Shaum Syawal
adalah shaum sunat sebanyak 6 hari pada bulan Syawal. Masalah shaum 6 hari ini
sebenarnya telah dibahas oleh asatidzah di berbagai media, namun karena muncul
beberapa pertanyaan tentang teknis pelaksanaannya, juga terdapat sebagian pihak
yang masih menilai dhaif hadis syaum Syawal sehingga pelaksanaannya dipandang
bidah, maka memicu timbulnya keraguan di kalangan umat dalam melaksanakannya.
Sehubungan dengan itu, kami merasa perlu untuk membahas kembali persoalan shaum
Syawal ini dengan harapan semoga dapat menghasilkan kesimpulan yang kukuh dan
menentramkan.
Penelusuran
Sumber Hadis (Takhrij al-Hadits)
Sebelum
dibahas tentang teknis pelaksanaan shaum 6 hari itu, penting untuk disampaikan
sumber periwayatan hadis tersebut untuk mengukuhkan kehujahannya, sebagai
berikut:
Sejauh
pengetahuan kami, hadis-hadis tentang shaum Syawwal yang mudah kita dapati bersumber
dari 8 orang sahabat Nabi saw., yaitu Abu Ayub al-Anshari, Jabir, Abu Hurairah,
Tsauban, Ibnu Abbas, Aisyah, al-Bara bin Azib, dan Ibnu Umar.
Adapun yang
paling banyak tercatat dalam kitab-kitab hadis adalah bersumber dari sahabat
Abu Ayub al-Anshari, dengan beberapa redaksi, antara lain:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ
كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa yang
shaum Ramadhan lalu diikuti dengan shaum enam hari di bulan Syawal, ia seperti
shaum selama satu tahun”
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ
فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
“Siapa yang
shaum Ramadhan dan diikuti dengan shaum enam hari di bulan Syawal, seakan-akan
ia telah shaum selama satu tahun”
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَذلِكَ
صِيَامُ الدَّهْرِ
“Siapa yang
shaum Ramadhan lalu diikuti dengan shaum enam hari di bulan Syawal, maka itulah
shaum selama satu tahun”
مَنْ صَامَ شَهْرَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ
كُتِبَ لَهُ صِيَامُ السَّنَةِ
“Siapa yang shaum
di bulan Ramadhan dan diikuti dengan shaum enam hari di bulan Syawal, telah
dicatat baginya pahala shaum selama satu tahun”
Hadis dari Abu
Ayyub itu sampai kepada para pencatat hadis (mukharrij) melalui jalan (thariq)
yang berbeda-beda, sehingga kami merasa perlu menjelaskan satu demi satu,
sebagai berikut:
Pertama, yang sampai
kepada Imam Muslim dan tercatat dalam kitab Shahih-nya. Ia menerima dari:
·
Yahya bin Ayub, Qutaibah bin Sa’id,
dan Ali bin Hujr. Ketiga orang ini menerima dari Ismail bin Ja’far, dari Sa’ad
bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit , dari Abu Ayub Al-Anshari.
·
Ibnu Numair (Muhamad bin Abdullah
bin Numair), dari ayahnya (Abdullah bin Numair), dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais,
dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari
·
Abu Bakar bin Abu Syaibah, dari
Abdullah bin Mubarak, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari
Abu Ayub Al-Anshari. [1]
Kedua, yang sampai
kepada Imam Ahmad dan tercatat dalam kitab Musnad-nya. Ia menerima dari:
·
Abu Muawiyah, dari Saad bin Said,
dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayyub Al-Anshari. [2]
·
Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah,
dari Warqa, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub
Al-Anshari. [3]
·
Ibnu Numair (Abdullah), dari dari
Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [4]
Ketiga, yang sampai
kepada Imam An-Nasai dan tercatat dalam kitabnya As-Sunan Al-Kubra. Ia menerima
dari:
·
Ahmad bin Yahya, dari Ishaq, dari
Hasan Ibnu Shayih, dari Muhammad bin Amr al-Laitsi, dari Sa’ad bin Sa’id bin
Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [5]
·
Ahmad bin Abdullah bin Al-Hakam,
dari Muhamad, dari Syu’bah, dari Warqa, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari
Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [6]
Keempat, yang sampai
kepada Imam At-Tirmidzi dan tercatat dalam kitab Sunan-nya. Ia menerima dari
Ahmad bin Mani’, dari Abu Mua’wiyah, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar
bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [7]
Kelima, yang sampai
kepada Ibnu Majah dan tercatat dalam kitab Sunan-nya. Ia menerima dari Ali bin
Muhamad, dari Abdullah bin Numair, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin
Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [8]
Keenam, yang sampai
kepada At-Thabrani dan tercatat dalam kitabnya Al-Mu’jam Al-Kabir. Ia menerima
dari:
·
Ishaq bin Ibrahim, dari Abdur Razaq,
Ibnu Juraij, Daud bin Qais, dan Abu Bakar bin Sabrah. Keempat orang ini
menerima dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub.
[9]
·
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari
Imam Ahmad, dari Muhamad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Warqa, dari Saad bin
Said, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayyub. [10]
(1)
dari Ali bin Abdul Aziz, dari Hajaj bin Al-Minhal,
(2)
dari Ibrahim bin Nailah, dari Abdul A’la bin Hammad
(3)
dari Abu Yusuf Al-Qadhi, dari Abdul Wahid
Hajaj, Abdul
A’la, dan Abdul Wahid semuanya menerima dari Hammad bin Salamah, dari Muhammad
bin Amr Al-laitsi, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu
Ayub Al-Anshari. [11]
(1) dari Abdullah
bin Ahmad, dari Ahmad bin Hanbal, dari Waki’
(2) dari Ahmad bin
Zuhair, dari Muhamad bin Usman bin Karamah, dari Ubaidulah bin Musa.
Waki’ dan
Ubaidullah menerima dari Al-Hasan bin Shalih, dari Muhamad bin ‘Amr, dari Sa’ad
bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [12]
(1) dari Ubaid
bin Ghanam, dari Abu Bakar bin Abu Syaibah
(2) dari
Abu Hushain, dari Yahya Al-Hammani
Abu Bakar dan
Yahya menerima Abdullah bin al-Mubarak, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari
Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [13]
Masih ada
beberapa jalan yang sampai kepada At-Thabrani ini, namun kami anggap cukup
dengan jalan yang tercatat di atas.
Ketujuh, yang sampai
kepada Imam al-Baihaqi dan tercatat dalam kitabnya as-Sunan Al-Kubra. Ia
menerima dari Abu Abdullah al-Hafizh, dari Muhammad bin Ya’qub, dari Muhammad
bin Ishaq as-Shagani, dari Muhadzir bin al-Muwarri’, dari Sa’ad bin Sa’id bin
Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [14]
Kedelapan, yang sampai
kepada Abdur Razaq dalam kitabnya Al-Mushannaf. Ia menerima dari
·
Dawud bin Qais, dari Sa’ad bin Sa’id
bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [15]
·
Abu Bakar bin Abu Sabrah, dari Sa’ad
bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [16]
Hadis Abu
Ayyub di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah[17], al-Humaidi[18],
al-Haitsam bin Kulaib as-Syasyi[19], Abu Dawud at-Thayalisi[20],
at-Thahawi[21], dan al-Baghawi. [22]
Meskipun ke-14
mukharrij di atas meriwayatkan hadis Abu Ayyub tersebut dengan jalan (thariq)
yang berbeda-beda, tetapi semuanya bersumber dari Saad bin Sa’id al-Anshari,
dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub al-Anshari.
Sedangkan pada
riwayat lainnya, yaitu:
1.
Al-Humaidi[23], As-Syasyi[24],
Ad-Darimi[25], An-Nasai[26], Abu Dawud[27], Ibnu Khuzaimah[28], Ibnu
Hibban[29], At-Thabrani[30], dan At-Thahawi[31], periwayatan Saad bin Said
didampingi (maqruunan) Shafwan bin Sulaim. Keduanya menerima dari
Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub al-Anshari.
2.
Al-Humaidi[32], At-Thahawi[33],
At-Thabrani[34], periwayatan Saad bin Said diperkuat oleh Yahya bin
Said (saudara Saad bin Said), dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub
al-Anshari.
3.
An-Nasai[35] dan At-Thahawi[36],
periwayatan Saad bin Said diperkuat oleh Abdur Rabbih bin Said
(saudara Saad bin Said), dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub
al-Anshari
Dengan
demikian, ketika meriwayatkan hadis tentang shaum syawal ini Saad bin Said tidak sendirian (tafarrud)
atau memiliki penguat (mutabi’), yaitu Shafwan bin Sulaim, Yahya
bin Said, dan Abdu Rabbih bin Sa’id, sehingga hadisnya shahih dan
dapat dipakai hujjah tentang syariat Shaum 6 hari di bulan Syawal. Itulah
sebabnya Imam Muslim memuat hadis tentang shaum Syawal dalam kitab Shahih-nya,
dan hadis semacam ini memenuhi salah satu syarat shahih versi Imam
Muslim.
Untuk
mengukuhkan kesahihannya, perlu ditegskan pula di sini bahwa hadis shaum Syawal
itu diriwayatkan pula oleh para sahabat Nabi saw. yang lainnya, di antaranya:
1.
Jabir diriwayatkan oleh At-Thabrani,
Ahmad, Al-Bazzar, dan Al-Baihaqi,
2.
Abu Hurairah diriwayatkan oleh
Al-Bazar dan At-Thabrani,
3.
Tsauban diriwayatkan oleh Ahmad,
Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban,
4.
Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Ahmad,
At-Thabrani, Al-Bazzar, dan Al-Baihaqi,
5.
Aisyah diriwayatkan oleh
At-Thabrani,
6.
Al-Barra bin Azib diriwayatkan oleh
Ad-Daraquthni,
7.
Ibnu Umar diriwayatkan oleh
At-Thabrani.
Sikap Para Ulama
Problem
kelemahan sanad hadis shaum 6 hari Syawal telah selesai dikupas. Meski begitu
terdapat sebagian ulama yang masih menilai dha’if hadis ini, paling tidak
meragukan kesahihannya, dari segi matan karena mengandung kejanggalan, yaitu
hadis shaum Syawwal diriwayatkan dengan beberapa redaksi, yang termasyhur di
antaranya
كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ, فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
“Keadaannya
seperti shaum setahun.” Atau “Seakan-akan shaum setahun.”
Penggunaan
kalimat di atas tidak menunjukkan kejelasan, apakah yang diserupakan (ditasybihkan)
itu shaumnya atau orang yang shaum (shaa’im). Di samping itu,
penyerupaan sesuatu kepada sesuatu yang sejenis, yaitu “shaum seperti shaum”
tidak sesuai dengan kaidah bahasa.
Tanggapan
Dilihat dari
segi matan, hadis tentang shaum syawal tidak mengandung kejanggalan, karena
kalimat: كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ menunjukkan
besarnya pahala yang akan diraih jika melaksanakannya.
Perlu
diketahui bahwa ungkapan “shaum selama satu tahun” dengan kalimat shiyaam
ad-dahr atau shiyaam as-sanah digunakan oleh Nabi saw. bukan hanya
untuk shaum Syawwal semata, karena dipergunakan pula untuk Shaum 3 hari setiap
bulan hijriah, atau yang dikenal dengan Ayyaam al-Biidh. Misalnya dalam
riwayat al-Bukhari disebutkan:
وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ كُلَّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ صِيَامُ
الدَّهْرِ كُلِّهِ
“Dan
cukuplah bagimu bila kamu shaum selama tiga hari dalam setiap bulan, karena
bagimu setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu
berarti kamu sudah melaksanakan shaum sepanjang tahun seluruhnya.“[37]
Dalam riwayat
at-Tirmidzi dengan redaksi:
مَنْ صَامَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَذَلِكَ صِيَامُ
الدَّهْرِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ تَصْدِيقَ ذَلِكَ فِي كِتَابِهِ (مَنْ
جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) الْيَوْمُ بِعَشْرَةِ أَيَّامٍ
“Siapa yang
shaum selama tiga hari pada setiap bulan, maka itulah shaum selama satu tahun” lalu Allah
Azza wajalla menurunkan (ayat) pembenar hal itu dalam kitab-Nya: “Barangsiapa
membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya”
(QS. Al-An’am:160) Satu hari sebanding dengan 10 hari.“[38]
Merujuk kepada
sabda Nabi saw. di atas, kita mendapatkan perbandingan petunjuk untuk shaum
Syawal bahwa kalimat “shaum di bulan Ramadhan lalu diikuti shaum enam hari
bulan Syawal seperti shaum satu tahun” mengandung pengertian “pahala
kebaikannya sebanding dengan satu tahun.” Bahkan untuk shaum Syawal didapatkan
pula petunjuk khusus dalam sabda Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan Abdurrazaq
dengan redaksi:
مَنْ صَامَ شَهْرَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ
كُتِبَ لَهُ صِيَامُ السَّنَةِ
“Siapa yang
shaum di bulan Ramadhan dan diikuti dengan shaum enam hari di bulan Syawal,
telah dicatat baginya pahala shaum selama satu tahun” [39]
Sementara
dalam hadis Tsauban, Nabi saw. bersabda dengan redaksi:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ
أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ
“Barangsiapa
shaum Ramadhan maka satu bulan sebanding dengan sepuluh bulan dan enam hari
setelah Iedul Fitri maka itulah kesempurnaan shaum setahun.” HR. Ahmad.
[40] Dalam riwayat al-Baihaqi dengan redaksi:
صِيَامُ شَهْرٍ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَسِتَّةُ أَيَّامٍ بَعْدَهُ
بِشَهْرِينِ فَذَلِكَ تَمَامُ السَّنَةِ
“Shaum sebulan
sebanding dengan sepuluh bulan dan enam hari setelahnya sebanding dengan dua
bulan. Maka itulah kesempurnaan shaum setahun.” Kata Tsauban,
yaitu bulan Ramadhan dan enam hari sesudahnya.[41]
Dalam riwayat
Ibnu Majah, diakhir sabdanya beliau menyatakan:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa
membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” [42]
Dengan merujuk
“matematis Ilhahi” di atas: 1 bulan Ramadhan = 10 bulan, dan 6 hari Syawal = 2
bulan, serta 1 kebaikan = 10 kebaikan yang serupa, maka teknis penghitungan
pahala shaum Ramadhan plus 6 hari bulan Syawal sebanding dengan pahala satu
tahun, menunjukkan hasil bahwa 1 bulan Ramadhan = pahala 10 bulan, dan 6 hari =
pahala 2 bulan. Jadi, 10 + 2 = pahala 12 bulan (1 tahun). [43]
Waktu dan
Teknis Pelaksanaan
Interval waktu
pelaksanaan shaum 6 hari di bulan Syawal dimulai dari tanggal 2 hingga hari
terakhir, karena pada tanggal 1 Syawal diharamkan shaum, sebagaimana
diterangkan dalam hadis dari Abu Sa’id al-Khudriyyi dan Abu Hurairah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ
يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ
“Sesungguhnya
Rasulullah saw. telah melarang shaum dua hari, (yaitu) di hari Fitri dan hari
Adha.”
HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dari Abu Sa’id al-Khudriyyi. HR.
Ahmad, An-Nasai, Malik, Ibnu Hiban dari Abu Hurairah. [44]
Adapun teknis
pelaksanaan 6 hari itu dapat dilakukan berturut-turut atau bersambung tanpa diputus
selama 6 hari, namun dapat pula dilaksanakan dengan cara cicilan (terpisah).
Demikian itu karena Nabi saw. tidak membatasi teknis pelaksanaanya, beliau
hanya menyebut “6 hari di bulan Syawal.” Jadi, prinsipnya ukuran yang
disyariatkan (miqdar Syar’i) 6 hari selama bulan Syawal. Sehubungan
dengan itu, Ibnul Mubarak berkata:
إِنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ مُتَفَرَّقًا فَهُوْ جَائِزٌ
“Jika ia
melaksanakan shaum 6 hari secara terpisah maka ia dibolehkan.” [45]
Imam An-Nawawi
berkata,
قَالَ أَصْحَابُنَا : وَالْأَفْضَلُ أَنْ تُصَامَ السِّتَّةُ
مُتَوَالِيَةً عَقِبَ يَوْمِ الْفِطْرِ فَإِنْ فَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عَنْ
أَوَائِلِ شَوَّالٍ إِلَى أَوَاخِرِهِ حَصَلَتْ فَضِيلَةُ الْمُتَابَعَةِ
لِأَنَّهُ يَصْدُقُ أَنَّهُ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ
“Kawan-kawan
kami mengatakan, ‘Yang paling utama adalah shaum enam hari itu dilakukan secara
berturut-turut setelah harti Idul Fitri. Jika memisahkannya (tidak
berturut-turut) atau menangguhkannya dari awal syawal sampai akhir, maka tetap
mendapatkan keutamaan mutaba’ah (berturut-turut) karena benar bahwa ia
mengikutkannya enam hari pada bulan syawal.” [46]
Shaum Qadha
atau Shaum Syawal?
Qadha adalah
melaksanakan shaum di luar bulan Ramadhan sebagai pengganti hari yang
ditinggalkan (tidak shaum) di bulan Ramadhan. Al-Quran, selain menerangkan
berbagai pihak yang terkena kewajiban qadha, juga memberi petunjuk waktu
pelaksanaannya, yaitu di hari-hari lain (Ayyaam ukhar). Allah Swt.
berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya shaum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.” QS. Al-Baqarah : 184
Kalimat ini
ditegaskan kembali pada ayat selanjutnya. Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا اَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَياَّمٍ
أُخَرَ
“Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka ia harus menggantinya (menurut
bilangan hari yang ia berbuka) pada hari-hari lainnya.” QS.
Al-Baqarah : 185
Kedua ayat di
atas memberi petunjuk bahwa waktu pelaksanaan shaum qadha sangat leluasa, yaitu
hari-hari lain di luar Ramadhan.
Jika tiba
bulan Syawal, dipandang timbul masalah: apakah sebaiknya mendahulukan
pelaksanaan shaum qadha yang hukumnya wajib ataukah shaum 6 hari bulan Syawal
yang hukumnya sunat? Jumhur ulama berpendapat dibolehkan mendahulukan shaum 6
hari bulan Syawal meskipun belum melaksanakan shaum qadha, karena waktu
pelaksanaan shaum qadha sangat leluasa berdasarkan petunjuk umum ayat di atas
(pada hari-hari lainnya).
Namun sebagian
ulama berpendapat tidak boleh melaksanakan shaum 6 hari bulan Syawal sebelum
melaksanakan shaum qadha mengingat sabda Nabi saw. tentang shaum 6 hari bulan
Syawal diperuntukkan bagi mereka yang telah selesai melaksanakan shaum Ramadhan
secara sempurna, karena di dalam hadis itu Nabi saw. menyebut shaum 6 hari
bulan Syawal dengan rangkaian kalimat sebelumnya: ‘Man Shaama Ramadhaan’
atau ‘Man Shaama Syara Ramadhaan’. Sementara kalimat awal menunjukkan
telah melaksanakan shaum Ramadhan secara penuh, bukan sebagiannya. Jadi, shaum
Ramadhan secara sempurna dapat dikategorikan sebagai syarat sah pelaksanaan
shaum 6 hari bulan Syawal.
Karena itu,
jika seseorang batal di bulan Ramadhan, lalu shaum 6 hari bulan Syawal, padahal
belum menyempurnakan shaum Ramadhan dengan shaum Qadha berarti ia tidak
memenuhi syarat pelaksanaannya, sehingga shaum 6 hari bulan Syawal dipandang
tidak sah. [47]
Dalam hal ini,
kami cenderung mengikuti pendapat jumhur ulama bahwa dibolehkan mendahulukan
shaum 6 hari bulan Syawal meskipun belum melaksanakan shaum qadha, karena
kalimat: ‘Man Shaama Ramadhaan’ atau ‘Man Shaama Syara Ramadhaan’,
digunakan oleh Nabi saw. bukan dalam konteks syarat sah pelaksanaan shaum 6
hari bulan Syawal, melainkan syarat diperolehnya pahala besar bagi orang Islam
yang melaksanakan shaum Ramadhan lalu diikuti shaum 6 hari bulan Syawal.
Kesimpulan
Shaum 6 hari
pada bulan Syawal (Shaum Syawal) merupakan sunah Rasulullah saw. yang hukumnya
sunat.
Shaum Syawal
dapat dimulai awal bulan sejak tanggal dua, atau pertengahan, ataupun menjelang
akhirnya, selama shaum itu tercakup di bulan Syawal, baik dengan cara
berturut-turut ataupun secara terpisah.
Dibolehkan
mendahulukan shaum 6 hari bulan Syawal meskipun belum melaksanakan shaum qadha.
[1] Lihat, Shahih Muslim, I:522, No. hadis 204/1164,
Kitaabus Shiyaam, Baab Istihbaabi Shawmi Sittati Ayyaam min Syawwaal Ittibaa’an
li Ramadhaan.
[2] Lihat, Musnad al-Imam Ahmad, XXXVIII:514-515, No.
hadis 23.533.
[3] Lihat, Musnad al-Imam Ahmad, XXXVIII:537, No. hadis
23.556.
[4] Lihat, Musnad al-Imam Ahmad, XXXVIII:540, No. hadis
23.561.
[5] Lihat, As-Sunan Al-Kubra, II:163, No. hadis 2.862.
[6] Lihat, As-Sunan Al-Kubra, II:163, No. hadis 2.864.
[7] Lihat, Sunan at-Tirmidzi, III:132, No. hadis 759.
[8] Lihat, Sunan Ibnu Majah, II:333, No. hadis 1.715.
[9] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:159, No. hadis 3.902.
[10] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:159, No. hadis 3.903.
[11] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:159-160, No. hadis
3.904.
[12] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:160, No. hadis 3.905.
[13] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:160, No. hadis 3.906.
[14] Lihat, As-Sunan Al-Kubra, IV:292.
[15] Lihat, Al-Mushannaf, IV:315, No. hadis 7.918.
[16] Lihat, Al-Mushannaf, IV:315, No. hadis 7.919.
[17] Lihat, al-Mushannaf, Dar el-Fikr, 1989, II:509, Bab
No. 104, No. hadis 1.
[18] Lihat, al-Musnad, al-Maktabah as-Salafiyah, Madinah,
t.t. I:188, No. 380
[19] Lihat, al-Musnad, al-Maktabah al-’Ulum wal Hikam,
Madinah, 1993, III:84, No. 1.142; hal. 87, No. 1.144, 1.145.
[20] Lihat, al-Musnad, al-Maktabah as-Salafiyah, Madinah,
t.t. I:188, No. 380
[21] Lihat, Syarh Musykil Atsar, Muassasah ar-Risalah,
Beirut, 1994, VI:119, No. 2.337; hal. 120, No. 2.338 dan 2.340; hal. 121, No.
2.341; hal. 122, No. 2.342.
[22] Lihat, Syarhus Sunnah, al-Maktab al-Islami, Beirut,
1983,. VI:331, No. 1.780
[23] Lihat, Al-Musnad, I:188
[24] Lihat, Al-Musnad, III:86
[25] Lihat, Sunan Ad-Darimi, juz II, hal. 21
[26] Lihat, As-Sunan Al-Kubra, II:163
[27] Lihat, Sunan Abu Dawud, II:544
[28] Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:297
[29] Lihat, Al-Ihsan Bitartibi Shahihibni Hiban,
V:257-258
[30] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:161
[31] Lihat, Syarah Musykil Al-Atsar, VI:122 dan 123
[32] Lihat, Al-Musnad, I:189
[33] Lihat, Syarah Musykil Al-Atsar, VI:124
[34] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:162
[35] Lihat, As-Sunan Al-Kubra II:163-164
[36] Lihat, Syarah Musykil Al-Atsar, VI:124
[37] Lihat, Shahih al-Bukhari, II:697, No. Hadis 1874,
Kitaab ash-Shawm, baab Haq al-Jism fii Shawm.
[38] Lihat, Sunan at-Tirmidzi, III: 135, No. Hadis 762.
[39] Lihat, Mushannaf Abdurrazaq, IV:315, No. Hadis 7918
[40] Lihat, Musnad Ahmad, V: 280, No. Hadis 22.465.
[41] Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV: 293, No. Hadis 8216.
[42] Lihat, Sunan Ibnu Majah, I:547, No. Hadis 1715
[43] Lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih
Muslim, VIII:56
[44] Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II:800, No. hadis
827, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:319, No. 2417, Ahmad, Musnad Ahmad, III:96,
No. 11.929, al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:297, No. 8242, Ahmad, Musnad
Ahmad, II:511, No. 10.642, An-Nasai, as-Sunan al-Kubra, II:150, No. 2795,
Malik, al-Muwatha, I:300, No. 665, I:376, No. 839, Ibnu Hiban, Shahih Ibnu
Hiban, VIII:363, No. 3598
[45] Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi,
III:389
[46] Lihat, Syarah Shahih Muslim, karya An-Nawawi, Juz
VIII:56
[47] Lihat, Penjelasan Abdurrazaq dalam Syarh al-Bulugh:
ash-Shalah, al-Janaa’iz, ash-Shaum, al-Hajj, I:49; Juga Syekh Abdurrahman
as-Suhaim dalam Ittihaf al-Kiraam bi Syarh Umdah al-Ahkam, hlm. 39;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar