Header Ads

  • NEWS UPDATE

    Pedoman Syariat di Seputar Ied



    Pembahasan pedoman syariat tentang seputar Ied ini, kami sajikan dengan tiga sub topik sebagai berikut:
    I.    Amal Sebelum Berangkat ke Lapang
    II.   Amal Ketika di Perjalanan & di Tempat Salat Ied
    III.  Amal Setelah Salat Ied

    I.    Amal Sebelum Berangkat ke Lapang
    A.   Menyalurkan Zakat Fitrah kepada Mustahiq
    Ibnu Umar berkata:
    أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ
    “Rasulullah saw. memerintah dengan zakat fitrah, supaya dilakukan sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya)”. (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. Hadis 1438)

    Dalam riwayat lainnya dengan redaksi:
    أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
    “bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat Ied.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 679, No. hadis 986; Ahmad,Musnad Ahmad, II:67, No. hadis 5345; II: 154, No. hadis 6429; An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:30, No. hadis 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:111, No. 1610; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. hadis 7526; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud, Al-Muntaqaa, I:98, No. hadis 359)

    Sedangkan di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi sebagai berikut :
    كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ
    “Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fitri sebelum pergi salat (hari raya)”. (Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. hadis 677)

    Sesuai sunah Rasul bahwa waktu menyalurkan zakat fitrah itu pada hari raya, yaitu sejak terbit fajar hingga selesai salat hari raya (Ied) setempat. (keterangan lebih lengkap dapat dibaca pada makalah Pedoman Zakat Fitrah Bagian I-IV)

    B.   Disunahkan Mandi dan Berparfum Serta Berpakaian dengan Pakaian Terbagus
    عَنْ زَيْدِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ ، عَنْ أَبِيهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم فِي الْعِيْدَيْنِ أَنْ نَلْبَسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ وَأَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدَ مَا نَجِدُ
    “Dari Zaid bin Al-Hasan bin Ali, dari ayahnya (Al-Hasan bin Ali) Ra., Rasulullah saw. telah menyuruh kami pada hari ied agar memakai pakaian dan wewangian yang terbaik.” (HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alaa Ash-Shahiihain, IV: 230, No. hadis 7560; Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabiir, III: 91, No. hadis 2756)

    Setelah meriwayatkan hadis itu melalui rawi Ishaq bin Barzakh, Al-Hakim berkata, “Sekiranya Ishaq tidak majhul niscaya aku hukumi hadis itu berstatus shahih.” (Al-Mustadrak ‘Alaa Ash-Shahiihain, IV: 230) Namun menurut Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani, “Rawi itu tidak majhul, sungguh ia telah dinyatakan dha’if oleh Al-Azdiy dan dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban.” (Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, VI: 73)

    Abdullah bin Umar berkata, “Umar pernah membeli baju besar terbuat dari sutra yang dijual di pasar, lalu membawanya kepada Rasulullah saw. sambil berkata, ‘Ya Rasulullah, belilah baju besar ini untuk memperindah diri di hari raya dan untuk menyambut tamu-tamu utusan!’ Rasulullah bersabda,
    إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ.
    baju ini hanya untuk orang yang tidak memiliki bagian di akhirat” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, III:1111, No. hadis 2889; Muslim, Shahih Muslim, III: 1639, No. hadis 2068)

    Hadis tersebut menunjukkan bahwa memperindah diri pada hari raya adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh para sahabat, dan Nabi saw. telah memberikan taqriir (ketetapan) terhadap Umar. Adapun teguran beliau terhadap Umar dikarenakan membeli baju besar yang terbuat dari sutra.

    Dalam hadis lain diterangkan:
    عَن جَابر رَضِيَ اللَّهُ عَنْه أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ كَانَ يَلْبَسُ بُرْدَهُ الْأَحْمَرَ فِي الْعِيدَيْنِ وَالْجُمُعَةِ
    “Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah saw. memakai burdah berwarna merah pada dua hari raya dan hari Jumat.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Baihaqi, III: 247, No. 5778, III:280, No. hadis 5931)

    Dalam riwayat Ibnu Abu Syaibah, dari Abu Ja’far dengan redaksi:
    كَانَ يَلْبَسُ بُرْدَهُ الْأَحْمَرَ يوم الْجُمُعَةِ وَيَعْتَمُّ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ
    “Rasulullah saw. memakai burdah berwarna merah pada hari Jumat dan menggunakan sorban pada dua hari raya.” (Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, I: 481, No. hadis 5449)

    Dalam riwayat Imam Asy-Syafi’i dan Al-Baihaqi dengan redaksi:
    أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَلْبَسُ بُرْدًا حِبَرَةً فِي كُلِّ عِيدٍ
    “Rasulullah saw. memakai burdah Hibarah pada setiap hari raya.” (Musnad Asy-Syafi’i, hlm 74;As-Sunan Al-Kubra, III: 280, No. hadis 5932)

    Meskipun hadis-hadis di atas dha’if bila dilihat secara mandiri, namun statusnya dapat dijadikan hujjah, yaitu derajatnya menjadi hasan (di atas derajat dha’if, namun di bawah derajat shahih) karena memiliki penguat dari riwayat lain sebagai berikut:
    عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ
    “Dari Ibnu Abbas ia berkata, Rasulullah saw. memakai burdah berwarna merah pada hari raya.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Awsath, VII: 316, No. hadis 7609)

    Kata Imam Al-Haitsami, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, dan rawi-rawinya tsiqaat.” (Lihat, Majma’uz Zawaa`id Wa Manba’ul Fawaa`id, V:358)

    Dengan demikian hendaknya seseorang memakai baju yang terbagus manakala keluar pada hari raya.

    C.   Makan Sebelum Berangkat ke Lapang
    Rasulullah saw sangat menganjurkan orang yang akan berangkat menuju tanah lapang pada hari raya iedul fitri untuk makan terlebih dahulu dan hal ini berbeda dengan hari raya idul adha. Anjuran ini telah menjadi kebiasan amal beliau.
    عَنْ أَنَسٍ رَضي اللَّهُ عنهُ قالَ: كانَ رسُولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم لاَ يَغْدُو يوْمَ الفِطْر حَتَّى يَأْكُلَ تَمَراتٍ أَخْرَجَهُ البخاريُّ
    “Dari Anas ia berkata, Rasulullah saw. tidak berangkat salat pada hari iedul fithri sampai beliau makan beberapa buah kurma.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I:325, No. Hadis 910)
    عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُوْ يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ - رواه ابن ماجه والترمذي -
    “Dari Buraidah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. tidak berangkat menuju mushala pada hari fitri sehingga makan terlebih dahulu, dan beliau tidak makan terlebih dahulu untuk idul adha sehingga kembali.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I: 558, No. hadis 1756; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, II: 426, No. hadis 542)

    II.   Amal Ketika di Perjalanan & di Tempat Salat Ied
    A.   Dianjurkan Membedakan Jalan yang Dilalui Waktu Berangkat dan Kembali dari Mushala
    Rasulullah saw. membiasakan apabila berangkat menuju ke mushala (tanah lapang) pada waktu ied, beliau menyengaja membedakan jalan yang ditempuh ketika berangkat menuju mushala dengan jalan yang ditempuh ketika beliau kembali ke rumah. Hal itu sebagaimana diterangkan pada hadis berikut ini:
    عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْعِيْدِ خَالَفَ الطَّرِيْقَ.
    “Dari Jabir r.a, ia mengatakan, Nabi saw. apabila hari ied beliau suka membedakan jalan (pergi dan pulang)” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I: 334, No. hadis 943)

    Dan di dalam riwayat lain diterangkan,
    عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ إِلَى العِيْدِ يَرْجِعُ فِي غَيْرِ الطَّرِيْقِ اَّلذِي خَرَجَ فِيْهِ.
    “Dari Abu Huraerah r.a, ia mengatakan, Rasulullah saw. apabila keluar menuju Ied, beliau kembali melalui jalan lain yang dilaluinya ketika berangkat.” (HR. Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi, Bustan al-Ahbar Mukhtashar Nail al-Awthar, II:59)

    B.   Takbiran
    Rasulullah saw. mensunahkan takbiran pada hari raya, sejak keluar dari rumah untuk menuju tempat salat,
    عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وآله وسلم كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ وَالتَّهْلِيْلِ حَالَ خُرُوْجِهِ إِلَى الْعِيْدِ  يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى
    “Dari Ibnu Umar sesungguhnya Nabi saw. bertakbir dan bertahlil (menyebut laa ilaha illallah) dengan suara keras dari mulai keluar hendak pergi salat iedul fitri hingga sampai ke lapang”. (HR. Al-Baihaqi, Nailul Authar III:355)

    Dalam riwayat lain dengan redaksi:
    أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ  فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى
    “Sesungguhnya Rasulullah saw. keluar pada hari iedul fitri dengan bertakbir hingga sampai di lapang” (HR. Ibnu Abu Syibah, al-Mushannaf, I:487)

    Dalam riwayat lain dengan redaksi:
    كَانَ يَغْدُوْ إِلَى المـُصَلَّى يَوْمَ الفِطْرِ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِىَ المُصَلَّى ثُمَّ يُكَبِّرُ بِالمُصَلَّى حَتَّى إِذَاجَلَسَ الإِمَامُ تَرَكَ التَّكْبِيْرَ. - رواه الشافعي -
    “Ibnu Umar berangkat pagi-pagi menuju mushala (tanah lapang) pada hari iedul fitri apabila terbit matahari, maka beliau bertakbir sehingga mendatangi mushala dan terus beliau bertakbir di mushala itu, sehingga apabila imam telah duduk beliau meninggalkan takbir”. (HR. As-Syafi’I, Musnad As-Syafi’I, I: 73)

    وَقَالَ الحَاكِمُ: وَهَذِهِ سُنَّةٌ تُدَاوِلُهَا أَئِمَّةُ اَهْلِ الحَدِيْثِ وَصَحَّتْ بِهِ الرِّوَايَةُ عَنْ  عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ وَغَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ.
    “Dan Al-Hakim Mengatakan, ini adalah sunah yang digunakan oleh para ahli hadis, dan sahih tentang ini riwayat dari Abdullah bin Umar dan lain-lain dari kalangan sahabat." (Lihat, Al-Mustadrak alas Sahihain, I : 298)

    Adapun takbiran semalam suntuk pada malam Idul Fitri tidak ada dalilnya. Pada umumnya berdasarkan penafsiran terhadap surat al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi;
    وَلِتُكْمِلُوا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
    “Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur”.

    Hemat kami, ayat di atas tidak tepat dijadikan landasan bertakbiran malam ied, bahkan tidak ada kaitan dengan takbiran malam hari raya semalam suntuk apalagi dengan berkeliling dengan berbagai tetabuhan yang menimbulkan kegaduhan dan kebisingan.
    Sedangkan bertakbir pada iedul adha dilakukan sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga ashar 13 dzulhijjah.
    عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارِ أَنَّ النَّبِيَّ  صلى الله عليه وسلم… وَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ بَعْدَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ وَيَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ
    “Dari Ali dan Ammar sesungguhnya Nabi saw… dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah salat shubuh dan menghentikannya pada salat Ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah)”. (HR. Al-Hakim,Al-Mustadrak, I:439; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:312)

    Membacanya tidak terus menerus, melainkan bila ada kesempatan, baik ketika berkumpul di masjid atau di rumah masing-masing atau berbagai kesempatan lainnya, sebagaimana diamalkan oleh Ibnu Umar:
    وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ  يُكَبِّرُ بِمِنىً  تِلْكَ اْ لأَ يَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ وَ عَلَى  فِرَاشِهِ وَ فِيْ فُسْطَاطِهِ وَ مَجْلِسِهِ وَ مَمْشَاهُ  تِلْكَ اْلأَيَّامَ جَمِيْعًا
    “Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu (Tasyriq) setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majelis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya”  (HR. Al-Bukhari)

    B.1. Cara  bertakbiran
    Takbir hari raya terus dilakukan sejak keluar dari rumah menuju mushala (lapangan) sebelum dilakukan salat dan biasanya dilakukan dengan cara saling berganti, satu atau dua orang bertakbir, dan setelah itu lalu orang bersama-sama takbir. Cara bertakbir seperti ini boleh dilakukan bahkan sesuai dengan yang dilakukan di masa Rasulullah saw. berdasarkan hadis sebagai berikut:
    وَعَنْ  أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الفِطْرِ وَاللأَضْحَى....وَالْحُيَّضُ يَكُنْ خَلْفَ النَّاسِ يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاسِ. وَلِلْبُخَارِيِّ : قَالَتْ اُمُّ عَطِيَّةَ : كُنَّا نُأْمَرُ أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيْرِهِمْ. - نيل الأوطار، 3 : 349 -
    “Dari Umi Athiyah r.a, ia mengatakan, Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk mengeluarkan mereka pada hari raya iedul fitri dan adha...., dan perempuan-perempuan yang haid dibelakang orang-orang, mereka bertakbir dengan orang-orang. -Adapun menurut riwayat Al-Bukhari- Umu Athiyah telah berkata, “Kami diperintah mengeluarkan perempuan-perempuan yang haid, maka mereka bertakbir dengan takbirnya orang-orang.” (Lihat, Nailul Authar, III : 349)

    Selain itu perintah untuk bertakbir itu bentuknya mutlak, artinya tidak ada batasan dan ketentuan, pada pokoknya bertakbir baik sendirian, bersama-sama atau saling bergantian, kesemua itu tidak lepas dari pelaksanaan membaca takbir. Jadi, semua cara telah memenuhi perintah atau anjuran bertakbir.

    B.2. Lafal Takbir
    Ibnu Hajar menjelaskan:
    وَأَمَّا صِيْغَةُ التَّكْبِيْرِ فَأَصَحُّ مَا وَرَدَ فِيْهِ مَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ‏:‏كَبِّرُوْا اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا‏...‏ ‏
    “Adapun shighah (bentuk) takbir, maka yang paling shahih adalah hadis yang ditakhrij oleh Abdur Razaq dengan sanad sahih dari Salman, ia berkata, “Takbirlah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Kabira. (Lihat, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Dar al-Rayan lI al-Turats, Kairo, 1986, II: 536)

    Selanjutnya Ibnu Hajar juga menjelaskan
    وَقِيْلَ يُكَبِّرُ ثِنْتَيْنِ بَعْدَهُمَا لا إله إلا اللَّه و اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وللَّهِ الْحَمْدُ جَاءَ ذلِكَ عَنْ عُمَرَ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ
    “Dan dikatakan ia bertakbir dua kali (Allahu Akbar, Allahu Akbar), setelah itu Laa ilaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd. Keterangan itu bersumber dari Umar dan Ibnu Mas’ud”. (Lihat, Fathul Bari, Dar al-Rayan li al-Turats, Kairo, 1986, Jilid 2, hal. 536)

    Keterangan di atas menunjukkan bahwa lafal takbir (sesuai dengan amal sahabat) hanya 2 macam:
    (1) Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Kabiran.
    (2) Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

    Sedangkan yang memakai lafal tambahan lain selain keterangan di atas, di dalam Fath al-Bari diterangkan: Laa asla lahu (tidak mempunyai sumber sama sekali), yaitu:
    (1) Lafal Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Kabiira dengan tambahan wa Lillaahilhamdu.
    (2) Lafal Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaaha Illallaah Wahdahu Laa Syariikalah.
    (3) Lafal panjang sebagai berikut
    اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا اللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا اللَّهَ مُخْلِصِينَ له الدَّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ

    C.   Melaksanakan Salat ‘Ied
    C.1. Waktu Salat ‘Ied
    Awal waktu salat ‘ied ialah setelah meningginya matahari, kira-kira setinggi tombak (sekitar jam 7 pagi), berdasarkan hadis Abdullah bin Busr, ketika beliau menegur keterlambatan imam seraya berkata,
    إِنَّا كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِينَ التَّسْبِيحِ.
    “Sesungguhnya kami dahulu bersama Nabi saw. sebenarnya sudah selesai shalat ‘ied seperti pada waktu sekarang, yaitu pada waktu shalat sunnah.” (H.R. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:295, No. 1135; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:418, No. 1317; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, III:282, No. 5943; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:434, No. 1092)

    Ibnu Hajar  berkata, “Ungkapanny:   حِيْنَ التَّسْبِيْحِ وَذَلِكَ yakni pada waktu shalat sunnah, yaitu jika waktu makruh shalat sudah berlalu”, dalam riwayat shahih milik ath-Thabrani disebutkan: “Yaitu, ketika waktu shalat sunnah dhuha”. [Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, II:529].

    Yang utama ialah menyegerakan shalat ‘Iedul ‘Adhha jika matahari sudah naik kira-kira setinggi tombak [Lihat, Irwaa‘ al-Ghalil, karya al-Albani, III:100-101].
    Hal tersebut disebabkan karena pada setiap hari raya terdapat amalan tersendiri. Amalan hari raya ‘Iedul ‘Adhha adalah berkurban, dan waktunya setelah pelaksanaan shalat. Maka pada penyegeraan shalat ‘Iedul ‘Adhha terkandung keluasan untuk pelaksanaan qurban. [Lihat, al-Mughni, III:267].

    C.2. Salat ‘Ied Dilakukan Sebelum Khutbah
    عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ. رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا أَبَا دَاوُد .
    “Dari Ibnu Umar, ia berkata, sesungguhnya Nabi saw. Abu Bakar, dan Umar melaksanakan salat ‘Ied sebelum khutbah.” (H.R. Al-Jama’ah kecuali Abu Dawud)

    C.3. Tidak Ada Adzan dan Iqamat dalam Shalat ‘Ied
    عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْعِيدَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إقَامَةٍ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ
    “Dari Jabir bin Samurah, ia berkata, aku salat ‘Ied bersama Rasulullah saw bukan sekali dua kali dengan tanpa adzan dan iqamah.” (H.R. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi)

    C.4. Tidak ada Salat Sunat Qabliyah (sebelum) dan Ba'diyah (setelah) Salat ‘Ied
    Ada beberapa keterangan yang katanya menunjukkan bahwa para sahabat ada yang melaksanakan salat qabliyah atau ba'diyah salat ied, namun semua keterangan itu daif. Sedangkan berdasarkan hadis sahih adalah sebagaimana amaliyah Rasulullah saw. sebagai berikut:
    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيْدٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ  لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلاَ بَعْدَهُمَا. - رواه الجماعة -
    “Dari Ibu Abbas r.a, ia mengatakan, Nabi Saw. keluar pada hari ied dan beliau salat dua rakaat yang beliau tidak salat sebelum ataupun sesudahnya” (H.R. Al-Jamaah)

    C.5. Takbir pada Salat ied
    Hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah takbir di dalam salat Ied, ada dua macam. Ada yang lemah dan ada pula yang kuat dan dapat dijadikan hujjah.
    Hadis yang kuat adalah takbir 7 kali pada rakaat pertama (termasuk takbiratul ihram dipermulaan) dan 5 kali pada rakaat kedua (termasuk takbir ketika bangkit dari sujud kedua menuju rakaat kedua). Adapun hadisnya melalui sanad dari Amr bin Syua'aib, dari bapaknya, dari kakeknya.
    إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ في عِيْدٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي الأُوْلَى وَخَمْسًا فِي الآخِرَةِ.
    “Sesungguhnya Nabi saw. bertakbir pada salat Ied dua belas takbir, yaitu tujuh pada rakaat pertama dan lima pada rakaat ke dua”

    Keterangan: Amr menerima hadis dari bapaknya yaitu Syu'aib, dan Syu'aib menerima hadis ini dari kakeknya yaitu Abdullah, sebagaimana tercatat pada kitab Abu Dawud.

    Perihal hadis ini Ad-Dzahabi menerangkan bahwa Syu'aib itu sezaman dengan kakeknya (Abdullah bin Amer bin Al-Ash) dan mendengar (belajar) daripadanya. Dengan demikian hadis tersebut tidak mursal alias mausul (bersambung) sandanya hingga Nabi saw.
    Hadis dengan matan tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah, dan yang semakna (semacam) dengan itu diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ad-Daraqutni dengan lapal sebagai berikut :
    قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلتَّكْبِيرُ فِي الفِطْرِ سَبْعٌ فِي الأُولىَ وَخَمْسٌ فِي الآخِرَةِ، وَالقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا.
    “Nabi saw. bersabda, takbir pada salat Iedul Fitri itu tujuh pada rakaat pertama dan lima pada rakaat akhir, dan bacaan (Fatihah dan Surat lain) setelah keduanya pada keduanya."

    Imam Ahmad dan Ali bin Al-Madini menyatakan bahwa hadis ini sahih. Dan Imam Ahmad berkata, "Dan aku berpegang terhadap hadis ini" (Lihat, Fiqh as-Sunah, II : 270)
    Sayid Sabiq menerangkan, "Bahwa takbir tujuh-lima adalah pendapat yang paling kuat dan menjadi pendirian kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan Sahabat, Tabi'in ataupun Imam-imam”. (Lihat, Fiqh as-Sunah, III : 270)
    Sedangkan apabila ada yang beramal takbir satu kali sebagaimana salat pada umumnya, maka tidak ada dalilnya sama sekali walau sekedar yang lemah.

    C.6. Bacaaan di Antara Takbir pada Salat Ied
    Tidak ada hadis shahih yang menjelaskan bahwa Nabi saw membaca doa atau dzikir tertentu ketika diam antara jumlah takbir shalat ‘ied. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullahsaw. [Lihat, Tamamul Minnah, al-Albani, 349-350].

    C.7. Salat Ied Lebih Utama di Mushala (Lapang/Tempat Terbuka)
    Rasulullah memerintahkan kepada seluruh para sahabatnya agar keluar dan mengeluarkan siapa pun termasuk perempuan-perempuan pingitan atau yang sedang haid, agar menuju mushala. Dan mushala yang dimaksud pada saat itu adalah sebuah tanah lapang yang ada dipinggiran kota Madinah sebelah timur.
    Tidak terdapat keterangan yang sahih bahwa selama 9 kali Rasulullah saw. mengalami iedul fitri, beliau menjalankan salat ied di masjid. Demikian pula halnya dengan para sahabat beliau. Ini menunjukkan bahwa salat ied di tanah lapang lebih utama karena sesuai dengan sunah Rasul. Adapun hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. salat dimesjid karena pada saat itu terjadi hujan hadisnya daif. Adapun redaksinya sebagai berikut.
    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ أَنَّهُمْ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيْدٍ ، فَصَلَّى بِهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ العِيْدِ فِي المَسْجِدِ. - رواه ابو داود وابن ماجة والحاكم.
    “Dari Abu Huraerah r.a, sesungguhnya Nabi saw. pernah ditimpa hujan pada hari ied, maka Nabi saw. salat mengimami mereka salat ied tersebut di masjid”. (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah dan al-Hakim)

    Hadis ini daif (lemah sekali) Adz-Dzahabi mengatakan, “Hadis ini munkar”. Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, “Pada sanadnya terdapat kelemahan” (Lihat, Fiqh as-Sunah, I: 268)

    D.  Menyimak Khutbah Setelah Salat Ied
    Termasuk Sunnah Nabi ialah melaksanakan khutbah setelah shalat ‘ied. Dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas berkata (artinya), “Aku pernah ikut shalat ‘ied bersama Rasulullah saw., Abu Bakar, ‘Umar dan Usman. Mereka semua mengerjakan salat sebelum khutbah”. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
    Mendengarkan khutbah ‘ied meskipun hukumnya tidak wajib, namun alangkah ruginya apabila tidak disimak dengan sebaik-baiknya. Dari Abdullah bin as-Sa’ib, dia berkata (artinya), ”Aku pernah menghadiri ‘ied bersama Nabi saw, ketika selesai salat beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kami akan berkhutbah, maka barangsiapa ingin duduk untuk mendengarkannya, dipersilahkan untuk duduk’” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

    III. Amal Setelah Salat Ied
    Dianjurkan untuk saling bertahniah (ucapan selamat). Hal itu berdasarkan amaliah (perbuatan) para sahabat sebagaimana dijelaskan oleh Jubair bin Nufair:
    كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذاَ إِلْتَقَوْا يَوْمَ العِيدِ يَقُولُ بَعْضُهَا لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ. قَالَ الحاَفِظُ إِسْناَدُهُ حَسَنٌ.
    “Adalah para sahabat Rasulullah saw., apabila saling bertemu satu sama lain pada hari raya ied, berkata yang satu pada yang lainnya, taqabbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan engkau)”.

    Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,
    رَوَيْنَاهُ فِي الْمَحَامِلِيَاتِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
    “Kami telah meriwayatkannya dalam al-mahamiliyat dengan sanad hasan.” (Fathul Bari, II:446)

    Dalam riwayat Abul Qasim al-Mustamli (Lihat, Hasyiah at-Thahawi ‘ala al-Maraqi, II:527) dengan redaksi
    تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
    “Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan engkau”

    Pembahasan tentang Tahniah Ied secara lengkap.

    Ucapan: Minal ‘Aidzin Wal Faizin
    Bagaimana jika doa tahniah di atas diganti dengan doa lain seperti minal 'aidzin wal faidzin  atau doa lain-lain? Hingga saat ini kami belum menemukan dari mana sebenarnya lafal minal aidzin wal faiziin atau doa-doa yang lain berasal.
    Sayang sekali jika sebagian dari kita mempergunakannya dalam perayaan iedul fitri, terlebih lagi jika disertai niat bahwa ucapan tersebut merupakan sunah, dan lebih memprihatinkan lagi bila disangka bahwa lafal itu bermakna “Mohon Maaf Lahir & Batin” Karena itu marilah kita masyarakatkan doa tahniah yang diamalkan para sahabat di atas agar lebih sesuai dengan sunah Rasul saw.



    Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    trikblog.co.cc