Hukum Berjabat Tangan Antara Lelaki dan Wanita Bukan Mahram
Rasulullah saw. sebagai panutan kita, tak
pernah mencontohkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Bahkan
beliau mengharamkan seorang lelaki menyentuh wanita yang tidak halal baginya,
sebagaimana diterangkan oleh Ma’qil bin Yasar bahwa beliau bersabda:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ
أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ
تَحِلُّ لَهُ
“Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum
dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal
baginya.” (HR.
Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabiir, XX:211, No. hadis 486)
Syekh Al-Albani berkata, “Dalam hadis
ini terdapat ancaman yang keras bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak
halal baginya. Dan juga merupakan dalil haramnya berjabat tangan dengan para
wanita, karena jabat tangan tanpa diragukan masuk dalam pengertian menyentuh.
Sungguh kebanyakan kaum muslimin di zaman ini ditimpa musibah dengan kebiasaan
berjabat tangan dengan wanita. Di kalangan mereka ada sebagian ahlul ilmi,
seandainya mereka mengingkari hal itu hanya di dalam hati saja, niscaya
sebagian perkaranya akan menjadi ringan, namun ternyata mereka menganggap halal
berjabat tangan tersebut dengan beragam jalan dan takwil. Telah sampai berita
kepada kami ada seorang tokoh besar di Al-Azhar berjabat tangan dengan para
wanita dan disaksikan oleh sebagian mereka. Hanya kepada Allah Swt. kita
sampaikan pengaduan dengan asingnya ajaran Islam ini di tengah pemeluknya
sendiri. Bahkan sebagian organisasi-organisasi Islam berpendapat bolehnya jabat
tangan tersebut. Mereka berargumen dengan apa yang tidak pantas dijadikan
dalil, dengan berpaling dari hadits ini dan hadits-hadits lain yang secara
jelas menunjukkan tidak disyariatkan jabat tangan dengan kaum wanita
non-mahram.” (Lihat, Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahiihah, I:
448-449)
Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya."
Dalam membaiat para shahabat wanita pun,
Rasulullah saw. tidak menjabat tangan mereka, hal itu sebagaimana dijelaskan
oleh Aisyah Ra.:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْتَحِنُ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ بِهَذِهِ اْلآيَةِ بِقَوْلِ اللهِ تَعَالَى (ياَ أيُّهَا
النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ) إِلَى قَوْلِهِ (غَفُوْرٌ
رَحِيْمٌ) قَالَ عُرْوَةُ: قَالَتْ عَائِشَةُ: فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا الشَّرْطِ
مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ، قَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: قَدْ باَيَعْتُكِ؛ كَلاَمًا، وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ
امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ، مَا يبُاَيِعُهُنَّ إِلاَّ بِقَوْلِهِ: قَدْ
باَيَعْتُكِ عَلَى ذَلِكَ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. menguji kaum
mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman Allah ta’ala: “Wahai Nabi,
apabila datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk membaiatmu….” Sampai
pada firman-Nya: “Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” Urwah berkata, ‘Aisyah
mengatakan, ‘Siapa di antara wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan
syarat yang disebutkan dalam ayat tersebut’. Rasulullah saw. pun berkata
kepadanya, ‘Sungguh aku telah membaiatmu.’ Beliau menyatakan dengan ucapan
(tanpa jabat tangan).’ Aisyah berkata, ‘Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak
pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan.
Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan, ‘Sungguh aku telah
membaiatmu atas hal tersebut.’ (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, IV: 1856,
No. hadis 4609)
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Muslim
(Shahih Muslim, III:1489, No. hadis 1866) dan Ahmad (Musnad Ahmad, VI:
270, No. hadis 26.369) dengan sedikit perbedaan redaksi.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
قَوْلُهُ : قَدْ بَايَعْتُك
كَلَامًا أَيْ يَقُولُ ذَلِكَ كَلَامًا فَقَطْ لَا مُصَافَحَةً بِالْيَدِ كَمَا
جَرَتْ الْعَادَةُ بِمُصَافَحَةِ الرِّجَالِ عِنْدَ الْمُبَايَعَةِ
“Kalimat Qad baaya’tuki kalaaman berarti
Rasulullah saw. membaiat mereka hanya dengan mengucapkan ‘Sungguh aku telah
membaiatmu’, tanpa menjabat tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang
berlangsung pada pembaiatan kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.”
وَكَأَنَّ عَائِشَةَ أَشَارَتْ
بِقَوْلِهَا وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ إِلَخْ إِلَى الرَّدِّ عَلَى مَا جَاءَ عَنْ
أُمِّ عَطِيَّةَ
“Dan dengan perkataannya, ‘Wallaahi maa
massat..’ seakan-akan membantah secara isyarat kabar yang bersumber dari Ummu
Salamah Aisyah.” (Lihat, Fath
AlBari Syarh Shahih Al-Bukhari, VIII:636)
Umaimah bintu Ruqaiqah berkata, “Aku
bersama rombongan para wanita mendatangi Rasulullah saw. untuk membaiat beliau
dalam Islam. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami membaiatmu bahwa kami tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak
membunuh anak-anak kami, tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan
di antara tangan dan kaki kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam
perkara kebaikan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesuai yang kalian mampu dan
sanggupi.’ Umaimah berkata, ‘Kami berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang
kepada kami daripada sayangnya kami kepada diri-diri kami. Marilah, kami akan
membaiatmu wahai Rasulullah!’ Rasulullah saw. kemudian bersabda:
إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ،
إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan
dengan kaum wanita. Ucapanku kepada seratus wanita tiada lain seperti ucapanku
kepada seorang wanita.” (HR.
Malik, Al-Muwatha, II:982, No. hadis 1775; Ahmad, Al-Musnad,
VI:357, No. hadis 27.053; An-Nasa`I, As-Sunan Al-Kubra, IV:429, No.
hadis 7804; VI: 218, No. hadis 8713; VI:488, No. hadis 11.589; Sunan
An-Nasa`I, VII:149, No. hadis 4181; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra,
VIII:148, No. hadis 16345; Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, XXIV:
187, No. hadis 472)
Hadis-hadis yang telah disebutkan di atas
dengan jelas menunjukkan larangan berjabat tangan dengan wanita yang bukan
mahram. Karena itu seorang lelaki haram hukumnya menyentuh atau bersentuhan
dengan wanita yang tidak halal baginya.
Al-Imam Asy-Syinqinthi berkata:
وَلاَ شَكَّ أَنَّ مَسَّ
الْبَدَنِ لِلْبَدَنِ أَقْوَى فِي إِثَارَةِ الْغَرِيْزَةِ وَأَقْوَى دَاعِياً
إِلَى الْفِتْنَةِ مِنَ النَّظَرِ بِالْعَيْنِ وَكُلُّ مُنْصِفٍ يَعْلَمُ صِحَّةَ
ذلِكَ
“Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh
dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita,
dan merupakan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar
memandang dengan mata. Dan setiap orang yang adil atau mau berlaku jujur akan
mengetahui kebenaran hal itu.” (Lihat, Tafsir Adhwaa` Al-Bayan, VI:359)
Sebagian orang bila ingin berjabat tangan
dengan wanita yang bukan mahram atau seorang wanita ingin berjabat tangan
dengan lelaki yang bukan mahram, ia meletakkan penghalang di atas tangannya
berupa kain, kaos tangan dan semisalnya. Seolah maksud dari larangan jabat
tangan dengan yang bukan mahram hanyalah bila kulit bertemu dengan kulit,
adapun bila ada penghalang tidaklah terlarang. Anggapan seperti ini jelas
keliru, karena dalil-dalil itu mencakup pula hal tersebut, sebab pelarangan
jabat tangan dengan yang bukan mahram tetap terwujud meski berjabat tangan
memakai penghalang.
Wanita Mahram
Wanita mahram adalah wanita yang haram
dinikah baik untuk mu`aqqat (sementara) atau untuk mu`abbad (selamanya).
Kemahraman perempuan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu karena nasab (hubungan
keturunan), karena hubungan radha’ah (sesusuan), dan karena mushaharah (hubungan
kekeluargaan karena pernikahan).
Adapun wanita yang dikategorikan mahram
adalah sebagai berikut:
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ
آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ
الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita
yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan[1]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nisa':22-23).
Keterangan:
[1] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan
seterusnya ke atas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak
perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang
lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam
pemeliharaannya.
Oleh Ust.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar