Header Ads

  • NEWS UPDATE

    Pemaknaan Hadis Shalat Tarawih 4 Rakaat (Bagian II)

    Penjelasan Atas Jawaban Aisyah

    Di dalam matan hadis itu disebutkan oleh Abu Salamah jawaban Aisyah terhadap pertanyaan yang diajukannya, sebagai berikut:

    Pertama:
    مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
    “Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang lainnya, dari sebelas rakaat.”

    Dalam jalur periwayatan lain dengan redaksi:
    كَانَتْ صَلاَتُهُ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً بِاللَّيْلِ مِنْهَا رَكْعَتَا الْفَجْرِ.
    “Salat beliau di waktu malam pada bulan Ramadhan dan selainnya sama tiga belas rakaat, termasuk di dalamnya dua rakaat fajar.”

    Di dalam jawaban Aisyah ini terdapat keterangan tambahan, selebih dari masalah yang ditanyakan, yaitu Abu Salamah bertanya tentang salat malam Nabi saw. di bulan Ramadhan, sementara jawaban Aisyah:   “Pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya.”

    Imam al-‘Aini berkata:
    وفيه تعميم الجواب عند السؤال عن شيء لأن أبا سلمة إنما سأل عائشة رضي الله تعالى عنها عن صلاة رسول الله في رمضان خاصة فأجابت عائشة بأعم من ذلك وذلك لئلا يتوهم السائل أن الجواب مختص بمحل السؤال دون غيره فهو كقوله هو الطهور ماؤه والحل ميتته لما سأله السائل عن حالة ركوب البحر ومع راكبه ماء قليل يخاف العطش إن توضأ فأجاب بطهورية ماء البحر حتى لا يختص الحكم بمن هذه حاله
    “Dan padanya terdapat dalil memperumum jawaban bagi pertanyaan sesuatu (yang khusus), karena sungguh Abu Salamah bertanya kepada Aisyah khusus tentang salat Rasulullah di bulan Ramadhan, maka Aisyah menjawab dengan jawaban yang lebih umum (di Ramadhan dan luar Ramadhan) daripada yang ditanyakan (di Ramadhan). Demikian itu (mesti dilakukan) agar tidak menimbulkan sangkaan pada benak  penanya bahwa jawaban itu dikhususkan bagi kasus sesuai konteks pertanyaan (bulan Ramadhan), tidak berlaku di luar. Jawaban demikian itu seperti sabda Nabi saw. ’Dia (laut) itu suci akirnya dan halal bangkainya.’ Sebagai jawaban atas pertanyaan tentang orang yang berlayar di lautan dengan membawa air tawar sedikit. Jika digunakan untuk wudhu, khawatir ia kehausan. Maka Nabi menjawab kesucian air laut (secara umum) agar hukum kesucian air itu tidak dikhususkan bagi orang yang mengalami kasus itu (membawa air sedikit).” (Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, VII:204)

    Kedua, jumlah Rakaat 11 & 13

    Aisyah mengatakan:
    مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
    “Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang lainnya, dari sebelas rakaat.”

    Pada kalimat di atas, Aisyah menggunakan huruf maa yang berfungsi menegasikan atau kata sangkalan. Hingga fragmen (petikan) ini (11 rakaat) dapat dipahami bahwa Aisyah hendak menyatakan bahwa tidak ada tambahan dari sebelas rakaat dalam salat sunat malam, baik di Ramadhan, Sya’ban, dan tidak pula Syawal. Fragmen ini merupakan nash, yaitu perkataan atau kalimat yang dipakai sebagai alasan atau dasar untuk ketetapan kammiyyah (jumlah rakaat).

    Jika kita bandingan periwayatan Abu Salamah versi rawi Sa’id bin Abu Sa’id al-Maqburi dan Abdullah bin Abu Labid, kita mendapatkan gambaran bahwa semua periwayatan Abu Salamah melalui jalur rawi Sa’id bin Abu Sa’id al-Maqburi menegaskan jumlahnya tidak lebih dari 11  rakaat:

    مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
    “Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang lainnya, dari sebelas rakaat.”

    Sedangkan semua periwayatan Abu Salamah melalui jalur rawi Abdullah bin Abu Labid menegaskan jumlahnya  13 rakaat (11+2 qabla subuh):

    كَانَتْ صَلاَتُهُ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً بِاللَّيْلِ مِنْهَا رَكْعَتَا الْفَجْرِ.
    “Salat beliau di waktu malam pada bulan Ramadhan dan selainnya sama tiga belas rakaat, termasuk di dalamnya dua rakaat fajar.”

    Dengan demikian kedua jumlah itu (11 & 13) tidak bertentangan, karena kalimat
    عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
    Tidak menghitung dua rakaat sebelum shubuh. Sehubungan dengan itu, al-Qasthalani dan Muhammad Syamsul Haq Abadi menyatakan bahwa kalimat:
    عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً : أَيْ غَيْر رَكْعَتَيْ الْفَجْر
    “dari sebelas rakaat. Yaitu selain dua rakaat sebelum shubuh.” (Lihat, Irsyad as-Sari Syarh Shahih al-Bukhari, II:235; ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, IV:218)

    Dalam mensikapi perbedaan keterangan Aisyah tentang jumlah salat malam Nabi, Imam al-Qurthubi berkata:
    وهذا - أي الاضطراب - إنما يتم لو كان الراوي عنها واحد أو أخبرت عن وقت الصواب أن كل شيء ذكرته من ذلك محمول على أوقات متعددة وأحوال مختلفة بحسب النشاط وبيان الجواز
    “Dan ini—yaitu kekacauan—tercapai secara sempurna jika rawi yang meriwayatkan dari Aisyah itu seorang atau Aisyah mengabarkan tentang satu waktu. Yang benar semua keterangan yang disampaikannya menunjukkan waktu yang berbilang dan berbagai keadaan yang berbeda sesuai dengan aktivitas dan penjelasan tentang hokum kebolehan.”  (Lihat, Ta’sis al-Ahkam bi Syarh Umdah al-Ahkam, II:235)

    Bantahan yang lebih “keras” disampaikan oleh Imam al-Baji:
    ذكرت عائشة في هذا الحديث أنه كان يصلي ثلاث عشرة ركعة غير ركعتي الفجر وذكرت في الحديث السابق أنه كان لا يزيد على أحدى عشرة ركعة وقد ذكر بعض من لم يتأمل أن رواية عائشة اضطربت في الحج والرضاع وصلاة النبي صلى الله عليه وسلم بالليل وقصر الصلاة في السفر قال وهذا غلط ممن قاله فقد أجمع العلماء على أنها أحفظ الصحابة فكيف بغيرهم وإنما حمله على هذا قلة معرفته بمعاني الكلام ووجوه التأويل فان الحديث الاول إخبار عن صلاته المعتادة الغالبة والثاني إخبار عن زيادة وقعت في بعض الاوقات أو ضمت فيه ما كان يفتتح به صلاته من ركعتين خفيفتين قبل الاحدى عشرة
    “Aisyah menyebutkan dalam hadis ini bahwa, ‘beliau salat tiga belas rakaat selain dua rakaat sebelum shubuh.’ Dan ia menyebutkan pada hadis sebelumnya bahwa, ‘beliau tidak menambah dari sebelas rakaat.’ Dan sungguh sebagian orang yang tidak berfikir secara mendalam telah menyebutkan bahwa riwayat Aisyah itu kacau pada bab haji, penyusuan, salat Nabi saw. di waktu malam, dan salat qashar di perjalanan. Dan ini adalah kekeliruan dari orang yang mengatakannya, maka sungguh para ulama telah sepakat bahwa Aisyah adalah sahabat yang paling hafal (tentang salat malam Nabi saw.), maka bagaimana dengan selain mereka? Yang memacu munculnya pendapat demikian itu tiada lain karena minimnya pengetahuan tentang makna pembicaraan dan berbagai aspek takwil. Karena hadis pertama mengabarkan tentang salat yang biasanya dilakukan Nabi. Hadis kedua mengabarkan tentang tambahan rakaat yang terjadi pada sebagian waktu lain  atau menggabungkan dua rakaat yang beliau lakukan sebagai pembuka salat malam, sebelum melakukan 11 rakaat.” (Lihat, Tanwir al-Hawalik Syarh Muwatha Malik, I:145)

    Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Aisyah mengabarkan kepada Abu Salamah berdasarkan pengetahuan Aisyah tentang salat malam semata yang dilakukan Nabi di rumah Aisyah. Selanjutnya, Aisyah menggabungkan keterangan dua rakaat sebelum salat subuh pada jumlah 11 rakaat salat malam itu.

    Ketiga, Sifat 11 Rakaat

    Setelah Aisyah mengukuhkan kammiyyah (jumlah) 11 rakaat dengan menegasikan tambahan dari jumlah itu, selanjutnya Aisyah menjelaskan kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan 11 rakaat itu, sebagai berikut:

    يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً،
     “Beliau salat empat rakaat, maka engkau jangan bertanya tentang baik dan panjangnya, beliau salat (lagi) empat rakaat, dan jangan (pula) engkau bertanya tentang baik dan panjangnya, kemudian beliau salat tiga rakaat.

    Penjelasan Aisyah di atas menunjukkan bahwa:

    أنه إذا صلى إحدى عشرة، صلاها أربعاً أربعاً ثم صلى ثلاثاً
    “Nabi saw. apabila salat malam 11 rakaat, beliau melaksanakannya 4 rakaat, 4 rakaat, kemudian beliau salat 3 rakaat.” (Lihat, Minhah al-‘Alam Syarh Bulugh al-Maram, I:249)

    Setiap selesai menyebut rincian kaifiyat, Aisyah menyatakan:
    فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
    “maka engkau jangan bertanya tentang baik dan panjangnya”

    Aisyah melarang Abu Salamah menanyakan tentang hal itu karena berbagai kemungkinan:
    §  karena Abu Salamah dipandang tidak mampu melakukan hal yang serupa dengan Nabi dalam hal kualitas salat dan kuantitas lamanya, sehingga tidak perlu ditanyakan,
    §  karena Abu Salamah dipandang sudah mengetahui hal itu karena kualitas salat Nabi dan kuantitas waktunya sudah popular, sehingga tidak perlu ditanyakan lagi,

    §  Karena Aisyah tidak mampu menjelaskan sifat kualitas amal Nabi itu secara hakiki. (Lihat,Syarh Bulugh al-Maram, I:258)


    Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar


    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    trikblog.co.cc