Hadis-Hadis Dha'if di Seputar Ramadhan (Bagian I)
Pendahuluan
Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, disamping al-Qur’an. Dilihat dari
periwayatannya hadis berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur'an, semua
periwayatanya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadis, sebagian
periwatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung ahad.
Hadis mengenal istilah shahih, hasan, dhaif bahkan mawdhu’ (palsu) yang
menunjukkan derajat statusnya. Hal demikian itu berarti menghendaki kita
memperlakukan hadis secara berbeda sesuai dengan statusnya, sehingga dalam
kaitan hadis kita harus cermat, siapa yang meriwayatkan, bagaimana isinya dan
bagaimana kualitasnya. Kualitas dari hadis ini akan berpengaruh pada
pengambilan hadis, baik dalam pijakan hukum Islam maupun bidang lainnya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa al-Qur'an tidak lagi perlu
dilakukan penelitian terhadap keasliannya, karena sudah tidak ada keraguan
terhadapnya. sedangkan hadis perlu sikap kritis untuk menyikapi kehadirannya
dengan diadakan penelitian, dari penelitian ini akan diketahui bahwa hadis ini
memang benar dari Nabi Muhammad dan bukan hadis yang palsu. Penelitian ini
bukan meragukan keseluruhan hadis Nabi tetapi lebih kepada kehati-hatian kita
dalam pengambilan dasan hukum dalam agama. Inilah bukti bahwa kita benar-benar
ingin mengikuti Nabi Muhammad dan menjalankan Islam sepenuhnya.
Dari pentingnya permasalahan ini maka muncullah berbagai macam kritik atas
hadis dengan hadirnya metodologi kritik hadis atau metodologi penelitian hadis.
Dalam ilmu hadis tradisi penelitian ini lebih difokuskan kepada unsur pokok
hadis yaitu sanad, matan dan rawi.
Kriteria Hadis Shahih
Untuk menentukan sahih dan tidaknya suatu hadis yang diriwayatkan, para
ahli hadis umumnya menetapkan kriteria sebagai berikut:
a) diriwayatkan dengan sanad muttashil.
Maksudnya setiap rawi yang ikut ambil bagian dalam periwayatan, bertemu dan
menerima langsung apa yang diriwayatkannya itu dari gurunya (Lihat, Manhaj
al-Naqd fi Ulum al-Hadis, Dar el-Fikr, 1996, hal. 242)
b) rawi-rawinya ‘adl dan dhabt.
- ‘adl atau ‘adalah
Menurut Dr. ‘Ajaj al-Khatib,
صِفَةٌ رَاسِخَةٌ فِي النَّفْسِ تَحْمِلُ
صَاحِبَهَا عَلَى مُلاَزَمَةِ التَّقْوَى وَالْمُرُوْءَةِ فَتَحْصُلَ ثِقَةُ
النَّفْسِ بِصِدْقِهِ وَيُعْتَبَرُ فِيْهَا الإِجْتِنَابُ عَنِ الْكَبَائِرِ
وَعَنْ بَعْضِ الصَّغَائِرِ…
“Sifat yang melekat pada jiwa, yang akan membawa (pemiliknya) kepada ketetapan
taqwa dan muru’ah secara menyeluruh, hingga memperoleh kredibilitas karena
kejujurannya, dan dalam hal ini diperhatikan pula meninggalkan dosa-dosa besar
serta sebagian dosa kecil…” (Lihat, Ushul al-Hadis, Dar al-Ma’arif, 1985, hal. 231-232.
Bandingkan dengan Muhamad bin Ali bin Muhamad al-Syaukani, Irsyad
al-Fuhul, Dar el-Fikr, t.t., hal. 51; Dr. M. Azami, Manhaj al-Naqad
‘Inda al-Muhadditsin, Maktabah al-Kautsar, Mekah, 1990, hal.24)
Menurut Dr. Nur al-Din ‘Itr,
مَلَكَةٌ تَحْمِلُ صَاحِبَهَا عَلَى
التَّقْوَى وَاجْتِنَابِ الأَدْنَاسِ وَمَا يُخِلُّ بِالْمُرُوْءَةِ عِنْدَ
النَّاسِ
“Tabiat yang membawa pemiliknya kepada taqwa, meninggalkan dosa, dan
perilaku yang dapat merusak muru’ah menurut manusia”. (Lihat, Manhaj al-Naqd,
op.cit. hal. 79)
Menurut Al-Sarkhasi (W. 490 H/1096 M),
…ثُمَّ العَّدَالَةُ نَوْعَانِ ظَاهِرَةٌ
وَبَاطِنَةٌ فَالظَاهِرَةُ تَثَبَتْ بِالدِّيْنِ وَالْعَقْلِ عَلَى مَعْنًى أَنَّ
مَنْ أَصَابَهَا فَهُوَ عَدْلٌ ظَاهِرًا لأَنَّهُمَا يَحْمِلاَنِهِ عَلَى
الإِسْتِقَامَةِ وَيَدْعُوَانِهِ إِلَى ذلِكَ وَالْبَاطِنَةٌ لاَ تُعْرَفُ إِلاَّ
بِالنَّظَرِ فِي مُعَامَلاَتِ الْمَرْءِ وَلاَ يُمْكِنُ الْوُقُوْفُ عَلَى
نِهَايَةِ ذلِكَ لِتَفَاوُتٍ بَيْنَ النَّاسِ فِيْهِمَا وَلكِنْ كُلُّ مَنْ كَانَ
مُمْتَنِعًا مِنِ ارْتِكَابِ مَا يَعْتَقِدُ الْحُرْمَةَ فِيْهِ فَهُوَ عَلَى
طَرِيْقِ الإِسْتِقَامَةِ فِي حُدُوْدِ الدِّيْنِ
“…kemudian ’adalah itu ada dua macam, zhahir (kongkret) dan batin
(abstrak). ‘Adalah secara lahiriah ditetapkan oleh agama dan akal, dengan
pengertian orang yang mencapainya berarti ‘adil secara lahiriah. Karena agama
dan akal itu akan membawa dan menyerunya kepada sikap istiqamah. Sedangkan
‘adalah secara batin tidak dapat diketahui kecuali dengan memperhatikan
pergaulannya dan tidak mungkin diketahui batasan hal itu karena berbeda-beda di
antara manusia. Akan tetapi setiap orang yang dapat menahan diri dari melakukan
sesuatu yang diyakini keharamannya, maka dia berada pada jalan istiqamah dalam
batas-batas agama” (Lihat,Ushul al-Sarkhasi, Dar el-Ma’rifah, Beirut, 1373 H,
I:350-351)
Untuk memenuhi kriteria ‘adalah ini diperlukan beberapa
syarat sebagai berikut:
(a) Muslim
Seorang perawi disyaratkan beragama Islam, karena ia menyampaikan
kabar-kabar yang membenarkan ketetapan hukum syara‘, sedangkan orang-orang
kafir memusuhi kaum muslimin dalam urusan agama, dan permusuhan itu telah
mendorong mereka untuk berusaha menghancurkan ajaran Islam dengan cara
memasukkan sesuatu yang bukan daripadanya dan menisbahkannya kepada Rasulullah
saw. Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا
بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ
بَدَتْ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ
بَيَّنَّا لَكُمْ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu anggap sebagai sahabat karib
lain daripada (golongan) kamu; mereka tidak putus-putus (berikhtiar) menarik
kecelakaan atas kamu; mereka suka apa yang menyusahkan kamu; sesungguhnya
kebencian telah terbit dari mulut mereka; tetapi apa yang disembunyikan hati
mereka, ada lebih besar. Kami telah menerangkan tanda-tanda kepada kamu, jika
kamu (mau) berfikir.” Q.s. Ali ‘Imran [3]:118
Beragama Islam dijadikan syarat rawi ketika menyampaikan hadis, bukan
ketika menerimanya. Karena itu riwayat dari sahabat Jubair bin Muth‘im (W. 59
H/678 M) yang mengatakan bahwa ia mendengar Nabi saw. membaca surah al-Thur
pada waktu salat maghrib, dapat diterima walaupun ketika itu Jubair belum masuk
Islam.
(b) Baligh
Seorang perawi disyaratkan baligh ketika menyampaikan hadis bukan ketika
menerimanya. Yang dimaksud dengan baligh dalam pembahasan ini ialah berakal
(paham terhadap kewajiban) serta sudah mencapai usiaihtilam. Karena itu,
riwayat dari sahabat Mahmud bin ar-Rabi dapat diterima, walaupun ketika
menerimanya ia masih berusia 5 tahun.
(c) Taqwa
Menurut Ibn Hajar, yang dimaksud dengan takwa di sini ialah meninggalkan
perbuatan-perbuatan dosa, seperti syirik, bid’ah, dan fasiq (Lihat,
al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Anzhar, Beirut:
Dar el-Fikr, t.t. juz II, hal. 18)
Pensyaratan taqwa mengacu kepada firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu.” Q.s. Al-Hujurat [49]:6
(d) Memelihara muru’ah
Menurut Ibn Hajar, muru’ah adalah kesempurnaan manusia, seperti jujur dalam
berbicara, mencurahkan kebaikan, mencegah sesuatu yang merugikan/menyusahkan
orang lain. (Lihat, Al-Shan’ani, loc.cit.)
Al-Zunjani, pada kitabnya Syarh al-Wajiz, berkata, “Untuk mengetahui
batasan muruah dikembalikan kepada urfi (kebiasaan), karena muru-ah tidak
berkaitan dengan syara’. Anda tahu bahwa perkara urfi sedikit sekali yang baku,
bahkan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu dan tempat. (Lihat, Abu
Abdurrahman Shalah bin Muhamad bin ‘Uwidhah, Ta’liq ‘ala Muqaddimah Ibn
al-Shalah, op.cit. hal. 84)
Sedangkan perkara-perkara yang dapat merusak muru-ah adalah
perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan etika muslim, seperti kencing di
jalan, berkawan dengan orang yang berakhlak rendah, bermain catur, bermain
burung, dan lain sebagainya. (Lihat, Al-Shan’ani, loc.cit. al-Khatib, op.cit.
hal. 232)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa muru-ah lebih banyak berkaitan dengan
ukuran-ukuran moral manusia. Inilah persyaratan ‘adalah yang harus dipenuhi
oleh seorang rawi ketika meriwayatkan hadis. Meskipun demikian, orang yang
memenuhi kriteria ‘adalah bukan berarti “bersih” dari segala kekurangan dan
kesalahan sekecil apa pun. Hanya yang dijadikan tolok ukur dalam ‘adalah
menyangkut kadar kelebihan dan kekurangannya. Apabila kelebihannya melebihi
kekurangannya dan kekurangannya itu dapat tertutup oleh kelebihan tersebut,
maka rawi tersebut dinyatakan ‘adil.
Kriteria penetapan ‘adalah rawi
Para ulama telah menetapkan kriteria untuk mengetahui ‘adalah seorang
rawi. Sebagian telah disepakati dan sebagiannya lagi masih diperdebatkan:
1. Kriteria yang disepakati
a) Pernyataan ulama al-jarh wa al-ta’dil terhadap orang
tersebut, seperti shaduq, tsiqatun, dan lain-lain. Hal ini
ditujukan bagi rawi yang belum dapat dipastikan kualitasnya dan belum sampai ke
tingkat masyhur di kalangan umum.
b) Sudah tersebar dan termasyhur perihal dirinya, sehingga ‘adalah-nya
tidak perlu lagi dinyatakan, seperti al-Auza‘i (W. 157 H/773 M), Malik (W.
179 H/795 M), Sufyanain (dua Sufyan), yaitu Sufyan al-Tsauri (W.
161 H/777 M) dan Sufyan bin Uyainah (W. 194 H/809 M), Abdullah bin
al-Mubarak (W. 181 H/797 M), Ahmad bin Hanbal (W. 241 H/855 M) Ali bin
al-Madini (W. 234 H/848 M), al-Bukhari (W. 256 H/869 M), dan orang-orang yang
mengikuti jejak langkah mereka. Orang-orang seperti mereka ini tidak perlu
dipertanyakan lagi sifat‘adalah-nya.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang ‘adalah Ishaq bin
Rahawaih (W. 237 H/851 M). Ia menjawab:
مِثْلُ إِسْحَاقَ يُسْأَلُ عَنْهُ ؟
“Orang semacam Ishaq ditanyakan ?” (Lihat, Dr. Abd al-Maujud Muhamad Abd al-Lathief, ‘Ilm al-Jarh wa
al-Ta’dil: Dirasah wa Tathbiq, al-Dar al-Salafiyah, Kuwait, 1988, hal 30;
Al-Rahman, op.cit. hal.230)
Ibn Ma’in juga pernah ditanya tentang Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (W. 224
H/838 M). Ia menjawab
مِثْلِيْ يُسْأَلُ عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ ؟
أَبُوْ عُبَيْدٍ يَسْأَلُ عَنْهُ النَّاسُ
“Orang seperti saya ditanya tentang Abu Ubaid ? Abu Ubaid menjadi rujukan
orang-orang” (Lihat, Al-Latief,Loc.cit.)
Yang dimaksud termasyhur di sini bukan masyhur periwayatannya,
melainkan keutamaan dan ketsiqatannya. Sebab tidak sedikit rawi yang
termasyhur periwayatannya, namun justru tidak diakui ‘adalah-nya,
Seperti Tharif bin Salman atau yang lebih populer dengan sebutan Abu ‘Atikah.
Ia termasyur dengan riwayat:
أُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ
فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Imam al-Bukhari berkata, “Dia munkar al-hadis”(Lihat, Al-Tarikh
al-Kabir, Dar el-Fikr, t.t. IV:357)
Ungkapan ini ditujukan kepada rawi yang hadisnya tidak halal untuk
diriwayatkan. (lihat, Mushthafa bin Ismail,Syifa’ al-‘Alil bi Alfazh wa
Qawaid al-Jarh wa al-Ta’dil, Maktabah Ibn Taimiyyah, Kairo, 1991, I:379)
c) rawi tersebut dipergunakan periwayatannya di dalam kitab yang
sudah diakui kesahihannya, seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim
2. Kriteria yang diperdebatkan
a) rawi tersebut dipergunakan oleh para penyusun kitab hadis yang
dianggap memenuhi kriteria Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim, namun dalam kenyataannya pada kitab tersebut banyak rawi yang tidak
memenuhi kriteria kedua imam tersebut, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh
Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain.
b) pernyataan rawi bahwa ia hanya meriwayatkan hadis dari orang yang tsiqat,
baik disebutkan namanya atau hanya menyebutkan sifatnya, seperti
حَدَّثَنِي الثِّقَةُ
c) kepastian ‘adalah setiap orang yang mengemban
ilmu hadis, berdasarkan sabda Nabi saw.
يُحْمَلُ هذَا الْعِلْمُ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ
عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِّيْنَ وَتَأْوِيْلَ
الْجَاهِلِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ
“Ilmu ini (ilmu hadis) akan diemban dari setiap generasi oleh orang yang
‘adil, mereka akan menolak perubahan yang dilakukan oleh orang yang fanatik,
pentakwilan oleh orang yang bodoh, dan penjiplakan orang yang bathil” H.r. Ibn ‘Abd al-Barr (Lihat, al-Tamhid
li Ibn ‘Abd al-Barr, Wuzarah ‘Umum al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah,
Maroko, 1387 H, I:59)
Dari hadis ini Ibn ‘Abd al-Barr (W. 463 H/1070 M) berpendapat bahwa setiap
orang yang berkecimpung dalam urusan hadis dapat dipastikan ‘adalah-nya,
hingga terbukti kecacatannya. (Lihat, Al-Tamhid, op.cit,
I:29)
- ad-Dhabth
kata al-dhabt secara bahasa berarti al-hazm,
yaitu keteguhan atau ketetapan hati dalam pekerjaan. Sedangkan menurut istilah
umum, al-dhabt mengandung pengertian “memperdengarkan
perkataan sebagaimana yang didengarnya, lalu memahami makna yang dimasud oleh
perkataan itu, kemudian menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan tetap
mengingatnya sampai waktu menyampaikannya kepada orang lain”. (Lihat, Abd
al-Rauf al-Manawi, al-Ta’arif, Beirut: Dar el-Fikr, 1410, hal 469;
Ali bin Muhamad al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat, Jeddah: al-Haramain,
t.t., hal 137)
Adapun di kalangan ahli hadis istilah al-dhabth menunjukkan
sifat yang menjadikan seorang rawi memiliki kelayakan untuk menyampaikan dan
mengajarkan hadis seperti yang diterimanya.
Dalam pandangan Ibn al-Shalah, al-dhabth mengandung
pengertian:
أَنْ يَكُوْنَ الرَّاوِي مُتًيَّقِظاً
غَيْرَ مُغْفِلٍ، حَافِظاً إِنْ حَدَّثَ مِنْ حِفْظِهِ، ضَابِطاً لِكِتَابِهِ إِنْ
حَدَّثَ مِنْ كِتَابِهِ.وَإِنْ كَانَ يُحَدِّثُ بِالْمَعْنَى: أُشْتُرِطَ فِيْهِ
مَعَ ذَلِكَ أَنْ يَكُوْنَ عَالِماً بِمَا يُحِيْلُ الْمَعَانِي، والله أعلم.
“keadaan rawi ingatannya kuat, lancar bila menyampaikan hafalannya dan
menguasai (redaksi) tulisannya bila menyampaikan dari kitabnya. Dan jika
ia menyampaikan secara makna, maka disyaratkan harus mengetahui sesuatu yang
dapat mengubah makna. Wallahu A’lam.” (Lihat, Muqaddimah Ibn al-Shalah, op.cit.:84-85)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa al-dhabth terbagi
kepada dua macam:
a) dhabth shadr, yaitu orang yang betul-betul hafal terhadap
hadis sejak menerima sampai waktu menyampaikannya.
b) dhabth kitab, yaitu orang yang menulis hadis yang
diterimanya ke dalam sebuah catatan, dan menjaga dari perubahan huruf
serta harakat (yang bisa berakibat terjadinya perubahan makna)
semenjak menerima hadis itu sampai saat ia menyampaikannya.
Dhabth dan tidaknya seorang rawi dapat
diketahui dan ditetapkan dengan memperhatikan riwayatnya. Bila hadis yang
disampaikannya sesuai dengan riwayat orang lain yang tsiqat, walaupun dari segi
makna, makadhabth-nya diakui. Namun apabila bertentangan, berarti tidak
diakui dhabth-nya dan ditolak riwayatnya. Keadaan ini, oleh para
ahli hadis diistilahkan dengan mukhalafah al-tsiqah.
Apabila ‘adalah dan al-dhabt telah
terwujud pada seorang rawi, maka rawi itu dipandang tsiqat, dan
hadis yang diriwayatkannya dapat dijadikannya hujjah
Kriteria hadis shahih berikutnya:
c) tidak ada ‘ilah.
Maksudnya hadis tersebut terhindar dari berbagai penyakit hadis yang dapat
menodai kesahihannya, seperti me-mutasil-kan (menyambungkan) sanad
yang munqathi (terputus), me-marfu-kan hadis mauquf(menyatakan
perkataan sahabat sebagai sabda Nabi), dan sebagainya. (Lihat,
‘Itr, op.cit., hal. 243; Al-Khatib,op.cit., 305)
d) tidak syadz.
Maksudnya hadis tersebut tidak bertentangan dengan periwayatan rawi lain
yang lebih kuat, baik dari segi hafalan maupun jumlah hadis. (Lihat,
‘Itr, op.cit., hal. 242)
Berdasarkan kriteria di atas, maka unsur-usur kaidah kesahihan hadis di
atas pada intinya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam;
1. yang berhubungan dengan sanad, yaitu (1) sanad hadis yang bersangkutan
harus bersambung mulai dari mukharrijnya sampai kepada Nabi saw.; (2) seluruh
periwayat dalam hadis itu bersifat 'adil dan tam dhabith; (3) terhindar dari
ilat; (4) terhindar dari syudzudz.
2. yang berhubungan dengan matan, yaitu (1) terhindar dari ilat; (2)
terhindar dari syudzudz.
Dengan mengacu pada unsur-unsur kaidah kesahihan hadis tersebut, maka ulama
hadis menilai bahwa hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan sebagai
hadis sahih. Apabila sebagian unsur itu tidak terpenuhi, mungkin unsur yang berkaitan
dengan sanad atau yang berkaitan dengan matan, maka hadis yang bersangkutan
bukanlah hadis sahih.
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar