Pedoman Zakat Fitrah (Bagian III)
Keempat, Mustahiq/Masharif (Sasaran) Zakat
Menurut Alquran, sasaran zakat atau yang lebih populer
dengan sebutan mustahik (yang berhak menerima zakat) ada 8 ashnaf (golongan).
Firman Allah SWT:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي
الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً
مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS. At-Taubah:60)
Menurut Imam al-‘Aini, “Kata shadaqaat pada ayat di
atas maksudnya zakat.” (Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari,
VIII:238)
Menurut Syekh ‘Athiyyah Muhammad Salim, pada ayat di
atas menggunakan kata shadaqaat (bentuk jamak), bukan shadaqah
(bentuk tunggal) karena dihubungkan kepada ragam harta yang wajib dizakati,
seperti zakat ternak, uang simpanan, dan perdagangan. (Lihat, Syarh Bulugh
al-Maram, II:383)
Dengan demikian, karena zakat fitrah termasuk salah
satu jenis dari shadaqaat di atas, maka
mustahiqnya pun meliputi salah satu di antara delapan ashnaf di atas.
Petunjuk Ayat
Bila ayat di atas kita perhatikan secara seksama,
setidaknya ada dua hal yang perlu digaris bawahi; Pertama, kriteria
ashnaf itu sendiri. Kedua, ushlub (gaya bahasa) Alquran dalam mengungkap
sasaran zakat.
A. Kriteria Ashnaf
1. Fuqara (Fakir)
Orang yang tidak mempunyai harta dan tenaga untuk
memenuhi kebutuhan hidupannya (primer).
2. Masakin (Miskin)
Orang yang mempunyai harta dan tenaga, tapi tidak
mencukupi keperluan hidupnya (primer).
3. Amilin
Orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan
zakat.
4. Mu'allaf
a. orang kafir yang ada harapan masuk Islam
b. orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah
5. Riqab
Orang yang memerdekakan hamba sahaya.
6. Gharimin
Orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang
bukan ma'siatan dan tidak sanggup membayarnya.
7. Sabilillah
Orang yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran
Islam (memelihara berlakunya kebenaran, kebaikan, dan keutamaan akhlak)
8. Ibnu Sabil
Orang yang kehabisan bekal di tengah perjalanan,
walaupun ia orang kaya di negerinya.
B. Ushlub (Gaya Bahasa) Alquran
Dalam mengungkap sasaran zakat di atas Al-Quran
menggunakan ushlub (gaya bahasa) sastra yang tinggi nilainya, yaitu pada
ayat di atas terdapat dua huruf yang masing-masing mengiringi empat ashnaf
pertama dan empat ashnaf kedua, yakni laam/li
dan fie. Huruf laam mengiringi kata
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
al-fuqara, al- masakin, al-’amilin, dan al-muallaf
qulubuhum (empat ashnaf pertama).
Sedangkan huruf fie mengiringi kata
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil
(empat ashnaf kedua).
Penempatan kedua huruf tersebut tentunya bukan suatu
kebetulan, tetapi pasti mengandung nuktah (rahasia halus) yang harus
dikaji secara mendalam. Dan menurut hemat kami, penempatan kedua huruf tersebut
mengandung arti bahwa empat ashnaf yang pertama adalah para pemilik dari zakat
tersebut, dalam arti mereka berhak mendapat bagian untuk dirinya sendiri.
Sementara empat ashnaf yang kedua mereka berhak
menerima zakat untuk kemaslahatan yang berkaitan erat dengan “acara” mereka.
Seperti al-gharimun (orang yang berhutang), mereka mendapat bagian dari
zakat bukan untuk dimiliki secara pribadi, tetapi untuk diserahkan kepada orang
yang menghutangkannya, sehingga mereka terbebas dari hutang itu. Demikian pula
dengan fie sabilillah, mereka mendapat bagian dari zakat bukan
semata-mata kepentingan pribadinya melainkan tugas dan tanggung jawab dalam
mengemban amanah Islam, yaitu untuk memelihara berlakunya kebenaran (al-haq),
kebaikan, dan kesempurnaan akhlak. Dengan perkataan lain, untuk menegakkan
agama Islam.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa secara garis besar sasaran zakat itu ada dua bagian:
Bagian pertama ialah ashnaf yang terdiri dari mereka
yang boleh menerima zakat untuk dirinya sendiri, yaitu al-fuqara, al-masakin,
al-amilin, dan al-muallaf qulubuhum. Sedangkan bagian kedua ialah ashnaf yang
terdiri dari orang-orang yang berhak menerima zakat bukan semata-mata
kepentingan pribadi melainkan untuk kemaslahatan “acara” mereka, yaitu
ar-riqab, al-gharimin, sabilillah, dan ibnus sabil.
Lebih jauh Imam az-Zamakhsyari berpandangan bahwa
perpindahan dari “li” pada empat ashnaf pertama kepada “fie” pada
empat ashnaf kedua mengandung rahasia, yaitu untuk memberitahukan bahwa empat
golongan kedua ini lebih layak untuk diprioritaskan daripada empat golongan
pertama, sebab “fie” merupakan wadah untuk menampung, yang dengan itu
Allah mengingatkan bahwa mereka lebih berhak atasnya dan menjadikannya sebagai
tempat harapan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin secara umum.
Masalah sasaran zakat telah selesai kita bahas. Masih
ada masalah yang mesti kita kaji, yaitu wajibkah amil mendistribusikan
zakat atau muzakki (wajib zakat)
menyerahkan zakat kepada semua ashnaf yang delapan, dan menyamaratakan
prosentase zakat yang dibagikan di antara mereka?
Hemat kami, semua harta zakat boleh diberikan kepada
sebagian sasaran tertentu saja untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan
syara. Disamping itu tidak ada kewajiban untuk menyamaratakan pemberian
tersebut kepada individu yang diberinya, tapi boleh melebihkan prosentase
bagian yang satu dengan yang lainya sesuai dengan kebutuhan, karena kebutuhan
itu berbeda antara yang satu dan yang lainya. Adapun landasan syariatnya adalah
sebagai berikut.
·
Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila engkau
memberikan zakat pada satu sasaran saja, maka hal itu cukup bagimu.” (Tafsir
Ath-Thabari, VI : 404).
·
Ibnu Abas berkata, “Apabila engkau memberikan zakat
pada satu sasaran dari sasaran zakat, maka hal itu cukup bagimu.” Sedangkan
Firman Allah: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk para fakir......”,
maksudnya agar zakat itu jangan diberikan kepada yang selain sasaran tersebut.”
·
Pendapat di atas juga menjadi pegangan Umar bin
Khatab, Sa’id bin jabir, ‘Atha, Abul ‘Aliyyah, dan Ibrahim an-Nakha’i (Tafsir
Ath-Thabrani, Ibid.)
·
Abu Tsawr berkata, “menurut pendapat kami,
permasalahan pembagian zakat, tidaklah ada, kecuali berdasarkan ijtihad
penguasa, maka mana di antara sasaran itu yang menurut penguasa lebih banyak
jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang harus diutamakan. Dan
mudah-mudahan dari tahun ke tahun zakat itu berpindah dari satu sasaran kepada
sasaran lain. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih banyak jumlahnya,
senantiasa harus didahulukan dimanapun mereka berada.” (Lihat, Fiqh
az-Zakah, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, hal. 667).
Adapun tentang prosentase Ibnu Qudamah menjelaskan:
وَإِنْ اجْتَمَعَ فِي وَاحِدٍ أَسْبَابٌ
تَقْتَضِي الْأَخْذَ بِهَا ، جَازَ أَنْ يُعْطَى بِهَا ، فَالْعَامِلُ الْفَقِيرُ
لَهُ أَنْ يَأْخُذَ عِمَالَتَهُ ، فَإِنْ لَمْ تُغْنِهِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَا
يَتِمُّ بِهِ غِنَاهُ ، فَإِنْ كَانَ غَازِيًا فَلَهُ أَخْذُ مَا يَكْفِيه
لِغَزْوِهِ ، وَإِنْ كَانَ غَارِمًا أَخَذَ مَا يَقْضِي بِهِ غُرْمَهُ ؛ لِأَنَّ
كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَسْبَابِ يَثْبُتُ حُكْمُهُ بِانْفِرَادِهِ ،
فَوُجُودِ غَيْرِهِ لَا يَمْنَعُ ثُبُوتَ حُكْمِهِ
“Dan jika pada salah satu terkumpul beberapa sebab
yang menghendaki (melegitimasi) pengambilan zakat berdasarkan sebab itu, maka
ia boleh diberi berdasarkan sebab itu. Misalkan amil yang faqir, ia punya hak
mengambil bagian zakatnya. Jika tidak dapat menutupi kefakirannya, ia berhak
mengambil pula untuk dapat memenuhi keperluannya itu (sebagai hak faqir). Maka
jika dia sebagai prajurit (fi sabilillah), ia punya hak mengambil bagian zakat
untuk keperluan perangnya. Dan jika dia seorang gharim ia punya hak mengambil
bagian zakat untuk melunasi hutangnya. Karena tiap-tiap sebab itu ditetapkan
hukumnya berdasarkan sebab masing-masing (bukan karena sama orangnya, tapi
karena beda sebabnya). Adanya satu sebab tidak menghalangi tetapnya hukum atas
sebab yang lain.” (Lihat,
Al-Mughni, V:223)
Sedangkan hadis yang menyatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah SAW. mewajibkan zakat fitrah sebagai
pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi
orang miskin” (HR. Abu Dawud, Sunan
Abu Dawud, I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No.
Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1)
Tidak tepat bila digunakan sebagai mukhashshis
(dalil yang mengecualian) bahwa zakat fitrah itu dikhususkan bagi mustahiq
miskin. Karena ungkapan Thu’matan lil masaakiin (sebagai makanan bagi
orang miskin) dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayan lit
takhsis (keterangan pengkhusus), melainkan bayan lit tanshish
(keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi mustahiq di
suatu daerah tertentu.
Adapun hadis yang menyatakan:
أَغْنُوهُمْ عَنْ الطَّوَافِ فِي هَذَا
الْيَوْمِ
“Cegahlah mereka agar tidak keliling (untuk
minta-minta) pada hari ini.” (HR.
Ibnu ‘Addiy dan Ad-Daraquthni)
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, statusnya dha’if.
Karena pada pada sanadnya terdapat rawi Abu Ma’syar Najiih. Kata Imam
Al-Bukhari, “Dia Munkar Al-Hadiits.” (Lihat, (Lihat, Bulugh Al-Maraam Min
Jam’I Adillah Al-Ahkaam, hlm. 131; Nashb Ar-Raayah Fii Takhriij Ahaadits
Al-Hidaayah, IV:364)
Lanjut Baca: Pedoman Zakat Fitrah (Bagian IV,Tamat)
Oleh Ust.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar