Keluarga Hijrah


Mukaddimah

{ إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ } [البقرة: 218]
[2:218] Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu saja memuji orang-orang yang telah berhijrah. Tidak hanya pada ayat ini saja, termasuk pada ayat-ayat yang lain. Mereka dikenal dengan sebutan kaum Muhajirin,  yaitu orang-orang yang telah membuktikan cinta dan pengorbanan mereka untuk berhijrah dari kota Mekkah menuju kota Madinah. Dari kota yang pada saat itu penuh dengan kegelapan, penyiksaan dan penindasan, menuju kota harapan, kota cahaya, Madinah Al Munawwarah.
Kaum Muhajirin sangat pantas mendapatkan pujian ini. Karena hijrah bukanlah hal yang mudah. Hijrah membutuhkan pengorbanan. Tak setiap orang bisa melakukannya. Hanya orang-orang yang diteguhkan imannya yang bisa menjalaninya. Karena setiap orang yang hendak hijrah, mau tidak mau, dia dituntut untuk meninggalkan keluarga yang dicintainya, harta yang disukainya, rumah yang ditinggalinya, bahkan tempat kelahirannya, tempat dimana dia tumbuh kembang, tempat yang senantiasa beralbumkan kenangan-kenangan, tempat membangun cita-cita, dan seterusnya. Semua ini harus ditinggalkan demi satu kata. Hijrah.

Keluarga Hijrah, Abu Salamah dan Istrinya Radhiyallahu ‘Anhuma

Salah satu yang menjadi bagian kaum Muhajirin adalah keluarga Abu Salamah[1]. Abu Salamah dengan istrinya Ummu Salamah[2], beserta anak-anak mereka telah membuktikan cinta mereka terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala melalui hijrah ini. Keluarga Abu Salamah Radhiyallahu ‘Anhu adalah salah satu sosok keluarga hijrah yang harus kita dalami kisahnya serta kita ambil hikmahnya.

Tatkala ada seruan untuk berhijrah ke Madinah, tak butuh waktu lama bagi keluarga hijrah ini untuk berpikir. Mereka pun ingin segera bergegas untuk berhijrah bersama yang lain. Respons yang cepat ini tidaklah aneh bagi mereka. Terutama bagi Abu Salamah Radhiyallahu ‘Anhu. Beliau termasuk orang-orang yang pertama kali merespons untuk masuk Islam pada saat kaum muslimin masih bisa dihitung dengan jari. Pun demikian dengan Ummu Salamah, karena Ummu Salamah pun pernah ikut serta hijrah bersama suaminya ke Habasyah sebelumnya pada saat tekanan dan gangguan begitu hebat dari kaum Quraisy. Di sanalah lahir anak mereka yang pertama, Salamah. Setelah beberapa waktu di Habasyah, mereka kembali lagi ke Makkah. Tak berselang lama mereka berada di Mekkah, seruan hijrah itu kembali tiba. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak penuturan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berikut ini:
“Ketika Abu Salamah berniat hijrah ke Madînah, ia mempersiapkan untanya untukku. Dia membawaku dan anakku[3], Salamah, di atas unta itu. Kemudian membawaku keluar dengan menuntun untanya. Ketika orang-orang Bani al-Mughîrah bin ‘Abdillah bin Amr bin Makhzûm melihatnya, serta merta mereka menyusulnya seraya berseru: ‘Masalah dirimu, itu urusanmu, tetapi bagaimana dengan wanita kami ini? Dengan alasan apa kami membiarkan engkau membawanya?’[4]
Unta sudah disiapkan. Ummu Salamah dan anaknya sudah menunggangi unta. Abu Salamah tengah menuntun untanya. Perjalanan hijrah sudah dimulai. Namun, kisah hijrah mereka tak selalu berjalan mulus. Dalam hijrah pasti ada halangan dan rintangannya. Keluarga besar Ummu Salamah tidak membiarkannya untuk ikut suaminya berhijrah.
Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha melanjutkan kisahnya: “Lalu Bani al-Mughîrah merebut tali kekang unta dari tangan Abu Salamah dan merebutku darinya (termasuk anak yang digendong Ummu Salamah).”
Keluarga besar Ummu Salamah berhasil merebut tali kekang unta Abu Salamah dan mengambil istri dan anaknya.

Antara Hijrah atau Keluarga

Tak banyak yang bisa dilakukan oleh Abu Salamah. Sudah tak ada lagi peluang untuk mengikutkan istrinya, termasuk anaknya, disebabkan hadangan tadi. Sembari di saat yang sama, istrinya, Ummu Salamah hanya bisa menangis menyaksikan takdir ini berjalan di kehidupannya. Abu Salamah sangat mencintai istri daan anaknya. Namun, perintah Allah dan RasulNya di atas segalanya. Maka, dengan berat hati Abu Salamah berangkat menuju Madinah sendirian; Ummu Salamah kembali ke keluarga besarnya, Bani al-Mughîrah; Dan anak mereka bersama keluarga besar Abu Salamah di Bani Abdil Asad. Miris. Keluarga ini terpisah karena satu kata. Hijrah.

Pilihan Itu…

Bayangkan pengorbanan mereka! Hari ini. Siapa yang sudi meninggalkan istri dan anaknya karena sesuatu hal. Mana yang akan kita pilih jika kita dihadapkan dengan pilihan berat ini? Apakah kita akan memilih istri dan anak kita, atau kita akan memilih Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Hanya iman kita yang bisa menjawabnya

Anak yang Menjadi Korban

Mendengar kabar Abu Salamah dipisahkan dari istri dan anaknya, keluarga dekat Abu Salamah, Bani ‘Abdil-Asad tidak bisa menerima perlakuan keluarga Ummu Salamah terhadap kerabat mereka, Abu Salamah. Mereka melayangkan protes keras kepada Bani al-Mughîrah Mereka mendatangi keluarga Ummu Salamah, lalu berkata,
 “Mereka berkata: ‘Demi Allah, kalian boleh mengambil putri kalian (Ummu Salamah), tetapi kami tidak akan membiarkan cucu kami bersama kalian (Salamah).”
Keberadaan anak ini yang saat itu tengah digendong ibunya, Ummu Salamah, tak pelak anak ini menjadi rebutan antara keluarga besar Abu Salamah yang ingin membawanya, dengan keluarga besar Ummu Salamah yang ingin mempertahankannya. Tangan anak itu ditarik-tarik. Pada akhirnya, keluarga besar Abu Salamah berhasil mendapatkan anak itu, meski akibat dari perebutan itu sangatlah fatal, karena tangan anak itu cedera.

LDR

Qadarullah berjalan atas mereka. Mereka harus terpisah karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan mereka harus menjalani a long-distance relationship, hubungan jarak jauh, namun tanpa alat komunikasi apapun. LDR mereka lebih kepada ikatan batin. Saling setia satu sama lain. Berat? Sudah pasti. Tapi inilah tuntutan berislam. Berani berislam, harus berani berkorban. Bahkan, termasuk pada saat harus jauh dari pasangan dan anak yang dicintai.

Rindu yang Tak Tertahankan

Selepas sang suami berangkat hijrah, Ummu Salamah pergi ke al-Abthah. Hari-hari yang dilalui oleh Ummu Salamah di sana terasa begitu mencekam. Tanpa suami. Tanpa anak. Tanpa kejelasan status. Suami tak ada, janda pun bukan. Tanpa komunikasi. Tanpa BBM. Tanpa WA. Tanpa SMS. Nyaris beban hidup itu ditanggung sendirian. Oleh karena itu, tak ayal Ummu Salamah menghabiskan hari-hari dengan menyendiri duduk di suatu lembah sembari menangis dan berharap keajaiban akan kedatangan sang suami dan anaknya. Di sanalah ia menumpahkan kesedihannya. Mengobati rindunya. Menghadapkan wajah ke arah yang ia duga Abu Salamah dan anaknya akan datang dari arahnya.
Inilah kerinduan seorang istri yang setia yang tidak pernah mampu untuk mengakhiri kisah cintanya kepada sang suami dan anaknya. Bukan satu atau dua hari. Setahun. Ia begitu sabar menunggu. Begitu rela menanti.  Cintanya terhadap sang suami dan sang anak tak pernah padam, meski jarak memisahkan. Tanpa surat. Tanpa kabar.

Buah Kesabaran

Kurang lebih setahun, Ummu Salamah melakukan hal tadi. Hatta ada salah seorang anak pamannya yang merasa iba kepadanya, lalu ia pun berkata kepada Bani al-Mughîrah: “Tidakkah kalian melepaskan wanita malang ini? Kalian telah memisahkannya dengan anak dan suaminya”.
Maka, keluarga besarnya pun merasa iba dengan apa yang dialami Ummu Salamah. Mendengar penuturan ini, lalu Bani al-Mughîrah mengatakan kepada Ummu Salamah: “Jika engkau mau, susullah suamimu?”
Selain keluaraga besar Ummu Salamah ini mengizinkannya untuk menyusul suaminya, mereka pun mengambil Salamah dari keluarga Bani Abdul Asad untuk dibawa Ummu Salamah ke Madinah. Akhirnya Ummu Salamah dan putranya melakukan perjalanan menuju ke Madinah.
Inilah jawaban untuk semua kegundahan Ummu Salamah. Inilah buah kesabaran yang manis hasil dari pohon kisah yang pahit. Inilah pelajaran mahal bagi kita bahwa jika kita meninggalkan sesuatu karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dia yang Maha Kuasa akan senantiasa menggantinya dengan surprise-surpriseNya. Sesekali Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mencampakkannya.

Utsman Bin Thalhah

Saat Ummu Salamah dan anaknya hijrah, di tengah perjalanan, ketika Ummu Salamah baru sampai di daerah Tan’im, Ummu Salamah berjumpa dengan ‘Utsmân bin Thalhah bin Abu Thalhah bin Abi Thalhah. Utsman bin Thalhah adalah kerabat Ummu Salamah dari Bani ‘Abdu Ad-Dar. Setelah mengetahui tujuan Ummu Salamah, Utsman merasa tidak tega membiarkan Ummu Salamah dan putranya yang masih kecil pergi sendirian.
Oleh karena itu, Utsman pun memegang tali kendali unta Ummu Salamah dan mengantarkannnya  hingga sampai di Madinah. Padahal ketika itu Utsman masih seorang yang kafir. Utsman memeluk agama Islam saat terjadi Perjanjian Hudaibiyah.
Ummu Salamah sangat berterima kasih kepada Utsman dan memuji kebaikkannya. Ummu Salamah memandang  Utsman sebagai lelaki Arab yang berakhlak mulia. Hal itu terbukti dalam perjalanan menuju Madinah tersebut. Ketika mereka berhenti untuk istirahat, Utsman membantu Ummu Salamah dan putranya, turun dari unta. Saat beristirahat, Utsman menjauh dari Ummu Salamah. Setelah selesai beristirahat, ia mempersiapkan unta, termasuk memasang peralatan yang diperlukan.
Kemudian, ia menjauh dari unta dan meminta Ummu Salamah menaiki unta. setelah Ummu Salamah dan putranya diatas unta, Utsman kembali mendekati unta. Ia  memegang tali unta dan menuntunnya untuk melanjutkan perjalanan. Itulah kebaikan Utsman bin Abu Thalhah.

Pertemuan Itu

Saat ‘Utsman melihat perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Aud di Quba’, dia berkata: “Suamimu berada di kampung ini. Masuklah dengan barakah dari Allah!” Kemudian ‘Utsmân bin Thalhah pun kembali ke Makkah. Akhirnya Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma bisa berkumpul lagi dengan Abu Salamah.
Akhirnya, Abu Salamah, Ummu Salamah, dan putra mereka dapat berkumpul kembali. Mereka hidup bahagia di Madinah. Setelah beberapa waktu, mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Umar, Durrah, dan Zainab
Inilah sekelumit kisah keluarga yang berhasil membuktikan kesetiaan dan kecintaan mereka terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan hijrah. Inilah bukti Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pada akhirnya, mereka bisa bersua sesuai yang dijanjikanNya.
Lalu, bagaimanakah dengan keluarga kita hari ini?  Sekian. Wallahu A’lam Bishshawab.

Oleh Ust. Ade Abdullah





[1] Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdillah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’ab. Beliau adalah saudara sesusu dan sepupu Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam. (Siyar A’lam Nubala’, Karya Imam Adz Dzahabiy I:150)
[2] Dia adalah Hindun binti Abi Umayyah bin al-Mughîrah bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzûm. Dia berhijrah ke Habasyah lalu ke Madînah. Ketika suaminya, Abu Salamah bin ‘Abdil-Asad sudah meninggal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya. (al-Ishâbah, Karya Imam Ibnu Hajar, VIII:150). Al-Waqidi menyebutkan, beliau Radhiyallahu anhuma wafat pada usia 84 tahun.
[3] Pada saat itu mereka baru memiliki seorang anak, Salamah. Dari pernikahannya dengan Ummu Salamah, ia mempunyai empat anak. Selain Salamah, anak lainnya adalah Umar, Durah, dan Zainab. Zainab ini masih di dalam kandungan ketika Abu Salamah wafat.
[4] As-Siratun-Nabawiyatush-Shahîhah, karya DR. Akram Dhiya’ Al Umry, II:202

Tidak ada komentar:

Posting Komentar