabat mana yang harus kita ambil?
2. Dalam menafsirkan QS. Ali Imran : 7
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ
مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا
الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ
الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ
فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang
menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan
fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran : 7)
Tentang ayat mutasyabihat, di antara
sahabat juga berbeda pendapat mengenai siapa yang mengetahui takwilnya. Ubay
bin Ka’ab dan Siti Aisyah misalnya menyatakan hanya Allah yang tahu, sementara
Ibnu Abbas menyatakan bahwa yang tahu tentang takwil ayat mutasyabihat bukan
hanya Allah, tapi juga orang-orang yang luas dan dalam ilmunya (Tafsir
Al-Maraghi 3 : 100). Pendapat sahabat yang manakah yang harus kita ikuti?
3. Dalam Hadits riwayat Al-Bukhari dijelaskan
bahwa adzan jum’at itu dilakukan apabila imam sudah duduk di mimbar, pada zaman
Nabi saw, Abu Bakar, dan Umar. Maka pada masa khalifah Utsman, dimana manusia
muslim semakin banyak, Utsman memerintahkan untuk menambah adzan ketiga (kini
sering disebut adzan awwal) di Zaura (sebuah tempat di pasar Madinah).
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ
كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ
عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ
النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ
الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ – ر البخاري
Dari Saib bin Yazid ra berkata :
“Adzan pada hari Jum’at awalnya ketika imam sudah duduk di mimbar, pada zaman
Nabi saw, Abu Bakar dan Umar. Pada zaman Utsman ketika manusia bertambah
banyak, Utsman menambah adzan ketiga di Zaura. Menurut Abu Abdillah, Az-Zaura
itu sebuah tempat di pasar Madinah. (HR. Al-Bukhari).
Persoalan yang muncul : Sunnah
Khulafaur Rasyidin yang mana yang harus kita ambil dalam masalah ini? Apakah
yang berlaku di zaman Abu Bakar dan Umar dimana adzan Jum’at itu satu kali,
atau cara Utsman dengan adzan dua kali? Kalau kita adzan satu kali mengikuti
apa yang dilakukan pada zaman Khalifah Abu Bakar dan Umar, berarti kita menafikan
sunnah Utsman bin Affan, Padahal beliau juga Khulafaur Rasyidin? Demikian juga
sebaliknya.
Dari uraian sederhana ini, izinkan
saya membuat beberapa catatan atau kesimpulan sebagai berikut.
1. Kita tidak menemukan dalil yang sharih
(jelas) yang menetapkan “Manhaj Salafus Shalih“ sebagai Sumber Hukum ketiga
setelah Al-Quran dan As-Sunnah.
2. Rasulullah saw. kita yakini paling paham
mengenai makna kalimat “Sabilil
Mukminin“, tapi dalam sabdanya beliau hanya berwasiyat untuk berpegang teguh
kepada dua perkara yakni Al-Quran dan As-Sunnah, dengan jaminan kita tidak akan
sesat selamanya.
3. Menjadi sesuatu yang aneh, orang yang
mengaku Salafy meragukan jaminan Nabi saw. yang secara terang, jelas dan
gamblang menyatakan barangsiapa yang berpegang teguh, kepada apa yang dipegang
teguh oleh Beliau dan Para Sahabatnya
yaitu al-Quran dan As- Sunnah tidak akan sesat selamanya, dengan mengatakan
tidak cukup dengan al-Quran dan as-Sunnah, bahkan dengan sangat berani menilai
sesat kepada siapa saja yang tidak berpegang teguh kepada sumber hukum yang
ketiga yang disebut “Manhaj Salafus Shalih“.
4. Kita yakin bahwa yang jadi pegangan para
Salafus Shalih (Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabiin) dahulu juga hanya dua,
yakni al-Quran dan As-Sunnah.
5. Manhaj Salafus Shalih bukan sebagai Sumber
Hukum, melainkan metoda atau jalan atau cara kita memahami nash-nash al-Quran
dan as-Sunnah yang didahulukan sebelum yang lainnya.
6. Nabi saw. sudah berpesan dalam hadits di
atas, bahwa sebaik-baik perkataan adalah kitabullah (Al-Quran) dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. (As-Sunnah) dan sejelek-jelek perkara
adalah yang diada-adakan (Muhdatsatul umur). Kita sangat kawatir
menetapkan sumber hokum ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, apapun namanya
akan termasuk “Muhdatsatul umur“.
7. Patut menjadi renungan kita semua apakah
cara-cara dakwah dengan cara kasar, merendahkan, dan menghinakan itu sudah
termasuk dakwah bil-hikmah, dan sesuai dengan cara dakwah Salafus
Shalih? Wallahu’alam.
Beberapa Perbedaan Masalah Fiqih
Dalam masalah Fiqih sering terjadi,
dari dalil-dalil yang sama dihasilkan kesimpulan hukum yang berbeda, disebabkan
oleh perbedaan pemahaman atau Thuruqul Istinbath (metoda pengambilan kesimpulan
hukum) yang berbeda pula. Misalnya :
Masalah “Isbal“ :
Dalil-dalil tentang “Isbal“
(Melabuhkan kain, sarung, celana, atau gamis, dsb di bawah mata kaki) yang
dipakai oleh Salafy yang mengharamkannya secara mutlak, baik dengan niatan
sombong ataupun tidak, dengan yang
penulis pakai untuk mengambil istinbath hukum bahwa yang diharamkan itu Isbal
dengan niatan sombong saja, ternyata sama.
Dalil-dalil tentang larangan Isbal
itu ada yang muthlaq dan ada yang muqayyad. Dalil-dalil yang muthlaq
misalnya :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ
خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ
وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ - ر احمد ووو مسلم و ابو داود والنسائي والترمذي
Dari Abi Dzar ra dari Nabi saw
bersabda : “Tiga golongan yang oleh Allah tidak akan diajak bicara pada hari
kiamat, dan tidak akan memperhatikannya, tidak akan membersihkan (dosa)nya, dan
bagi mereka siksaan yang pedih.“ Nabi saw mengatakannya tig kali. Abu Dzar
berkata : “Celakalah dan rugilah mereka, siapakah mereka itu ya Rasulallah?”
Nabi saw. menjawab : “yang melabuhkan kainnya, yang menyebut-nyebut
pemberiannya, dan yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.“ (HR. Ahmad,
Muslim, Abu Daud, An-Nasai dan At-Tirmidzi) [K.H. Shiddiq Amien/
hilmanrasyidamienullah.blogspot.com]
http://quantumfiqih.wordpress.com/2013/06/27/wasiat-al-imam-al-munawi/
BalasHapus