Syariat Seputar Iedul Adha (Bagian III)
Tugas, Kewenangan & Hak Panitia
Bila kita perhatikan firman Allah
dan hadis-hadis Nabi saw. tentang “perintah” memakan dan menyedekahkan hewan
qurban, maka kita akan mendapatkan petunjuk bahwa khithab (sasaran) “perintah”
itu ditujukan kepada Qurbani, misalkan dalam firman Allah Swt.
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ
الْفَقِيرَ
“Maka makanlah sebahagian
daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang
sengsara (sangat fakir).”
(QS. Al-Hajj:28)
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ
وَالْمُعْتَرَّ
“maka makanlah sebahagiannya dan
beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak
meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj:36)
Demikian pula sasaran “perintah”
tersebut dalam hadis-hadis Nabi saw., misalkan:
فَكُلُوا وَتَزَوَّدُوا وَادَّخِرُوا
مَا شِئْتُمْ
“Sekarang makan dan berbekallah
dengannya serta simpanlah sekehendak kalian.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad,
III:57, No. hadis 11.560)
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
"Makanlah daging kurban
tersebut dan bagilah sebagiannya kepada orang lain serta simpanlah sebagian
yang lain.”
(HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, V:2115, No. Hadis 5249, Ibnu Hibban,
Shahih Ibnu Hibban, XIII:253, No. Hadis 5248, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra,
IX:292, No. Hadis 19.000)
فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا
بِجُلُوْدِهَا وَلاَ تَبِيْعُواهَا وَاِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُوْمِهَا فَكُلُوا
إِنْ شِئْتُمْ
“Makanlah, sedekahkanlah, dan
manfaatkanlah kulitnya, dan jangan dijual, kalau kamu diberi daging kurban,
maka makanlah jika kamu mau." (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV:15, No. hadis 16.311,
16.312)
Berbagai kalimat di atas, baik yang
tercantum dalam ayat Al-Quran maupun hadis Nabi saw., menunjukkan bahwa pada
dasarnya pelaksanaan ketentuan syariat Qurban dan kaifiyat (mekanisme)
pengelolaan hewan qurban menjadi tugas dan kewenangan penuh Qurbani, termasuk
dalam menentukan bagian hak dirinya sebagai Qurbani.
Dalam konteks ini, dibentuk atau
tidaknya jami’ atau panitia Qurban tidak berhubungan dengan petunjuk syar’i,
melainkan tergantung kebutuhan atas dasar pertimbangan maslahat, apabila
Qurbani tidak sanggup atau tidak berkenan mengelolanya sendiri.
Karena itu, apabila Qurbani
menitipkan pengurusan hewannya kepada panitia, maka pelaksanaan ketentuan
syariat dan kaifiyat (mekanisme) pengelolaan hewan qurban itu menjadi
tugas dan kewenangan panitia. Karena panitia mendapat wakalah (mandat)
dari Qurbani, maka dalam konteks ini tergantung bentuk wakalah-nya,
apakah muthlaqah (bebas) atau muqayyadah (terikat). Apabila muthlaqah
maka kewenangan sepenuhnya berada ”di tangan” panitia, termasuk dalam
menentukan bagian hak Qurbani dan menetapkan status kulit. Namun apabila muqayyadah
maka kewenangan itu terikat dengan aspek-aspek yang dimandatkannya. Konsep wakalah
pengelolaan hewan qurban itu tampak jelas dalam hadis-hadis sebagaimana telah
diterangkan di atas. Dan untuk mempertegas hal itu, kita analisa kembali
hadis-hadis yang dimaksud, sebagai berikut:
وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا
لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا فِي الْمَسَاكِينِ وَلاَ يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا
مِنْهَا شَيْئًا.
“Dan beliau menyuruhnya (Ali) agar
dia membagi-bagikan seluruh bagiannya (kurbannya) baik berupa daging, kulit
maupun pelananya kepada orang-orang miskin. Dan dagingnya tidak boleh diberikan
kepada tukang potong sedikitpun sebagai upah.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:954,
No. hadis 1317, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:455, No. hadis 4143,
Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, V:241, No. hadis 10.022, Abd bin Humaid, Musnad
Abd bin Humaid, I:51, No. hadis 64)
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
أَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا
لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا لِلْمَسَاكِينِ
“Beliau menyuruhnya agar dia
membagibagikan seluruh bagiannya (kurbannya) baik berupa daging, kulit maupun
pelananya kepada orang-orang miskin." (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu
Majah, II:1054, No. hadis 3157, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:295,
No. hadis 2920, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, IX:330, No. hadis 4022)
Nabi saw. bersabda kepada Ali:
اقْسِمْ لُحُومَهَا بَيْنَ النَّاسِ
وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا وَلَا تُعْطِيَنَّ جَازِرًا مِنْهَا شَيْئًا
"Bagikanlah kepada orangorang,
dagingnya, kulitnya dan pelananya, dan jangan kamu beri orang yang menyembelih
(penjagal) sedikitpun." (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:160, No. hadis 1374)
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
اقْسِمْ لُحُومَهَا وَجِلَالَهَا وَجُلُودَهَا
بَيْنَ النَّاسِ وَلَا تُعْطِيَنَّ جَزَّارًا مِنْهَا شَيْئًا وَخُذْ لَنَا مِنْ كُلِّ
بَعِيرٍ حُذْيَةً مِنْ لَحْمٍ ثُمَّ اجْعَلْهَا فِي قِدْرٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى نَأْكُلَ
مِنْ لَحْمِهَا وَنَحْسُوَ مِنْ مَرَقِهَا فَفَعَلَ
“Bagikanlah dagingnya, pelananya dan
kulitnya kepada orang-orang dan jangan engkau memberikan sedikit pun kepada
tukang potongnya. Ambilkan untuk kami sepotong daging dari setiap ekor itu,
kemudian masukkan ke dalam satu periuk sehingga kami memakan dari dagingnya dan
minum dari kuahnya." Maka Ali pun melaksanakannya.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:260,
No. hadis 2359)
Dari hadis-hadis di atas tampak
jelas bahwa Ali sebagai panitia/Jami’ Qurban mendapat wakalah
(mandat) dari Nabi saw. sebagai Qurbani secara muqayyadah (terikat),
yaitu pada satu riwayat membagi-bagikan seluruh bagian hewan kurban, baik
berupa daging, kulit maupun pelananya. Sementara Qurbani tidak mengambil bagian
yang menjadi haknya. Sedangkan pada riwayat lainnya membagikan sebagian daging
hewan, pelananya dan kulitnya. Adapun dalam menetapkan ukuran hak Qurbani Nabi
saw. menyerahkan kewenangan sepenuhnya kepada panitia. Beliau hanya mengatakan:
وَخُذْ لَنَا مِنْ كُلِّ بَعِيرٍ حُذْيَةً
مِنْ لَحْمٍ ثُمَّ اجْعَلْهَا فِي قِدْرٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى نَأْكُلَ مِنْ لَحْمِهَا
وَنَحْسُوَ مِنْ مَرَقِهَا
“Ambilkan untuk kami sepotong daging
dari setiap ekor itu, kemudian masukkan ke dalam satu periuk sehingga kami
memakan dari dagingnya dan minum dari kuahnya." (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:260,
No. hadis 2359)
Hadis ini menjadi dalil bahwa
panitia memiliki kewenangan dalam menetapkan ukuran hak Qurbani dan Non-Qurbani,
termasuk hak anggota panitia itu sendiri.
Selain mendapatkan mandat dari
Qurbani, panitia mendapatkan pula amanat syariat berupa larangan memberikan bagian
hewan kurban kepada tukang potong sedikitpun sebagai upah. Namun apabila dia
termasuk mustahiq non-Qurbani maka tidak mengapa bagian hewan kurban
diberikan kepadanya. (Lihat, Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, III:556)
Adapun untuk “pos” upah, maka Ali menetapkan mekanisme tersendiri, yaitu: “Kami
suka memberinya (upah) dari kami sendiri.“ Secara mekanisme, untuk menutupi “pos”
ini (upah) khususnya dan biaya operasional umumnya, apabila pimpinan & anggota
panitia tidak memiliki biaya dari kocek pribadi masing-masing, maka dibenarkan
untuk meminta dana tambahan berupa shadaqah/infak dari Qurbani.
Memperjual-belikan Hasil Sembelihan
عَنْ قَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ اَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ (فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ) فَقَالَ
: إِنِّى كُنْتُ أَمَرَتُكُمْ اَنْ لاَ تَأْكُلُوا اْلأَضَاحِيَ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
لِتَسَعَكُمْ وَإِنِّى أُحِلُّهُ لَكُمْ فَكُلُوا مِنْهُ مَا شِئْتُمْ وَلاَ تَبِيْعُوا
لُحُومَ الْهَدْيَ وَاْلأَضَاحِي فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا
وَلاَ تَبِيْعُواهَا وَاِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُوْمِهَا فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ
Dari Qatadah bin Nu'man, "Bahwa
sesungguhnya Nabi saw. berdiri (diwaktu haji wada'), maka beliau bersabda, "Kami
pernah memerintahkan kamu agar tidak memakan daging kurban lebih dari tiga
hari, supaya daging itu merata diterima , dan sekarang sungguh aku
membolehkannya, maka silahkan makan sekehendak kamu, dan janganlah menjual
daging hadyu atau kurban, makanlah, sedekahkanlah, dan manfaatkanlah kulitnya,
dan jangan dijual, kalau kamu diberi daging kurban, maka makanlah jika kamu
mau."
(HR. Ahmad,Musnad Ahmad, IV:15, No. hadis 16.311, 16.312)
Berdasarkan kalimat:
وَلاَ تَبِيْعُوا لُحُومَ الْهَدْيَ
وَاْلأَضَاحِي
“dan janganlah menjual daging hadyu
atau kurban.”
وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا وَلاَ
تَبِيْعُوهَا
“Manfaatkanlah kulitnya, dan jangan
dijual.”
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV:15, No. hadis 16.311, 16.312)
Kita mendapatkan petunjuk bahwa khithab
(sasaran) “larangan menjual” itu ditujukan kepada Qurbani.
Dengan demikian, pada dasarnya
Qurbani tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik
daging, kulit, kepala, tengkleng, bulu, tulang maupun bagian yang lain.
Sehubungan dengan itu, Imam Al-Qurthubi berkata:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ جُلُودَ الْهَدْيِ
وَجِلَالِهَا لَا تُبَاعُ لِعَطْفِهِمَا عَلَى اللَّحْمِ وَإِعْطَائِهِمَا حُكْمَهُ
وَقَدْ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ لَحْمَهَا لَا يُبَاعُ فَكَذَا الْجُلُودُ وَالْجِلَالُ .
“Pada hadis itu terdapat dalil bahwa
kulit hadyu dan pelananya tidak boleh dijual, karena penyebutan keduanya
dihubungkan dengan larangan menjual daging dan hokum keduanya sama dengan hokum
menjual daging. Dan sungguh mereka (para ulama) telah sepakat bahwa dagingnya
tidak boleh dijual, maka begitu pula kulit dan pelananya.” (Lihat, Bustan Al-Ahbar
Mukhtashar Nail Al-Awthar, II:422)
Ketentuan ini berlaku pula bagi
panitia yang mendapatkan wakalah muqayyadah (mandat terikat) dari
Qurbani, sebagaimana ditujunkkan dalam hadis-hadis di atas:
وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا
لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا فِي الْمَسَاكِينِ
“Dan beliau menyuruhnya (Ali) agar
dia membagibagikan seluruh bagiannya (kurbannya) baik berupa daging, kulit
maupun pelananya kepada orang-orang miskin.” (HR. Muslim, Shahih Muslim,
II:954, No. hadis 1317, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:455, No. hadis 4143,
Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, V:241, No. hadis 10.022, Abd bin Humaid, Musnad
Abd bin Humaid, I:51, No. hadis 64)
أَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا
لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا لِلْمَسَاكِينِ
“Beliau menyuruhnya agar dia
membagibagikan seluruh bagiannya (kurbannya) baik berupa daging, kulit maupun
pelananya kepada orang-orang miskin." (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu
Majah, II:1054, No. hadis 3157, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:295,
No. hadis 2920, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, IX:330, No. hadis 4022)
اقْسِمْ لُحُومَهَا بَيْنَ النَّاسِ وَجُلُودَهَا
وَجِلَالَهَا
"Bagikanlah kepada orangorang,
dagingnya, kulitnya dan pelananya.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:160, No. hadis 1374)
اقْسِمْ لُحُومَهَا وَجِلَالَهَا وَجُلُودَهَا بَيْنَ
النَّاسِ
“Bagikanlah dagingnya, pelananya dan
kulitnya kepada orang-orang.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:260, No. hadis 2359)
Dari hadis-hadis di atas tampak
jelas bahwa Ali sebagai panitia/Jami’ Qurban mendapat wakalah (mandat)
dari Nabi saw. sebagai Qurbani secara muqayyadah (terikat), yaitu
membagi-bagikan seluruh bagian hewan kurban, baik berupa daging, kulit maupun
pelananya.
Dengan adanya wakalah muqayyadah
(mandat terikat) dari Qurbani itu, maka panitia tidak diperbolehkan
memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, termasuk kulit.
Tetapi apabila bagian hewan
sembelihan itu telah beralih status menjadi hak milik seseorang non-Qurbani,
maka terserah pemiliknya apakah untuk dimakan, dikornetkan, diberikan kepada
yang lain, dimanfaatkan, maupun dijual. Hal itu sebagaimana disabdakan Nabi
saw.
وَاِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُوْمِهَا
فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ
“Kalau kamu diberi daging kurban,
maka makanlah jika kamu mau." (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV:15, No. hadis 16.311,
16.312)
Kata Imam Asy-Syawkani, Sabda Nabi
saw.
وَاِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُوْمِهَا
فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ
“Kalau kamu diberi daging kurban,
maka makanlah jika kamu mau.”
فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ
لِمَنْ أَطْعَمَهُ غَيْرُهُ مِنْ لَحْمِ الأُضْحِيَّةِ أَنْ يَأْكُلَ كَيْفَ شَاءَ
وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا
“Padanya terdapat dalil bahwa
dibolehkan bagi seseorang yang diberi daging kurban oleh orang lain untuk
memakan sesuka hatinya meskipun ia orang kaya.“ (Lihat, Nail Al-Awthar Syarh
Muntaqa Al-Akhbar, VIII:337)
Dengan demikian, tentang kulit—yang
biasanya dianggap menimbulkan masalah—bagi orang yang menerima kulit dibolehkan
memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan
lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang
adalah menjual kulit sebelum dibagikan atau dialihstatuskan.
Karena itu, apabila panitia mendapat
wakalah muthlaqah (mandat bebas) maka perlu menetapkan status kulit itu,
apakah akan dialihstatuskan menjadi hak anggota panitia atau hak non-Qurbani
lainnya. Apabila sudah jelas statusnya, penerima kulit dibolehkan memanfaatkan
kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena
status barang itu sudah menjadi haknya.
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar