Hadis-Hadis Dha’if di Seputar Ramadhan (Bagian II)
Apabila sebagian unsur hadis shahih—sebagaimana telah dijelaskan—tidak
terdapat pada suatu hadis, maka hadis yang bersangkutan bukanlah hadis
sahih. Hadis yang tidak shahih dikategorikan menjadi dua jenis: (a) hasan dan
(b) dha’if.
Hadis Hasan
Hadis hasan adalah:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ خَفِيْفُ الضَّبْطِ
مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ.
“Hadis yang disampaikan oleh orang yang adil, kurang sempurna hafalannya,
muttashil sanadnya, tidak ada ilat, dan tidak syadz.”
Definisi di atas mengacu kepada kriteria Ibnu Hajar al-Asqalani, sebagai
berikut:
وخبر الآحاد بنقل عدل تام الضبط متصل
السند غير معلل ولا شاذ هو الصحيح لذاته ،فان خَف الضبط،فالحَسَنُ لذاته
“Dan khabar ahad yang disampaikan oleh orang yang adil, sempurna
hafalannya, tidak ada ilat, dan tidak syadz, itulah khabar yang shahih
lidzatihi (shahih secara mandiri). Jika kurang sempurna hafalannya,
maka dikategorikan hasan lidzatihi.” (Lihat, Nukhbah
al-Fikr:29 dan 34)
Berdasarkan penjelasan Ibnu Hajar di atas, tampak jelas perbedaan
antara hadis shahih dengan hadis hasan, yaitu dalam unsur dhabit (hapalan)
rawi. Dalam hadis shahih disyaratkan tamm ad-Dhabth (sempurna
hafalannya), sedangkan dalam hadis hasan khafif ad-Dhabth (kurang
sempurna hafalannya).
Perlu diketahui bahwa hadis hasan terbagi menjadi dua bagian:
Pertama, disebut Hasan Lidzatihi (secara mandiri), yaitu
hadis yang memenuhi kriteria hasan di atas. Sebagai contoh hadis hasan
lidzatihi antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Bahz
bin Hakiem, dia berkata
حَدَّثِنْى أَبْي عَنْ جَدِّى قَالَ:
قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَبِرُ ؟ قَالَ أُمَّكَ. قَالَ قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ
؟ قَالَ : ثُمَّ أُمَّكَ. قَالَ قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمَّكَ
ثُمَّ أَبَاكَ, ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ
‘Bapaku telah bercerita kepadaku, dari kakekku, dia berkata, ‘Saya
pernah bertanya kepada Rasulullah saw., ‘Kepada siapa aku harus berbakti ? Beliau menjawab, ‘Ibumu’, saya
bertanya lagi, terus siapa lagi ? ‘beliau menjawab, ‘Ibumu, lalu aku bertanya
lagi, siapa lagi ? ‘Beliau menjawab, Ibumu, lalu bapakmu, lalu saudaramu yang
paling dekat dan yang seterusnya.’. HR. Ahmad
Hadis ini dinilai hasan lidzatihi, karena salah seorang
rawinya, yakni Bahz bin Hakiem kurang kuat hafalannya.
Kalau hadis seperti ini diriwayatkan pula melalui rawi lain yang sederajat
atau lebih kuat, baik sama sahabatnya atau berbeda, maka hadis hasan
lidzatihi naik derajatnya menjadi shahih La Lidzatihi atau Shahih Li
Ghairihi.
Kedua, disebut Hasan Lighairi atau La Lidzatihi
Menurut Imam as-Suyuthi, Hasan Lighairi adalah hadis yang
tidak terlepas sanadnya dari orang yang mastur (tidak dikenal) –tidak nampak
keahliannya-, bukan orang yang pelupa yang banyak salahnya dalam meriwayatkan
hadis, tidak dicurigai bohong, tidak fasik, dan keadaan matan hadisnya dikenal
dengan dasar riwayat yang sama, baik dari segi lafad dan maknanya atau maknanya
saja.” (Lihat, Tadrib ar-Rawi, I:158).
Definisi ini menunjukan bahwa hadis hasan lighairihi asalnya
hadis dha’if yang naik derajatnya menjadi hasan lighairihi disebabkan
dua faktor:
Pertama, dikuatkan oleh rawi lain yang sahih atau hasan lidzatihi,
baik satu atau lebih
Kedua, sebab dha’ifnya karena buruk hafalannya atau munqathi (putus) sanad
(jalur periwayatannya), atau majhul (tidak dikenal) rawi-rawinya.
Tapi kalau dha’ifnya itu disebabkan katsirul khata dan katsirul
ghalat, yaitu banyak salah dalam meriwayatkan hadis. Demikian pula cacatnya
berkaitan dengan akidah dan akhlak maka derajatnya tetap daif, tidak naik
menjadi hasan lighairihi, walaupun "dikatrol" oleh
jalur lain yang shahih atau hasan lighairi.
Contoh hadis hasan ligharihi
حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ أَنْ
يَغْتَسِلُوْا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيْبِ أَهْلِهِ
فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيْبٌ
“Hak bagi kaum muslim mandi pada hari Jum’at. Dan hendaklah salah seorang
di antara mereka mamakai pengharum keluarganya. Kalau tidak ada air pun cukup
sebagai pengharum.”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at-Tirmidzi melalui seorang
rawi bernama Yazid bin Abu Ziyad. Imam ad-Dzahabi menerangkan bahwa Yazid
terkenal buruk hafalan (Lihat, Mizan al-I’tidal, IV:423).
Meskipun demikian hadis tersebut diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari
dari sahabat Abu Sa’id dengan perbedaan redaksi sebagai berikut:
أَلْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ
عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيْبًا إِنْ وَجَدَ.
“Mandi pada hari ju’at itu wajib bagi setiap orang muslim yang sudah
balig, dan mengerjakan yang sunat, dan memakai pewangi kalau ada.”
Riwayat al-Bukhari itu menguatkan periwayatan Yazid bin Abu Ziyad
dalam riwayat At-Tirmidzi dan Ahmad di atas, sehingga naik derajatnya menjadi hasan
lighairihi.
Perlu diketahui bahwa istilah hasan telah dipergunakan pada abad ke-2 H,
misalnya oleh Imam as-Syafi'i dan Imam Ahmad, namun waktu itu belum
dipublikasikan atau belum begitu dikenal secara meluas. Istilah ini kemudian
menjadi populer, diperkenalkan secara luas oleh Imam at-Tirmidzi, sebagai murid
al-Bukhari, melalui kitabnya Sunan at-Tirmidzi, yaitu dalam kitab
tersebut beliau banyak memuat dan menyebut istilah hasan. Karena itu, Imam
An-Nawawi berkata,
كِتَابُ التِّرْمِذِيِّ أَصْلٌ فِي
مَعْرِفَةِ الْحَسَنِ وَهُوَ الَّذِيْ شَهَّرَهُ
“Kitab sunan At-Tirmidzi merupakan sumber pokok dalam mengenal hadis hasan
dan dialah yang memasyhurkan/memperkenalkan istilah ini”. (Lihat, At-Taqrib wa
At-Taisir, 1985:30)
Menurut penelitian kami, didalam kitab Sunan at-Tirmidzi,
istilah hasan disebut atau digunakan sebanyak 1505 kali, dengan variasi bentuk hasananun
shahihun 1347 kali, hasanun ghariebun 501 kali, gariebun
hasanun shahihun 2 kali, hasanun shahihun gharibun 156
kali, hasanun ghariebun shahihun 53 kali.
Hadis Dha’if
Hadis dha’if
هُوَ مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ الصَّحِيْحِ
وَ الْحَسَنِ
“ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih dan hasan.
(Lihat, Ushul al-Hadits:337)
Sebab-sebab dha’if ada dua macam:
Pertama: سَقْطٌ مِنْ إِسْنَادٍ (putus sanadnya)
Yaitu putus sanadnya karena “hilangnya” seorang rawi atau lebih pada sanad
(jalur periwataran), baik di awal, di tengah, atau di akhir sanad. Ada tiga
faktor yang menyebabkan “hilangnya” mata rantai sanad:
Pertama, tidak sejaman, hadisnya disebut
§
Mu’allaq (jika “hilang” di awal sanad)
§
Mu’dhal (jika “hilang” dua rawi atau lebih
secara berurutan di tengah sanad)
§
Munqathi’ (jika “hilang” satu rawi atau lebih di tengah sanad, tapi tidak
secara berurutan)
§
Mursal jalli (jika “hilang” di akhir sanad)
Kedua, sejaman tidak bertemu, hadisnya disebut Mursal Khafi
Ketiga, bertemu tapi tidak berguru, hadisnya disebut: Mudallas.
Contoh hadis dha’if karena putus sanadnya
أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْ نِسْوَةً فِي
الْمَكْتُوْبَةِ فَأَمَّتْهُنَّ بَيْنَهُمَا وَسَطًا
“Aisyah pernah mengimami perempuan-perempuan pada salat fardlu, dia
berdiri ditengah-tengah mereka”. H.r. Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra,
III:131
Hadis di atas dikategorikan sebagai hadis daif karena rawi bernama Maisarah
Abu Hazim tidak menerima hadis itu dari Raithah al-Hanafiyyah. (Lihat, Tahdzib al-Kamal,
XXIX:192, rawi No. 6326)
Kedua: طَعْنٌ فِي رَاوٍ (cacat pada rawinya)
Cacat pada rawi terbagi ke dalam dua jenis:
Pertama, berkaitan dengan ‘adalah (integritas
moral):
1. Rawinya pendusta, hadisnya disebut
Maudu’
2. Rawinya dicurigai dusta, hadisnya
disebut Matruk.
3. Rawinya fasik, hadisnya disebut Munkar.
4. Rawinya ahli bid’ah, hadisnya disebut
Munkar.
5. Rawinya tidak dikenal, hadisnya disebut
Majhul.
Kedua, berkaitan dengan dhabth (daya hafal dan
kapasitas intelektual):
1. Rawinya banyak salah, hadisnya disebut
Munkar.
2. Rawinya banyak lupa, hadisnya disebut
Munkar.
3. Rawinya banyak perkiraan (ragu-ragu),
hadisnya disebut Mu’allal.
4. Rawinya menyalahi periwayatan rawi
lain yang shahih, hadisnya disebut
§
Mudraj, yaitu terdapat sisipan rawi pada sanad
atau kata/kalimat pada matannya.
§
Maqlub, yaitu terbalik dalam penamaan rawi
atau redaksi matan.
§
Mudhtharib, yaitu diriwayatkan dari beberapa jalan dengan redaksi yang
saling bertentangan dan tidak bisa ditentukan mana yang benar.
§
Mushahhaf, yaitu terjadi perubahan titik pada nama rawi atau redaksi matan.
§
Muharraf, yaitu terjadi perubahan syakal atau
huruf pada nama rawi atau redaksi matan.
5. Rawinya buruk hafalan, hadisnya disebut:
§
Syadz, bila buruk hapalannya sudah sejak
lama.
§
Mukhtalith, bila buruk hapalannya terjadi pada masa tua, karena pikun, buta matanya
atau terbakar kitabnya.
Contoh hadis dha’if karena cacat rawi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ
الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ – رواه أبو داود و البيهقي
وأحمد والطحاوي و الدارقطني والنسائي و الدارمي
–
Dari Abu Huraerah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Apabila
seseorang hendak sujud, maka janganlah menderum seperti menderumnya unta, dan
hendaklah ia menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. H.r. Abu Daud,
Al-Baihaqi, Ahmad, At-Thahawi, Ad-Daraquthni, An-Nasai, dan Ad-Darimi.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
كَانَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.رواه
الدارقطني
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah saw. bila hendak sujud, beliau
menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. H.r. Ad-Daraquthni.
Hadis di atas dikategorikan sebagai hadis daif, karena pada sanad hadis
pertama (Abu Huraerah) terdapat cacat dalam dhabth rawi
bernama Abdul Aziz bin Muhamad Ad-Darawardi (w. 187 H). Abu Zur’ah berkata,
“Buruk hapalan” (Lihat, Tahdzib al-Kamal XVIII:194). Sedangkan
pada sanad hadis kedua (Ibnu Umar) terdapat cacat dalam ‘adalah rawi
bernama Abdullah bin Nafi as-Shaig. Kata Abu Zur’ah, “Dia munkarul hadits
(hadisnya tidak halal diriwayatkan)” (Lihat, Tahqiq Tahdzib al-Kamal,
XVI:210)
Contoh hadis dha’if karena cacat rawi:
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُوْدٌ فَأَذَّنَ
فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ
الصِّبْيَانِ
“Siapa yang melahirkan anak, lalu diadzani pada telinga sebelah kanan
dan diqamati pada telinga sebelah kirinya, maka anak itu tidak akan diganggu
oleh Ummus Shibyan (jin)”. H.r. Abu Ya’la, Ibnu as-Suniy, dalam kitabnya ‘Amal al-Yawm wa
al-Lailah, dan Ibnu Asakir, dari As-Sayid al-Husen.
Hadis di atas dha’if, karena pada sanadnya terdapat rawi Marwan bin Salim
al-Ghifari, Kata Imam as-Suyuthi, “Dia matruk.” (Lihat, Jami’
al-Ahadits al-Kabir, I:24.774) Penilaian yang sama disampaikan oleh
al-Haitsami. (Lihat,Majma’ az-Zawa’id, IV:59)
Hukum Mengamalkan Hadis dha’if
Ahmad Muhammad Syakir berkata, “(artinya) Menurut saya, menjelaskan
kedha’ifan satu hadis yang dha’if merupakan kewajiban pada setiap keadaan.
Sebab, kalau tidak dijelaskan seperti itu, maka orang yang membaca akan
menyangka bahwa itu adalah hadis shahih. Sesungguhnya tidak ada bedanya
mengenai hal ini, baik hadis yang berkaitan dengan hukum atau fadla’ilul A’mal
dan sebagainya, semuanya tetap tidak boleh menggunakan hadis-hadis dla’if,
bahkan tidak ada hujjah buat siapa saja kecuali dengan hadis dari Rasulullah
saw. baik hadis shahih atau hasan. Adapun perkataan Ahmad bin Hanbal,
Abdurrahman bin Mahdi, dan Ibnu Mubarak: “Kalau kami meriwayatkan (hadis)
mengenai halal dan haram, kami akan memperketat (persyaratan mengenai sanadnya
dan keadaan para rawinya), tetapi kalau meriwayatkan (hadis) yang berkaitan
dengan fadla’il (keutamaan) amal dan yang lainnya (dorongan berbuat baik,
ganjaran, doa-doa, dan banyak lagi), maka kami mempermudah persyaratan
sanadnya”, maka yang dimaksud oleh mereka menurut pemahaman saya,wallahu
A’lam, yaitu mengenai penggunaan hadis hasan yang tidak sampai kepada
derajat shahih. Sebab, istilah-istilah yang membedakan antara yang shahih dan
yang hasan, pada masa itu hampir tidak jelas. Apalagi orang-orang dahulu pada
umumnya tidak memberi predikat pada satu hadis kecuali dengan shahih dan hasan
saja”. (Lihat, al-Ba’its al-Hatsits syarah Ikhtishar Ulum al-Hadits:
86-87)
Kesimpulan
Sesungguhnya kita sudah mempunyai hadis-hadis shahih mengenai fadhaiul
A’mal, dorongan berbuat baik atau peringatan dari berbuat maksiat, dari
himpunan sabda-sabda Nabi yang banyak sekali, dan tidak perlu dijelaskan lagi
disini mengenai sifat-sifat hadis itu. Hadis yang seperti itu sudah cukup buat
kita, sehinggai kita tidak perlu mengambil lagi hadis-hadis dha’if dalam hal
ini, apalagi keutamaan-keutamaan mengenai akhlaqul karimah termasuk pokok-pokok
agama. Tidak ada bedanya antara hadis yang berkaitan dengan akhlak dan urusan
hukum, keduanya harus berdasar pada hadis shahih atau hasan.
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar