Header Ads

  • NEWS UPDATE

    Hukum dan Cara Menghitung Zakat Tijarah

    Dasar kewajiban Zakat Tijarah
    Kewajiban zakat tijarah ditetapkan berdasarkan keterangan-keterangan sebagai berikut:
    A.  Alquran
    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنْ الْأَرْضِ
    Hai orang-orang yang beriman infaqkanlah sebagian dari hasil usaha kamu yang baikQ.s. Al-Baqarah:267
    Mujahid berkata, tentang firman Allah min thayyibati ma kasabtum, “maksudnya adalah dari tijarah” Tafsir at-Thabari, V:555
    B.  Hadis Nabi saw.
    1.   Rasulullah saw. pernah mengutus petugas penarik zakat. Salah seorang pedagang tidak membayar zakat, yaitu Khalid bin Walid yang berdagang alat-alat perang. Hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw. Maka beliau bersabda:
    أَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
    …Adapun Khalid, maka sesungguhnya kamu hendak menganiayanya, sungguh ia telah wakafkan baju-baju besi dan alat-alat perangnya di jalan Allah…H.r. Al-Bukhari
    Hadis ini menunjukkan dua hal:
    a.  Perdagangan itu dikenai kewajiban zakat.
    b.  Barang yang telah diwakafkan itu tidak dikenai zakat tijarah.
    2.   Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Samurah bin Jundab yang mengatakan:
    فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنِ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
    Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah kita untuk mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kita sediakan untukjual-beli.”
    3.    Riwayat Himas yang mengatakan
    مَرَرْتُ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَعَلَى عُنُقِيْ أَدَمَةٌ أَحْمِلُهَا فَقَالَ عُمَرُ أَلاَّ تُؤَدِّيَ زَكَاتَكَ يَا حِمَاسُ؟ فَقُلْتُ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَالِيْ غَيْرُ هذِهِ الَّتِى عَلَى ظَهْرِيْ وآهِبَةٌ فِي الْقَرَظِ فَقَالَ ذَاكَ مَالٌ فَضَعْ قَالَ فَوَضَعْتُهَا بَيْنَ يَدَيْهِ فَحَسَبَهَا فَوَجَدَهَا قَدْ وَجَبَتْ فِيْهَا الزَّكَاةُ فَأَخَذَ فِيْهَا الزَّكَاةَ.
    Aku lewat kepada Umar bin Khatab, sedang pada pundaku kulit-kulit yang aku pikul. Umar bertanya, ‘Sudahkan engkau keluarkan zakatnya wahai Hammas? Aku bertanya, ‘Wahai Amirul mukminin, saya tidak mempunyai barang dagangan selain yang ada pada pundaku ini dan beberapa kulit mentah yang sedang disamak’ Maka Umar berkata, ‘Itulah barang dagangan, letakanlah! Lalu aku meletakan dihadapannya, lalu menghitunya, lalu beliau dapatkan harta itu telah wajib dikeluarkan zakatnya, lalu beliau mengambilnya.’” H.r. Asy-Syafi’i, Al-Um, II:46.
    4.  Diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Barr dari Ibnu Umar yang mengatakan:
    كُلُّ مَالٍ أَوْ رَقِيْقٍ  أَوْ دَوَابٍ أُدِيْرَ للتِّجَارَةِ فَفِيْهِ الزَّكَاةُ
    Dari Ibnu Umar, sesungguhnya ia berkata, “Setiap harta atau hamba sahaya atau binatang ternak yang diputarkan (sebagai modal) untuk tijarah, maka wajib zakat” H.r. Ibnu Abdul Barr, al-Istidzkar, IX:116
    Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa zakat tijarah itu hukumnya wajib.
    Ketentuan Zakat tijarah
    Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat tijarah itu wajib dikeluarkan apabila telah mencapai nishab (standar jumlah minimal wajib zakat) dan haul (standar jatuh tempo wajib zakat), sebagaimana harta lainnya, yaitu  20 dinar atau seharga 90 gram emas murni serta sesudah dagangannya berumur satu tahun. Namun pendapat ini tidak berlandaskan dalil yang memadai.  Karena itu kami berpendapat bahwa pada zakat tijarah tidak ada ketentuan nishab dan haul. Sehubungan dengan itu kita kaji kembali keterangan Himas di atas. Dalam riwayat itu Himas mengatakan:
    يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَالِيْ غَيْرُ هذِهِ الَّتِى عَلَى ظَهْرِيْ وآهِبَةٌ فِي الْقَرَظِ
    ‘Wahai Amirul mukminin, saya tidak mempunyai barang dagangan selain yang ada pada pundaku ini dan beberapa kulit mentah yang sedang disamak’
    Pada pernyataan di atas terlihat  bahwa kulit yang bisa dipikul di atas pundak tentu ringan timbangannya, nilainya tidak akan seharga 20 Dinar, karena harga kulit pada waktu itu murah. Hal itu tampak jelas ketika Rasul menyuruh Urwah al-Bariqi membeli kambing hanya dengan satu dinar saja ia dapat dua ekor. Dengan demikian kita dapat mengetahui harga kulit yang dipikul Himas itu tidak akan mencapai harga 20 Dinar. Waktu Umar bertanya tentang zakat kulit yang dipikul itu (yang dipersiapkan untuk didagangkan), Himas merasa bahwa kulit itu tidak banyak. Dengan demikian, hemat kami riwayat di atas menunjukkan tidak ada nishab dalam zakat tijarah, sebab meskipun dagangan yang dipikul Himas itu tidak mencapai nishab tetap ditarik zakatnya oleh Umar. Hal itu tampak jelas dalam pernyataan Umar:
    ذَاكَ مَالٌ فَضَعْ
    ‘Itulah barang dagangan, letakanlah!
    Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Himas dikenai zakat tijarah karena ia mempunyai barang dagangan, bukan disebabkan nisabnya. Adapun kalimat
    فَحَسَبَهَا فَوَجَدَهَا قَدْ وَجَبَتْ فِيْهَا الزَّكَاةُ
    “Lalu menghitunya, lalu beliau dapatkan harta itu telah wajib dikeluarkan zakatnya”
    Bukan menghitung nisab, melainkan menghitung nilai barang dan nilai zakat yang harus dikeluarkan. Karena dalam riwayat lain dengan redaksi
    فَأَقَامَهَا ثُمَّ أَخَذَ صَدَقَتَهَا مِنْ قَبْلِ أَنْ تُبَاعَ
    “Lalu Umar menghitung nilainya, kemudian menarik zakatnya sebelum barang itu dijual” H.r. Ibnu Abdul Barr, at-Tamhid, XVII:131-132. Dalam redaksi lain:
    قَوِّمْهُ وَأَدِّ زَكَاتَهُ
    “Hitung nilainya dan keluarkan zakatnya” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, III:74, dan Ibnu Abdul Barr, at-Tamhid, XVII:132.
    Demikian pula tidak ada haul dalam zakat tijarah. karena Himas diperintah atau ditagih zakat tijarah bukan karena haulnya, melainkan karena hukum wadh’i-nya, yaitu mempunyai barang dagangan. Dengan demikian pedagang yang bermodal kecil dan besar sama-sama terkena kewajiban zakat tijarah. Adapun waktu pembayaran/pengeluaran zakatnya tidak ditetapkan oleh syariat, sebab zakat tijarah  termasuk zakat yang muthlaq ‘an zamanil ada, yakni tidak terikat waktu pembayarannya. Karena itu, dipersilahkan untuk dikeluarkan perhari, perminggu, perbulan, pertahun dan seterusnya tergantung kepada kemaslahatan. Seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz yang biasa memungut zakat tijrah ketika barang-barang perdagangan masuk ke negeri itu.
    Prosentase Zakat Tijarah
    Adapun mengenai prosentasenya adalah 2 ½ %, hal ini sejalan dengan perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam suratnya kepada Ruzaiq bin Hakim
    أَنِ انْظُرْ مَنْ مَرَّ بِكَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَخُذْ مِمَّا ظَهَرَ مِنْ أَمْوَالِهِمْ مِنَ التِّجَارَةِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ دِيْنَارًا دِيْنَارًا فَمَا نَقَصَ فَبِحِسَابِ ذلِكَ – رواه الشافعي-
    Lihatlah siapa saja yang lewat kepadamu dari kalangan muslimin, ambillah apa-apa yang nampak pada mereka dari harta perdagangan, dari setiap empat puluh (40) dinar 1 (satu) dinar, dan apa-apa yang kurang darinya, maka dengan perhitungannya. H.r. Asy-Syafi’i, Al-Umm, II:46
    Menghitung Zakat tijarah
    Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai, apakah zakat tijarah itu diambil dari modal seluruhnya, modal yang dibelanjakan, dari harga beli barang ataukah dari harga barang yang telah terjual, atau dari laba? K.H.E Abdurrahman berpendapat, “Dalam hal ini kita berpedoman kepada hadis yang menyatakan: Kami diperintah mengeluarkan zakat dari apa-apa yang disediakan untuk dijualbelikan alias dagang. Karenanya menghitung zakat dagangan itu dari barangnya (modalnya). Adapun laba atau keuntungan bebas dari zakat, tidak bebas dari infak. Contohnya: orang yang berjualan ikan, maka ikan yang akan dijual itu diambil 2 1/2 % untuk zakatnya, berupa ikan atau dengan harga uang pada masa itu” (Lihat, Kumpulan Istifta K.H.E Abdurrahman, II:132)
    Dewan Hisbah Persatuan Islam pada  sidang ke-5 tahun 1991 memutuskan (fatwa lama) bahwa “Tijarah (perdagangan), tidak ada nishab dan haul, diambil dari modal (harga beli), besarnya 2,5 %” Sedangkan pada sidang ke-4 tahun 2002 memutuskan (fatwa baru) bahwa “Zakat tijarah diambil 2,5 % dari harga barang yang telah terjual”
    Ketiga fatwa tersebut ditetapkan berdasarkan dalil yang sama sebagai berikut:
    1.   riwayat Abu Daud dari Samurah bin Jundab yang mengatakan:
    فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنِ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
    Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah kita untuk mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kita sediakan untukjual-beli.”
    قوله: (كان يأمرنا أن نخرج الصدقة) أي الزكاة الواجبة (من الذي) أي المال الذي (نعده) بضم النون وكسر العين المهملة من الأعداد أي نهيئه (للبيع) أي للتجارة وخص لأنه الأغلب. قال الطيبي: وفيه دليل على أن ما ينوي به القنية لا زكاة فيه – انتهى. قلت: الحديث دليل ظاهر على وجوب الزكاة في مال التجارة، لأن قول الراوي يأمرنا يفهم أنه – صلى الله عليه وسلم – كان يأتي بصيغة تفيد الأمر، والأصل فيه الوجوب وهي قرينة على حمل الصدقة على الزكاة الواجبة. واختلف العلماء في ذلك: قال ابن رشد في البداية: (ص230) اتفقوا على أن لا زكاة في العروض التي لم يقصد بها التجارة، واختلفوا في إيجاب الزكاة فيما اتخذ منها للتجارة – 6: 173 – مرعاة المفاتيح 6: 173 -

    2.  Riwayat as-Syafi’i dan Ibnu Abdil Barr dari Himas yang mengatakan:
    مَرَرْتُ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَعَلَى عُنُقِيْ أَدَمَةٌ أَحْمِلُهَا فَقَالَ عُمَرُ أَلاَّ تُؤَدِّيَ زَكَاتَكَ يَا حَمَّاسُ؟ فَقُلْتُ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَالِيْ غَيْرُ هذِهِ الَّتِى عَلَى ظَهْرِيْ واهبة في القرظ فَقَالَ ذَاكَ مَالٌ فَضَعْ قَالَ فَوَضَعْتُهَا بَيْنَ يَدَيْهِ فَحَسَبَهَا فَوَجَدَهَا قَدْ وَجَبَتْ فِيْهَا الزَّكَاةُ فَأَخَذَ فِيْهَا الزَّكَاةَ.
    Aku lewat kepada Umar bin Khatab, sedang pada pundaku kulit-kulit yang aku pikul. Umar bertanya, ‘Sudahkan engkau keluarkan zakatnya wahai Hammas? Aku bertanya, ‘Wahai Amirul mukminin, saya tidak mempunyai barang dagangan selain yang ada pada pundaku ini dan beberapa kulit mentah yang sedang disamak’ Maka Umar berkata, ‘Itulah barang dagangan, letakanlah! Lalu aku meletakan dihadapannya, lalu menghitunya, lalu beliau dapatkan harta itu telah wajib dikeluarkan zakatnya, lalu beliau mengambilnya.’” H.r. Asy-Syafi’i, Al-Um, 2:46
    Dalam riwayat Ibnu Abdil Barr dengan redaksi
    ثُمَّ أَخَذَ صَدَقَتَهَا مِنْ قَبْلِ أَنْ تُبَاعَ
    …kemudian ia (Umar) mengambil zakatnya sebelum kulit itu dijual. At-Tamhid, XVII:131
    Adapun pendapat yang menyatakan bahwa zakat itu dikeluarkan/dihitung dari laba bersih sama sekali tidak berdasarkan dalil.


    Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    trikblog.co.cc