Asyura: Antara Sunnah & Syiah (Bagian VI-Tamat)
Syi’ah Harus Bertanggung Jawab atas
Pembunuhan Husen Ra.
Penjelasan tentang peristiwa
pembunuhan Husen Ra. dan berbagai pihak yang terlibat dalam pembunuhan itu kami
ambil dari dua sumber:
Pertama, Kelompok Syi’ah
Seorang penyair tersohor, Farazdaq
berpantun berkaitan dengan Husen Ra., tatkala ia ditanya tentang Syi’ah beliau
yang hendak dijumpai oleh beliau. Ia menjelaskan: “Hati mereka bersama Anda,
sedang pedang beliau melawan An-da. Ketetapan turun dari langit, dan Allah
kuasa berbuat se-kehendak-Nya.” Al-Husein menjawab: “Anda benar, Allahlah yang
kuasa menetapkan persoalan. Dan setiap hari ia berada di dalam urusan.
Sekiranya datang ketentuan sebagaimana kesukaan dan kerelaan kami, kami pun
memuji Allah atas karu-nia-karunia nikmatnya, bahkan Dialah tempat tujuan
selayak-nya untuk mengungkapkan syukur. Tetapi apabila terjadi si-tuasi yang di
luar harapan, niscaya Dia tidak akan jauh dari orang-orang yang berniat baik
dan berbatin takwa.” (Lihat, al-Majaalis al-Faakhirah, hal. 79; 'Alaa Khathi
al-Husen, hal 100; Lawaa'ij al-Asyjaan, hal. 60; Ma'aalim al-Madrasatain,
III:62)
Husen Ra. tatkala beliau berpidato
kepada mereka, beliau telah menyinggung sikap pendahulu mereka dan juga sikap
mereka terhadap bapak dan saudara beliau. Di dalam pidato beliau itu, beliau
menyatakan: “... ,sekiranya kalian tidak bersedia melaksanakannya dan kalian
hendak membatalkan janji kalian, kalian hendak menanggalkan baiat terhadapku
dari pundak kalian, maka memang kalian sudah dikenal dengan sikap demikian,
karena kalian pun telah bersikap serupa itu terhadap bapakku, saudaraku, dan
juga putra pamanku Muslim. Akan tertipulah orang-orang yang cenderung kepada
kalian, . . . “(Lihat, Ma'aalim al-Madrasatain, II:71-72; Ma'aali as-Sibthain,
I:275; Bahr al-'Uluum, hal. 194; Nafs al-Mahmuum, hal. 172; Khoir al-Ashhaab,
hal. 39; Tadhlim az-Zahraa', hal. 170.)
Dan pernyataan-pernyataan Husen Ra.
sebelumnya yang meragukan surat-surat mereka. Kata beliau: “Sesungguhnya mereka
itu telah membuat diriku cemas, dan inilah surat-surat penduduk Kufah, sedang
mereka memerangiku.” (Lihat, Maqtal al-Husain, hal. 175)
Pada kesempatan lainnya, beliau
mengatakan: “Wahai Allah, turunkanlah ketetapan antara kami dengan kaum yang
telah mengundang diri kami yang hendak membela, tetapi justru memerangi
kami!”(Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:535).
Dari pernyataan-pernyataan Husen Ra.
di atas tampak jelas bahwa Syi’ah (pengikut) Husein ra. telah mengundang beliau
dengan dalih hendak membelanya, namun faktanya mereka justru memerangi beliau.
Salah seorang Syi’i bernama Husein
Kurani mengatakan: “Penduduk Kufah tidak puas sekedar berpisah meninggalkan
Imam Husen, bahkan mereka berubah sikap, mengubah pendirian mereka ke pendirian
ketiga, yaitu kini mereka bergegas berangkat menuju Karbala dan memerangi Imam
Husen Ra. di Karbala’. Mereka saling berlomba menyatakan pendirian mereka
sesuai dengan kepuasan setan dan mendatangkan murka Sang Mahapemurah.
Contohnya, kita lihat, bahwa Amru bin al-Hajjaj, lelaki yang baru kemarin
bersiap siaga di Kufah laksana seorang penggembala gembalaan Ahlul Bayt,
berjuang membela mereka, juga merupakan orang yang telah mengerahkan pasukan
untuk menyelamatkan orang besar Hani bin Urwah, secara nyata-nyata telah
berbalik pendirian, yaitu menganggap bahwa Imam Husen telah keluar dari agama
(Islam). Marilah kita renungkan pernyataan berikut:
“Ketika itu Amru bin al-Hajjaj
berkata kepada rekan-rekannya: “Perangilah orang-orang yang telah keluar dari
agama dan meninggalkan jamaah ...” (Lihat, Fii Rihaab Karbalaa', hal. 60-61)
Husein Kurani juga menjelaskan:
“Kita lihat pendirian lain yang membuktikan sikap munafik penduduk Kufah.
Abdullah bin Hauzah at-Taimi datang berdiri di hadapan Imam Husen Ra. seraya
berteriak, ‘Adakah di antara kalian yang bernama Husein?’
Orang ini termasuk penduduk Kufah
sedang kemarin ia tergolong Syi’ah Ali As. dan boleh jadi ia termasuk orang
yang turut menulis surat kepada Imam, atau termasuk jamaah yang terlibat dan
mereka yang lain yang juga menulis surat . . . , “ Lebih lanjut ia berkata,
“Hai Husen, berbahagialah dengan masuk neraka !”(Lihat, Fii Rihaab Karbalaa',
hal. 61).
Murtadha Muthahari mempertanyakan:
“Bagaimana penduduk Kufah sampai berangkat untuk memerangi Husen Ra. pada saat
menganggap cinta kepada mereka dan memiliki jalinan kasih sayang?”
Kemudian ia pun menjawabnya sendiri:
“Jawabannya, ialah karena rasa gentar dan takut yang telah menjangkiti penduduk
Kufah. Secara umum sejak masa pemerintahan Ziyad dan Mu’awiyah, dan yang
kemudian kian meningkat dan bertambah-tambah dengan kehadiran Ubaidillah,
lelaki yang dengan serta merta telah membunuh Maitsam at-Tamar, Rasyid, Muslim,
dan Hani, . . , dan ini berkaitan dengan perubahan sikap mereka yang terlibat
lantaran berambisi dan berhasrat kepada penghasilan, harta, dan kehormatan
duniawi. Sebagaimana hal itu terjadi pada diri Umar bin Sa’ad . . .,”
“Adapun sikap orang-orang terpandang dan para
tokoh, mereka ini telah dilanda takut terhadap Ibnu Ziyad, terpikat oleh harta
sejak hari pertama ia memasuki Kufah. Pada saat ia berseru kepada mereka semua
seraya berkata, ‘Barangsiapa di antara kalian berada di barisan yang menentang,
maka saya akan menghapuskan soal hadiah kepadanya.’
Demikianlah, contohnya Amir bin
Majma’ atau bernama Majma’ bin Amir, ia berkata: “Adapun para tokoh mereka,
maka mereka telah menjadi besarlah korupsi mereka, dan telah memenuhi tabiat
mereka.” (Lihat, al-Malhamah al-Huseniyyah, III:47-48).
Ulama Syi’i Kazhim al-Ihsa’i
an-Najafi menjelaskan: “Pasukan yang berangkat hendak memerangi Imam Husen a.s.
sebanyak 300.000. Seluruhnya adalah penduduk Kufah. Tidak ada di antara mereka
yang berasal dari Syam, Hejaz, India, Pakistan, Sudan, Mesir, maupun Afrika,
bahkan seluruhnya adalah penduduk Kufah yang terhimpun dari beraneka ragam
kabilah.” (Lihat, Asyuura', hal. 89).
Seorang sejarawan Syi’i Husein bin
Ahmad al-Buraqi an-Najafi menerangkan: “Al-Qazwaini mengatakan: “Balasan yang
perlu dilakukan terhadap penduduk Kufah, adalah lantaran mereka telah menikam
Hasan bin Ali As., dan mereka membunuh Husen Ra. setelah mereka mengundang
beliau.” (Lihat, Taariikh Kuufah, hal. 113).
Seorang sejarawan Syi’i ternama
Ayatullah al-‘Uzhma Muhsin Amin mengatakan: “Lalu berbaiatlah dari penduduk
Kufah sebanyak 20.000 orang, di mana mereka mengkhianatinya. Kemudian mereka
pun berangkat memerangi beliau pada saat baiat (janji setia) masih berada di
pundak mereka. Kemudian mereka pun membunuh beliau.” (Lihat, A'yaan
asy-Syii'ah, I:26).
Jawad Muhaditsi mengatakan: “Segala
penyebab seperti ini berdampak menyusahkan Imam Ali As. dalam dua kasus, dan
Imam al-Hasan menghadapi pengkhianatan mereka. Di antara mereka Muslim bin
‘Aqil terbunuh dalam kondisi teraniaya. Husein mati dalam keadaan kehausan di
Karbala dekat Kufah dan di tangan tentara Kufah.”(Lihat, Mawsuu'ah Asyuura',
hal. 59).
Seorang tokoh Syi’i Abu Manshur
ath-Thabrisi, Ibnu Thawus, al-Amin, dan para tokoh lainnya mengutip informasi
dari Ali bin Hasan (menurut kami: Husein –pent) bin Ali bin Abi Thalib yang
dikenal dengan Zainal Abidin Ra., dari bapak-bapaknya, seraya mencela Syi’ahnya
yang telah menghinakan bapaknya dan membunuhnya pula, ia berkata: “Wahai
manusia, kuperingatkan kalian terhadap Allah, tidak sadarkah kalian, bahwa
kalian telah menulis surat kepada bapakku, lalu kalian khianati? Kalian
memberikan janji, ikrar, dan baiat, lalu kalian membunuhnya dan menghinakannya.
Celakalah hasil dari perbuatan yang telah kalian lakukan bagi diri kalian,
buruknya nalar kalian. Dengan pandangan bagaimanakah kalian akan memandang
kepada Rasulullah saw. manakala beliau bertanya kepada kalian, ‘Kalian telah
membunuh keturunanku, dan kalian telah mencemarkan kehormatanku. Jadi, kalian
bukanlah umatku!’.”
Para wanita saling menjerit seraya
menangis dari berbagai penjuru. Sebagian mereka berkata kepada sebagian
lainnya: “Binasalah kalian lantaran perbuatan kalian.” Lalu beliau As. berkata
lagi: “Semoga Allah merahmati orang yang suka menerima nasehatku, menjaga
wasiatku berkaitan (hak-hak) Allah, Rasul-Nya, dan Ahlul Baytnya. Sebab, kami
telah memperoleh teladan baik dari Rasulullah.”
Secara serentak para hadirin
berseru: “Kami semua bersedia mendengar, patuh, siap membantu beban tuan, tidak
akan mengabaikan tuan dan tidak pula melalaikan tuan. Oleh karena itu,
perintahkanlah kami dengan suatu perintah, semoga tuan dirahmati Allah. Sebab,
kami siap berperang kepada orang yang memerangi tuan, berdamai dengan orang
yang berdamai dengan tuan. Benar-benar kami akan menuntut bela terhadap Yazid,
dan kami pun memutuskan hubungan dari mereka yang menzalimi tuan dan menzalimi
kami.”
Beliau As. menjawab: “Aduhai,
aduhai, wahai para pengkhianat penipu. Ambisi kalian telah dihalangi oleh hawa
nafsu kalian. Adakah kalian akan bersikap terhadapku sebagaimana sikap kalian
terhadap bapak-bapakku sebelumnya? Tidak lagi, betapa banyak orang-orang yang
suka menari-nari. Sungguh luka ini belum lagi kering. Baru kemarin bapakku
terbunuh dan Ahlul Baytku pun terbunuh bersamanya. Saya belum dapat melupakan
derita Rasulullah saw. beserta keluarganya, derita bapakku beserta putra-putra
bapakku. Dan itu bisa didapati di antara duka dan kepahitanku, di antara
kerongkongan dan tenggorokanku, sedang cabang-cabangnya mengalir di hamparan
dadaku…”(Pidato ini diterangkan oleh ath-Thabari, al-Ihtijaaj, II:32; Ibnu
Thawus, al-Malhuuf, hal 92; Al-Amin, Lawaa'ij al-Asyjaan, hal. 158; Abbas
al-Qumi, Muntahaa al-Aamaal, I:572; Husein al-Kurani, Fii Rihaab Karbalaa',
hal. 183; Abdur Razaq al-Muqarram, Maqtal al-Husen, hal. 317; Murtadha 'Iyad,
Maqtal al-Husen, hal. 87; Diulang pula oleh Abbas al-Qumi di dalam Nafsu
al-Mahmuum, hal. 360. Juga dikemukakan oleh Ridha al-Qazwaini di dalam Tadhlim
az-Zahraa', hal. 262)
Tatkala Imam Zain al-Abidin
rahimahullahu Ta’ala lewat dan melihat penduduk Kufah sedang meratap dan
menangis, lalu beliau menegurnya seraya berkata: “Kalian meratapi dan menangisi
kami, lalu siapa yang telah memerangi kami?” (Lihat, al-Malhuuf, hal. 86; Nafsu
al-Mahmuum, hal. 257; Maqtal al-Husen, karya Murtadha 'Iyad, hal. 83; Tadhlim
az-Zahraa', hal. 257).
Di dalam sebuah riwayat dikisahkan,
tatkala beliau melewati Kufah di mana penduduknya meratap. Ketika itu beliau
tinggal sebagai tamu karena terhalang oleh sakit. Dengan suara pelahan beliau
berkata: “Kalian meratapi dan menangis kami? Lalu siapa yang telah memerangi
kami?” (Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:570).
Pada riwayat lain tentang diri
beliau, dinyatakan bahwa beliau berkata dengan suara lemah karena beliau sedang
dirundung sakit: “Sekiranya mereka itu menangisi kami, lalu siapakah yang telah
memerangi kami selain mereka?” (Lihat, al-Ihtijaaj, II:29).
Ummu Kultsum binti Ali berkata:
“Wahai penduduk Kufah, celakalah kalian, mengapa kalian menghinakan Husen dan
membunuhnya, kalian rampok harta bendanya dan kalian warisi, kalian caci maki
istri-istrinya dan kalian buat menderita. Celakalah kalian, terazablah kalian.”
Tragedi apakah yang menimpa kalian,
beban apakah yang terpikulkan di punggung kalian, darah-darah manakah yang
telah kalian tumpahkan, kehormatan-kehormatan mana pulakah yang telah kalian
cemarkan, anak-anak manakah yang telah kalian bajak, harta-harta mana yang
telah kalian rampok. Kalian telah membunuh orang-orang baik sesudah Nabi saw.
dan keluarganya, dan kasih sayang sudah tercabut dari hati kalian!”(Lihat,
al-Luhuuf, hal. 91; Nafsu al-Mahmuum, 363; Maqtal al-Husen, karya al-Muqarram,
hal. 316; Lawaa'ij al-Asyjaan, hal. 157; Maqtal al-Husen, karya Murtadha 'Iyad,
hal.86; Tadhlim az-Zahraa', hal. 261).
Tentang riwayat Ummu Kultsum ini
juga diterangkan pula oleh ath-Thabrisi dan al-Qumi, al-Muqarram, al-Kurani,
Ahmad Rasim, dan juga menjelaskan tentang penyelewengan para pengkhianat yang
hina dina. Kata beliau: “Kemudian dari itu, wahai penduduk Kufah, hai para
pengkhianat, para penipu, dan tukang makar. Inga-lah, sejarah tiada akan
terlupakan dan tragedi pun tiada akan tertenteramkan. Orang-orang seperti
kalian adalah laksana orang yang merusak jalinan tenunannya sendiri setelah
kokoh hingga tercerai berai.”
Kalian jadikan iman kalian selaku
barang dagangan di antara kalian. Adakah pada pribadi kalian selain hasrat hati
dan bangga, lirikan dan dusta, merayu budak-budak wanita, bergelimang
permusuhan. Seperti seorang penggembala pada tempat sampah, atau perak di dasar
tanah. Betapa buruk bidang-bidang yang kalian upayakan bagi diri kalian, karena
kemurkaan Allah akan menimpa kalian, dan kalian pun akan kekal di dalam azab.
Adakah kalian menangisi saudaraku? Memang, sungguh! Banyak-banyaklah menangis
dan tertawalah sedikit, karena kalian mendapat tragedi kehinaan dan terkenang
aib karenanya, dan tak akan pernah terlupakan selamanya.
Bagaimana kalian dapat melupakan
pembunuhan terhadap keturunan Sang Penutup para nabi? sumber risalah? pemimpin
pemuda penghuni surga? tempat berlindung perang kalian dan pembela kelompok
kalian? pusat kesejahteraan kalian,
wilayah pangkalan kalian, tempat rujukan untuk kalian mengadu, dan menara hujah
kalian sendiri? Betapa buruk apa-apa yang telah kalian upayakan bagi diri
kalian sendiri, betapa buruk beban yang akan kalian pikul pada hari kebangkitan
kalian. Binasa, binasa, celaka, celaka, sebab upaya telah sia-sia, dan
celakalah tangan-tangan manusia, tepukan-tepukan pun merugi. Dan kalian akan
kembali dengan menghadap kemurkaan Allah. Kalian akan ditimpa kehinaan dan
kenistaan. Celakalah kalian, tidakkah kalian mengerti betapa susah payah
Muhammad telah kalian sia-siakan? Betapa janji telah kalian pungkiri? Betapa
kehormatan beliau telah kalian cemarkan? Betapa darah beliau telah kalian
tumpahkan? Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat
mungkar, hampir-hampir langit pecah karenanya, dan bumi terbelah, dan
gunung-gunung pun runtuh. Sesungguhnya kalian telah mendatangkan kelusuhan dan
ketercabik-cabikan sepenuh bumi dan langit.” (Lihat, al-Ihtijjaaj, II29;
Muntahaa al-Aamaal, I:570; Maqtal al-Husen, karya al-Muqarram, hal. 311, dan
berikutnya; Fii Rihaab Karbalaa', hal. 146, dan seterusnya; 'Alaa Khathi
al-Husen hal. 138; Tadhlim az-Zahraa', 258).
Seorang pemuka Syi’i Asad Haidar
berkenaan Zainab binti Ali, di mana Zainab berpidato kepada segenap orang yang
menyambutnya dengan tangisan seraya meratap. Kata beliau seraya mencemooh
mereka: “Adakah kalian menangis dan berpura-pura sayang? Ya, benar,
banyak-banyaklah menangis dan tertawalah sedikit. Sebab kalian akan menderita
aib dan kenistaan karenanya, dan kalian tak akan dapat terbebas daripadanya
melalui upaya pembersihan selama-lamanya. Bagaimana mungkin kalian akan
terbebas dari pembunuhan terhadap cucu Sang Penutup para nabi? …” (Lihat, Ma'a
al-Husen fii Nahdhatih, hal. 295, dan seterusnya).
Pada riwayat lain dinyatakan, beliau
mengeluarkan kepala dari tandu seraya berkata kepada penduduk Kufah: “Celakalah
kalian hai penduduk Kufah! Para lelaki kalian membunuhi kami sementara para
wanita kalian menangisi kami. Yang akan menjadi hakim bagi kami atas kalian
adalah Allah pada hari ditetapkannya hukuman masing-masing.” (Dikutip oleh
Abbas al-Qumi di dalam Nafsu al-Mahmuum, hal. 365. Juga disebutkan oleh Syeikh
Ridhla bin Nubi al-Qazwaini di dalam Tadhlimu az-Zahraa', hal. 264)
Berbagai penjelasan yang gamblang
dari para saksi sejarah, baik dari Ahli Bait Nabi saw. Maupun lainnya, yang
diakui kebenarannya oleh para sejarawan dan ulama Syi’ah di atas, telah
membongkar kedustaan kelompok Syi’ah sendiri, di mana pada hakikatnya mereka
tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa Husen As. telah dicela, dihinakan,
dikhianati dan dibunuh oleh orang Syiah sendiri, karena mereka pengecut dan
rakus akan kehidupan dunia.
Kedua, Ahlus Sunnah
'Ubaidullah bin Ziyâd diutus oleh
Yazid bin Muawiyah untuk mengatasi pergolakan di Kufah. Akhirnya, 'Ubaidullah
dengan pasukannya berhadapan dengan Husen Ra. bersama keluarganya yang sedang
dalam perjalanan menuju Kufah. Pergolakan ini sendiri dipicu oleh orang-orang
Syiah yang ingin memanfaatkan Husen Ra.. Dua pasukan yang sangat tidak imbang
ini bertemu, sementara orang-orang Kufah yang membujuk Husen Ra., dan berjanji
akan membantu dan menyiapkan pasukan justru melarikan diri meninggalkan Husen
Ra. dan keluarganya yang berhadapan dengan pasukan Ubaidullah. Sampai akhirnya,
terbunuhlah Husen Ra. sebagai orang yang terzhalimi dan sebagai syahid.
Kepalanya dipenggal lalu dibawa kehadapan 'Ubaidullah bin Ziyâd dan kepala itu
diletakkan di bejana.
Lalu 'Ubaidullah yang durhaka ini
menusuk-nusuk hidung, mulut dan gigi Husen, padahal di situ ada Anas bin Mâlik,
Zaid bin Arqam dan Abu Barzah al-Aslami. Anas mengatakan, "Singkirkan
pedangmu dari mulut itu, karena aku pernah melihat mulut Rasulullah saw.
mencium mulut itu!" Mendengarnya, orang durhaka ini mengatakan, "Seandainya
saya tidak melihatmu sudah tua renta yang akalnya sudah rusak, maka pasti
kepalamu saya penggal."
Keterangan:
Ubaidullah disebut orang durhaka,
karena dia tidak diperintah untuk membunuh Husen Ra., namun melakukannya.
Imam al-Bukhari meriwayatkan:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ
بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ
مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ عُبَيْدُ اللَّهِ
بْنُ زِيَادٍ بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ فَجُعِلَ فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ يَنْكُتُ وَقَالَ
فِي حُسْنِهِ شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ أَشْبَهَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ
"Aku diberitahu oleh Muhammad
bin Husen bin Ibrâhîm, dia mengatakan, ‘Aku diberitahu oleh Husen bin
Muhammad.’ Kami diberitahu oleh Jarîr dari Muhammad, dari Anas bin Mâlik Ra,
dia mengatakan, ‘Kepala Husen dibawa dan didatangkan kepada 'Ubaidullah bin Ziyâd.
Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu 'Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan
pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husen. Anas Ra.
mengatakan, ‘Di antara Ahlul bait, Husen adalah orang yang paling mirip dengan
Rasulullah saw.’ Saat itu, Husen Ra. disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan,
sejenis pacar yang condong ke warna hitam)." (Lihat,
Shahih al-Bukhari, III:137, No. 3538)
Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu
Hibbân, dari Hafshah binti Sirîn, dari Anas Ra dinyatakan :
فَجَعَلَ يَقُوْلُ بِقَضِيْبٍ لَهُ فِي
أَنْفِهِ
"Lalu 'Ubaidullah mulai
menusukkan pedangnya ke hidung Husen Ra." (Lihat,
Sunan at-Tirmidzi, V:660, No. 3778; Shahih Ibnu Hiban, XV:430, No. 6972)
Dalam riwayat ath-Thabrâni, dari
hadis Zaid bin Arqam disebutkan:
فَجَعَلَ يَجْعَلُ قَضِيبًا فِي يَدِهِ
فِي عَيْنِهِ وَأَنْفِهِ ، فَقَالَ زَيْدُ بن أَرْقَمَ : ارْفَعِ الْقَضِيبَ ، فَقَالَ
: لِمَ ؟ فَقَالَ فَقَدْ رَأَيْتُ فَمَّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي مَوْضِعِهِ
"Lalu dia mulai menusukkan
pedang yang di tangannya ke mata dan hidung Husen.” Maka Zaid bin Arqam
mengatakan, “Angkat pedangmu!” Ia bertanya, “Mengapa?” Ia (Zaid) menjawab,
“Sungguh aku pernah melihat mulut Rasulullah (mencium) tempat itu’." (Lihat,
al-Mu’jam
al-Kabir, V:210, No. 5121)
Demikian juga riwayat yang
disampaikan lewat jalur Anas bin Mâlik :
فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه وسلم يَلْثِمُ حَيْثُ تَضَعُ قَضِيْبَكَ قَالَ : فَانْقَبَضَ
Aku (Anas bin Malik) mengatakan
kepadanya, "Sungguh aku telah melihat saw. mencium tempat di mana engkau
menaruh pedangmu itu." Lalu Ubaidullah mengangkat pedangnya. (Lihat,
Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, XV:144)
Demikianlah fakta peristiwa yang
sesungguhnya, setelah Husen terbunuh, kepala beliau dipenggal dan ditaruh di
bejana. Selanjutnya mata, hidung dan gigi beliau ditusuk-tusuk dengan pedang
oleh 'Ubaidullah, orang durhaka itu. Para Sahabat Ra. yang menyaksikan tindakan
itu segera mencegahnya agar ia menyingkirkan pedang itu, karena mulut
Rasulullah pernah menempel tempat itu. Alangkah tinggi rasa hormat mereka
kepada Rasulullah saw. dan alangkah sedih hati mereka menyaksikan cucu
Rasulullah saw., orang kesayangan beliau dihinakan di depan mata mereka.
Dari sini, kita mengetahui betapa
banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa “kepala Husen
diarak sampai diletakkan di depan Yazid bin Muawiyah. Para wanita dari keluarga
Husen dikelilingkan ke seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan
dan dirampas.”
Semua ini merupakan kepalsuan yang
dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid bin Muawiyah saat itu sedang berada di
Syam, sementara kejadian memilukan ini berlangsung di Karbala, Irak.
Syekh Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan, "Dalam riwayat dengan sanad yang majhul (tidak dikenal)
dinyatakan bahwa peristiwa penusukan ini terjadi di hadapan Yazid. Kepala Husen
dibawa kehadapannya dan dialah yang menusuk-nusuknya gigi Husen. Disamping dalam
cerita (dusta) ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa cerita ini bohong,
maka—untuk diketahui juga—para Sahabat
yang menyaksikan peristiwa penusukan ini tidak berada di Syam, akan tetapi di
negeri Irak. Justru sebaliknya, riwayat yang dibawakan oleh beberapa orang
menyebutkan bahwa Yazid tidak memerintahkan 'Ubaidullah untuk membunuh
Husen." (Lihat, Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah, IV:557)
Yazid bin Muawiyah sangat
menyesalkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu. Karena Mu'awiyah berpesan
agar berbuat baik kepada kerabat Rasulullah saw. Maka, saat mendengar kabar
bahwa Husen dibunuh, mereka sekeluarga menangis dan melaknat 'Ubaidullah. Hanya
saja dia tidak menghukum dan mengqisas 'Ubaidullah, sebagai wujud pembelaan
terhadap Husen secara tegas. (Lihat, Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah, IV:557)
Jadi memang benar, Husen Ra. dibunuh
dan kepalanya dipotong, tapi cerita tentang kepalanya diarak, wanita-wanita
dinaikkan kendaraan tanpa pelana dan dirampas, semuanya dhaif (lemah). Alangkah
banyak riwayat dhaif serta dusta seputar kejadian menyedihkan ini sebagaimana
dikatakan oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah di atas.
Selain itu pula, kisah pertumpahan
darah yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi “bumbu penyedap” berupa
berbagai cerita tambahan yang dusta. Tambahan-tambahan dusta ini bertujuan
untuk menimbulkan dan memunculkan fitnah perpecahan di tengah kaum muslimin.
Sehubungan dengan itu, di sini perlu
ditegaskan sikap Ahlus Sunnah terhadap tragedy Karbala, bahwa:
Husain Ra. bukanlah pemberontak.
Sebab, kedatangannya ke Kufah, Irak, bukan untuk memberontak. Seandainya mau
memberontak, beliau dapat mengerahkan penduduk Mekah dan sekitarnya yang sangat
menghormati dan menghargai beliau. Karena, saat beliau di Mekah, kewibaannya
mengalahkan wibawa para Sahabat lain yang masih hidup pada masa itu di Mekkah.
Beliau seorang alim dan ahli ibadah. Para Sahabat sangat mencintai dan
menghormatinya. Karena beliaulah Ahli Bait yang paling besar.
Oleh karena itu, ketika dalam
perjalanannya menuju Irak dan mendengar sepupunya Muslim bin 'Aqîl dibunuh di
Kufah, Irak, beliau berniat untuk kembali ke Mekkah. Akan tetapi, beliau
ditahan dan dipaksa oleh kelompok Syiah di Kufah untuk berhadapan dengan
pasukan 'Ubaidullah bin Ziyâd. Akhirnya, beliau tewas terbunuh dalam keadaan
terzhalimi dan mati syahid.
Demikian uraian singkat tentang
tragedi Karbala, tempat terjadinya pembunuhan Husen Ra. Semoga bermanfaat dan
memberikan pencerahan.
Kita memohon kepada Allah swt. agar
menghindarkan kita semua dari berbagai fitnah yang disebarkan oleh kelompok
Syi’ah, laknatullaah ‘alaihim.
Oleh Ust.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar