Kita sering mendengar, menyaksikan, atau membaca
tentang perbedaan pendapat antar-ulama (baca; fuqoha) dalam menyikapi suatu
masalah fiqh. Hal tersebut Karena dalam permasalahan fiqh (hukum Islam)
terdapat suatu persoalan yang bersifat ijtihadiayah. Adanya perbedaan
faham/ persepsi terhadap satu msalah sudah terjadi sejak generasi awal seperti
Abdullah bin Mas’ud dengan Ali bin Abi Thalib dalam memahami surat Al-Thalaq: 4
dan surat Al-Baqarah: 234. Atau kita juga akan mendapatkan perbedaan pendapat/ faham
antar ulama fiqh pada generasi-generasi berikutnya seperti Al-Madzahib Al-Arba’ah.
Tidak setiap perbedaan pendapat harus disikapi dengan
‘hitam-putih’ apalagi diposisikan pertentangan antara haq dan bathil.
Sebaliknya, ada perbedaan pendapat yang harus disikpai secara tegas. Maka,
dengan memperhatikan hal ini, dalam tradisi keilmuan Islam diantaranya fiqh
dikenal dua jenis ikhtilaf, yaitu:
1.
Ikhtilaf tanawwu’, yaitu perbedaan pendapat di mana salah satu pendapat
tidak kontradiksi dengan pendapat lainnya, hanya sekedar perbedaan pada ragam
bacaan, ragam pilihan, ragam bilangan.
2.
Ikhtilaf tadhad, yaitu perbedaan pendapat di mana salah satu pendapat
kontradiksi dengan pendapat lainnya. Seperti perbedaan wajib tidaknya qunut,
membaca Al-Fatihah bagi makmum pada shalat jahar.
Dari kedua jenis ikhtilaf di atas, selama berpijak
pada hujjah/ dalil kuat dan tidak menyelisihi dengan nash yang sharih
(jelas makna dan maksudnya) maka ikhtilaf ini bisa ditolerir. Namun sebaliknya,
jika bertentangan dengan hujjah yang kuat, maka ikhtilaf ini bisa dikategorikan
tercela, seperti ikhtilaf tentang ibadah haji boleh dilakukan selain bulan
dzulhijjah, atau tidak wajib menutup aurat, bolehnya menikah dengan sesama
jenis sebagaimana yang “difatwakan” oleh “ahli fiqh” pluralis-liberalis.
Maka dengan adanya ikhtilaf di kalangan fuqoha kita
dituntut untuk husnudzhan kepada mereka, bahwa perbedaan pendapat
tersebut bukanlah atas dasar ingin menyelisihi dengan hujjah yang sharih
atau bukan hanya didasarkan pada ego pribadi (hawa nafsu), tendensi tertentu,
atau motif negatif lainnya, akan tetapi motif ikhtilaf tersebut murni karena
mencintai dan mencari kebenaran serta ridha Allah SWT.
Terjadinya ikhtilaf di kalangan fuqoha Karena perbedaannya
tingkat pemahaman para fuqoha, dan sebagian dari mereka mendapatkan nash dalil
yang tidak didapat fuqoha lainnya, maka dalil yang telah didapat dijadikan
pegangan sedangkan bagi fuqoha lain yang tidak mendapatkan dalil melakukan
ijtihad. Atau terjadinya ikhtilaf dikarenakan qaidah yang digunakan berbeda.
Maka secara ringkas ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
Perbedaan paham tentang masalah fiqh tidak berhenti di
sahabat, tabiin, tabiut tabiin, akan tetapi akan terjadi pada generasi-generasi
berikutnya. Karena memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap
selalu ada, bahkan bisa jadi bertambah banyak (teks dalil yang multi
interpretasi ditambah dengan akal yang berbeda-beda akan melahirkan perbedaan dan
perselisihan pendapat). Nanum warisan yang bisa kita tangkap dari tradisi
diskusi/ intelektual di kalangan fuqoha dalam memecahkan suatu masalah yang
berpotensi bedanya pendapat tidak mengakibatkan terjadinya iftiraq,
permusuhan, dan hal negatif lainnya. Wallahu a’lam bis
shawab.
Oleh Ust. Yadi S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar