Menimbang Ideologi Wahabi: Perspektif Pemikiran dan Aliran
Wahabi atau wahhabiyyah adalah istilah gerakan keagamaan yang dinisbatkan kepada Muhamad bin Abdul Wahhab (1115 -1201 H/1703 -1787 M), mujaddid (pembaru) dan teolog konservatif kelahiran Uyainah, Nejd (70 km arah barat laut kota Riyadh, ibu kota Arab Saudi sekarang). Istilah itu pada awalnya diberikan oleh para penentang gerakan ini. Karena para pengikut Muhamad bin Abdul Wahhab sendiri menyebut diri mereka dengan nama al-muslimun atau al-muwahhidun, yang bermakna pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah. Mereka juga menyebut diri mereka sebagai pengikut madzhab Hanbali atau ahlus salaf.
Latar Belakang Kemunculan
Kemunculan wahabbiyah tidak dapat dilepaskan dari tiga kondisi umat Islam waktu itu; Pertama, politik. Secara politik umat Islam di seluruh kawasan kekuasaan Islam berada dalam keadaan lemah. Turki Usmani (kerajaan Ottoman) yang menjadi penguasa tunggal Islam pada saat itu sedang mengalami kemunduran dalam segala bidang. Banyak daerah kekuasaannya yang melepaskan diri, terutama di daratan Eropa. Kelemahan ini juga menyebabkan kekacauan politik di daerah-daerah timur (Arab, Persia, dan lain-lain). Keadaan ini menyebabkan timbulnya emirat-emirat kecil yang berusaha menguasai daerah-daerah tertentu.
Kedua, perilaku keagamaan. Di samping kelemahan politik, perilaku keagamaan umat di masa itu merupakan faktor yang paling mendorong munculnya gerakan ini. Pada umumnya, terutama di Semenanjung Arabia, telah terjadi distrosi pemahaman Alquran. Semangat keilmuan yang meramaikan zaman klasik telah pudar dan digantikan dengan sikap fatalis dan kecenderungan mistis. Di samping itu tauhid yang di ajarkan Nabi Muhamad saw. telah diselubungi khurafat dan faham kesufian. Mesjid-mesjid banyak di tinggalkan karena orang lebih cenderung menghias diri dengan azimat, penangkal penyakit, dan tasbih. Mereka belajar pada seorang fakir atau darwis serta memuja mereka sebagai orang-orang suci dan sebagai perantara mencapai Allah. Dalam keyakinan mereka Allah terlalu jauh untuk dicapai manusia melalui pemujaan secara langsung. Tidak hanya kepada guru yang masih hidup, kepada yang sudah matipun mereka memohon perantaraan. Sebagian umat Islam meninggalkan akhlak yang diajarkan Alquran, bahkan banyak yang tidak menghiraukan lagi. Kota-kota suci Mekah dan Madinah telah menjadi tempat yang penuh dengan penyimpangan akidah, sementara ibadah haji telah menjadi amalan yang dilecehkan dan dianggap enteng.
Ketiga, sosial ekonomi. Tumbuh suburnya perilaku keagamaan semacam ini sesuai dengan tingkat kesejahteraan kebanyakan umat. Kekacauan politik telah menyebabkan kejahatan timbul di segala tempat. Sistem kabilah merupakan tradisi lama bagi mayoritas penduduk Nejd dan mayoritas penduduk Semenanjung Arabia. Kabilah-kabilah yang kuat dapat menguasai jalur perdagangan, sedangkan peduduk pada umumnya berada dalam kekurangan. Pertanian dan peternakan merupakan mata pencarian utama mayoritas penduduk tidak dapat menjamin kehidupan ekonomi mereka. Hal ini disebabkan karena keamanan yang rawan akibat kekacauan, peperangan, dan perampokan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah lain. Akibatnya, mayoritas penduduk Nejd dan semenanjung Arabia hidup dalam kemiskinan.
Ditengah kancah kehidupan yang demikianlah lahirnya gerakan keagamaan yang dipelopori Muhamad bin Abdul Wahhab itu. Gerakan ini kemudian menjadi kekuatan keagamaan dan politik yang dominan di Jazirah Arab pada sekitar 1746 M, ketika Al Sa’ud memadukan kekuatan politik dan ajaran Wahhabi. Satu demi satu kerajaan jatuh oleh serangan kekuatan Arab Saudi. Pada 1773 M, kerajaan Riyadh jatuh dan kekayaannya digabungkan oleh bendaharawan Al-Dar’iyah, Al Sa’ud dan Wahhabiyah. Dengan jatuhnya Riyadh, sebuah tantangan barupun berdiri di Jazirah Arab, yang mengantarkan periode pertama Negara Arab Saudi dan memantapkan Wahhabiyah sebagai kekuatan keagamaan dan politik terkuat di Jazirah Arab selama abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Konsep Pemikiran
Pemikiran yang dicetuskan oleh Ibn Abdul Wahhab untuk memperbaiki kedudukan umat Islam timbul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam waktu itu. Gerakan Ibn Abdul Wahhab didorong oleh keinginan untuk memurnikan ajaran Islam, khususnya dibidang tauhid, yang merupakan pokok ajaran Islam. Ia tidak berhasrat untuk mengubah ajaran Islam atau mengadakan penafsiran baru tentang wahyu, melainkan membawa misi pemberantasan unsur-unsur luar (bid’ah dan khurafat) yang masuk ke dalam ajaran Islam serta mengajak umat Islam untuk kembali kepada bentuk ajaran Islam yang murni. Yang di maksud dengan ajaran Islam yang murni itu ialah Islam yang dianut dan di praktikkan pda zaman Nabi Muhammad saw, para sahabat serta tabiin (sampai abad ke-3 H). Sejalan dengan misi yang di bawanya, pemikiran Ibn Abdul Wahhab hampir seluruhnya bertemakan pemurnian tauhid.
Ibn Abdul Wahhab memandang tauhid sebagai agama Islam itu sendiri. Dia berpendapat, keesaan Allah diwahyukan dalam tiga bentuk. Pertama, tauhid ar-rububiyyah, penegasan keesaan Allah dan tindakan-Nya: Allah sendiri adalah Pencipta, Penyedia dan Penentu alam semesta. Kedua, tauhid al-asma’ wa al-sifat (keesaan nama dan sifat-sifat-Nya), yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang ada di antara keduanya, dan semua yang ada di bawah tanah(Q.s. Thaha [20]: 6). Aspek ketiga, tauhid al-ilahiyah, menjelaskan hanya Allah yang berhak di sembah. Penegasan “tidak ada Allah kecuali Allah dan Muhamad sebagai utusan-Nya” berarti semua bentuk ibadah seharusnya dipersembahkan semata kepada Allah; Muhamad tidak untuk disembah, tetapi sebagai Nabi, dia seharusnya dipatuti dan diikuti.
Gerakan ini sangat tidak sepakat dengan lawan-lawannya mengenai masalah tawassul (perantara). Bagi Muhamad ibn Abdul Wahhab, ibadah merujuk pada seluruh ucapan dan tindakan –lahir dan batin- yang dikendaki dan diperintahkan oleh Allah. Ibn Abdul Wahhab menulis bahwa peminta perlindungan kepada pohon, batu, dan semacamnya adalah syirik. Dengan kata lain, tidak ada bantuan, perlindungan, ataupun tempat berlindung kecuali Allah. Perantara oleh pihak lain tidak dapat dilakukan kecuali siizin Allah atas orang yang diminta menjadi perantara, seseorang yang benar-benar mengesakan Allah. Kebiasaan mencari perantara dari orang suci yang telah meninggal adalah terlarang, seperti halnya kesetiaan yang berlebihan tatkala mengunjungi makam mereka. Memohon Nabi menjadi penghubung kepada Allah juga tidak dapat diterima sebab Nabi tidak bisa memberi petunjuk kepada orang-orang yang dia inginkan untuk memeluk Islam tanpa kehendak Allah; dia pun tidak diperbolehkan memintakan ampun dari Allah bagi mereka yang syirik.
Doktrin tawasul mendorong Wahhabiyah untuk mengecam keras praktik-praktik ziarah ke kuburan dan bangunan kubah di dekatnya, sesuatu yang sudah umum dilakukan. Awalnya, Ibn Abdul Wahhab membolehkan berziarah ke kuburan, dengan syarat dilakukan sesuai dengan semangat Islam yang sebenarnya, dan ini termasuk tindakan kebajikan serta patut dipuji. Akan tetapi, Wahhabiyah percaya bahwa banyak orang telah mengubah doa bagi yang dikubur menjadi memanjatkan doa kepada yang dikubur; kuburan telah berubah menjadi tempat orang berkumpul untuk menyembah. Pemuja yang berlebihan terhadap jasad mereka yang memiliki reputasi suci merupakan langkah pertama yang akan membawa orang-orang untuk kembali menyembah berhala seperti pada masa lampau. Untuk menghindari perbuatan syirik seperti ini, menurut Wahhabiyah, seluruh makam yang disucikan itu harus dihancurkan. Kaum Wahhabiyah berpendapat, kuburan harus dibangun sama rata dengan tanah, dan bahwa tulisan-tulisan, prasasti, serta hiasan-hiasan, ataupun penerangan di pekuburan tersebut harus dihindari. Kaum Wahabiyyah juga percaya bahwa mengaku sebagai muslim saja tidak cukup menjadi benteng agar terhindar dari menjadi musyrik. Seseorang yang telah mengucapkan syahadat, tetapi masih tetap mempraktikan syirik (seperti yang didefinisikan oleh kaum Wahhabiyah) seharusnya dicela sebagai kafir dan seharusnya dibunuh.
Bid’ah merupakan bab lain yang menjadi perhatian Wahhabiyah. Bid’ah, menurut Wahhabiyah, adalah setiap ajaran atau tindakan yang tidak didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, atau otoritas para sahabat Nabi. Ibn Abdul Wahhab menyalahkan semua bentuk bid’ah dan menolak pendapat yang mengatakan, bid’ah bisa jadi hasanah (baik dan patut dipuji). Ibn Abdul Wahhab mengutip Al-Quran dan Sunnah Nabi untuk mendukung pandangannya. Wahhabiyah menolaknya sebagai bid’ah tindakan-tindakan seperti memperingati kelahiran Nabi saw., meminta perantara dari para wali, membaca Al-Fatihah atas nama pendiri tarekat sufi sesudah menunaikan shalat lima waktu, dan mengulangi shalat lima waktu sesudah shalat Jum’at pada bulan Ramadhan.
Konflik antara ijtihad dan taklid adalah perinsip keenam yang menjadi perhatian Wahhabiyah. Menurut Ibn Abdul Wahhab dan pengikutnya, Allah memerintahkan orang untuk hanya mematuhi-Nya dan mengikuti ajaran Nabi. Tuntutan Wahhabiyah untuk mengikuti sepenuhnya Al-Quran dan Sunnah bagi semua muslim adalah juga sebagai penolakan Wahhabiyah terhadap semua penafsiran imam mazhab empat –termasuk pandangan- mazhab Wahhabiyah sendiri, Hanbali, yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Sebagai upaya pemurnian tauhid ini, secara khusus Ibnu Abdul Wahhab menyusun kitab at-Tauhid yang memuat pandangan-pandangannya sekitar tauhid, syirik, dan lain-lain yang menyangkut masalah akidah Islam. Menurutnya kalimat la ilaha illa Allah (tidak ada Allah selain Allah) tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus di manifestasikan dengan la ma’bud illa Allah (tidak ada yang di sembah kecuali Allah). (Lihat, Kitab tauhid alladzi huwa Haqqullah ‘alal ‘ibad, hal. 1-90; al-Syekh Muhamad bin Abdul Wahhab, ‘Aqidatuhu al-Salafiyyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah, hal. 1-90; Aqidah al-syekh Muhamad bin Abdul Wahhab al-Salafiyyah wa Atsaruha fi al-‘Alam al-Islami, I:1-970, II:1-588; al-Rasail al-Syakhshiyah li al-Syekh Muhamad bin Abdul Wahhab, hal 1-146)
Corak Aliran
Dari konsep pemikiran di atas tampak jelas bahwa pada hakikatnya Wahhabiyyah tidak membawa konsepsi pemikiran baru tentang Islam dan umat, khususnya tentang aqidah. Mereka melakukan reaktualisasi konsepsi pemikiran Taqiyuddin Ibn Taimiyah (1263-1328 M) dalam bentuk yang berbeda. Cara persuasif yang dilakukan Ibn Taimiyah dalam mencetuskan pemikirannya dirasakan oleh Ibnu Abdul Wahab tidak efektif. Maka ia mengambil sikap keras dalam menggunakan kekuatan.
Wahhabiyah, sebagaimana Ibn Taimiyyah, menggunakan prosedur-prosedur yang ketat untuk mengarahkan pembahasan mengenai masalah-masalah doktrinal. Untuk menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan persoalan agama, mereka pertama-tama mencari jawabannya pada ayat-ayat Al-Quran dan Hadis, dan menetapkan jawaban sesuai dengan kedua sumber tersebut. Apabila rujukan tidak ditemujan pada ayat-ayat tersebut, mereka mencari konsensus di kalangan “kaum terdahulu yang saleh”, khususnya para sahabat dan tabi’in, seta ijma para ulama. Namun, ijma dibatasi hanya yang sejalan dengan Al-Quran dan Hadis.
Meskipun Wahhabiyah mengikuti Madzhab Hanbali, mereka tidak menerima pandangan-pandangannya sebagai jawaban yang final. Apabila terdapat tafsiran Hanbali terbukti salah, pendapat itu harus ditinggalkan. Untuk mendukung pendapat mereka, kaum Wahhabiyah mengutip ayat-ayat Al-Quran yang menunjukan bahwa Al-Quran dan Hadis sebagai satu-satunya dasar penetapan fiqih (hukum Islam). (Lihat, Bahtsun Haula al-Syekh Muhamad bin Abdul Wahhab wa Harakatuh al-Mujaddiduh, hal. 1-31; Al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzahib, I:164-172)
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar