Pedoman Zakat Fitrah (Bagian II)
Kedua, besaran minimal yang diwajibkan
Ukuran kewajiban zakat fitrah bagi tiap orang sebanyak
sha’an (1 sha’), sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ
وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَىْ وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
"Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu
shaa' dari kurma, atau satu haa' dari syair (gandum) atas hamba sahaya, orang
yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan
muslimin...” (HR. Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1432)
Perlu diketahui bahwa Shaa’ itu adalah istilah
dalam ukuran isi/volume, bukan ukuran berat, seperti halnya liter bukan
kilogram. Dan ukuran isi tidak mengalami perubahan walaupun yang ditakarnya
berbeda jenis. Misalnya, 1 liter beras Karawang sama isinya dengan 1 liter
beras Cianjur. Tapi lain halnya ketika hendak ditetapkan berdasarkan Kg, karena
akan mengalami perbedaan tergantung jenis benda yang ditakarnya.
Adapun shaa' yang dimaksud di dalam hadis di
atas ialah shaa' nabawi, yaitu shaa' yang berlaku di zaman Nabi SAW. Bila dikonversi berdasarkan satuan isi, maka
dapat diperoleh hasil sebagai berikut: 1
sha = 4 mud = 2770,47 cc = + 3,1 liter. Berdasarkan satuan isi, maka
beras apapun yang dikonsumsi oleh muzakki, maka ukuran yang dikeluarkannya akan
sama.
Sedangkan bila dikonversi berdasarkan satuan berat
jenis, maka hasilnya dapat beragam. Dalam konteks inilah kita dapat memahami
apabila para ulama berbeda pendapat tentang ukuran satu shaa’ sebagai
berikut:
Menurut satu pendapat, satu shaa' nabawi
sebanding dengan 480 mitsqaal biji gandum yang bagus. Satu mitsqaal
sama dengan 4,25 gram. Sementara 480 mitsqaal sebanding dengan 2040
gram. Berarti satu shaa’ sebanding dengan 2040 gram atau 2,4 Kg. (Syarhul
Mumti' , VI:176)
Sedangkan menurut pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassam,
satu shaa' nabawi adalah empat mud. Sementara satu mud setara dengan 625
gram, karena itu satu shaa' nabawi sama dengan 3000 gram atau 3 Kg. (Lihat,
Tawdhih Al Ahkam Syarah Bulughul Maram,
III:178)
Sementara menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1 mud itu
sama dengan 675 gram, berarti 1 sha’ sama dengan 2751 gram atau 2,75 Kg.
(Lihat, At-Tafsirul Muniir, juz 2, hlm. 141).
Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita
bisa memperkirakan bahwa satu shaa’ berkisar antara 2040 gram (2,4 Kg)
hingga 3000 gram (3 Kg).
Berdasarkan satuan berat jenis, maka ukuran zakat yang
dikeluarkan oleh muzakki pada hakikatnya tidak boleh sama tergantung jenis
beras yang biasa dikonsumsi oleh masing-masing muzakki. Disinilah terkadang
“neraca menjadi miring”, ketika membayar hak orang lain digunakan beras
“Raskin” sementara yang dikonsumsi sehari-hari beras “super”, misalnya. Karena
itu, bila ditetapkan 2,5 Kg maka ini menunjukkan berat jenis beras yang
rata-rata dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di lingkungan kita.
Demikian pula, apabila dikonversi berdasarkan qiimah
(satuan harga) maka disesuaikan dengan harga jenis beras yang bersangkutan.
Karena itu, berdasarkan konversi qiimah, besaran zakat fitrah setiap tahun bisa
jadi berubah sesuai dengan perubahan harga yang berlaku saat itu.
Ketiga, apakah makanan pokok menjadi syarat sah zakat
fitrah?
Di dalam hadis-hadis tentang zakat fitrah, kita akan
mendapatkan bahwa zakat fitrah itu berupa tha’aam (makanan). Adapun
hadis-hadis itu sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah SAW. mewajibkan
zakat fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum)” (HR. Al-Bukhari,
Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ
أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat
fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu shaa’ dari syair (gandum), atas hamba
sahaya, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan dewasa dari
kalangan muslimin. (HR.
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
Dari hadis-hadis di atas kita dapat mengetahui bahwa
Rasulullah SAW. menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis makanan: kurma &
gandum.
Apabila hadis-hadis di atas dibaca secara mantuq
(makna tersurat) dan konsisten tidak akan menerima mafhum (makna
tersirat), maka zakat fitrah yang wajib dikeluarkan terbatas jenisnya, yakni
kurma dan gandum. Adapun kata tha’aam pada hadis Abu Sa’id Al-Khudriy
tidak dapat dimaknai makanan secara umum karena sudah ada bayaan tafshiil
(keterangan terperinci) pada hadis-hadis di atas.
Berdasarkan pendekatan mantuq hadis-hadis itu,
maka zakat fitrah dengan beras atau jagung pada dasarnya tidak sesuai dengan mantuq-nya,
kedudukannya sama dengan mengeluarkan dalam bentuk qiimah (harga atau
nilai barang).
Namun, benarkah demikian pesan utama Nabi SAW, yaitu
bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan hanya dalam bentuk kurma dan gandum?
Hemat kami, kalimat min tamrin atau min
sya’iir dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayaan lit
takhsiis (keterangan pengkhusus), melainkan bayaan lit tanshiish
(keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi muzakki
(wajib zakat) dan mustahiq (penerima zakat) di suatu daerah tertentu.
Hal itu didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, dari sisi Muzakki
Kedua jenis makanan tersebut pada waktu itu lebih
mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum. Kondisi ini demikian itu dapat
kita peroleh dalam praktik pembayaran zakat fitrah yang dilakukan oleh para
sahabat sebagai berikut.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ
صلى الله عليه وسلم حِينَ فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ يَقُولُ : صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ أَوْ
صَاعٌ مِنْ شَعِيرٍ قَالَ : فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يُخْرِجُ إِلاَّ التَّمْرَ فَفَنِيَ
تَمْرُهُ عَامًا فَأخْرَجَ صَاعَ شَعِيرٍ مَكَانَ التَّمْرِ
“Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Saya mendengar
Rasulullah SAW. ketika mewajibkan zakat fitrah, beliau bersabda, ‘Satu sha'
kurma, atau satu shaa’ syair (gandum). Nafi berkata, ‘Ibnu Umar Ra. bila
berzakat tidak pernah mengeluarkan yang lain selain kurma. Pada suatu tahun
ketika kurmanya rusak ia mengeluarkan satu sha’ gandum sebagai pengganti
kurma.” HR. Abd bin Humaid,
Musnad Abd bin Humaid, I:549, No. 1440)
Dalam riwayat lain, Nafi’ menjelaskan dengan redaksi
sebagai berikut.
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ لاَ يُخْرِجُ
فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ إِلاَّ التَّمْرَ إِلاَّ مَرَّةً وَاحِدَةً فَإِنَّهُ أَخْرَجَ
شَعِيراً
“Sesungguhnya Ibnu Umar Ra. dalam berzakat fitri tidak
pernah mengeluarkan yang lain selain kurma kecuali satu kali, ia mengeluarkan
gandum.” (HR. Malik, Al-Muwatha
:222, No. 778)
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
يُعْطِي التَّمْرَ فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنْ التَّمْرِ فَأَعْطَى شَعِيرًا
“Ibnu Umar Ra. bila berzakat dia memberikannya dengan
kurma. Kemudian penduduk Madinah kesulitan mendapatkan kurma, akhirnya Ibnu
Umar mengeluarkan gandum.” (HR.
Al-Bukhari,Shahih Al-Bukhari, II:549, No. 1440; As-Sunan al-Kubra, IV:160, No.
7467)
Dalam riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi dengan redaksi:
فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ التَّمْرَ عَامًا
فَأَعْطَى الشَّعِيرَ
“Kemudian penduduk Madinah sulit mendapatkan kurma
pada suatu tahun, kemudian ia memberikan gandum.” (Lihat, Sunan Abu Dawud, II:113, No. 1615;
As-Sunan al-Kubra, IV:164, No. 7468)
Sehubungan dengan amal Ibnu Umar di atas, Imam al-Baji
berkata:
قَوْلُهُ كَانَ لَا يُخْرِجُ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ
إِلَّا التَّمْرَ ؛ لِأَنَّهُ كَانَ قُوتَهُ وَقُوتَ أَهْلِ بَلَدِهِ بِالْمَدِينَةِ
فَلِذَلِكَ كَانَ يَرَى أَنْ لَا يُجْزِيَهُ غَيْرَ التَّمْرِ وَكَانَ يَقْتَصِرُ عَلَى
إخْرَاجِهِ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهُ كَانَ يُخْرِجُهُ مَعَ التَّمَكُّنِ مِنْ الشَّعِيرِ
وَيَقُوتُ بِهِ ؛ لِأَنَّهُ كَانَ يَرَى أَنَّ التَّمْرَ أَفْضَلُ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ
الشَّعِيرُ يُجْزِيهِ وَقَدْ قَالَ أَشْهَبُ أَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يُخْرَجَ بِالْمَدِينَةِ
التَّمْرُ وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّهُ أَفْضَلُ أَقْوَاتِهِمْ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكَادُ
يُقْتَاتُ فِيهَا إِلَّا التَّمْرُ أَوْ الشَّعِيرُ وَأَمَّا اقْتِيَاتُ الْقَمْحِ
فَنَادِرٌ
“Perkataanya: ‘Dia (Ibnu Umar) dalam berzakat fitri
tidak pernah mengeluarkan yang lain selain kurma,’ karena kurma adalah makanan
pokoknya dan makan pokok penduduk Madinah, karena itu ia berpendapat bahwa
zakat fitri itu tidak memadai dengan yang lain selain kurma, dan ia membatasi
zakat fitri hanya pada kurma. Dan dapat dimaknai pula bahwa, ia mengeluarkan
kurma—padahal gandum pun berkedudukan sebagai makanan pokoknya—karena ia
berpendapat bahwa kurma lebih utama daripada gandum, meskipun dengan gandum
memadai pula. Sungguh Asyhab berkata, ‘Kurma lebih aku sukai untuk dikeluarkan di
Madinah.’ Dan aspek pertimbangan itu bahwa kurma adalah makanan pokok mereka
yang lebih utama, karena hampir tidak ada makanan di sana selain kurma dan
gandum. Adapun makanan pokok berupa qamh (biji gandum) maka jarang.” (Lihat, al-Muntaqa Syarh al-Muwatha, II:45)
Dari sini dapat diambil kesimpulan, sebagaimana
dinyatakan Ibnu Hajar, bahwa mereka (para sahabat) dalam berzakat fitri
mengeluarkan jenis makanan pokok yang paling utama, dan kurma lebih utama
daripada yang lainnya. (Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari,
III:376)
Pertimbangan bahwa kedua jenis makanan: kurma dan
gandum, pada waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum
lebih diperkuat dengan sejumlah data faktual yang menunjukkan bahwa pada
praktiknya para sahabat memperluas jenis makanan dari yang “ditetapkan” oleh
Nabi saw.
Ibnu Umar menjelaskan:
كَانَ النَّاسُ يُخْرِجُونَ عَنْ صَدَقَةِ الْفِطْرِ
فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ
تَمْرٍ أَوْ سُلْتٍ أَوْ زَبِيبٍ
"Dahulu orang-orang mengeluarkan zakat fitrah di
zaman Nabi SAW. sebesar satu sha' sya’iir (gandum), tamr (kurma), atau sult
(sejenis gandum yang berwarna putih tak berkulit) atau Zabiib (anggur
kering)." (HR. An-Nasai, Sunan
An-Nasai, V:53, No. hadis 2516; As-Sunan Al-Kubra, II:28, No. hadis 2295)
Abu Said al-Khudriy
menjelaskan:
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ
طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ
أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Kami mengeluarkan zakat fitrah 1 sha makanan atau 1
sha sya’ir (gandum), atau tamr (kurma), atau aqith (susu kering/keju), atau
Zabiib (kismis/anggur kering).” (HR.
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
Dalam redaksi lain
كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا
مِنْ أَقِطٍ لَا نُخْرِجُ غَيْرَهُ
"Kami pernah mengeluarkan zakat fitrah di masa
Rasulullah SAW. sebesar satu shaa' kurma, satu shaa' gandum atau satu shaa'
susu kering. Kami tidak mengeluarkan yang lain." (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis
2518)
Mengapa jenis makanannya diperluas? Kata Abu Sa’id:
كَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ
وَالتَّمْرُ
“sya’ir (gandum), Zabib (kismis/anggur kering), aqith
(susu beku/keju), dan tamr (kurma) adalah makanan kami” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No.
hadis 1439)
Sehubungan dengan itu, meskipun Rasulullah SAW.
menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis makanan: kurma & gandum, namun
bila muzakki berzakat dengan zabiib (anggur kering) dan aqith
(keju) maka penyerahan zakat mereka tetap diterima. Ibnu Umar menjelaskan:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
أَنْ نُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ وَحُرٍّ وَمَمْلُوكٍ
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ شَعِيرٍ قَالَ وَكَانَ يُؤْتَى إِلَيْهِمْ بِالزَّبِيبِ وَالأَقِطِ
فَيَقْبَلُونَهُ
“Rasulullah SAW. telah memerintahkan kepada kami agar
mengeluarkan zakat fitrah atas anak kecil dan dewasa, orang merdeka dan hamba
sahaya, sebesar satu shaa' kurma atau satu shaa’ syair (gandum). Dan diserahkan
kepada mereka zabiib dan aqith, maka mereka tetap menerimanya.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:175, No.
7528)
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa:
·
Para sahabat memahami hadis Nabi tentang zakat fitrah
itu tidak secara mantuq (makna tersurat), namun secara mafhum
(makna tersirat),
·
Para sahabat memahami hadis itu bukan sebagai takhsis
(pengkhususan), hal itu terbukti dengan diperluas jenis makanannya,
·
Secara ekonomi, jenis pangan yang dimiliki oleh publik
di zaman sahabat sudah lebih berkembang daripada zaman Nabi.
Kedua, dilihat dari sisi mustahiq
Kedua jenis makanan itu (kurma & gandum) lebih
bermanfaat untuk orang miskin waktu itu sebagai thu’matan. Dalam hadis
diterangkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah SAW.
mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan
kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadis
1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan
Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1)
Para ulama menjelaskan:
وَطُعْمَةً وَهُوَ الطَّعَامُ الَّذِي يُؤْكَلُ
“Dan kata thu’mah ialah makanan yang disantap.” Dengan
perkataan lain, thu’matan adalah makanan mudah saji dan siap santap.” (Lihat Al-Ihkam Syarh Ushul al-Ahkam, II:172)
Dengan demikian berdasarkan pendekatan bayan lit
tanshish (keterangan penjelas atau prioritas), dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi pokok kewajiban zakat fitrah itu bukan “barangnya” melainkan
“nilainya”, yaitu 1 sha’. Sehubungan dengan itu, Abu Sa’id al-Khudriyi
mengatakan:
لاَ أُخْرِجُ أَبَدًا إِلاَّ صَاعًا
“Saya tidak akan mengeluarkan zakat fitri selamanya
kecuali sebesar 1 sha’.”
Ukuran 1 sha’ dapat dikonversi dalam ukuran isi
(liter), berat (Kg), dan harga (Rp atau mata uang lainnya). Konversi ukuran itu
pernah dilakukakan oleh Mu’awiyah sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:
قَالَ إِنِّي أَرَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ
الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ
Ia berkata, “Saya memandang bahwa 2 mud gandum Syam
senilai dengan 1 sha kurma.” Maka orang-orang mengambil konversi itu. (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadis 985;
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:113, No. hadis 1616; Al-Baihaqi, As-Sunan
Al-Kubra, IV:165, No. hadis 7490)
Atas dasar pertimbangan di atas, hemat kami, para
tabi’in sebagai murid shahabat Nabi SAW, seperti Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan
al-Bishri, dan Atha telah menetapkan zakat fitrah oleh harga/uang (dirham).
Waktu itu Umar bin Abdul Aziz menetapkan nilai 1 sha = ½ dirham. (lihat, Mushannaf
Ibnu AbiuSyaibah, II:398)
Lanjut Baca: Pedoman Zakat Fitrah (Bagian III)
Oleh Ust.
Amin Saefullah Muchtar
hh
BalasHapus