Takbir 7 & 5 dan Juklaknya (Bagian I)
Sehubungan dengan adanya pernyataan dari sebagian kalangan,
bahwa takbir 7 & 5 pada shalat ied itu dianggap dhaif, maka kami memandang
masalah ini perlu ditegaskan kembali agar diketahui status yang sebenarnya,
sehingga lebih menentramkan dalam pengamalannnya.
Takhrij Hadis: Takbir 7 & 5 pada Salat Ied
Hadis-hadis tentang takbir 7 & 5 pada salat ied yang
mudah kita dapati adalah melalui tujuh orang sahabat, yaitu Aisyah, Abdullah
bin Amr bin Al-Ash, Amr bin Auf, Ibnu Abas, Ibnu Umar, Amr bin Al-Ash, Ammar
bin Saad. Namun yang paling menarik perhatian untuk dikaji secara mendalam
adalah dari sahabat Aisyah dan Abdullah bin Amr bin Al-Ash.
Riwayat Aisyah
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى فِي الأُوْلَى سَبْعَ
تَكْبِيْرَاتٍ وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا
Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah saw. bertakbir pada
salat iedul fitri dan adha, pada Rakaat pertama 7 takbir dan rakaat kedua 5
takbir. (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I: 229, No. hadis 1149)
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, melalui Qutaibah dari
Ibnu Lahi’ah. Sedangkan pada riwayat Abu Dawud lainnya melalui Abdullah bin
Wahb dari Ibnu Lahi’ah dengan tambahan kalimat:
سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الرُّكُوعِ
"Selain dua takbir untuk ruku." (Sunan Abu Dawud,
I: 229, No. hadis 1150)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh para imam lainnya dengan
redaksi yang berbeda namun menunjukkan makna yang relatif sama:
§
Riwayat Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I:407;
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا
، سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الرُّكُوعِ
عَنْ جَدِّهِ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ سَبْعًا فِي الأُولَى ، وَخَمْسًا
فِي الآخِرَةِ
§
Riwayat Ahmad, Musnad Al-Imam Ahmad VI:65 dan 70;
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدَيْنِ سَبْعًا وَخَمْسًا
قَبْلَ الْقِرَاءَةِ
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدَيْنِ سَبْعًا فِي الرَّكْعَةِ
الْأُولَى وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيرَتَيْ الرُّكُوعِ
§
Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni II:46;
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَىِ الرُّكُوعِ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدَيْنِ فِي الأُوْلَى سَبْعَ تَكْبِيْرَاتٍ
وَفِي الثَّانِيَةِ بِخَمْسٍ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ
§
Riwayat Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra III:286-287;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- يُكَبِّرُ فِى الْعِيدَيْنِ فِى الأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ ، وَفِى الثَّانِيَةِ
خَمْسَ تَكْبِيرَاتٍ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- كَبَّرَ فِى الْفِطْرِ وَالأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَةِ الرُّكُوعِ
§
Al-Hakim, Al-Mustadrak I:297;
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ فِى
الْعِيدَيْنِ فِى الأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ ، وَفِى الثَّانِيَةِ خَمْسَ تَكْبِيرَاتٍ
قَبْلَ الْقِرَاءَةِ
§
At-Thahawi, Syarhu Ma’anil Atsar III:343;
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى بالناس يوم الفطر والأضحى فكبر في الأولى سبعا
وقرأ ق والقرآن المجيد وفي الثانية خمسا وقرأ اقتربت الساعة وانشق القمر
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدَيْنِ سَبْعًا وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ
سِوَى تَكْبِيرَتَيْ الرُّكُوعِ
§
At-Thabrani, Al-Mu’jamul Ausath, III:270;
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدَيْنِ فِي الْأُولَى سَبْعًا وَفِى
الثَّانِيَةِ خَمْسًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ
Penilaian Para Ulama Terhadap Status Hadis
Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis-hadis di atas dhaif,
karena semua sanadnya melalui seorang rawi bernama Abdullah bin Lahi’ah.
Terhadap Ibnu Lahi'ah, sebagian ulama telah memberikan penilaian sebagai
berikut
§
Ibnu Ma’in berkata:
لاَيُحْتَجُّ بِحَدِيْثِهِ
“Hadisnya tidak dapat dipakai
hujjah”
§
Ad-Darimi berkata:
ضَعِيْفُ الْحَدِيْثِ
“Hadisnya daif”
§
Ibrahim bin Ya’qub Al-Jauzajani berkata:
إِبْنُ لَهِيْعَةَ لاَ
يُوْقَفُ عَلَى حَدِيْثِهِ وَلاَ يَنْبَغِيْ أَنْ يُحْتَجَّ بِهِ وَلاَ يُغْتَرُّ بِرِوَايَتِهِ
“Ibnu Lahi’ah tidak diketahui
hadisnya, dan tidak layak dijadikan hujjah, dan tidak boleh tertipu dengan
riwayatnya” (Ahwaal Ar-Rijaal, No. 274)
§
At-Tirmidzi berkata:
إِبْنُ لَهِيْعَةَ ضَعِيْفٌ عِنْدَ
أَهْلِ الْحَدِيْثِ, ضَعَّفَهُ يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ الْقَطَّانُ وَغَيْرُهُ مِنْ
قِبَلِ حِفْظِهِ
“Ibnu Lahi’ah daif menurut ahli
hadits, ia didaifkan oleh Yahya bin Sa’id al-Qathan dan yang lainnya dari segi
hapalan”
§
Ibnu Hiban berkata:
وَكَانَ شَيْخًا صَالِحًا وَلكِنَّهُ
كَانَ يُدَلِّسُ عَنِ الضُّعَفَاءِ قَبْلَ اخْتِرَاقِ كُتُبِهِ
“Dia syekh yang shalih, tetapi ia
melakukan tadliis (penyamaran sanad) dari rawi-rawi daif sebelum kitab-kitabnya
terbakar” (Kitaab Al-Majruuhiin, II:11)
§
Ad-Daraqutni menjelaskan pada riwayat Ibnu Lahiah terdapat Idhthirab
(hadisnya tidak menentu), karena pada satu riwayat Ibnu Lahiah menerima dari
Yazid bin Abu Habib dari Az Zuhri. Pada riwayat yang lain dari Uqail dari Az
Zuhri. Pada riwayat yang lainnya dari Abul Aswad dari Urwah. Semuanya dari
Aisyah. Sedangkan Pada riwayat yang lainnya dari Al ‘Araj dari Abu Hurairah. Ad
Daraqutni berkata, “Idhthirab terjadi dari Ibnu Lahiah.” (At-Ta’liq ‘ala Sunan
Ad-Daraqutnhi, II:46)
Tanggapan Para ulama lainnya
Sementara ulama lainnya menilai, bahwa kedaifan Ibnu Lahi'ah
tidaklah mutlak, tergantung kepada kasusnya. Untuk itu perlu disampaikan
gambaran umum tentang keadaan Ibnu Lahi'ah sebagai berikut:
Abdullah bin Lahi’ah
lahir tahun 96/97 H dan wafat tahun 174 H (Tahdzibul Kamal XV:499-500)
Ia menerima hadis dari 65 orang dan memiliki murid sebanyak 45 orang (Tahdzibul
Kamal XV:488-490).
Imam Al-Bukhari berkata, dari Yahya bin Bukair, ia berkata:
إِخْتَرَقَ مَنْزِلُ بْنِ لَهِيْعَةَ
وَكُتُبِهِ فِي سَنَةِ سَبْعِيْنَ وَمِئَةٍ
“Rumah dan kitab-kitab Ibnu Lahi’ah
terbakar pada tahun 170 H” (Tahdzibul Kamal XV:496)
Ibnu Hajar berkata:
عَبْدُ اللهِ بْنُ لَهِيْعَةَ صَدُوْقٌ
مِنَ السَّابِعَةِ خَلَطَ بَعْدَ احْتِرَاقِ كُتُبِهِ
“Abdullah bin Lahi’ah shaduq (jujur)
dari thabaqat ke-7, dia mukhtalit (berubah hapalannya) setelah kitab-kitabnya
terbakar” (Taqribut Tahdzib I:309)
Berdasarkan keterangan Ibnu Hajar ini, periwayatan Ibnu
Lahiah pada asalnya shahih, dan untuk mendaifkan hadisnya perlu menunjukkan
bukti bahwa hadis itu diriwayatkan setelah mukhtalith(berubah hapalannya).
Untuk itu para ahli hadis telah memberikan beberapa petunjuk, antara lain
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَلِىٍّ يَقُوْلُ
عَبْدُ اللهِ بْنُ لَهِيْعَةَ إِحْتَرَقَتْ كُتُبُهُ فَمَنْ كَتَبَ عَنْهُ قَبْلَ ذلِكَ
مِثْلُ بْنِ الْمُبَارَكِ وَعَبْدِ اللهِ بْنِ يَزِيْدَ الْمُقْرِى أَصَحُّ مِنَ اَّلذِيْنَ
كَتَبُوْا بَعْدَمَا احْتَرَقَتِ الْكُتُبُ
Dari Amr bin Ali, ia berkata, “Abdullah bin Lahi’ah terbakar
kitab-kitabnya, siapa yang menulis hadis darinya sebelum kitabnya terbakar,
seperti Abdullah bin al-Mubarak, Abdullah bin Yazid al-Muqri, itu lebih sahih
daripada orang-orang yang menulis setelah kitab-kitabnya terbakar” (Al-Jarh wat
Ta’dil,V:147)
وَرِوَايَةُ بْنِ الْمُبَارَكِ وَابْنِ
وَهْبٍ عَنْهُ أَعْدَلُ مِنْ غَيْرِهِمْ
Dan riwayat Abdullah bin Mubarak dan Abdullah bin Wahab
darinya lebih ‘adil daripada riwayat yang lain” (Taqribut Tahdzib I:319)
وَرَوَى الْفَضْلُ بْنُ زِيَادٍ عَنْ
أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ قَالَ مَنْ كَتَبَ عَنِ ابْنِ لَهِيْعَةَ قَدِيْمًا فَسِمَاعُهُ
صَحِيْحٌ
Al-Fadhl bin Ziyad meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, ia
berkata, “Siapa yang menulis hadis dari Ibnu Lahi’ah pada masa lalu (sebelum
mukhtalith), maka penerimaannya sahih” (Siyar A’lam An-Nubala, VIII:21)
قَالَ أَبُوْ حَاتِمِ بْنِ حِبَّانَ
الْبُسْتِي كَانَ مِنْ أَصْحَابِنَا يَقُوْلُوْنَ سِمَاعُ مَنْ سَمِعَ مِنِ ابْنِ لَهِيْعَةَ
قَبْلَ احْتِرَاقِ كُتُبِهِ مِثْلُ الْعَبَادِلَةِ إِبْنِ الْمُبَارَكِ وَابْنِ وَهْبٍ
وَالْمُقْرِئ وَعَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْقَعْنَبِيِّ فَسِمَاعُهُمْ صَحِيْحٌ
وَمَنْ سَمِعَ بَعْدَاحْتِرَاقِ كُتُبِهِ فَسِمَاعُهُ لَيْسَ بِشَيْءٍ
Abu Hatim bin Hiban al-Busthi (Ibnu Hiban) berkata, “Sebagian
di antara sahabat kami mengatakan, ‘Penerimaan orang yang menerima dari Ibnu
Lahi’ah sebelum kitab-kitabnya terbakar, seperti abadilah (para rawi bernama
Abdullah), yaitu Abdullah bin al-Mubarak, Abdullah bin Wahab, Abdullah bin
Yazid al-Muqri, dan Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabi, maka penerimaan mereka
itu sahih, dan siapa yang menerima setelah kitab-kitabnya terbakar, maka
penerimaannya laisa bi syai-in (tidak bernilai sama sekali)” (Siyar A’lam
An-Nubala, VIII:23)
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, periwayatan Ibnu
Lahi’ah dapat diterima apabila diriwayatkan oleh:
§
Empat orang bernama Abdullah, yaitu Abdullah bin Wahb, Abdullah bin al
Mubarak, Abdullah bin Yazid al Muqri, Abdullah bin Maslamah. Karena mereka
menerima hadis dari Ibnu Lahi’ah sebelum kitab-kitabnya terbakar.
§
Al-Auza’i (lahir 88 H ) yang wafat sebelum Ibnu Lahi’ah (th. 157 H)
§
Sufyan at-Tsauri yang wafat sebelum Ibnu Lahi’ah
§
Syu’bah bin al-Hajjaj yang wafat sebelum Ibnu Lahi’ah
§
Abdurrahman bin Mahdi
§
Amr bin al-Harits al-Mishri yang wafat sebelum Ibnu Lahi’ah
Karena orang-orang di atas mendengar hadis dari Ibnu Lahi'ah
sebelum mukhtalith (kitab-kitabnya terbakar)
Dengan demikian hadis tentang takbir tujuh dan lima pada
salat Ied yang diriwayatkan melalui Ibnu Lahi’ah dapat dijadikan hujjah karena
diterima oleh salah satu dari empat Abdullah di atas, yaitu Abdullah bin Wahab
sebagaimana tercatat pada riwayat At-Thahawi (Syarhu Ma’anil Atsar III:343)
sebagai berikut:
حدثنا يونس قال ثنا ابن وهب قال أخبرني
بن لهيعة عن خالد بن يزيد عن بن شهاب عن عروة عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يكبر في العيدين سبعا وخمسا
سوى تكبيرتي الركوع
dan riwayat Abu Dawud
(Sunan Abu Dawud, I: 256) sebagai berikut:
حدثنا ابن السرح أخبرنا ابن وهب أخبرني
بن لهيعة عن خالد بن يزيد عن بن شهاب بإسناده ومعناه قال سوى تكبيرتي الركوع
Karena hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Lahi'ah sebelum
hapalannya berubah.
Adapun penilaian Tadliis (penyamaran sanad) dari Ibnu Hiban
terhadap Ibnu Lahi'ah tidak dapat dijadikan alasan untuk pendaifan hadis takbir
tujuh dan lima riwayat Ibnu Lahi’ah. Karena pada riwayat Ad-Daraqutni (Sunan
Ad-Daraquthni, II:46) ditegaskan dengan Shighatul Ada (bentuk penyampaian)
haddatsana ( حدثنا ) sebagai berikut:
وحدثنا أبو بكر النيسابوري ثنا محمد
بن إسحاق ثنا إسحاق بن عيسى ثنا ابن لهيعة ثنا خالد بن يزيد عن الزهري عن عروة عن عائشة…
Pada riwayat ini
tampak jelas bahwa Ibnu Lahi’ah menyatakan Haddatsana (telah menceritakan
kepada kami) Khalid bin Yazid.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa shighah ‘an pada periwayatannya
maksudnya haddatasana, dan ia tidak berbuat tadliis.
Kemudian penilaian Idhthirab (tidak menentu hadisnya) dari
Ad-Daraqutni terhadap Ibnu Lahi’ah tidak tepat, karena periwayatan Ibnu Lahi’ah
dari Yazid bin Abu habib dari Az Zuhri, atau dari Uqail dari Az Zuhri, atau
dari Abu Al-Aswad dari Urwah, semua
matannya menegaskan bahwa takbir pada salat Ied itu tujuh kali pada rakaat
pertama dan lima kali pada rakaat kedua . Demikian pula halnya periwayatan Ibnu
Lahi’ah dengan dua matan yang berbeda melalui jalan yang sama, yaitu dari
Khalid bin Yazid, dari Az Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah,
§
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يكبر في العيدين اثني عشر تكبيرة سوى تكبيرة الاستفتاح
§
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يكبر في العيدين سبعا في الركعة الأولى وخمسا في الآخرة سوى تكبيرتي
الركوع
tidak dapat dijadikan alasan
mudhtarrib-nya Ibnu Lahi’ah, karena yang mahfuzh (yang kuat) adalah
matan yang kedua, yaitu diriwayatkan
oleh murid Ibnu Lahi’ah bernama Abdullah bin Wahb. Muhamad bin Yahya Adz-Dzuhli
berkata:
هذَا هُوَ الْمَحْفُوْظُ لأَنَّ ابْنَ
وَهْبٍ قَدِيْمُ السِّمَاعِ مِنِ بْنِ لَهِيْعَةَ
“Dan inilah yang mahfuzh (yang
kuat), karena Abdullah bin Wahab mendengar dari Ibnu Lahi’ah pada masa lalu
(sebelum mukhtalith)” ( Irwa Al-Ghalil, III:108)
Perlu diketahui bahwa Ibnu Lahi’ah termasuk rawi Al-Bukhari
dan Muslim. Hadis Ibnu Lahi’ah pada kitab Shahih Al-Bukhari ditempatkan pada
beberapa tempat, di antaranya:
كتاب التفسير باب ( إن الذين توفاهم
الملائكة …) فتح الباري 9: 140–
Sedangkan pada Shahih
Muslim hanya dimuat pada satu tempat,
yaitu
كتاب المساجد ومواضع الصلاة باب إستحباب التبكير بالعصر, صحيح مسلم 1: 278 -
Kesimpulan:
Hadis-hadis tentang takbir 7 & 5 pada salat ied yang
bersumber dari Aisyah statusnya shahih dan dapat dijadikan landasan pengamalan.
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar