Header Ads

  • NEWS UPDATE

    Potensi Politik Ormas dalam Sistem Kepolitikan Indonesia Modern (Kasus Persis dan Pemuda Persis)


    Politik adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia, sekalipun bukan satu-satunya yang paling utama. Masih banyak bidang lain dalam kehidupan manusia yang juga tidak kalah penting dibandingkan dengan politik. Akan tetapi karena dalam praktiknya selalu penuh dengan intrik dan melibatkan orang banyak secara kolosal, politik menjadi terlihat lebih menarik dan hingar bingar sehingga seolah-olah politik merupakan segala-galanya dalam kehidupan manusia.
    Hal seperti itu wajar terjadi mengingat politik dalam kenyataan yang kita saksikan berkait erat dengan kekuasaan. Para ahli bahkan menyebutnya sebagai suatu fenomena a constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial secara paksa)[1]. Sementara kekuasaan itu sendiri ada di mana, bahkan dalam diri setiap orang. Ketika kekuasaan itu dipertemukan dengan kekuasaan lain, maka terjadilah saling desak kekuasaan hingga terjadi negosiasi dan kesepakatan siapa yang boleh menggunakan kekuasaannya—secara paksa—dan siapa yang harus menerima dikuasai orang lain. Oleh sebab itu, tidak heran apabila politik selalu akan ramai diperbincangkan.
    Hal ini pula yang dialami di lingkungan Persatuan Islam (Persis). Masalah politik selalu menjadi perbicangan “seru”, bahkan dapat sampai menimbulkan dampak besar ke dalam bidang-bidang yang lain. Puncak perbincangan politik paling seru di lingkungan Persis akan terjadi saat ada momen-momen politik besar seperti pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan presiden, atau pemilihan anggota legislatif. Ada yang pro dengan keterlibatan Persis dalam hajat berkala itu. Ada pula yang menolak dengan tegas dengan berbagai alasan. Pro-kontra ini seringkali terbawa sampai ke arena Muktamar hingga menghasilkan keputusan-keputusan khusus berkait dengan masalah-masalah politik ini.
    Di Pemuda Persis, sejak Muktamar 2000 di Jakarta hingga Muktamar 2010 di Tasikmalaya masalah politik tidak urung menjadi perbincangan ramai. Bahkan, di beberapa tempat menyebabkan sebagian anggota Pemuda Persis memilih mengundurkan diri dari keanggotaan karena menganggap Pemuda Persis tidak akomodatif secara politik. Salah satu pasalnya adalah kebijakan yang diberlakukan oleh Pemuda Persis sejak Muktamar 2005 di Jakarta dan Muktamar 2010 di Tasikmalaya yang “mengharamkan” anggota Pemuda Persis rangkap keanggotaan dengan partai politik. Kebijakan ini secara otomatis menutup kesempatan kepada anggota Pemuda Persis untuk menjadi anggota Parpol dan mencalonkan diri menjadi calon politisi dari parpol.
     Setiap keputusan yang merupakan “produk ijtihad” tentu saja ada manfaat dan madharatnya, sekalipun akhirnya dalam perhitungan Pemuda Persis, manfaat dengan ditutupnya kran rangkap anggota bagi Pemuda Persis dengan parpol dianggap lebih besar daripada madharatnya. Walaupun begitu, dengan kebijakan ini bukan berarti Pemuda Persis ingin mengisolasi diri dari politik dan menjauh dari segala hal-ihwal berkait dnegan politik. Justru langkah ini diambil sebagai suatu “langkah politik” juga untuk mencapai tujuan yang lebih besar melalui jam’iyyah Pemuda Persis.
    Tulisan berikut adalah semacam penjelasan mengapa Pemuda Persis mengambil langkah menutup kran politik-parpol bagi para anggotanya dan idealisme politik apa yang ingin dicapai dengan langkah politik ini. Sangat mungkin tulisan ini tidak mewakili semua anggota Pemuda Persis, namun paling tidak tulisan ini diharapkan dapat menjawab kegelisahan dan cemoohan sebagian pihak atas kebijakan Pemuda Persis ini.

    Esensi dan Idealisme Kekuasaan dalam Politik Islam
    Kalau ditanyakan tujuan apa yang ingin dicapai dengan berpolitik di dalam Islam, jawaban normatif yang disepakati hampir semua ulama segera dapat kita tulis. Tujuan tersebut adalah: pertama, ingin menegakkan Islam (himâyah al-dîn) dan kedua, mewujudkan kesejahteraan umat (ri’âsah syu’ûn al-ummah).[2] Tujuan politik dalam Islam sama sekali tidak memberi ruang bagi pragmatisme pribadi dan kelompok. Politik digunakan bukan untuk menumpuk keuntungan pribadi; juga bukan untuk menegakkan kepentingan kelompok (‘ashabiyyah). Hanya dua yang boleh mendapatkan manfaat dari kegiatan politik, yaitu “agama” dan “rakyat”.
    Oleh sebab tujuan politik yang begitu mulia, Imam Ghazali menyebutnya para pemegang kekuasaan ini sebagai orang yang mendapat nikmat yang besar. Tidak ada nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. melebihi kenikmatan memegang kekuasaan. Dengan kekuasaan politik yang dipegang, seseorang dapat menjadi orang yang diutamakan oleh Allah Swt. untuk masuk surga. Di mata Allah, para penguasa memiliki derajat yang mulia dan lebih dicintai. Dikatakan oleh Rasulullah Swt., “Adilnya seorang raja dalam sehari lebih dicintai oleh Allah Swt. daripada ibadah tujuh puluh tahun.”[3]
    Tentu saja nikmat yang besar bagi para pemegang kekuasaan itu sepanjang ia dapat berlaku adil. Pemimpin yang zhalim, justru ia akan berubah menjadi musuh Allah Swt., bukan lagi kekasih-Nya. Musuh-musuh Allah Swt. adalah mereka yang tidak mau mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya. Penguasa yang tidak mensyukuri nikmatnya adalah penguasa yang zhalim dan korup. Bagi mereka Allah menyediakan siksa yang amat berat. “Tidak ada seorang hamba pun yang diamanahi untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat pada rakyatnya, kecuali Allah Swt. mengharamkan surga baginya,” demikian sabda Rasulullah Swt. (HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al-‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu).
    Ini menunjukkan bahwa wilayah politik adalah wilayah yang kedudukannya bisa sangat mulia. Politik di dalam Islam menempati posisi yang penting, asal politik dipergunakan sesuai track-nya, yaitu untuk menjaga tegaknya agama dan menyejahterakan rakyat. Betapa tidak mulia. Para politisi ini akan bekerja bukan untuk kepentingannya, melainkan untuk kepentingan orang lain; dan terutama untuk kepentingan agama Allah Swt. Betapa mulianya orang yang memegang pekerjaan ini. Oleh sebab itu, politisi yang tidak bekerja sesuai dengan akadnya sebagai politisi, dia dinamakan “pengkhianat”. Dia mengkhianati amanah Allah Swt. dan amanah rakyat sekaligus. Dosanya pun tidak kepalang tanggung, sama seperti pahalanya.
    Pentingnya posisi politik bahkan diletakkan hanya satu garis di bawah kerasulan. Ketaatan kepada pemagang posisi politik tertinggi (ulil-amri) harus diberikan setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Nisâ’ [4]: 59). Sekalipun ketaatan ini bersyarat, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan ketaatan pada Allah dan rasul-Nya, namun pernyataan secara khusus tentang posisi ulil-amri ini menyatakan bahwa politik adalah sesuatu yang amat penting dan memiliki kedudukan yang tinggi. Oleh sebab itu pula, memisahkan Islam—sebagai agama—dengan politik adalah perbuatan sia-sia. Selain amat mustahil, juga tidak sesuai dengan karakter ajaran Islam yang syâmil-mutakâmil.
    Selain memuji sebagai pekerjaan yang sangat penting, Islam juga mengingatkan bahwa memegang posisi politik adalah memegang posisi yang penuh fitnah. Dalam sebuah hadis yang tercantum dalam Sunan Al-Nasâ’i bab Ittibâ’ Al-Shaid dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw. pernah mengatakan, “Siapa yang tinggal di hutan dia akan kering (dari informasi; kurang pergaulan); siapa yang mengikuti binatang buruan, dia akan lalai; dan siapa yang mengikuti (dekat-dekat) penguasa, dia akan terkena fitnah.” Al-Suyûthi menyebut bahwa yang dimaksud “terkena fitnah” dalam hadis tersebut adalah “hilangnya agama” atau “dikhawatirkan sudah tidak lagi memperhatikan agamanya, karena ingin mendapatkan keridhoan penguasa.”[4]
    Berdekat-dekatan dengan penguasa saja dapat menimbulkan fitnah yang besar, yaitu hilangnya agama, apalagi menjadi penguasa. Menjadi penguasa secara psikologis memang membuat orang cenderung merasa dirinya paling segalanya sehingga tidak sedikit yang lupa daratan. Ini terlihat saat yang bersangkutan kehilangan posisi dan kedudukannya. Tidak sedikit yang mengidap penyakit kejiwaan yang sering disebut post power-syndrom. Oleh sebab itu, tanpa bekal keimanan, keilmuan, dan mental baja, banyak orang yang terjerumus dalam kubangan dunia politik. Mereka terjerumus dalam lumpur dosa akibat mengkhianati amanah yang dipikulnya. Kesempatan untuk berkhianat pada amanah sangat terbuka lebar bagi mereka yang memegang kekuasaan. Tidak salah pula dalam konteks ini apabila politik dikatakan sebagai suatu medan yang high risk high value.

    Kekuasaan dalam Sistem Politik Indonesia Modern
    Sistem politik Indonesia pasca-kolonialisme mengalami perubahan yang cukup signifikan. Bahkan sejak kemerdekaan hingga saat ini telah terjadi perubahan-perubahan penting yang menyebabkan konstelasi sistemik politik Indonesia terus berubah. Bahkan, setelah lepas reformasi terjadi pula perubahan konstelasi politik yang penting untuk dicermati. Inilah yang akan kita potret pada bagian ini. Ini menjadi penting mengingat konteks politik yang tengah di hadapi di Indonesia adalah apa yang saat ini tengah dihadapi.
    Secara teori, politik adalah segala hal yang berkenaan dengan kekuasaan. Pusat kekuasaan di suatu komunitas adalah negara. Oleh sebab itu, ketika politik disebut secara tersendiri, maka yang dimaksud adalah segala hal yang berkenaan dengan kekuasaan negara dan derivatnya. Kekuasaan yang hidup secara sosiologis dalam diri setiap orang bukan yang dimaksud dengan istilah tersebut, sekalipun kekuasaan jenis ini menjadi sumber utama hadirnya kekuasaan negara yang efektif.
    Dalam konteks politik-kenegaraan, sejatinya negara adalah pemegang kedaulatan (kekuasaan) tertinggi. Representasinya adalah “kepala negara”. Di masa lalu, ketika kekuasaan belum dibagi-bagi, satu-satunya pemegang kekuasaan adalah “kepala negara” yang sering disebut khalifah, raja, sultan, atau istilah-istilah sejenisnya. Ulil-amri yang disebut dalam Al-Quran adalah mereka. Saat diperkenalkan dan dipraktikkan trias-politika di Eropa, mulailah kekuasaan dibagi-bagi. Ada kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan ada pula kekuasaan yudikatif. Tujuannya adalah supaya tidak terjadi pemusatan kekuasaan yang mungkin akan menimbulkan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Sekalipun, dalam praktiknya, division of power semacam ini tidak selalu berdampak baik terhadap efektivitas penggunaan kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan politik, apalagi dikaitkan dengan pencapaian tujuan politik Islam. Bisa jadi pembagian kekuasaan justru membuka pintu masuknya pengaruh atas satu bagian kekuasaan yang akan merusak tujuan politik Islam.
    Indonesia pernah mengalami fase dipimpim oleh para raja yang berkuasa secara tunggal, dikuasai asing (baca: Belanda) yang kekuasaannya pun absolut namun menyengsarakan, dan terakhir setelah kemerdekaan Indonesia belajar untuk memerintah sendiri dengan pola division of power. Indonesia menganut trias politika model Montesque. Kekuasaan tertinggi di atas kertas dipegang oleh kepala negara (presiden). Sampai tahun 1967, kekuasaan ini dibagikan kepada tiga pemegang kekuasaan yang berbeda. Ada penguasa legislatif (MPR/DPR) yang dipilih melalui pemilihan umum; ada penguasa eksekutif yang dipimpin oleh perdana menteri yang bertanggung-jawab kepada parlemen (dan presiden); ada kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang mandiri. Sistem ini disebut sistem parlementer.
    Memasuki era Orde Baru, kekuasaan berubah menjadi presidensial. Kali ini presiden, selain bertindak sebagai kepala negara, juga menjalankan peran sebagai kepala eksekutif (pemerintahan). Dalam sistem ini selama Orde Baru, eksekutif dengan posisinya demikian menjadi sangat powerfull dibandingkan pemegang kekuasaan rekannya, yaitu DPR dan kehakiman. Kepala eksekutif inheren di dalamnya sebagai kepala negara sehingga posisinya menjadi sangat penting dan menentukan. Semasa Suharto berkuasa sepanjang Orde Baru, kekuasaannya dianggap “otoriter” hingga perlu dikoreksi.
    Kritik terhadap Orde Baru inilah yang akhirnya melahirkan Reformasi. Secara politik, gerakan Reformasi berhasil merombak pola pembagian kekuasaan yang dianggap otoriter semasa Suharto. Kekuasaan presiden dipangkas. Sekalipun masih tetap kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, namun kekuasaannya untuk mengeksekusi program-program harus disetujui oleh DPR. Bila sebelumnya DPR tidak banyak memiliki kekuasaan, justru sejak Reformasi bergulir DPR memiliki tambahan kewenangan yang membuatnya bisa lebih berkuasa daripada sebelumnya. Bahkan, dalam hal-hal tertentu DPR bisa lebih berkuasa dari kepala negara (presiden).
    Model kenegaraan dengan sistem pembagian kekuasaan (division of power) seperti ini diyakini merupakan alternatif terbaik untuk menampung hak-hak politik dari warga negara. Seiring dengan diratifikasinya Bill of Right, kebebasan bersuara dan berpendapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengambilan kebijakan politik-kenegaraan selepas Reformasi. Otoritarianisme dianggap sebagai musuh yang harus dienyahkan karena bertentangan dengan prinsip kebebasan individu ini. Kekuasaan yang lebih besar diberikan kepada DPR pun tidak terlepas dari keinginan untuk memberikan ruang aspirasi bagi rakyat yang secara individual memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya. Sebab secara ideal, DPR merupakan institusi yang memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan aspirasi rakyat.
    Kekuasaan yang telah terbagi-bagi inilah yang kemudian menjadi lahan pertarungan politik baru di Indonesia pasca-Reformasi. Stage baru ini tentu saja melahirkan tindakan-tindakan politik baru yang sebelumnya tidak terjadi. Salah satunya adalah politik biaya tinggi (politic with the high cost). Jangankan pada masa kerajaan-kerajaan masih ada, di zaman Orde Baru pun fenomena ini tidak pernah muncul. Menjadi politisi di zaman itu, sekalipun tetap harus ada biaya politik yang dikeluarkan, namun dalam ukuran yang wajar. Umumnya, setiap calon pejabat politik dapat merogoh kocek miliknya sendiri untuk membiayai ongkos politik yang dibutuhkan tanpa harus melibatkan para pemilik modal (kapitalis).
     Pada masa Orde Baru, sekalipun para pemilik modal tetap ingin mendapatkan akses terhadap kekuasaan, mereka cenderung tetap loyal pada penguasa. Bila penguasa bervisi baik, para pemilik modal tidak dapat berkolusi dengan penguasa. Akan tetapi, hasrat bermewah-mewah para penguasa tidak dapat dikendalikan, barulah para pemilik modal ini dapat menggunakan the powers of money yang dimilikinya untuk meraih keuntungan dari kekuasaan. Saat itu, para pemilik modal ini lebih senang untuk berada di balik layar. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan adalah para teknokrat dan orang-orang pintar yang memiliki kapabilitas untuk mengelola negara. Pada zaman ini tidak mengherankan bila mereka yang bersekolah tinggi dan berprestasi secara akademik memiliki kesempatan lebih luas untuk diakses dalam lingkaran kekuasaan.
    Reformasi telah mengubah semua itu. Politik biaya tinggi dan keterbukaan politik yang hampir tanpa batas telah menyebabkan politik hanya ramah bagi mereka yang memiliki modal. Mereka yang tidak bermodal besar, sekalipun memiliki segudang prestasi jangan terlalu bermimpi bisa berada di lingkaran kekuasaan. Ada satu dua yang memiliki modal sosial tinggi, tanpa modal uang banyak, dapat masuk dalam jejaring kekuasaan; akan tetapi jumlahnya amat sedikit. Di antara mereka adalah para artis, kiai, dan selebritis lainnya. Itupun umumnya mereka kurang memiliki kecakapan baik dalam mengelola kekuasaan yang dimilikinya karena latar-belakangnya yang bukan politisi. Alhasil, keberadaannya dalam lingkaran kekuasaan tidak memberi efek besar.
    Mereka yang berani maju dalam pertarungan politik dan berpotensi besar memenangkannya adalah “yang punya modal” atau “yang dimodali”. Mereka yang memiliki modal untuk maju sangat mulia apabila ia mempertaruhkan semua modalnya untuk kesejahteraan rakyat. Namun, pada kenyataannya yang dilakukan sama seperti perlakuannya terhadap modal untuk bisnisnya. Uang yang dikeluarkannya harus kembali dalam jumlah yang lebih banyak sehingga kekuasaan yang diraihnya hanya dijadikan kuda tunggangan untuk semakin memuluskan jalannya menumpuk pundi-pundi uang. Sementara mereka “yang dimodali” orang lain berpotensi hanya menjadi wayang. Dia diusung ke atas kursi kekuasaan hanya untuk memberi stempel kepentingan-kepentingan sang pemilik modal.
    Dalam situasi politik seperti ini, sama sekali tidak ada istilah “daulat rakyat”; yang ada hanyalah “daulat uang” dan “daulat pemilik modal”. Ini terlihat dari semakin lemahnya posisi negara terhadap para pemodal. Negara cenderung tidak bisa mencegah tindakan-tindakan destruktif yang dilakukan para pemilik modal seperti mengeruk tambang, menggunduli hutan, memangkas anggaran proyek, dan sebagainya. Padahal, jelas-jelas yang dirugikan dari semua proses seperti itu adalah rakyat. Negara tidak lagi sendirian memegang kendali kekuasaan. Kekuasaan telah menjadi lahan “arisan” yang dipegang sahamnya oleh banyak pihak yang bahkan sama sekali tidak kaitannya secara struktural dan institusional dengan penguasa formal. Oleh sebab itu, boleh juga dikatakan bahwa dalam sistem politik Indonesia saat ini ada satu lagi “pembagi” kekuasaan yang tidak kasat mata di negeri ini, yaitu pemilik modal (kaum kapitalis).

    NGO Sebagai Fourth Power
    Pertanyaan berikutnya yang cukup penting, terutama dalam konteks gerakan organisasi masa (ormas) seperti Persis adalah di mana peran organisasi-organisasi non-pemerintah ini? Berikut penjelasan mengenai masalah ini secara singkat.
    Terdapat fenomena baru yang unik dalam institusi negara modern berkait dengan pembagian kekuasaan (division of power). Rupanya pemegang kekuasaan bukan hanya mereka yang memegang jabatan-jabatan politik (political society). Dalam model demokrasi modern masyarakat dimungkinkan membentuk kelompok-kelompok kepentingan untuk menyuarakan aspirasi dan harus diakui serta diberi legitimasi oleh negara. Kelompok-kelompok kepentingan ini pun boleh mengorganisasi diri sebagaimana halnya organisasi negara.[5] Kelompok-kelompok inilah yang disebut sebagai non-government organization (NGO) atau dikenal pula dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).[6]
    Arbi Sanit menyebut organisasi semacam ini sebagai salah satu wujud swadaya kepolitikan masyarakat yang mungkin tidak tertampung aspirasinya oleh kekuatan politik yang resmi berada di wilayah political society seperti pemerintrah dan partai politik. Melalui NGO-NGO yang didirikan oleh masyarakat ini, masyarakat dimungkinkan memiliki kekuatan politik yang harus diakui oleh negara. Kekuatan inilah yang disebut sebagai civil power dari kelompok sipil (civil society).[7]
    Organisasi masa seperti Persatuan Islam (Persis) adalah bagian dari civil society dalam sistem politik modern yang dianut Indonesia saat ini. Keberadaannya diakui oleh negara sebagai kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan ini sebagaimana NGO lainnya diperkenankan memiliki aspirasi politik dan menyuarakannya, langsung ataupun tidak. Bedanya kekuatan kelompok NGO ini dibandingkan dengan aparat politik adalah tidak memiliki kewenangan mengeksekusi langsung aspirasi politiknya dengan alat-alat yang dimiliki oleh negara. Akan tetapi, dibandingkan negara, NGO bisa langsung berhubungan dengan masyarakat untuk memperjuangkan misinya tanpa harus melalui alat-alat negara yang terkadang terlalu rigid.
    Kita ambil contoh dari misi Persis. Tujuan didirikannya Persis sebagaimana tercantum dalam QA/QD yang disepakati para anggotanya melalui Muktamar adalah untuk mewujudkan syari’at Islam dalam segenap aspek kehidupan, terutama bagi anggotanya. Ini adalah aspirasi Persis. Sebagai warga negara di negara demokrasi, apa yuang menjadi cita-cita Persis tidak boleh diberangus oleh negara. Negara harus membiarkannya hidup, sekalipun belum tentu aspirasi semacam ini bisa ditampung oleh negara. Aspirasi dan kepentingan para anggota Persis ini dalam konteks sistem di negara modern masih boleh dipelihara dalam kelompoknya. Persis boleh memperjuangkan apa yang menjadi misinya melalui kelompok ini.
    Sebagai kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan politik di negara modern, ada dua hal yang bisa dilakukan melalui organisasi ini. Pertama, secara sah, Persis sebagai organisasi dapat mengusulkan apa yang menjadi aspirasinya kepada negara melalui saluran-saluran politik negara yang diakui seperti pemerintah, birokrasi, atau anggota legislatif. Sepanjang daya tawar politik yang dimiliki oleh Persis kuat, apa yang menjadi aspirasinya sangat mungkin segera akan ditindaklanjuti oleh pemegang kekuasaan di wilayah political society. Kalau daya tawar politiknya rendah, memang akan menyulitkan bagi Persis untuk dapat secara kuat memaksakan aspirasinya.
    Kedua, Persis memiliki akses tanpa batas kepada jamaah dan anggotanya secara langsung. Aspirasi yang diembannya, sepanjang menyangkut kepentingan jamaah dan anggotanya dapat langsung diterapkan tanpa harus menunggu kekuatan negara turut membantunya. Bahkan dari sisi ini, kekuatan political society tidak lebih kuat dibandingkan kekuatan yang dimiliki Persis. Persis akan dapat menghalangi masuknya akses political society kepada jamaah dan anggotanya, bila kekuatan proteksi Persis efektif dan besar. Pada bagian inilah kekuatan ormas lebih unggul dibandingkan organisasi lain, bahkan dibandingkan organisasi politik (orpol). Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila ormas (baca: NGO) tepat juga apabila disebut sebagai kekuatan keempat (fourth power) setelah kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

    Persis, Pemuda Persis, dan Politik
    Setelah cukup panjang menjelaskan realitas politik Indonesia saat ini dan posisi ormas seperti Persis di dalamnya, selanjutnya yang harus didiskusikan adalah bagaimana sikap Persis dalam konteks hubungannya dengan Politik. Mengenai Persis, termaktub QD Persis Pasal 22 bahwa pada dasarnya Persis membuka sangat lebar hubungannya dengan political society, bahkan posisi rangkap sekalipun. Disebutkan dalam pasal tersebut sebagai berikut:

    (1)   Setiap anggota tidak dibenarkan rangkap keanggotaan atau pimpinan pada organisasi masyarakat keagamaan lainnya. 
    (2)   Setiap Anggota yang akan rangkap keanggotaan atau pimpinan pada organisasi politik harus dengan persetujuan Pimpinan Pusat.
    (3)   Anggota Pimpinan Pusat yang akan merangkap keanggotaan atau pimpinan pada organisasi politik harus dengan persetujuan Musyawarah Lengkap Pimpinan Pusat.

    Untuk memberi penjelasan atas pasal “Rangkap Anggota dengan Parpol” di atas, PP Persis kemudian menerbitkan Pedoman Siyasah Jam’iyyah yang isinya secara umum mencoba memperjelas posisi Persis sebagai ormas dalam hubungannya dengan orpol dan anggota atau pimpinan organisasinya yang merangkap dengan orpol. Walaupun demikian tetap saja ada semacam ambiguitas yang tidak bisa dihindarkan antara keinginan seutuhnya menjadi NGO dengan kepentingan terhadap partai politik yang merupakan bagian dari political society. Walaupun mungkin tidak dapat disebut sebagai “ketidakpercayaan diri” atas kekuatan politik yang dimilikinya, pasal ini memperlihatkan dengan sangat jelas pandangan bahwa secara power, parpol lebih kuat dibandingkan ormas sampai perlu ada—atau boleh ada—pengurusnya sendiri yang menjadi bagian dari political society.  
    Hal sebaliknya terdapat dalam QD Pemuda Persis. Pada pasal 29 disebutkan dengan sangat tegas tentang rangkap jabatan, baik dengan ormas lain maupun dengan parpol. Teksnya berbunyi: Anggota Pemuda Persis tidak dibenarkan merangkap keanggotaan dengan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang sejenis dan atau Organisasi Politik (Orpol). Kemudian pasal ini dipertegas dengan tafsirnya: Organisasi Politik adalah semua partai politik yang ada di Indonesia maupun di luar negeri, yang menjadi peserta pemilu ataupun tidak. Larangan ini lebih menekankan kepada larangan administratif keanggotaan tanpa membatasi aktivitas politik lainnya. Sehingga pada dasarnya Pemuda Persis dapat melakukan aktivitas politik, tetapi tidak boleh memasuki wilayah partai politik sebagai anggota. Apabila seorang anggota Pemuda Persis tercatat sebagai anggota parpol tertentu, maka dengan sendirinya keanggotaan di Pemuda Persis dinyatakan gugur.
    Ada nuansa ketegasan sikap terhadap parpol, tapi masih berselimut kebingungan. Ini terbukti dengan tidak adanya penjelasan lanjutan tentang bagaimana semestinya hak-hak politik anggota Pemuda Persis dipergunakan. Juga tidak ada penjelasan tertulis tentang mengapa kebijakan seperti ini yang dipilih dalam konteks internal kepentingan Pemuda Persis sendiri maupun dalam konteks eksternal dalam hubugannya dengan kekuatan-kekuatan political society. Hal ini menyebabkan banyak pertanyaan tentang arah gerakan Pemuda Persis, terutama dalam hubungannya dengan politik. Pada tingkat akar rumput pembiaran ini tidak selalu mencerahkan. Bahkan, tidak kurang anggapan bahwa Pemuda Persis anti politik dan tidak peduli dengan perkembangan zaman. Adalah menjadi tanggung jawab pimpinan Pemuda Persis untuk meperjelas kebingungan ini.
    Kedua aturan di atas adalah sama-sama hasil ijtihad melalui musyawarah dan perdebatan yang panjang dan melelahkan. Jangan diukur dengan dalil syar’i mana yang lebih benar dan mana yang salah, karena pasti akan gagal menemukan dalilnya. Analisis justru harus diarahkan pada perkembangan kondisi dan problem kekinian yang menuntut harus dijawab. Inilah nantinya yang akan menjadi landscape munculnya maslahat-madharat yang dapat dijadikan pegangan untuk memilih kebijakan terbaik. Bisa jadi penjelasan akan sangat subjektif bergantung keluasan pandangan dan pemahaman yang menjelaskannya. Namun, pada akhirnya pilihan subjektif itulah yang akan menjadi bahan pertimbangan khalayak menemukan kearifan dalam menentukan pilihan.
    Apa yang menjadi kebijakan Persis bukan tempatnya di sini untuk terlalu panjang lebar diulas. Selain sudah jelas keterbukaan Persis untuk secara langsung behubungan dengan Parpol dan political-society lainnya, juga akan lebih baik membaca potensi idealisme pada kebijakan yang diambil Pemuda Persis. Ini akan menjadi pembanding atas kebijakan yang telah diambil oleh Persis.
    Sejak Muktamar 2010, Pemuda Persis mempertegas positioning organisasinya di Persis, yaitu sebagai “kader” bagi Persis dan umat. Tugasnya adalah “membina keimanan, keilmuan, dan kepemimpinan” kader. Atas dasar visi ini, Pemuda Persis kemudian merancang berbagai kegiatan yang berfokus pada pencaian keinginan mempersiapkan kader-kader yang berkualitas di berbagai bidang, baik itu di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Penolakan Pemuda Persis atas keterlibatannya dengan parpol adalah bagian dari cara Pemuda Persis ingin membina kader-kadernya. Ada beberapa yang kelihatannya menjadi pertimbangan serius atas penolakan ini.
    Pertama, kondisi politik kepartaian yang dianggap masih belum aman untuk tumbuhnya kader idealis yang diinginkan oleh Pemuda Persis. Seperti sudah dijelaskan di atas, kondisi politik yang dikuasai pragmatisme dan uang, bahkan hampir-hampir tidak ditemukan lagi ideologi dalam partai, menyebabkan siapa pun yang masuk ke dalamnya akan sulit untuk menjaga dirinya. Fitnah ada di mana-mana. Tidak ikut terlibat dalam gelimangan uang kotor pun, paling tidak tahu bahwa hak demikian terjadi, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi di tengah suasana kekuasaan yang hanya menghargai kekuatan kapital. Mereka yang tidak memiliki modal hanya dianggap “pengemis” yang tengah mengais-ngais rezeki di tengah pertaruhan politik (uang) negeri ini.
    Saat Pemuda Persis memilih untuk tidak mengizinkan kadernya merangkap menjadi anggota Parpol, memang aka nada yang mengatakan bahwa Pemuda Persis tidak memiliki kepedulian untuk memperbaiki sistem perpolitikan di negeri ini. Kalau kader Pemuda Persis tidak bergabung dengan parpol, bagaimana parpol akan bisa diperbaiki? Argumen ini dapat saja benar. Akan tetapi, harus juga dibaca secara riil apakah dengan bergabungnya kader Pemuda Persis akan ada jaminan bisa mengubah parpol menjadi lebih ideal atau malah kader-kader yang baik di Pemuda Persis akan ikut terbawa buruk? Belum lagi jika kader Pemuda Persis yang bergabung adalah kader yang tidak baik malah justru akan membuat parpol tempatnya berbagabung bentambah buruk. Bila tidak ada jaminan atas hal ini, maka amat tidak relevan mengaitkan “keharusan” bergabungnya kader Pemuda Persis dengan parpol sebagai usaha untuk “memperbaiki perpolitikan negeri ini”. Pemuda Persis sendiri merasa bahwa jangankan bergabung dengan parpol, mengoptimalkan potensi politiknya sendiri saja belum bisa; apalagi harus berjibaku di tengah arus politik uang yang sulit dikendalikan. Oleh sebab itu, dalam hal ini berlaku hadis
    Kedua, Pemuda Persis tidak ingin konsentrasinya pada kaderisasi terganggu akibat keterlibatan anggota-anggotanya dengan politik, apalagi pemimpinnya. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa konsentrasi Pemuda Persis adalah mempersiapkan kader-kader terbaik untuk menjadi kader Persis dan kader umat yang kokoh secara keimanan, tangguh secara keilmuan, dan cakap menghadapi berbagai tantangan zamannya. Tugas mempersiapkan kader ini bukan tugas yang mudah. Tidak bisa dilakukan sambilan. Harus ada keseriusan dan konsentrasi.
    Ini alasan teknis, namun sangat penting. Seringkali tugas-tugas yang harus dikerjakan di jam’iyyah dianggap sebagai tugas sampingan sehingga dikerjakan pula secara tidak serius. Lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya memanfaatkan keberadaannya di jam’iyyah sebagai batu loncatan untuk meraih posisi-posisi politik tertentu. Alih-alih berpikir tentang bagaimana menjalankan tugas dan fungsi kaderisasi dengan baik, yang ada justru posisi organisasi hanya dijadikan sapi perahan untuk kepentingannya sendiri.
    Untuk menghindari situasi tindakan yang merugikan kedua belah pihak, baik parpol maupun jam’iyyah, Pemuda Persis mendorong kadernya untuk membuat pilihan bertanggungjawab yang menunjukkan keseriusannya untuk mengerjakan sesuatu. Bila yang dipilihnya adalah Pemuda Persis, maka tugas utama di dalam jam’iyyah ini adalah pembinaan dan kaderisasi. Lakukan ini dengan penuh dedikasi dan tanggung-jawab. Jika tidak nyaman dengan pekerjaan dan tugas di Pemuda Persis dan lebih memilih pekerjaan-pekerjaan politik, lakukan pula hal itu dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab. Pilihlah parpol yang bisa mewadahi idealismenya. Konsentrasilah di sana untuk secara serisu dapat belajar dan bereksperimentasi untuk mewujdukan cita-cita politik Islam dengan benar. Jangan mejadi orang yang mudabdabîn, tidak tegas apa yang sebenarnya ia ingin pilih.
    Ketiga, conflict of interest yang sangat mungkin terjadi antara visi jam’iyyah dengan kepentingan pramatis parpol atau bahkan dengan visi parpol itu sendiri. Alasan ketiga ini yang sangat penting menyangkut ideologi gerakan yang saat ini terasa “asing” saat diperbincangkan di tengah tren politik-uang. Akan tetapi, bagi Pemuda Persis yang sejak awal memperjuangkan ideologi, bukan keuntungan dan kepentingan materi, maka poin ini menjadi sangat penting. Pemuda Persis menyadari sepenuhnya bahwa tidak setiap parpol memperjuangkan ideologi yang sama seperti yang diperjuangkan Pemuda Persis. Kalau ada anggota Pemuda Persis yang akhirnya bergabung dengan Parpol dengan visi ideologis yang berbeda, jelas ini kontra produktif dengan misi Pemuda Persis. Ini juga bisa diartikan bahwa yang bersangkutan “gagal” dikader oleh Pemuda Persis sehingga memilih untuk memperkuat barisan orang lain yang memperjuangkan ideologi yang berbeda. Oleh sebab itu, bagi anggota Pemuda Persis yang seperti itu dipersilakan untuk menentukan polihan antara Pemuda Persis atau yang lain.
    Mungkin saja ada parpol yang ideologinya sejalan dengan Pemuda Persis, namun ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan. Conflict of interest bisa saja terjadi pada hal-hal yang lebih praktis, terutama masalah pekerjaan. Di satu sisi kader yang bersangkutan harus mengerjakan sesuatu untuk partainya, sementara Pemuda Persis menuntut hal lain. Salah satunya pasti akan ada yang dikorbankan, partai atau Pemuda Persis. Siapa pun yang dikorbankan pasti akan dirugikan. Oleh sebab itu, sebelum ada pihak-pihak yang akan dirugikan, sejak awal Pemuda Persis dengan tegas memberikan pilihan kepada kader-kadernya untuk tetap di Pemuda Persis atau di tempat lain. Fokus pada suatu pekerjaan akan lebih memungkinkan siapapun lebih berhasil mencapai tujuannya secara cepat dan efektif. Pekerjaan yang sambilan dan lonpat-lompat justru hanya akan mengakibatkan kegagalan.

    Closing Statement: dengan Cara Apa Pemuda Persis Berpolitik?
    Melihat argumen-argumen di atas cukup tegas bahwa Pemuda Persis saat ini memilih untuk tidak berada di dalam arus politik “parpol”. Mungkin pertanyaan berikutnya, dengan cara apa Pemuda Persis ikut menentukan “hijau-merah”-nya politik negeri ini? Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini.
    Pertama, kembali kepada teori politik-kenegaraan modern yang dianut di Indonesia. DI negeri ini kekuatan politik penentu kebijakan bukan hanya ada di wilayah political society, melainkan ada pula secara efektif di wilayah civil society. Kedua kekuatan ini secara bersama ikut menentukan terbentukanya suatu kebijakan. Pemuda Persis adalah salah satu bagian dari civil society yang keberadaan dan hak-hak politikya diakui negara. Jadi, tanpa harus menjadi parpol, bergabung dengan parpol tertentu, atau “menitipkan” kadernya kepada parpol tertentu, secara inheren di dalam tubuh Pemuda Persis ada kekuatan politik yang efektif dan dapat digunakan secara langsung untuk ikut menentukan kebijakan negara.
    Masalahnya adalah bahwa posisi politik ini seringkali tidak disadari keberadaannya sehingga sangat jarang—kalaupun dikatakan tidak pernah—digunakan. Banyak kebijakan yang sesungguhnya bisa diubah haluannya hanya berbekal nama “Pemuda Persis”. Misalnya saat ini tengah digodog rancangan KUHP di DPR yang diusulkan pemerintah. Sebagai bagian dari kekuatan civil society yang memiliki hak politik, Pemuda Persis bisa saja datang ke DPR atau pemerintah untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Kekuatan politik Pemuda Persis akan semakin diperhitungkan apabila ditambah dengan pengerahan masa. Kebijakan bisa berubah atas usul Pemuda Persis. Akan tetapi, apakah di Pemuda Persis ada kader yang siap mengkritisi RUU itu dengan argumentasi yang tidak memalukan? Juga apakah di Pemuda Persis ada yang memiliki kapasitas untuk memainkan peran politik ini? Jelas ini kembali kepada keberhasilan kaderisasi di Pemuda Persis. Oleh sebab itu, untuk saat ini sebetulnya tidak perlu terlalu takut Pemuda Persis tidak bisa mempengaruhi kebijakan politik dengan tidak ikut bergabung dengan parpol.
    Kedua, visi politik itu bukan hanya sekedar memengaruhi kebijakan, tetapi juga pada aspek implementasi kebijakan dan hukum di masyarakat (tanfîdz). Pemerintah memiliki perangkat untuk tujuan politik yang satu ini. Perangkatnya disebut “aparat penegak hukum” seperti birokrasi, polisi, pengadilan, jaksa, dan sebagainya. Akan tetapi, “badai uang” yang melanda negeri ini telah melumpuhkan kekuatan aparat penegak hukum sehingga berakibat law disobedience (ketidaktaatan pada hukum) terjadi di mana-mana. Aparat tidak banyak yang bisa bertindak tegas. Banyak peraturan perundangan yang akhirnya hanya jadi macan kertas. Secara politik, ini adalah suatu bentuk kegagalan lain.
    Pemuda Persis atau Persis adalah di antara sekian banyak NGO yang memiliki akses kepada anggota, jamaah, dan simpatisannya yang bisa jadi lebih dipercayai dibanding kepercayaan mereka terhadap negara (baca: political society). Tentu ini merupakan efek dari konsistensi Persis dalam membina dan mendekati jamaah. Para pemimpin Persis dipercayai dan ditaati karena kejujuran, keihklasan, keilmuwan, dan kezuhudan mereka. Sementara para birokrat dan politisi banyak yang tidak ditaati karena ketidakjujuran, pamrih, dan kemewahan yang mereka kejar. Dibandingkan dengan aparatur negara, kekuatan daya terap nasihat dari para pemimpin Persis (yang juga umumnya ulama) lebih kuat dibandingkan para aparatur politik. Ini adalah wilayah politik yang sebetulnya terbuka peluangnya untuk digunakan seluas-luasnya bagi tegaknya misi politik Islam, yaitu tegaknya agama dan kesejahteraan umat.
    Walaupun kedua wilayah politik yang bisa dimanfaatkan oleh kader-kader Pemuda Persis yang memang ingin berjuang dengan wasilah “politik” nyata-nyata dan jelas adanya, namun seringkali tersamarkan dengan kenyataan bahwa kedua wilayah itu adalah wilayah yang “kering”. Tidak ada gelimangan anggaran dan uang di sana. Akibatnya, daya tarinya menjadi sangat rendah. Kalau ini memang yang menjadi alasan mengapa fasilitas politik yang inheren di jam’iyyah tidak dimanfaatkan, maka benarlah bila ada yang su’uzhan memprediksi bahwa orang-orang yang bertarung untuk masuk ke ruang-ruang politik di wilayah political society sama-sama seperti yang lain hanya ingin berebut “kue politik” alias uang! Kalau memang itu yang terjadi, apa artinya ada kader-kader Persis atau Pemuda Persis yang ikut serta dalam pertarungan politik praktis negeri ini? Wallâhu A’lam bi Al-Shawwâb.  

    Oleh
    Tiar Anwar Bachtiar
    (Penulis Buku Persis dan Politik; Ketua Umum PP Pemuda Persis)






    [1] Lihat Goodin and Hens Dieter Klingemann (ed.). A New Handbook of Political Sicence. (London: Oxford University Press, 1995) hal. 7
    [2] Al-Mawardi menyebut tujuan kekuasaan dalam Islam adalah untuk menjaga urusan agama (hirâsah al-dîn) dan mengelola urusan dunia (siyâsah al-dunyâ) lihat : Muhammad Rasyid Ridha. Al-Khilâfah aw Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ. (Kairo: Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1994) hal. 35; lihat juga Shalah Al-Shawi. Al-Wajîz fi Fiqh Al-Khilâfah. (Kairo: Dâr Al-I’lâm Al-Dauli, tt.) hal. 5.
    [3] Abu Hamid Al-Ghazali. Al-Tibr Al-Masbûk fî Nashîhah Al-Mulûk. (Kairo: Maktabah Al-Kulliyyah Al-Azhariyah, tt.) hal. 18
    [4] Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi. Syarh Sunan Al-Nasâ’i. (Beirut: Dâr Al-Ma’rifah, 2001) Jil. 6 hal. 50.
    [5] S.P. Varma. Teori Politik Modern. (Jakarta: Raja Grafindo, 2007) hal. 225. Lihat juga Arbi Sanit. Swadaya Politik Masyarakat. (Jakarta: Rajawali, 1985) hal. 35
    [6] NGO ini secara umum didefinisikan sebagai organisasi yang memiliki cirri-ciri: 1) bukan bagian dari pemerintah, birokrasi, maupun negara; 2) tidak bertujuan memperoleh keuntungan materi (nirlaba); 3) kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum. Definisi ini adalah definisi yang resmi dibuat oleh negara melalui Intruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990. Ini merupakan wujud dari pengakuan negara atas keberadaan organisasi-organisasi non-pemerintah. Apabila RUU Ormas jadi disahkan, maka bagian dari NGO yang khusus, yaitu ormas, mendapat legitimasi lebih kuat lagi keberadaannya oleh negara.
    [7] Arbi Sanit. Op. Cit. hal. 35

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    trikblog.co.cc