Header Ads

  • NEWS UPDATE

    Fiqih Banjir (Bagian II-Tamat)



    Setelah kita diajak berdialog oleh Al-Quran tentang manfaat air hujan, dan kita menemukan jawaban bahwa air hujan bukan sebagai penyebab banjir, maka pencarian penyebab itu kita lanjutkan dengan memperhatikan pandangan Al-Quran tentang bencana pada umumnya dan banjir pada khususnya.
    Untuk memaknai peristiwa atau malapeta yang kita kenal sebagai bencana, Al-Quran menggunakan kata mushiibah. Ini paling tidak terlihat dalam bentuk fi’il madhi (verba perfektif atau aspek yang menggambarkan perbuatan selesai), yaitu ashaaba seperti tercantum pada surah  Ali Imran: 146; dalam bentuk fi’il mudhari (verba imperfektif atau aspek yang menggambarkan perbuatan belum selesai), yaitu yushiibu seperti tercantum pada surah ar-Ra’du: 31; dan dalam bentuk isim mashdar (nomina verbal), yaitu mushiibah, seperti tercantum pada surah at-Taubah: 50.
    Selain kata ini, Al-Quran menggunakan kata lain yang berkonsep bencana. Sedikitnya ada delapan kata yang kemudian dipadankan dengan bencana. (1) kata zhulumaat (bentuk plural dari zhulmah), seperti terdapat pada surah al-‘An’am: 63. (2) kata al-kubar, seperti terdapat pada surah al-Mudatsir: 35. (3) kata al-karb, seperti terdapat pada surah Al-An’am: 64, Al-Anbiya: 76, as-Shafaat: 76 & 115. (4), kata su', seperti terdapat pada surah al-Ahzab: 17. (5) kata nailan, seperti terdapat pada surah at-Taubah: 120. (6) kata 'adzab, seperti terdapat pada surah at-Taubah: 26. (7) kata sayyi'ah (bentuk tunggal), seperti terdapat pada surah Ali Imran: 120, an-Nisa: 78-79. Kata sayyi'at (bentuk jamak), seperti terdapat pada surah al-A’raf : 168. (8) kata da'irah, seperti terdapat pada surah al-Maidah: 52.
    Namun demikian, kata mushibah-lah yang paling banyak dipergunakan sebagai pengganti konsep bencana dalam bahasa Indonesia. Kata itu sendiri sedikitnya terdapat pada 50 ayat di dalam Al-Quran. Kelima puluh ayat itu dikelompokkan menjadi 16 tema.

    Hanya saja kata mushibah berikut derivasi dan infleksinya yang terdapat di Al-Quran itu tidak selalu mengacu pada konsep bencana alam. Kata mushibah dalam Al-Quran itu mengacu pada definisi kata ini dalam bahasa Arab. Konsepnya lebih luas daripada kata bencana alam, karena musibah apa pun meskipun skala dan efeknya kecil tetap saja bisa disebut mushibah, yang tentu saja dalam bahasa Indonesia tidak bisa disebut bencana alam.

    Ujian atau Siksa?
    Pertanyaan ini selalu saja menarik peneliti yang mengkaji tema bencana alam dalam tinjauan agama apa pun. Dalam Islam pun, pertanyaan ini juga banyak muncul. Kesan ini pun tercermin dalam beberapa ayat Al-Quran. Sejauh pengamatan kami, Al-Quran mengelompokkan bencana menjadi dua kelompok ini. Pertama, kelompok bencana yang menjadi ujian, terdapat setidaknya pada surah Ali Imran: 165. Kedua, kelompok bencana yang menjadi siksa yang diakibatkan tidak beriman, perilaku zalim, dan maksiat. Dengan perincian sebagai berikut: (a) Bencana akibat tidak beriman, terdapat pada surah Ar-Ra'd: 31. (b) Bencana akibat perilaku zalim, terdapat pada surah Ali Imran: 117. (c) Bencana akibat perilaku maksiat, terdapat pada surah Al-A'raf: 165.
    Pada ayat-ayat di atas parameternya sangat jelas, mana bencana yang menjadi ujian dan mana bencana yang menjadi siksa. Bila bencana itu diakibatkan karena kesalahan yang tidak disengaja, maka bencana itu menjadi ujian bagi pelakunya, untuk kemudian mengukur seberapa besar kadar keimanannya. Sebaliknya, bila bencana itu diakibatkan oleh perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman, maka bencana itu menjadi siksa.
    Namun, bila yang dimaksudkan bencana alam, maka Al-Quran selalu mengelompokkannya ke dalam bencana yang menjadi siksa dan berkait dengan perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman. Ada enam bencana alam yang disinggung dalam Al-Quran: (1) gempa (QS Al-An'am:65, Al-A'raf : 78 & 155, Al-Ankabut: 37); (2) angin topan (QS Al-Fath: 4, Al-Ahqaf: 24, Fushshilat: 16, Al-Isra: 69, Al-Ahzab: 9, Al-Qamar: 19 & 34, Al-Isra: 68, Al-Haqqah: 6 & 7, Adz-Dzariyat: 41 & 42; (3)  petir (Asy-Syura: 13, An-Nisa: 153 & 155, Al-Kahf: 40, Fushshilat: 17, Adz-Dzariyat: 44, Al-Haqqah: 5), (4) hujan batu (An-Naml: 58, Al-Furqan: 40, Asy-Syu’ara: 173, Al-A'raf: 84, Al-Ankabut: 40; (5) paceklik dan kelaparan (QS Al-Mukminun: 75, Al-A'raf: 130, At-Thur: 47, An-Nahl: 112, Ad-Dukhan: 10).
    Sementara terkait dengan banjir, secara khusus Al-Quran menginformasikan pada beberapa ayat berikut:
    فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ
    "Tetapi mereka berpaling, Kami pun datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl, dan sedikit dari pohon Sidr," (QS Saba' [34]: 16).

    فَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ أَنِ اصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا فَإِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ فَاسْلُكْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ مِنْهُمْ وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ
    "Lalu Kami wahyukan kepadanya, 'Buatlah bahtera di bawah pantauan dan petunjuk Kami. Lalu, apabila perintah Kami telah datang dan tanur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan," (QS Al-Mukminun [23]: 27).

    وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ
    "Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Dia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun, lalu mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim," (QS Al-Ankabut [29]: 14).

    Menurut Imam Al-Qurthubi, kandungan Saba' [34]: 16 terkait dengan kaum Saba' yang mengingkari nikmat Tuhan. Banjir itu sebagai akibat atas ketidakberiman mereka pada Zat yang memberi nikmat. Banjir besar itu sendiri disebabkan oleh runtuhnya bendungan Ma'rib. Tanur yang disebutkan pada Al-Mukminun [23]: 27 adalah semacam alat pemasak roti yang diletakkan di dalam tanah terbuat dari tanah liat. Biasanya, tidak ada air di dalamnya. Terpancarnya air di dalam tanur itu menjadi tanda bahwa banjir besar akan melanda negeri itu. Informasi pada Al-Mukminun [23]: 27 itu dilengkapi oleh Al-Ankabut [29]: 14 bahwa banjir itu diakibatkan perilaku tidak beriman kaum Nuh terhadap kenabian Nuh (Noah).
    Kandungan ayat-ayat di atas sangat jelas menunjukkan bahwa berbagai bencana alam pada umumnya dan banjir pada khususnya—yang diinformasikan dalam Al-Quran—berkaitan dengan siksa sebagai akibat perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman. Kandungan itu sekaligus membantah pandangan yang menyatakan bahwa bencana alam yang terjadi murni akibat gejala alam semata. Pasalnya, bencana alam selalu berkaitan erat dengan perilaku maksiat, zalim, dan tidak beriman yang berbuah siksa. Gejala alam memang ada, tetapi itu bukan satu-satunya. Ada kesalahan yang kita buat baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa, sehingga Allah melalui alam sebagai makhluk-Nya menunjukkan kekuatan-Nya. Kesalahan yang diperbuat manusia sebagai penyebab bencana ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran:
    ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
    “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum:41)

    Kata zhahara pada asalnya berarti terjadinya sesuatu di permukaan bumi. Sehingga, karena dia dipermukaan, maka menjadi nampak dan terang serta diketahui dengan jelas. Sementara kata Al-Fasaad, menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani, antonim (kata yang berlawanan) dari Shalaah. Al-Fasaad berarti keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan untuk menunjuk apa saja, baik jiwa, jasmani, maupun hal-hal lain. (Lihat, Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, hal. 636)
    Ayat di atas menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya fasad itu. Ini dapat dimaknai bahwa daratan dan lautan menjadi arena kerusakan, yang berakibat terjadinya ketidakseimbangan ekologis. Sehubungan dengan itu, Ibnu Abbas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Barr dapat berupa tanah kosong atau hutan belantara, sementara Al-Bahr mengacu pada kota-kota yang berada di bantaran sungai. (Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, VI:319)
    Dari pernyataan Ibnu Abbas dapat dimaknai bahwa kemaksiatan manusia menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan baik di hulu maupun di hilir. Kemaksiatan itu dapat berupa pelanggaran tata ruang, pembangunan yang kurang memperhatikan lingkungan, seperti hutan lindung yang asalnya sebagai daerah resapan air diubah menjadi “hutan beton”. Demikian pula daerah rawa diubah menjadi pemukiman beton. Dalam konteks banjir, kerusakkan itu telah mengganggu proses siklus air yang telah dijelaskan diawal. Sehingga pada saat tanah telah mengalami kerusakan, maka daya serapnya semakin berkurang, lalu semakin banyak air yang terlimpas di permukaan dan semakin sedikit air yang diserap tanah. Dengan perkataan lain, curah hujan yang seharusya masuk ke dalam tanah antara 75% - 85%  dan mengalir di permukaan tanah antara 25% - 15% justru yang terjadi malah sebaliknya, sehingga terjadilah bencana banjir pada musim hujan dan bencana kekeringan pada musim kemarau.
    Apabila kemaksiatan itu tidak segera dicegah, maka dampak bencana ini tidak saja menimpa pelaku kemaksiatan namun juga mereka yang tidak berbuat maksiat. Bahkan, bisa jadi pelaku itu sendiri tidak mendapat dampak apapun, sementara orang lain yang kena getahnya. Sehubungan dengan itu Allah telah memberi peringatan:
    وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
    “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfal:25)

    Ayat ini diperjelas oleh Nabi saw. melalui sabdanya, sebagaimana dilaporkan oleh Ummu Salamah, istri Nabi saw. ia berkata, “Aku mendengar Nabi saw. bersabda:
    إِنَّ السُّوءَ إِذَا فَشَا فِي الأَرْضِ فَلَمْ يُتَنَاهَ عَنْهُ أَرْسَلَ اللَّهُ بَأْسَهُ عَلَى أَهْلِ الأَرْضِ قَالَتْ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، وَفِيهِمُ الصَّالِحُونَ ؟ قَالَتْ : قَالَ : نَعَمْ ، وَفِيهِمُ الصَّالِحُونَ يُصِيبُهُمْ مَا أَصَابَ النَّاسَ ثُمَّ يَقْبِضُهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى مَغْفِرَتِهِ وَرِضْوَانِهِ أَوْ إِلَى رِضْوَانِهِ وَمَغْفِرَتِهِ
    “Sesungguhnya kejahatan bila telah merajalela di muka bumi lalu tidak dicegah, maka Allah akan menurunkan siksa-Nya kepada penduduk bumi.” Ia (Ummu Salamah) berkata, "Aku bertanya, ‘Ya Rasululah, walaupun di kalangan mereka masih ada orang-orang shaleh?” Rasul menjawab, "Ya, walaupun di kalangan mereka masih ada orang-orang shaleh. Dia akan menimpakan kepada mereka apa yang menimpa kepada orang-orang, lalu Allah akan melepaskan mereka menuju ampunan dan keridaan-Nya atau menuju keridaan dan ampunan-Nya.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 44:148, No. hadis 26.527)

    Sehubungan dengan itu, jika penanganan banjir selama ini hanya terfokus pada masalah teknis dan sarana fisik semata, maka sampai kapan pun masalah banjir tidak akan dapat teratasi. Pasalnya, cara-cara itu hanya akan menyentuh “bagian kulit” saja, tak ubahnya mengoleskan obat gosok sebagai penyembuh sesaat, sementara akar permasalahannya—yang jauh berada pada “bagian dalam”—sama sekali kurang mendapat perhatian,  yaitu kemaksiatan manusia terhadap alam.
    Demikianlah sebagian kecil pandangan Al-Quran dan Sunnah mengenai banjir. Bila sikap kita salah dalam menanggapi Al-Quran dan Sunnah, apalagi cenderung mengabaikan, maka petaka akan selalu datang seperti yang terjadi pada jaman para nabi dahulu. Al-Quran ibarat guruh dan kilat, dia adalah kabar gembira (basyiran) sekaligus pemberi peringatan (nadziran).


    Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    trikblog.co.cc