Ketentuan Qadha & Fidyah (Bagian II-Tamat)
Pengertian Fidyah Shaum
Fidyah shaum artinya memberi makan
kepada fakir-miskin sebesar makanan yang biasa dimakan setiap hari sebagai
ganti jumlah hari tidak shaum pada bulan Ramadhan. (Lihat, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah
Al-Kuwaitiyyah, juz 33, hlm. 63-64)
Siapa yang wajib fidyah?
Firman Allah swt :
وَعَلَى
اَّلذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan atas orang-orang yang berat
sekali baginya mengerjakan shaum, wajib memberikan fidyah, yaitu memberikan
makanan kepada seorang miskin. Maka barangsiapa bertathawwu (menambah) dengan
sesuatu kebaikan, maka itu lebih baik baginya. Dan bahwa shaummu itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui. Q.S. Al-Baqarah : 184
Ayat ini mencakup empat orang yang
menghadapi kondisi sebagai berikut:
(1) Orang Tua
Dalam hal ini adalah orang tua yang
sudah lanjut usia, terlalu payah, bahkan kemungkinan membahayakan
keselamatannya bila bershaum. Sahabat Ibnu Abas mengatakan:
رُخِّصَ
لِلشَّيْخِ الكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلاَ
قَضَاءَ عَلَيْهِ. -رواه الدار قطني والحاكم -
“Telah diberi keringanan bagi orang
tua lanjut usia (yang payah melakukan shaum) untuk berbuka dan memberi makanan
kepada seorang miskin setiap hari, dan tidak ada qadha
baginya.” H.R. Ad-Daraqutni, Sunan ad-Daraquthni, II: 205; Al-Hakim,
Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahiihain, I: 440.
(2) Perempuan Hamil atau Menyusui
Dapat kita klasifikasikan bahwa
perempuan hamil atau menyusui ini terbagi dalam tiga kelompok:
Pertama, perempuan itu kuat melaksanakan
shaum dan tidak berdampak negatif bagi dirinya dan bayinya, maka baginya tetap
berlaku hukum asal, yaitu wajib shaum.
Kedua, perempuan itu kuat melaksanakan
shaum tetapi dikhawatirkan timbul akibat yang kurang baik terhadap dirinya atau
bayinya, maka dianjurkan berbuka dan memang berbuka shaum itu lebih baik bagi
diri dan bayinya, dan ia wajib ber-fidyah.
Ketiga, perempuan itu akan terancam
kesehatan/keselamatan dirinya dan atau bayinya apabila melakukan shaum. Maka
dalam keadaan seperti ini ia wajib tidak shaum/berbuka shaum, dan ia wajib
berfidyah.
Dengan uraian di atas maka hukum
perempuan yang kedua dan ketiga sejalan dengan fatwa Ibnu Abas terhadap
perempuan hamil dan menyusui sebagai berikut:
أَنْتِ مِنَ
الَّذِينَ لاَ يُطِيقُونَ الصِّيَامَ وَعَلَيْكِ الجَزَاءُ وَلَيْسَ عَلَيْكِ
القَضَاءُ
“Kamu sekedudukan dengan orang yang
payah untuk shaum, maka wajib atas kamu fidyah dan tidak ada qodha.” H.R. Ad-Daraqutni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 206,
No. 8
(3) Dan yang sakit yang tidak
diharapkan lagi sembuhnya,
(4) Pekerja yang melakukan pekerjaan
berat
Yaitu mereka yang tidak mendapatkan
kesempatan mencari rezeki kecuali dari pekerjaan itu, seperti para pekerja di
penambangan, ia diperbolehkan untuk berbuka saum tetapi ia harus membayar
fidyah. (lihat, Fiqhus
Sunnah, I:429)
Jenis dan Kadar Fidyah
Di dalam nash (teks) Al Qur`an atau As-Sunnah tidak
disebutkan tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Al-Qur’an
hanya menyebutkan:
فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ
“wajib memberikan fidyah, yaitu
memberikan makanan kepada seorang miskin.” Q.S. Al-Baqarah : 184
Sehubungan dengan itu, para ulama
berbeda pendapat dalam menetapkan kadar dan jenis fidyah itu.
Ibnu Abas, tidak menetapkan kadar
dan jenis fidyah. Ia hanya mengatakan:
رُخِّصَ
لِلشَّيْخِ الكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلاَ قَضَاءَ
عَلَيْهِ. -رواه الدار قطني والحاكم -
Telah di-rukhsakh-kan bagi orang tua
lanjut usia (yang payah melakukan shaum) untuk berbuka dan memberi makanan kepada seorang miskin,
tidak ada qadha baginya. H.R.
Ad-Daraqutni,Sunan ad-Daraquthni, II: 205; Al-Hakim, Al-Mustadrak
‘Ala Ash-Shahiihain, I:
440.
Namun dalam riwayat Ath-Thabari,
Ibnu Abbas memberikan pedoman ukuran secara teknis sebagai berikut:
فَلْيَتَصَدَّقْ
عَلَى مِسْكِينٍ وَاحِدٍ لِكُلِّ يَوْمٍ أَفْطَرَهُ حِينَ يُفْطِرُ وَحِينَ يَتَسَحَّرُ
“Bershadaqalah kepada seorang miskin
untuk setiap hari ia berbuka, ketika waktu berbuka dan ketika waktu sahur.” (Tafsir Ath-Thabari, III:171)
Demikian pula ulama tabi’in dan
tab’ut tabi’in, seperti Ibnu Syihab Az-Zuhri, Asy-Sya’bi dan Atha, dan
Al-Hasan Al-Bishri tidak menetapkan kadar dan jenis fidyah. (Tafsir
Ath-Thabari, III:163-165)
Sementara ulama lainnya menetapkan
kadar dan jenis fidyah. Misalnya, menurut Alqamah dan Ibrahim An-Nakha’i,
“wajib memberi makanan
kepada seorang miskin 1/2
sha’.” (Tafsir Ath-Thabari, III:162) Menurut
Abu Hanifah, 1/2 sha’ (=2 mud) burr (gandum) atau 1 sha’ selainburr,
seperti tamr (kurma) atau sya’iir (gandum). (At-Tafsirul
Muniir, juz 2, hlm. 141).
Sedangkan menurut Sa’id bin
Al-Musayyab, sebanyak 1 mud hinthah (biji gandum). (Tafsir
Ath-Thabari, III:171). Sementara jumhur ulama berpendapat, 1
mud makanan pokok suatu negeri. (At-Tafsirul Muniir, juz
2, hlm. 141).
Menurut Imam An-Nawawi,
"Pendapat pertama, kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap
hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan
pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat
yang paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti
makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga,
diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada." (Lihat, Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab,
juz VI, hlm. 420)
Adapun ukuran satu mud adalah
seperempat sha'. Dan sha' yang dimaksud ialah sha' nabawi, yaitu sha'-nya Nabi
Saw. Satu sha' nabawi sebanding dengan 480 mitsqal dari biji gandum yang
bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal sebanding dengan
2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram. (Syarhul
Mumti' , juz 6, hlm.
176)
Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al
Bassam, satu sha' nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram,
karena satu sha' nabawi sama dengan 3000 gram. (Taudhih Al
Ahkam Syarah
Bulughul Maram, III:178)
Sementara menurut Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, 1 mud itu sama dengan 675 gram dan 1 sha’ sama dengan 2751 gram. (At-Tafsirul
Muniir, juz 2, hlm. 141).
Berdasarkan ukuran yang telah
disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum
berkisar antara 510 hingga 675 gram. Sedangkan selain biji gandum, seperti
beras, jagung dan yang lainnya adalah ½ sha’ berkisar antara 1375 hingga 1500
gram.
Setelah memperhatikan berbagai
pendapat di atas, kami cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa kadar
dan jenis fidyah itu adalah seukuran makanan yang biasa dia makan setiap hari
atau yang senilai dengan itu. Dengan pertimbangan sebagai berikut:
Karena di dalam nash (teks) Al Qur`an atau As-Sunnah tidak
disebutkan tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan, maka
ketetapannya kita kembalikan kepada 'urf (kebiasaan yang lazim), sebagaimana
dinyatakan dalam kaidah fiqih:
إِنَّ مَا
لَيْسَ لَهُ ضَابِطٌ فِي الشَّرْعِ وَلاَ فِي اللُّغَةِ يَرْجِعُ إلَى الْعُرْفِ
“Sesuatu yang tidak memiliki
batasan, baik secara syariat maupun bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf.” (Nihayatus
Sul Syarh Minhaj Al-Wushul: 305)
Dengan demikian, kadar dan jenis
fidyah yang harus dikeluarkan oleh orang yang wajib fidyah itu
dikembalikan kepada ‘urf khas, yakni kebiasan
masing-masing orang yang bersangkutan. Tetapi jika mengeluarkan lebih, hal itu
lebih baik baginya. Demikian pula melebihkan jumlah orang miskin yang
menerimannya. Dalam hal ini Allah Swt.
berfirman:
فَمَنْ
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ
“Maka barangsiapa bertathawwu
(menambah) dengan sesuatu kebaikan, maka itu lebih baik baginya.“ Q.S.
Al-Baqarah : 184
Cara & Waktu Membayar Fidyah
Cara membayar fidyah bisa dilakukan
dengan dua hal: Pertama,
memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah
hari-hari yang dia tidak bershaum, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat
Anas bin Malik ketika beliau tua. (HR. Al-Baihaqi). Kedua, memberikan kepada
orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Namun lebih baik bila disertai
dengan lauk-pauknya berupa daging, atau yang lainnya, sehingga sempurna
pengamalan terhadap firman Allah yang telah disebutkan.
Adapun waktu membayar fidyah
terdapat pilihan: dapat membayar fidyah untuk seorang miskin pada hari itu
juga, atau mengakhirkan hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana
dikerjakan sahabat Anas ketika beliau tua.
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar