Asyura: Antara Sunnah & Syiah (Bagian Iv)
Membaca Tragedi Karbala Secara
Jernih
Apabila membicarakan tentang hari
Asyura (10 Muharam) maka kita tidak dapat menghindarkan diri dari pembicaraan
tentang peristiwa Karbala yang begitu menyayat hati. Peristiwa tersebut
merupakan kisah di mana Husen Ra.—cucu
Rasulullah saw. dan anak Ali Ra.—telah dibunuh dengan kejam di sebuah
tempat yang bernama Karbala, di Irak.
Rentetan dari peristiwa ini terdapat
upacara-upacara khusus yang diadakan pada Hari Asyura dengan cara yang amat
bertentangan dengan syariat Islam. Lebih jauh dari itu, kelompok Syiah juga
telah mempergunakan peristiwa Karbala ini demi meraih simpati umat Islam kepada
kelompok mereka bahwa merekalah satu-satunya kelompok yang membela Ahlul Bait
(keluarga Rasulullah), tentu saja Ahlu Bait dalam konsep mereka.
Karena itu, tragedi Karbala
merupakan persoalan yang memberi peluang kelompok Syi’ah mempermainkan opini
banyak orang. Pada peluang yang sama mereka pun berupaya merancukan sejarah
umat ini. Pergulatan yang terjadi antara tokoh yang dilambangkan sebagai
Syi’ah, yaitu Husen, di satu pihak, dengan Yazid yang dilambangkan sebagai
tokoh Ahlus Sunah di pihak yang lain. Seperti itulah opini yang hendak dibangun
kelompok Syi’ah berkaitan pergulatan tersebut.
Padahal, sejatinya Husen Ra., juga
termasuk salah seorang pimpinan Ahlus Sunah. Keyakinan Ahlus Sunah terhadap
beliau, ialah bahwa beliau mati sebagai syahid, beliau dimuliakan oleh Allah
dengan mati sebagai syuhada, dan Allah menghinakan orang yang membunuh beliau.
Jadi, kasus pembunuhan beliau itu merupakan musibah besar. Dalam kondisi
demikian Ahlus Sunah pun merujuk kepada firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ, الَّذِينَ
إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ.
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ.
"Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi
raa-ji`uun" Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
(QS. Al-Baqarah 155-157).
Sehubungan dengan itu, ketika kita
membicarakan peristiwa Karbala kita dituntut setidaknya untuk melakukan dua
hal:
Pertama, kita perlu selektif
terhadap berbagai riwayat yang mengisahkan tragedi itu—yang bertebaran dalam
kitab-kitab tarikh (sejarah)—karena sebagian besar riwayat tentang peristiwa
menyedihkan ini adalah kebohongan belaka. Sebagian lagi dhaif dan ada juga yang
shahih. Riwayat yang dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadis yang
bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadis, inilah yang wajib dijadikan
pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Dari sini, kita dapat
memahami betapa sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan
membongkar niat busuk mereka. Dalam konteks inilah, Syekh Islam Ibnu Taimiyyah
telah mengingatkan:
والذين نقلوا مصرع الحسين زادوا أشياء
من الكذب كما زادوا في قتل عثمان وكما زادوا فيما يراد تعظيمه من الحوادث وكما زادوا
في المغازي والفتوحات وغير ذلك والمصنفون في أخبار قتل الحسين منهم من هو من أهل العلم
كالبغوي وابن أبي الدنيا وغيرهما ومع ذلك فيما يروونه اثار منقطعة وأمور باطلة وأما
ما يرويه المصنفون في المصرح بلا إسناد فالكذب فيه كثير
"Orang-orang yang meriwayatkan
peristiwa gugurnya Husen Ra. telah memberikan tambahan dusta, sebagaimana juga
mereka telah menambahkan dusta pada peristiwa pembunuhan terhadap Usman Ra,
sebagaimana mereka juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa
yang ingin mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan,
penaklukan dan lain sebagainya. Para penulis berita tentang pembunuhan Husen
Ra, ada di antara mereka sebagai ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi dan Ibnu
Abi Dun-ya dan lain sebagainya. Namun demikian, di antara riwayat yang mereka
sampaikan ada yang terputus sanadnya dan beberapa perkara batil. Sedangkan yang
menyampaikan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya
sangat banyak" (Lihat, Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah, IV:334)
Kedua, focus peristiwa tidak hanya
pada peristiwa pembunuhan itu saja, melainkan harus mengikuti episode sejarah
sebelumnya yang memberi kita gambaran utuh tentang bagaimana peristiwa itu
terjadi. Pada umumnya, episode sebelum peristiwa Karbala terjadi sangat jarang
diulas, kelompok mereka yang selalu mengulas dan menganalisa kisah Karbala
jarang menyinggung peristiwa yang terjadi sebelumnya, yang mengakibatkan cucu
Nabi ini dibunuh. Ini menimbulkan tanda tanya, dan kesan yang ditangkap adalah
episode ini sengaja untuk tidak terlalu dibahas panjang lebar. (Bandingkan
dengan versi Syiah tentang peristiwa itu pada
http://www.majulah-ijabi.org/9/post/2012/11/mengenal-lebih-dekat-fakta-karbala.html)
Perlu dipahami oleh kita bersama,
bahwa satu peristiwa tidak bisa lepas dari peristiwa sebelumnya sebagai satu
rangkaian peristiwa yang saling berhubungan, tentunya tidak bisa dipisahkan
begitu saja, apa yang terjadi saat ini adalah bagaikan memisahkan ayat dan
sabab nuzulnya. Memisahkan peristiwa Karbala dengan peristiwa-peristiwa yang
sebelumnya terjadi, yang akhirnya ikut menyebabkan terjadinya pembantaian
Karbala. Tapi sayang peristiwa itu seolah terkubur di telan bumi, jarang kita
mendengar tentang peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi dan merangkai
pembantaian Karbala. Barangkali bisa kita mulai dari pertanyaan penting, yang
sayangnya jarang kita dengar. Barangkali akal sehat kita sering tertutupi oleh
“kesedihan mereka yang mendalam”, yang barangkali dibuat-buat oleh mereka sendiri,
dengan mendengarkan kisah-kisah sedih pembunuhan Husen, dengan diberi bumbu
suara yang menyayat hati, dan lain- lain akhirnya kita lupa bertanya:
Mengapa peristiwa itu terjadi?
Peristiwa apa yang menjadi latar belakang peristiwa itu? mengapa Husen
berangkat ke Karbala? Barangkali pertanyaan terakhir ini menjadi titik awal
bagi perjalanan kita kali ini untuk menelusuri peristiwa-perstiwa yang
melatarbelakangi peristiwa Karbala.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, di
dalam pembahasan menentang Syi’ah ini, sedapat mungkin kami mempergunakan
riwayat-riwayat mereka sendiri yang tersusun di dalam kitab-kitab sumber
mereka, baik ortodoks maupun moderen, yang dianggap terpercaya dan dijadikan
pegangan, dan yang dijadikan dalil di kalangan mereka sendiri.
Latar Belakang Peristiwa
Peristiwa ini diawali ketika Yazid
menggantikan Muawiyah (602 – 680 M) yang wafat dan segera meminta agar Husen
berbaiat. Namun Husen menolak bersama Abdullah bin Zubair, dan keduanya pergi
diam-diam ke kota Mekah. Seperti kita ketahui bahwa Husen Ra.adalah salah satu
figur umat Islam karena hubungan kekerabatannya dengan Nabi, seluruh umat Islam
mencintainya, dari dulu hingga hari ini, hanya orang menyimpang dan menyimpan
penyakit di hatinya bisa membenci keluarga Nabi. Hingga ketika dia menolak
berbaiat maka kabar beritanya tersebar ke segala penjuru, di antara mereka yang
mendengar kabar berita mengenai Husen Ra.adalah warga Kufah. Lalu mereka
mengirimkan surat-surat kepada Husen Ra.mengajaknya untuk datang ke kufah dan
memberontak pada Yazid. Surat-surat itu begitu banyak berdatangan kepada imam,
hingga jumlahnya mencapai puluhan ribu.
Dr. Ahmad Rasim an-Nafis—seorang
penulis syiah—menerangkan: "Surat-surat penduduk Kufah kepada Husen a.s.
menyatakan: "Kami tidak memiliki Imam, oleh karena itu datanglah, semoga
Allah berkenan mempersatukan kita di atas kebenaran." Surat-surat itu
mengandung berbagai tanda tangan menghimbau kedatangan untuk menerima bai'at
dan memimpin umat untuk gerakan menghadapi para pendurhaka Bani Umayah.
Begitulah, kian sempurnalah unsur-unsur dasar bagi gerakan Huseniyah. Di
antaranya: . . . Adanya hasrat mayoritas masyarakat yang menuntut reformasi dan
mendorong Husen Ra. untuk segera memegang tampuk kepemimpinan bagi gerakan
tersebut. Juga peristiwa dorongan-dorongan di Kufah ini diungkapkan di dalam
surat-surat baiat dari penduduk Kufah." (Lihat, 'Alaa Khuthaa al-Husain,
hal. 94)
Muhammad Kazhim al-Qazwaini—seorang
ulama syiah—menyatakan: "Penduduk Irak menulis surat kepada Husen,
mengirim utusan, dan memohon agar beliau berangkat ke negeri mereka untuk
menerima baiat sebagai khalifah, sehingga terkumpul pada Husen sebanyak 12.000
surat dari penduduk Irak yang semuanya berisikan satu keinginan. Mereka
menulis: "Buah sudah ranum, tanaman sudah menghijau, Anda hanya datang untuk
menjumpai pasukan anda yang sudah bersiaga. Anda di Kufah memiliki 100.000
(seratus ribu) pedang. Apabila Anda tidak bersedia datang, maka kelak kami akan
menuntut Anda di hadapan Allah." (Lihat, Faaji'ah ath-Thaff, hal. 6)
Seorang ulama syiah, Abbas Al Qummi
menerangkan: "Melimpah ruahlah surat-surat sehingga terkumpul pada beliau
di dalam satu hari sebanyak 600 surat berisikan janji hampa. Dalam pada itu pun
beliau menunda-nunda dan tidak menjawab mereka. Sehingga terkumpul pada beliau
sebanyak 12.000 surat.” (Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:430)
Ribuan—tepatnya puluhan ribu—surat
yang berdatangan berhasil meyakinkan Husen mengenai kesungguhan penduduk
Kufah. Husen mengutus Muslim bin Aqil
untuk mengecek keadaan kota Kufah dan melihat sendiri apa yang terjadi di sana.
Dan ternyata benar, sesampainya Muslim disana ternyata banyak orang berbaiat
pada muslim untuk “membela” Husen Ra. melawan penguasa zhalim. Mereka menunggu
kedatangan sang Imam untuk memimpin mereka.
Kedatangan Muslim di Kufah
Ridha Husen Shubh Al-Husaini—seorang
penulis Syi'ah—mengatakan: "Lalu Muslim berangkat dari Mekah pada
pertengahan bulan Sya'ban, dan tiba di Kufah selepas lima hari bulan Syawal.
Orang-orang Syi'ah berdatangan berbaiat kepadanya, sehingga jumlah mereka
mencapai 18.000 orang. Sedang di dalam riwayat asy Sya'bi, jumlah orang yang
berbaiat kepadanya mencapai 40.000 orang. (Lihat, asy-Syii'ah wa Asyuura', hal.
167)
Dari situ ia mulai menerima
masyarakat. Dan menyebarluaslah seruan agar berbaiat kepada Husen a.s., sehingga
jumlah orang-orang yang "bersumpah setia sampai mati" mencapai 40.000
orang. Ada juga yang mengatakan, kurang dari jumlah tersebut. Gubernur Yazid
yang berada di Kufah ketika itu adalah an Nu'man bin Basyir. Sebagaimana
disifatkan oleh para sejarawan, gubernur ini seorang muslim yang tidak menyukai
perpecahan dan lebih mengutamakan kesejahteraan." (Lihat, Siirah
al-A’immah al-Itsna 'Asyar, II:57-58).
Seorang ulama Syi'i, Abdur Razaq
al-Musawi al-Muqarram menerangkan: "Orang-orang Syi'ah menjumpai Muslim di
rumah al Mukhtar dengan sambutan hangat dan menampilkan sikap taat dan patuh.
Sikap yang membuat ia lebih gembira dan lebih bersemangat...., selanjutnya
orang-orang Syi'ah pun datang saling berbaiat kepadanya sampai tercatat
sejumlah 18.000 orang. Bahkan ada yang mengatakan sampai sejumlah 25.000 orang.
Sedang di dalam riwayat asy Sya'bi dinyatakan, orang-orang yang berbaiat
kepadanya berjumlah 40.000 orang. Kemudian Muslim menulis surat kepada Husen
bersama Abs bin Syabib asy Syakiri, memberitakan kepada beliau tentang
kesepakatan penduduk Kufah untuk patuh dan mereka yang menanti-nanti. Di
dalamnya ia menyatakan: "Seorang penunjuk jalan tidak akan mendustai
keluarganya sendiri. Bahkan sudah terdapat 18.000 orang penduduk Kufah yang
berbaiat kepadaku..." (Lihat, Maqtal al-Husain, hal. 147. Ma'saah Ihdaa wa
Sittiin, karya Abdul Husain al-‘Amiliy, hal. 24)
Seorang tokoh mereka bernama Abbas
al-Qumi mengatakan: "Al-Mufid dan mereka yang lain menerangkan:
"Masyarakat ber-baiat kepadanya (kepada Muslim bin Uqail) sampai jumlah
me-reka mencapai 18.000 orang. Lalu Muslim menulis surat kepada Husein As.
memberitahukan kepada beliau tentang 18.000 orang yang berbaiat kepadanya dan
memerintahkan agar beliau datang." (Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:436)
Abbas Al Qummi juga menerangkan:
"Melalui riwayat yang lalu, membuktikan bahwa orang-orang Syi'ah secara
diam-diam menjumpai Muslim di rumah Hani, secara rahasia. Lalu mereka pun
saling mengikutinya, dan Muslim menekankan kepada tiap-tiap orang yang berbaiat
kepadanya agar tutup mulut dan merahasiakan hal itu, sampai jumlah orang yang
berbaiat kepadanya mencapai 25.000 laki-laki. Sementara Ibnu Ziyad masih belum
mengetahui posisinya. (Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:437)
Sampai di sini barangkali kita
membayangkan bagaimana puluhan ribu orang bersiap siaga untuk menyambut
kedatangan Husen, bagaimana mereka mempersiapkan persenjataan untuk “melawan
penguasa zhalim” di bawah pimpinan sang Imam. Tapi jangan berhenti membaca di
sini, karena ternyata ending kisah tak seindah yang kita bayangkan.
Oleh Ust.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar