Hakikat Silaturahmi
Apa yang terbayang dalam pikiran
kita ketika mendengar kata silaturrahmi? Di Indonesia sering kita temui kata
silaturahmi sebagai kata yangg menggambarkan aktivitas hubungan antar sesama
manusia. Aktivitas yg dimaksud adalah aktivitas saling mempererat tali
persaudaraan dan kekerabatan. Lebih sempit lagi aktivitas itu dimaknai saling
berkunjung dan berjabat tangan. Benarkah demikian? Apabila sikap ini dianggap
salah satu bentuk dari silaturrahmi, hal itu tidak salah. Tapi bila
silaturrahmi diartikan demikian, maka jelas tidak tepat.
Kata ini kian populer menjelang dan
selama bulan Syawal, saat idul Fitri, meski kata ini juga sering digunakan
dalam hal-hal lainnya. Sehubungan dengan itu untuk memahami hakikat dari
silaturrahmi kita kaji kembali keterangan Alquran dan sunah.
Dasar Pensyariatan Silaturrahmi
Silaturahim/Silaturrahmi termasuk
akhlak yang mulia. Dianjurkan dan diseru oleh Islam. Diperingatkan untuk tidak
memutuskannya. Allah Swt. telah menyeru hambanya berkaitan dengan menyambung
tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat di Alquran, antara lain:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ
بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
Dan orang-orang yang menghubungkan
apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada
Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (Q.S. Ar-Ra’du:21)
Imam al-Qurthubi menerangkan bahwa
ayat ini menjadi dalil diperintahkannya mengadakan hubungan silaturahim.
Demikian pula seruan Rasululullah
saw. dalam hadis-hadisnya, antara lain:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ
الله صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَومِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ مُتَّفَقٌ
عَلَيهِ
Dari Abu Huraerah, sesungguhnya
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
hendaklah ia menghormati tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, hendaklah ia hubungkan silaturahmi. Barangsiapa beriman kepada Allah dan
Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (Muttafaq
‘Alaih, Shahih al-Bukhari, V:2376, No. 6111; Shahih Muslim, I:68, No. 47)
Pengertian Silaturahmi atau
Silaturahim
Masyarakat Indonesia “tampaknya”
sangatlah kreatif, di Arab menggunakan silaturahim, Indonesia memudahkan dengan
silaturahmi. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, Silaturahmi artinya tali
persahabatan (persaudaraan). (hal. 1204)
Sedangkan dalam bahasa Arab,
shilaturahmi berasal dari dua kata, yakni Shilah dan Rahm. Adapun
shilaturahim dari kata shilah dan rahim. Kata shilah dapat
dimaknai dari dua aspek:
Pertama, alat.
Maknanya adalah
مَا يُوْصَلُ بِهِ الشَّيْئُ
“Sesuatu yang menghubungkan sesuatu”
Kedua, aksi atau
perbuatan. Maknanya adalah
فِعْلُ مَا يُعَدُّ بِهِ الإِنْسَانُ
وَاصِلاً
“Membuat/melakukan sesuatu yang
denganya manusia dianggap tetap berhubungan”
Sedangkan secara istilah, kata Ibnu
Hajar al-Haitsami:
الصِّلَةُ إِيْصَالُ نَوْعٍ مِنَ الإِحْسَانِ
“As-Shilah adalah
menghubungkan/menyampaikan suatu jenis kebaikan” (Lihat,
al-Zawajir, II:65, al-Bahr ar-Raiq, VIII:508, Nihayah al-Muhtaj, V:419, Mughni
al-Muhtaj, II:405)
Adapun kata ar-Rahim, ar-Rahm,
dan ar-Rihm mempunyai huruf penyusun yang sama (ra-ha-mim).
Secara hakikat bahasa memiliki arti yang sama, yaitu:
بَيْتُ مَنْبَتِ الْوَلَدِ وَوِعَاؤُهُ
“Rumah” dan “wadah” tempat
pertumbuhan anak”
Dalam Kamus Fiqh (I:145) disebutkan
bahwa secara fungsional ar-Rahim adalah tempat pembentukan janin. Dan
secara fisikal (anatomi) tempatnya dekat perut.
Sedangkan secara majazi (arti
kiasan) maknanya “kerabat”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ar-rahim secara
umum adalah dimaksudkan untuk para kerabat dekat. Antar-mereka terdapat garis
nasab, baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak”. (Lihat,
Fathul Bari, X:414)
Meskipun demikian, ketika
dihubungkan dengan kata shilah, yang populer dalam bahasa Arab adalah
shilaturrahim. Sedangkan di Indonesia silaturrahmi. Karena itu, penggunaan
ungkapan silaturahmi tidak dapat dikatakan sebagai “kesalahkaprahan”, karena
memiliki rujukan dalam bahasa Arab.
Dari berbagai keterangan di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa Silaturrahim, secara penggunaan bahasa
sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir adalah kinayah (kiasan) tentang
berbuat baik kepada para kerabat dekat -baik menurut garis keturunan maupun
perkawinan- berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka
(Lihat, an-Nihayah fi Gharibil Hadits, V:425)
Keterangan:
Secara bahasa, kinayah
berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukkan arti yang lain. Secara syar’i
yang dimaksud dengan kinayah ialah suatu lafal yang tertutup maksudnya
oleh lafal itu sendiri, ia tidak dapat dipahami kecuali ada qarinah
(petunjuk) yang dapat menjelaskan maksudnya baik maksud tersebut secara hakiki
maupun secara majazi. (Lihat, Ushul Fiqh al-Islami, I:309)
Adapun secara istilah syar’i
(Islam) silaturahmi pada hakikatnya bukanlah sekedar hubungan nasab, Ibnu Abu
Jamrah (w. 695 H) berkata:
صِلَةُ الرَّحِمِ هُوَ إِيْصَالُ مَا
أَمْكَنَ مِنَ الْخَيْرِ وَدَفْعُ مَا أَمْكَنَ
مِنَ الشَّرِّ بِحَسْبِ الطَّاقَةِ
“Silaturrahmi adalah menyampaikan
kebaikan semaksimal mungkin dan menolak kejelekan semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuan” (Lihat, Fathul Bari, X:418)
Dari definisi ini kita mendapatkan
ilmu bahwa silaturrahmi itu memiliki makna yang luas dan bentuk yang beragam,
di antaranya diterangkan oleh Rasululullah saw. sebagai berikut.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
سِتٌّ: إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ, وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ
فَانْصَحْهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا
مَاتَ فَاتْبَعْهُ
“Dari Abu Hurairah, ia berkata,
‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Hak muslim atas muslim itu enam; Apabila bertemu
dia hendaklah beri salam kepadanya, apabila ia mengundangmu hendaklah penuhi
dia, apabila ia bersin lalu mengucapkan alhamdulillah hendaklah kamu doakan
dia, apabila sakit hendaklah kamu jenguk dia, dan apabila ia meninggal
hendaklah kamu mengantar jenazahnya” (H.R. Muslim, Shahih Muslim,
IV:1705, No. 2162)
Hadis di atas menjelaskan beberapa
bentuk silaturrahmi:
1. Mengucapkan
salam kepada sesama muslim apabila berjumpa dan berpisah.
2. Memenuhi
undangan ketika diundang oleh orang lain.
3. Mendoakan
orang bersin bila ia mengucapkan Alhamdulillah.
4. Menjenguk
orang yang sakit.
5. Mengantar jenazah orang mukmin yang
meninggal.
Penjabaran silaturrahmi dalam bentuk
saling mendoakan ketika bersin dijelaskan dalam hadis lain sebagai berikut.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: أَلْحَمْدُ
للهِ وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوْهُ: يَرْحَمُكَ اللهُ
فَإِذَا قَالَ لَهُ: يَرْحَمُكَ اللهُ فَلْيَقُلْ لَهُ: يَهْدِيْكُمُ اللهُ
وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.
beliau bersabda, ‘Apabila salah seorang di antara kamu bersin, maka ucapkanlah:
al-hamdulillah (segala puji bagi Allah). Dan hendaklah saudaranya mengucapkan:
yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu). Maka hendaklah dia (orang yang
bersin) mengucapkan: Yahdikumullah wayuslihu balakum (semoga Allah memberi
petunjuk kepadamu dan membereskan urusanmu)” (H.R. Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, V:2298, No. 5870; Ahmad, Musnad Ahmad, I:120, No. 973)
Demikian pula termasuk bentuk
silatarurahmi adalah saling tolong-menolong dalam kebaikan.
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مِنْ اسْتَعَاذَكُمْ بِاَللَّهِ فَأَعِيذُوهُ
وَمَنْ سَأَلَكُمْ بِاَللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ أَتَى إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَادْعُوا لَهُ أَخْرَجَهُ
اَلْبَيْهَقِيُّ
“Nabi bersabda, “Siapa yang meminta
perlindungan kepadamu dengan (nama) Allah, hendaklah kamu melindunginya. Dan
siapa yang meminta sesuatu kepadamu dengan (nama) Allah, hendaklah kamu memberinya. Dan siapa yang berbuat suatu
kebaikan kepadamu, hendaklah kamu balas; jika tidak ada,doakanlah dia” (H.r. Abu Dawud, Sunan Abu
Dawud, IV:328, No. 5109; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:199, No. 7679; Abu
Dawud ath-Thayalisi, Musnad ath-Thayalisi, I:257, No. 1895; Ibnu Hiban, Shahih
Ibnu Hiban, VIII:199, No. 3408)
Fadhilah (Khasiat/Efek)
Silaturahmi
Di dalam hadis diterangkan bentuk fadhilah
(khasiat/efek posistif) dari Silaturahmi, sebagai berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ
وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
“Dari Abu Huraerah, ia berkata,
“Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa ingin diluaskan rezekinya dan
dimakmurkan usianya, hendaklah ia
bersilaturrahmi’.” (H.R. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, V:2232, No.
5640; Muslim, Shahih Muslim, IV:1982, No. 2557)
Penjelasan:
Makna diluaskan rizkinya
Rizqi bukan hanya berbentuk harta,
tapi meliputi pula ilmu dan kehormatan. Arti diluaskan rizqi itu tidak selalu
berarti bertambah nominal hartanya, tetapi bisa pula bertambah peluangnya,
semakin bertambah relasinya, semakin
luas lahannya.
Makna dipanjangkan umurnya
Tidak berarti umur hidupnya jadi
panjang, tetapi banyak berkah didalam umurnya dengan sebab taufiq untuk
melaksanakan ketaatan dan bermanfaat di akhirat, sehingga terus dikenang dan
didoakan oleh setiap orang yang masih hidup walaupun dia sudah meninggal. Intinya
sebagaimana dalam hadis Nabi: Apabila seseorang mati terputus segala amalnya
kecuali dari 3 perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, anak shaleh
yang mendoakannya.
Dalam hadis lain diterangkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ
بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي
الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ
“Dari Abu Huraerah, dari Nabi saw.,
beliau bersabda, “Pelajarilah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa
menyambung silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturrahim adalah kecintaan
terhadap keluarga, penyebab banyak harta dan bertambahnya usia” (H.R.
at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, IV:351, No. 1979; Ahmad, Musnad Ahmad, II:374,
No. 8855; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, IV:178, No. 7284, dengan
sedikit perbedaan redaksi, dan redaksi di atas riwayat at-Tirmidzi).
Kata at-Tirmidzi:
مَعْنَى قَوْلِهِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ
يَعْنِي بِهِ الزِّيَادَةَ فِي الْعُمُرِ
“Sabdanya: ‘Mansa’ah fi al-Atsar
bermakna bertambahnya usia.” (Lihat, Sunan at-Tirmidzi,
IV:351)
Sementara efek negatif bagi yang
tidak bersilaturrahim, disabdakan Nabi saw. sebagai berikut:
لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ يَعْنِي: قَاطِعَ رَحِمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Tidak akan masuk surga seorang
pemutus, yakni pemutus rahim.” (Muttafaq ‘Alaih, Shahih
al-Bukhari, V:2232, No. 5638; Muslim, Shahih Muslim, IV:1982, No. 2556)
Kata Imam ath-Thabari, pemutus
silaturahmi yang dimaksud pada hadis di atas ialah orang yang memutuskan
hubungan dengan orang lain dalam bentuk memusuhinya dan enggan menunaikan
hak-hak orang lain itu. (Lihat, Syarh Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Bathal,
IX:203)
Sementara dalam hadis lain
dijelaskan dampak sosial dari pemutusan silaturahim itu, sebagai berikut.
إِنَّ الرَّحْمَة لَا تَنْزِل عَلَى
قَوْم فِيهِمْ قَاطِع الرَّحِم
“Sesungguhnya rahmat tidak akan
turun kepada suatu kaum yang di kalangan mereka terdapat orang yang memutuskan
siilaturrahim.”
Kata Ibnu Hajar, “Hadis ini
diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad. At-Thibi
berkata.
أَنَّهُ يُحْتَمَل أَنْ يُرَاد بِالْقَوْمِ
الَّذِينَ يُسَاعِدُونَهُ عَلَى قَطِيعَة الرَّحِم وَلَا يُنْكِرُونَ عَلَيْهِ وَيُحْتَمَل
أَنْ يُرَاد بِالرَّحْمَةِ المَطَر وَأَنَّهُ يُحْبَس عَن النَّاس عُمُومًا بِشُؤْمِ
التَّقَاطُع
“Yang dimaksud dengan kaum pada
hadis itu ialah mereka yang membantunya dalam memutuskan silaturrahim dan
mereka tidak mengingkarinya, dan rahmat yang dimaksud ialah hujan. Hujan itu
akan ditahan, tidak turun kepada manusia secara umum disebabkan tragedy pemutusan
silaturrahim.”
(Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, X:415)
Kesimpulan
Memaknai silaturahim secara benar,
membutuhkan kesungguhan tekad dan bukti amal. Kita tidak hanya merekayasa
gerak-gerik tubuh, tetapi dituntut menata hati agar memiliki kekuatan untuk
berbuat lebih bermutu. Sikap mental yang harus dilatih agar punya kemampuan
silaturahim secara utuh.
Oleh: Ust.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar