Pedoman Zakat Fitrah (Bagian IV-Tamat)
Kelima, waktu membagikan Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah ibadah yang mudhayyaq,
yaitu tertentu dan terbatas waktunya. Karena itu membagikan zakat fitrah harus
tepat pada waktunya. Kapan waktu yang tertentu dan terbatas itu? Abu Sa'id
Al-Khudriy berkata:
كُناَّ نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat fitrah di zaman
Rasulullah saw. pada (waktu) hari raya fitri (berupa) satu shaa' dari makanan.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No.
hadis 1439)
Keterangan Abu Sa'id di atas menjadi petunjuk bahwa
ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang berlaku di zaman Rasulullah
adalah pada yawmal fitri (siang hari raya fitri), bukan pada malam hari.
Perbuatan para sahabat di atas merupakan pengalaman
dari instruksi Rasulullah, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ
Rasulullah SAW. memerintah dengan zakat fitrah, supaya
dilakukan sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya). (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:679, No.
hadis 1438)
Dalam riwayat lainnya dengan redaksi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى
الصَّلَاةِ
Bahwa Rasulullah SAW. memerintahkan agar membayar
zakat fithrah sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat Ied. (HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 679, No. hadis
986; Ahmad,Musnad Ahmad, II:67, No. hadis 5345; II: 154, No. hadis 6429;
An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:30, No. hadis 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
II:111, No. 1610; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422;
Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. hadis 7526; Abd bin Humaid, Musnad
Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud, Al-Muntaqaa, I:98, No. hadis 359)
Dalam riwayat lain dengan menggunakan kalimat
أَمَرَ بِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ
“Memerintahkan agar mengeluarkan zakat fithrah” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:
90, No. 2421; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:152, No. hadis 66)
Selain itu, menggunakan pula kalimat shadaqah
al-Fitri:
أَمَرَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ
“Memerintahkan agar membayar shadaqah fithri” (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:54, No. 2521;
Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:91, No. hadis 2423)
Sedangkan dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan kalimat amara
bihaa (Sunan Ad-Daraquthni, II:153, No. hadis 69)
Sedangkan di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan
redaksi sebagai berikut :
كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ
الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ
"Sesungguhnya Rasulullah SAW. memerintah untuk
mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fitri sebelum pergi salat (hari
raya)". (HR. At-Tirmidzi, Sunan
At-Tirmidzi, III:62, No. hadis 677)
Berdasarkan keterangan Ibnu Umar diatas—dengan
berbagai bentuk redaksi—maka semakin
jelaslah makna yawmal fitri itu, yakni bukan malam hari dan bukan pula
sepanjang hari raya, tapi sebagiannya saja, yaitu sejak terbit fajar hingga
selesai salat hari raya (Ied) setempat.
Untuk lebih jelasnya, Ibnu Tin menyatakan sebagai
berikut :
قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ أَيْ
قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى صَلاَةِ الْعِيْدِ وَبَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ
"(maksud) sebelum orang keluar (pergi) ke salat
(hari raya) ialah sebelum orang keluar untuk salat Idul Fitri dan setelah salat
subuh." (Lihat, Fathul Bari,
III : 439)
Kemudian Ikrimah menegaskan pula, "Seseorang
mendahulukan zakatnya pada "hari raya fitri" di hadapan salatnya,
karena Allah telah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ
فَصَلَّى
“Sungguh beruntung orang yang membersihkan (berzakat)
dan mengingat Tuhannya, kemudian ia salat'.” (Lihat, Fathul Bari, III : 439)
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka
ketentuan waktu untuk menyampaikan zakat fitrah kepada para mustahiq itu adalah
dimulai sejak fajar hari raya fitri sampai selesai salat 'ied setempat. Hal itu
bukan hanya di contohkan saja, melainkan diperintahkan, yang kemudian
senantiasa dipraktekkan oleh para sahabat, baik pada zaman Rasulullah maupun
sesudahnya. Ketentuan ini berlaku, baik bagi perorangan ataupun kelembagaan (jami'
zakat).
Yang menjadi permasalahan, apakah ketetapan ini
berkaitan dengan suatu 'illah (alasan, sebab) tertentu? Sehubungan
dengan itu Syekh al-Qardhawi menyatakan, “hadis yang menerangkan waktu
pembagian zakat fitrah itu bersifat temporer atau situasional, artinya
ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anggota masyarakat di masa itu, mengingat
sedikitnya jumlah anggota masyarakat dimasa itu, sementara mereka saling
mengenal satu sama lain, dan karena itu pula dengan mudah dapat mengetahui
siapa-siapa yang memerlukan zakat fitrah tersebut. Jadi, tidak ada problem
apapun yang berkaitan dengan sempitnya waktu untuk itu”. (lihat,
Bagaimana Memahami Hadis Nabi, 1993 : 144)
Dalam hal ini, penulis tidak sependapat dengan
pemikiran Syekh al-Qardhawi di atas mengingat tidak adanya dalil dari seorang
sahabat pun, setelah Rasulullah SAW. wafat, yang menetapkan perubahan waktu
tersebut (setelah shubuh), sekalipun situasi dan kondisinya telah berubah.
Ada sementara pihak yang berpendapat bahwa
mengeluarkan zakat fitrah boleh dilakukan pada malam hari setelah maghrib
sebelum shubuh di hari fitri, bahkan sehari atau dua hari sebelum hari raya.
Pendapat itu didasarkan riwayat sebagai berikut:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِي اللَّه عَنْهمَا يُعْطِيهَا
الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah kepada mereka
yang menerimannya, dan mereka menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum hari
raya.” (HR. Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II: 549, No. hadis 1440)
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُؤَدِّيهَا قَبْلَ ذَلِكَ
بِالْيَوْمِ وَالْيَوْمَيْنِ
“Ibnu Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum
itu.” (HR. Abu Dawud, Sunan
Abu Dawud, II: 111, No. 1610)
وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُؤَدِّي
قَبْلَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ وَيَوْمَيْنِ
“Dan bahwa Abdullah bin Umar menunaikannya sehari atau
dua hari sebelum itu.” (HR.
Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421)
وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ كَانَ يُؤَدِّيهَا قَبْلَ
ذَلِكَ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan bahwa Abdullah menunaikannya sehari atau dua hari
sebelum itu.” (HR. Al-Baihaqi,
As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. 7527; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII:
94, No. hadis 3299)
Hemat kami, riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil
tentang kebolehan mengeluarkan zakat fitrah pada malam hari setelah maghrib
sebelum shubuh di hari fitri, apalagi sehari atau dua hari sebelum hari raya,
dengan pertimbangan sebagai berikut:
Riwayat ini belum menerangkan secara jelas, kepada
siapa zakat itu diserahkan, apakah membagikan langsung kepada mustahiq atau
menitipkannya kepada ‘amil?
Berdasarkan riwayat-riwayat lain, maka dapat
dipastikan bahwa Ibnu Umar menyerahkan zakat
sehari atau dua hari sebelum hari raya itu bukan membagikannya kepada
mustahiq, namun menitipkannya kepada ‘amil. Adapun riwayat itu sebagai
berikut :
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ
كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ
بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
“Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar mengirimkan zakat
fitrahnya kepada orang yang mengumpulkan zakat (jami' zakat) dua hari atau tiga
hari sebelum iedul fitri.” (HR.
Malik, Al-Muwatha, I:285; No. 629; Asy-Syafi’i, Musnad Asy-Syafi’I, I:230;
Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 112, No. 7161)
Bahkan lebih ditegaskan lagi di dalam riwayat Ibnu
Khuzaemah, melalui jalan Abu Harits, dari Ayyub, ia berkata:
قُلْتُ : مَتَى كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي الصَّاعَ
؟ قَالَ : إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ ، قُلْتُ : مَتَى كَانَ الْعَامِلُ يَقْعُدُ ؟ قَالَ
: قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Aku bertanya (kepada Nafi), 'Kapan Ibnu Umar
menyerahkan zakat fitrah sebesar 1 shaa’?’ Ia (Nafi) menjawab, 'Apabila amil
zakat telah ada (dibentuk).' Aku bertanya lagi, 'Kapan amil itu di bentuk?' Ia
menjawab, 'Satu hari atau dua hari lagi menjelang idul fitri'.” (HR. Ibnu Khuzaimah,Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:82,
No. hadis 2397)
Oleh karena itu, Abu Abdullah (Imam Al-Bukhari)
menegaskan dalam naskah As-Shaghani bahwa “mereka memberikan zakat fitrah
(sebelum hari raya) lil jam'i (untuk dikumpulkan) laa lil fuqaaraa`
(bukan kepada fakir-miskin).” (Lihat, Fathul Bari, III : 440-441)
Berdasarkan keterangan diatas, maka sehari, dua hari,
atau tiga hari sebelum hari raya itu bukan waktu untuk membagikan kepada para
mustahiq, tapi kepada jami zakat sebagai amanat untuk di bagikan kepada para
mustahiq, nanti pada waktunya. Hal ini sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh
Abu Sa'id beserta para sahabat lainnya.
Dengan demikian, maka dapat kita simpulkan bahwa
ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah—setelah salat subuh hingga selesai
salat ied setempat—adalah ketentuan yang berlaku secara umum, tidak dibatasi
oleh sebab keadaan situasi dan kondisi suatu daerah tertentu.
Renungan:Ketentuan Waktu Tidak Membatasi Teknis Operasional
Kita memaklumi bahwa di masa sahabat, lingkup
masyarakat kian meluas, tempat-tempat kediaman makin berjauhan dengan penghuni
yang makin banyak. Situasi dan kondisi masyarakat yang seperti ini tidak dijadikan
sebab atau alasan oleh mereka untuk mengubah ketentuan waktu mengeluarkan zakat
fitrah yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW, tapi justru keadaan ini
menjadi pendorong bagi mereka untuk mengatur langkah serta menyusun strategi
yang sedemikian rupa sehingga zakat fitrah yang diamanatkan itu dapat
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan pengetahuan mendalam para sahabat akan
hikmah ajaran agama, maka instruksi Rasulullah dalam masalah ini tidak hanya
dipahami sebagai syarat maqbul (diterima) dan tidaknya zakat tersebut,
tapi lebih jauh dari itu mereka pun menangkap isyarat dari perintah tersebut
tentang teknis pelaksanaan agar diperhatikan dan dipikirkan secara matang,
sehingga dalam waktu yang sudah ditentukan zakat fitrah tersebut dapat
ditunaikan.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat
di zaman Ibnu Umar berdasarkan riwayat di atas, mereka (para amil) dibentuk
atau mulai melaksanakan tugasnya adalah dua atau tiga hari sebelum hari raya.
Berarti waktu sebanyak itu dianggap cukup atau memungkinkan bagi mereka untuk
bekerja, yaitu mengurus, menagih, dan membagikan zakat kepada para mustahiq
sesuai dengan lingkup teritorial ketika itu.
Berdasarkan petunjuk di atas, maka jelaslah bagi kita
bahwa para sahabat tidak mengondisikan hukum syara’ (ketentuan waktu)
sesuai dengan keadaan ruang lingkup masyarakat, tetapi mereka lebih
menitik-beratkan perhatiannya pada pengefektifan fungsi serta tugas 'amilin
agar zakat fitrah tersebut dapat diterima oleh para mustahiq dalam lingkup
masyarakat yang kian meluas, sesuai dengan ketentuan waktu yang telah
digariskan oleh Rasulullah SAW. Wallahu A'lam.
Oleh Ust.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar