Disyaratkan Berniat Shaum
Kriteria
Niat
Niat adalah
maksud dan azam (ketetapan hati) untuk melaksanakan sesuatu. Seperti
berniat safar artinya bermaksud dan berazam safar. Ibnu Qudamah menjelaskan,
niat adalah:
ŲŖَŁَŲ¬ُّŁُ Ų§ŁŁَŁْŲØِ Ų¬ِŁَŲ©َ Ų§ŁْŁِŲ¹ْŁِ Ų§ŲØْŲŖِŲŗَŲ§Ų”َ ŁَŲ¬ْŁِ
Ų§ŁŁŁِ ŲŖَŲ¹َŲ§ŁَŁ ŁَŲ§Ł
ْŲŖِŲ«َŲ§ŁŲ§ً ِŁŲ£َŁ
ْŲ±ِŁِ.
Menghadapnya
hati ke arah pekerjaan, karena mengharap rida Allah dan karena melaksanakan
perintah-Nya. (Lihat, Al-Mughni, I : 78)
Ibnul Qayyim
mengatakan :
Ų§ŁŁِّŁَŲ©ُ ŁِŁَ Ų§ŁْŁَŲµْŲÆُ ŁَŲ§ŁْŲ¹َŲ²ْŁ
ُ Ų¹َŁَŁ ŁِŲ¹ْŁِ
Ų§ŁŲ“َّŁِŲ¦ِ ŁَŁ
َŲَŁُّŁَŲ§ Ų§ŁْŁَŁْŲØُ ŁŲ§َ ŲŖَŲ¹َŁُّŁَ ŁَŁَŲ§ ŲØِŲ§ŁŁِّŲ³َŲ§Łِ Ų£َŲµْŁŲ§ً.
“Niat adalah
maksud dan tekad untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya adalah hati, dan sama
sekali niat itu tidak berkaitan dengan lisan.” (Lihat, Ighatsah
al-Lahfan, I : 158)
Dari
penjelasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa niat shaum adalah
maksud dan tekad yang bulat di dalam hati untuk melakukan shaum karena
mengharap ridha Alah swt. dan melaksanakan syariat-Nya.
Rasulullah
saw. mewajibkan berniat shaum Ramadhan pada sebagian malam, paling tidak
sebelum masuk waktu Subuh. Karena itu, apabila seseorang belum berniat shaum
ketika sebelum masuk waktu Subuh dan baru berniat setelah lewat waktu subuh,
shaumnya itu tidak sah karena kesempatan untuk berniat telah terlewat.
Kesimpulan hukum ini berdasarkan dalil sebagai berikut:
Ų¹َŁْ ŲَŁْŲµَŲ©َ Ų£ُŁ
ِّ Ų§ŁْŁ
ُŲ¤Ł
ِŁِŁŁَ Ų±Ų¶Ł Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŲ§، Ų¹َŁِ
Ų§ŁŁَّŲØِŁِّ ŲµŁّŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁّŁ
ŁَŲ§Łَ: Ł
َŁْ ŁَŁ
ْ ŁُŲØَŁِّŲŖِ Ų§ŁŲµِّŁَŲ§Ł
َ ŁَŲØْŁَ
Ų§ŁْŁَŲ¬ْŲ±ِ ŁَŁŲ§َ ŲµِŁَŲ§Ł
َ ŁَŁُ. Ų±َŁَŲ§Łُ Ų§ŁْŲ®َŁ
ْŲ³َŲ©ُ
Dari Hafshah
Ummul Mu’minin, dari Nabi saw, beliau bersabda, “Barangsiapa belum menetapkan
niat shaum sejak sebelum Fajar, maka tidak ada shaum baginya.” HR. al-Khamsah (Ahmad,
at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah), Bulugh al-Maram:137
Kata bayyata-yubayyitu artinya dabbara
bi layl (merencanakan atau mempersiapkan di waktu malam). Seperti
perkataan bayyata fulaan al-amra, artinya Polan mempersiapkan
sesuatu di waktu malam. Dan yang dimaksud pada hadis itu: “orang yang tidak
merencanakan shaum wajib, yaitu dengan niat shaum pada waktu malam, maka tidak
ada shaum baginya.” (Lihat, Tawdhih al-Ahkam Min Bulugh al-Maram,
III:464)
Hadis di
atas diriwayatkan pula dengan redaksi:
Ł
َŁْ ŁَŁ
ْ ŁُŲ¬ْŁ
ِŲ¹ِ Ų§ŁŲµِّŁَŲ§Ł
َ ŁَŲØْŁَ Ų§ŁْŁَŲ¬ْŲ±ِ ŁَŁŲ§َ
ŲµِŁَŲ§Ł
َ ŁَŁُ
“Barangsiapa
belum menetapkan niat shaum sejak sebelum Fajar, maka tidak ada shaum baginya.”
HR. Ahmad, Musnad Ahmad, VI:287, No. 26.500; Abu Dawud, Sunan
Abu Dawud, II:329, No. 2454; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi,
III:108, No. 730, An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, II:117, No. 2643;
al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:221, No. 7826
Kata yujmi’u pada
hadis di atas bermakna
Ų£ŲŁŁ
Ų§ŁŁŁŲ© ŁŲ§ŁŲ¹Ų²ŁŁ
Ų©
“Mengukuhkan
niat dan tekad” (Lihat, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud,
XXI:203)
Hadis di
atas diriwayatkan pula dengan redaksi:
ŁŲ§َ ŲµِŁَŲ§Ł
َ ŁِŁ
َŁْ ŁَŁ
ْ ŁُŁْŲ±ِŲ¶ْŁُ Ł
ِŁَ Ų§ŁŁَّŁْŁ
“Tidak ada
saum bagi yang tidak meneguhkannya sejak malam hari.” HR. Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Majah, I:542, No. 1700; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni,
II:172
Kata afradha-yufridhu pada
hadis di atas bermakna qadara wa jazama. Maksudnya, tidak meniatkan
shaum pada waktu malam. (Lihat, Ta’liq Muhammad Fu’ad Abdul Baqi ‘Ala
Sunan Ibn Majah, I:542)
Kata min (dari)
pada kalimat min al-layl menunjukkan makna tab’idh (sebagian).
Dengan demikian kalimat itu bermakna: “pada salah satu bagian waktu
malam” Ini menunjukkan bahwa orang yang berniat pada waktu malam bahwa
besok ia akan shaum, lalu ia tertidur hingga bangun setelah terbit fajar atau
waktu subuh, maka shaumnya tetap sah.
Imam
ash-Shan’ani berkata:
ŁَŁُŁَ ŁَŲÆُŁُّ Ų¹َŁَŁ Ų£َŁَّŁُ ŁَŲ§ ŁَŲµِŲُّ Ų§ŁŲµِّŁَŲ§Ł
ُ
Ų„ŁَّŲ§ ŲØِŲŖَŲØْŁِŁŲŖِ Ų§ŁŁِّŁَّŲ©ِ ŁَŁُŁَ Ų£َŁْ ŁَŁْŁِŁَ Ų§ŁŲµِّŁَŲ§Ł
َ ŁِŁ Ų£َŁِّ Ų¬ُŲ²ْŲ”ٍ
Ł
ِŁْ Ų§ŁŁَّŁْŁِ ŁَŲ£َŁَّŁُ ŁَŁْŲŖِŁَŲ§ Ų§ŁْŲŗُŲ±ُŁŲØُ ŁَŲ°َŁِŁَ ؛ ŁِŲ£َŁَّ Ų§ŁŲµَّŁْŁ
َ
Ų¹َŁ
َŁٌ ŁَŲ§ŁْŲ£َŲ¹ْŁ
َŲ§Łُ ŲØِŲ§ŁŁِّŁَّŲ§ŲŖِ ŁَŲ£َŲ¬ْŲ²َŲ§Ų”ُ Ų§ŁŁَّŁَŲ§Ų±ِ ŲŗَŁْŲ±ُ Ł
ُŁْŁَŲµِŁَŲ©ٍ
Ł
ِŁْ Ų§ŁŁَّŁْŁِ ŲØِŁَŲ§ŲµِŁٍ ŁُŲŖَŲَŁَّŁُ ŁَŁَŲ§ ŁَŲŖَŲَŁَّŁُ Ų„ŁَّŲ§ Ų„Ų°َŲ§ ŁَŲ§ŁَŲŖْ
Ų§ŁŁِّŁَّŲ©ُ ŁَŲ§ŁِŲ¹َŲ©ً ŁِŁ Ų¬ُŲ²ْŲ”ٍ Ł
ِŁْ Ų§ŁŁَّŁْŁِ ، ŁَŲŖُŲ“ْŲŖَŲ±َŲ·ُ Ų§ŁŁِّŁَّŲ©ُ
ŁِŁُŁِّ ŁَŁْŁ
ٍ Ų¹َŁَŁ Ų§ŁْŁِŲ±َŲ§ŲÆِŁِ ŁَŁَŲ°َŲ§ Ł
َŲ“ْŁُŁŲ±ٌ Ł
ِŁْ Ł
َŲ°ْŁَŲØِ Ų£َŲْŁ
َŲÆَ
ŁَŁَŁُ ŁَŁْŁٌ : Ų„ŁَّŁُ Ų„Ų°َŲ§ ŁَŁَŁ Ł
ِŁْ Ų£َŁَّŁِ Ų§ŁŲ“َّŁْŲ±ِ ŲŖُŲ¬ْŲ²ِŲ¦ُŁ
“Hadis itu
menunjukkan bahwa tidak sah shaum kecuali dengan menetapkan niat, yaitu berniat
shaum, pada salah satu bagian waktu malam. Dan awal waktu malam itu adalah magrib.
Demikian itu karena shaum adalah suatu amal, dan amal itu disertai niat.
Sedangkan bagian-bagian waktu siang tidak terpisah dari malam dengan suatu
pemisah yang dapat dipastikan, maka tidak ada yang memastikan kecuali apabila
niat itu terjadi pada pada salah satu bagian waktu malam. Dan niat itu
disyaratkan secara terpisah untuk setiap malam dan ini pendapat yang popular
dari Ahmad, dan pendapat lainnya bahwa apabila ia berniat sejak awal bulan
Ramadhan, maka memadai.” (Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram,
III:306)
Muhammad
Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi berkata:
ŁَŁِŁŁِ ŲÆَŁِŁŁ Ų¹َŁَŁ Ų£َŁَّ ŲŖَŁْŲÆِŁŁ
ŁِŁَّŲ© Ų§ŁŲ“َّŁْŲ±
ŁُŁّŁ ŁِŁ Ų£َŁَّŁ ŁَŁْŁَŲ© Ł
ِŁْŁُ ŁَŲ§ ŁُŲ¬ْŲ²ِŲ¦Łُ Ų¹َŁْ Ų§ŁŲ“َّŁْŲ± ŁُŁّŁ ، ŁِŲ£َŁَّ
ŲµِŁَŲ§Ł
ŁُŁّ ŁَŁْŁ
Ł
ِŁْ Ų§ŁŲ“َّŁْŲ± ŲµِŁَŲ§Ł
Ł
ُŁْŲ±َŲÆ Ł
ُŲŖَŁ
َŁِّŲ² Ų¹َŁْ ŲŗَŁْŲ±Ł ، ŁَŲ„ِŲ°َŲ§
ŁَŁ
ْ ŁَŁْŁِŁِ ŁِŁ Ų§ŁŲ«َّŲ§ŁِŁ ŁَŲØْŁ ŁَŲ¬ْŲ±Ł ، ŁَŁِŁ Ų§ŁŲ«َّŲ§ŁِŲ« ŁَŲ°َŁِŁَ ŁَŲ§
ŁُŲ¬ْŲ²ِŲ¦Łُ ، ŁَŁُŁَ ŁَŁْŁ Ų¹ُŁ
َŲ± ŲØْŁ Ų§ŁْŲ®َŲ·َّŲ§ŲØ ŁَŲ¹َŲØْŲÆ Ų§ŁŁَّŁ ŲØْŁ Ų¹ُŁ
َŲ± Ų±َŲ¶ِŁَ
Ų§ŁŁَّŁ Ų¹َŁْŁُŁ
َŲ§ ، ŁَŲ„ِŁَŁْŁِ Ų°َŁَŲØَ Ų§ŁْŲَŲ³َŁ Ų§ŁْŲØَŲµْŲ±ِŁّ ŁَŲ§ŁŲ“َّŲ§ŁِŲ¹ِŁّ
ŁَŲ£َŲْŁ
َŲÆ ŲØْŁُ ŲَŁْŲØَŁ
“Pada hadis
itu terdapat petunjuk bahwa mendahulukan niat shaum sebulan penuh pada malam
pertama bulan itu maka tidak memadainya, karena shaum setiap hari pada bulan
Ramadhan adalah shaum yang mandiri, terpisah dari hari lainnya. Maka apabila ia
tidak meniatkan shaum di hari kedua sebelum fajar, demikian pula di hari
ketiga, maka tidak memadainya. Ini merupakan pendapat Umar bin Khatab, Ibnu
Umar, al-Hasan al-Bisri, Asy-Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal.” (Lihat, ‘Awn
al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, XXI:203-204)
Kesimpulan
Disyaratkan
berniat shaum wajib pada waktu malam atau paling lambat sebelum fajar.
Niat Shaum
Sunat
Berbeda
dengan shaum wajib, maka bagi shaum sunat tidak disyaratkan berniat sejak malam
atau sebelum fajar. Berarti ketika seseorang belum makan atau minum sesuatu pun
sejak waktu fajar, boleh melakukan shaum secara mendadak walaupun telah masuk
waktu fajar atau bahkan siang hari. Hal ini sesuai dengan petunjuk Nabi saw.
Sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut ini:
Ų¹َŁْ Ų¹َŲ§Ų¦ِŲ“َŲ©َ ŁَŲ§ŁَŲŖْ ŲÆَŲ®َŁَ Ų¹َŁَŁَّ Ų±َŲ³ُŁŁُ Ų§ŁŁŁِ
ŲµŁّŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁ ŁŲ³ŁّŁ
Ų°َŲ§ŲŖَ ŁَŁْŁ
ٍ ŁَŁَŲ§Łَ : ŁَŁْ Ų¹ِŁْŲÆَŁُŁ
ْ Ł
ِŁْ Ų“َŁْŲ¦ٍ؟
ŁَŁُŁْŁَŲ§: ŁŲ§َ. ŁَŁَŲ§Łَ : ŁَŲ„ِŁِّŁ Ų„ِŲ°َŁْ ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ٌ. Ų«ُŁ
َّ Ų£َŲŖَŲ§ŁَŲ§ ŁَŁْŁ
ًŲ§
Ų¢Ų®َŲ±َ ŁَŁُŁْŁَŲ§ ŁَŲ§ Ų±َŲ³ُŁŁَ Ų§ŁŁŁِ Ų£ُŁْŲÆِŁَ ŁَŁَŲ§ ŲَŁْŲ³ٌ، ŁَŁَŲ§Łَ : Ų£َŲ±ِŁŁِŁŁِ
ŁَŁَŁَŲÆْ Ų£َŲµْŲØَŲْŲŖُ ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ًŲ§ ŁَŲ£َŁَŁَ. -Ų±ŁŲ§Ł Ų§ŁŲ¬Ł
Ų§Ų¹Ų© Ų„ŁŲ§ Ų§ŁŲØŲ®Ų§Ų±Ł -
Dari Aisyah,
ia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah saw. datang menemuiku, beliau bertanya,
‘Apakah kalian mempunyai makanan?’ Kami menjawab, ‘Tidak’, Beliau bersabda,
‘Jika demikian aku akan shaum’. Kemudian beliau mendatangi kami lagi pada hari
lainnya, kami katakan kepada beliau, ‘Kepada kami telah dihadiahkan makanan
haes’. Beliau bersabda, ‘Cobalah perlihatkan kepadaku. Sesungguhnya sejak pagi
aku telah shaum’. Maka beliau pun makan’.” HR. Al-Jama’ah kecuali al-Bukhari
(Lihat, Bustan al-Ahbar Mukhtashar Nayl al-Awthar, II:381)
Ditinjau
dari beberapa segi, hadis ini menunjukkan shaum sunat:
Pertama, Rasulullah saw. tidak berniat shaum ketika sebelum
masuk waktu subuh.
Kedua, ketika setelah pagi hari, diketahui bahwa tidak ada
makanan yang dapat dimakan, maka seketika itu beliau menetapkan niat shaumnya
seraya langsung melakukannya, lalu menjadikan belum makan dan minumnya sejak
waktu subuh itu rangkaian shaum hari itu.
Ketiga, ketika beliau sudah melaksanakan shaum sejak
waktu Subuh, lalu diberitahukan kepadanya bahwa ada hadiah makanan haes kepada
mereka (istri-istri Nabi), Rasulullah berbuka shaum dan makan.
Dalam
riwayat lain Nabi bersabda:
ŁَŲ§ Ų¹َŲ§Ų¦ِŲ“َŲ©ُ ، Ų„ِŁَّŁ
َŲ§ Ł
َŁْŲ²ِŁَŲ©ُ Ł
َŁْ ŲµَŲ§Ł
َ ŁِŁ
ŲŗَŁْŲ±ِ Ų±َŁ
َŲ¶َŲ§Łَ Ų£َŁْ ŁِŁ Ų§ŁŲŖَّŲ·َŁُّŲ¹ِ ŲØِŁ
َŁْŲ²ِŁَŲŖِ Ų±َŲ¬ُŁٍ Ų£َŲ®ْŲ±َŲ¬َ ŲµَŲÆَŁَŲ©َ
Ł
َŲ§ŁِŁِ ŁَŲ¬َŲ§ŲÆَ Ł
ِŁْŁَŲ§ ŲØِŁ
َŲ§ Ų“َŲ§Ų”َ ŁَŲ£َŁ
ْŲ¶َŲ§Łُ، ŁَŲØَŲ®ِŁَ Ł
ِŁْŁَŲ§ ŲØِŁ
َŲ§ Ų“َŲ§Ų”َ
ŁَŲ£َŁ
ْŲ³َŁَŁُ .
“Wahai
Aisyah, sesungguhnya kedudukan orang yang shaum selain Ramadan itu atau shaum
sunat itu sederajat dengan seseorang yang mengeluarkan sadaqah hartanya. Maka
ia dapat mendermakan dari harta itu sesuai keinginannya dan menjadikannya
(sedekah). Dan ia pun dapat kikir semaunya dengan harta itu, sehingga tentu ia
akan menahannya.” HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:194, No. 23.323
Shaum sunat
dengan niat mendadak dilakukan pula oleh shahabat Nabi saw.
ŁَŲ§Łَ Ų§ŁŲØُŲ®َŲ§Ų±ِŁُّ : ŁَŁَŲ§ŁَŲŖْ Ų£ُŁ
ُّ Ų§ŁŲÆَّŲ±ْŲÆَŲ§Ų”ِ :
ŁَŲ§Łَ Ų£ُŲØُŁ Ų§ŁŲÆَّŲ±ْŲÆَŲ§Ų”ِ ŁَŁُŁŁُ : Ų¹ِŁْŲÆَŁُŁ
ْ Ų·َŲ¹َŲ§Ł
ٌ ؟ ŁَŲ„ِŁْ ŁُŁْŁَŲ§ : ŁŲ§َ،
ŁَŲ§Łَ : ŁَŲ„ِŁِّŁْ ŲµَŲ§Ų¦ِŁ
ٌ ŁَŁْŁ
ِŁ ŁŲ°َŲ§، ŁَŲ§Łَ : ŁَŁَŲ¹َŁَŁُ Ų£َŲØُŁْ Ų·َŁْŲَŲ©َ
ŁَŲ£َŲØُŁْ ŁُŲ±َŁْŲ±َŲ©َ ŁŲ§ŲØْŁُ Ų¹َŲØَّŲ§Ų³ٍ ŁَŲُŲ°َŁْŁُŲ©ُ
Al-Bukhari
mengatakan, “Umu Darda berkata, ’Abu Darda bertanya, ’Apakah kalian memiliki
makanan?’ Jika kami menjawab tidak, ia akan berkata, ‘Jika demikian hari ini
saya shaum’. Ia berkata, ‘Hal itu pun dilakukan oleh Abu Hurairah, Ibnu Abas,
dan Hudzaifah r.ah.” (Lihat, Shahih al-Bhukhari, III:29, bab
ŲØَŲ§ŲØٌ Ų„ِŲ°َŲ§ ŁَŁَŁ ŲØِŲ§ŁŁَّŁَŲ§Ų±ِ ŲµَŁْŁ
ًŲ§
“Bab apabila
berniat shaum di siang hari”)
Dari
berbagai keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa shaum sunat boleh diniatkan
secara mendadak setelah siang hari, selama sejak masuk waktu Subuh belum ada
sesuatu pun yang dimakan ataupun diminumnya. Selain itu hadis ini juga
menunjukkan bahwa anjuran sahur pada shaum sunat tidak sekuat pada shaum wajib.
Dan shaum sunat diperbolehkan dibatalkan kapan pun dikehendaki tanpa
harus meng-qadha ataupun membayar fidyah.
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar