Syariat Seputar Shaum Syawal



Shaum Syawal adalah shaum sunat sebanyak 6 hari pada bulan Syawal. Masalah shaum 6 hari ini sebenarnya telah dibahas oleh asatidzah di berbagai media, namun karena muncul beberapa pertanyaan tentang teknis pelaksanaannya, juga terdapat sebagian pihak yang masih menilai dhaif hadis syaum Syawal sehingga pelaksanaannya dipandang bidah, maka memicu timbulnya keraguan di kalangan umat dalam melaksanakannya. Sehubungan dengan itu, kami merasa perlu untuk membahas kembali persoalan shaum Syawal ini dengan harapan semoga dapat menghasilkan kesimpulan yang kukuh dan menentramkan.

Penelusuran Sumber Hadis (Takhrij al-Hadits)
Sebelum dibahas tentang teknis pelaksanaan shaum 6 hari itu, penting untuk disampaikan sumber periwayatan hadis tersebut untuk mengukuhkan kehujahannya, sebagai berikut:
Sejauh pengetahuan kami, hadis-hadis tentang shaum Syawwal yang mudah kita dapati bersumber dari 8 orang sahabat Nabi saw., yaitu Abu Ayub al-Anshari, Jabir, Abu Hurairah, Tsauban, Ibnu Abbas, Aisyah, al-Bara bin Azib, dan Ibnu Umar.
Adapun yang paling banyak tercatat dalam kitab-kitab hadis adalah bersumber dari sahabat Abu Ayub al-Anshari, dengan beberapa redaksi, antara lain:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa yang shaum Ramadhan lalu diikuti dengan shaum enam hari di bulan Syawal, ia seperti shaum selama satu tahun”

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
“Siapa yang shaum Ramadhan dan diikuti dengan shaum enam hari di bulan Syawal, seakan-akan ia telah shaum selama satu tahun”

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَذلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ
“Siapa yang shaum Ramadhan lalu diikuti dengan shaum enam hari di bulan Syawal, maka itulah shaum selama satu tahun”

مَنْ صَامَ شَهْرَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كُتِبَ لَهُ صِيَامُ السَّنَةِ
“Siapa yang shaum di bulan Ramadhan dan diikuti dengan shaum enam hari di bulan Syawal, telah dicatat baginya pahala shaum selama satu tahun”

Hadis dari Abu Ayyub itu sampai kepada para pencatat hadis (mukharrij) melalui jalan (thariq) yang berbeda-beda, sehingga kami merasa perlu menjelaskan satu demi satu, sebagai berikut:
Pertama, yang sampai kepada Imam Muslim dan tercatat dalam kitab Shahih-nya. Ia menerima dari:
·      Yahya bin Ayub, Qutaibah bin Sa’id, dan Ali bin Hujr. Ketiga orang ini menerima dari Ismail bin Ja’far, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit , dari Abu Ayub Al-Anshari.
·      Ibnu Numair (Muhamad bin Abdullah bin Numair), dari ayahnya (Abdullah bin Numair), dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari
·      Abu Bakar bin Abu Syaibah, dari Abdullah bin Mubarak, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [1]
Kedua, yang sampai kepada Imam Ahmad dan tercatat dalam kitab Musnad-nya. Ia menerima dari:
·      Abu Muawiyah, dari Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayyub Al-Anshari. [2]
·      Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Warqa, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [3]
·      Ibnu Numair (Abdullah), dari dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [4]
Ketiga, yang sampai kepada Imam An-Nasai dan tercatat dalam kitabnya As-Sunan Al-Kubra. Ia menerima dari:
·      Ahmad bin Yahya, dari Ishaq, dari Hasan Ibnu Shayih, dari Muhammad bin Amr al-Laitsi, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [5]
·      Ahmad bin Abdullah bin Al-Hakam, dari Muhamad, dari Syu’bah, dari Warqa, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [6]
Keempat, yang sampai kepada Imam At-Tirmidzi dan tercatat dalam kitab Sunan-nya. Ia menerima dari Ahmad bin Mani’, dari Abu Mua’wiyah, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [7]
Kelima, yang sampai kepada Ibnu Majah dan tercatat dalam kitab Sunan-nya. Ia menerima dari Ali bin Muhamad, dari Abdullah bin Numair, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [8]
Keenam, yang sampai kepada At-Thabrani dan tercatat dalam kitabnya Al-Mu’jam Al-Kabir. Ia menerima dari:
·      Ishaq bin Ibrahim, dari Abdur Razaq, Ibnu Juraij, Daud bin Qais, dan Abu Bakar bin Sabrah. Keempat orang ini menerima dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub. [9]
·      Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari Imam Ahmad, dari Muhamad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari Warqa, dari Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayyub. [10]
(1) dari Ali bin Abdul Aziz, dari Hajaj bin Al-Minhal,
(2) dari Ibrahim bin Nailah, dari Abdul A’la bin Hammad
(3) dari Abu Yusuf Al-Qadhi, dari Abdul Wahid
Hajaj, Abdul A’la, dan Abdul Wahid semuanya menerima dari Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin Amr Al-laitsi, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [11]
(1)  dari Abdullah bin Ahmad, dari Ahmad bin Hanbal, dari Waki’
(2)  dari Ahmad bin Zuhair, dari Muhamad bin Usman bin Karamah, dari Ubaidulah bin Musa.
Waki’ dan Ubaidullah menerima dari Al-Hasan bin Shalih, dari Muhamad bin ‘Amr, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [12]
(1) dari Ubaid bin Ghanam, dari Abu Bakar bin Abu Syaibah
(2) dari Abu Hushain, dari Yahya Al-Hammani
Abu Bakar dan Yahya menerima Abdullah bin al-Mubarak, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [13]
Masih ada beberapa jalan yang sampai kepada At-Thabrani ini, namun kami anggap cukup dengan jalan yang tercatat di atas.
Ketujuh, yang sampai kepada Imam al-Baihaqi dan tercatat dalam kitabnya as-Sunan Al-Kubra. Ia menerima dari Abu Abdullah al-Hafizh, dari Muhammad bin Ya’qub, dari Muhammad bin Ishaq as-Shagani, dari Muhadzir bin al-Muwarri’, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [14]
Kedelapan, yang sampai kepada Abdur Razaq dalam kitabnya Al-Mushannaf. Ia menerima dari
·      Dawud bin Qais, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [15]
·      Abu Bakar bin Abu Sabrah, dari Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari. [16]
Hadis Abu Ayyub di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah[17], al-Humaidi[18], al-Haitsam bin Kulaib as-Syasyi[19], Abu Dawud at-Thayalisi[20], at-Thahawi[21], dan al-Baghawi. [22]
Meskipun ke-14 mukharrij di atas meriwayatkan hadis Abu Ayyub tersebut dengan jalan (thariq) yang berbeda-beda, tetapi semuanya bersumber dari Saad bin Sa’id al-Anshari, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub al-Anshari.
Sedangkan pada riwayat lainnya, yaitu:
1.   Al-Humaidi[23], As-Syasyi[24], Ad-Darimi[25], An-Nasai[26], Abu Dawud[27], Ibnu Khuzaimah[28], Ibnu Hibban[29], At-Thabrani[30], dan At-Thahawi[31], periwayatan Saad bin Said didampingi (maqruunan) Shafwan bin Sulaim. Keduanya menerima dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub al-Anshari.
2.   Al-Humaidi[32], At-Thahawi[33], At-Thabrani[34], periwayatan Saad bin Said diperkuat oleh Yahya bin Said (saudara Saad bin Said), dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub al-Anshari.
3.   An-Nasai[35] dan At-Thahawi[36], periwayatan Saad bin Said diperkuat oleh Abdur Rabbih bin Said (saudara Saad bin Said), dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub al-Anshari
Dengan demikian, ketika meriwayatkan hadis tentang shaum syawal ini Saad bin Said tidak sendirian (tafarrud) atau memiliki penguat (mutabi’), yaitu Shafwan bin Sulaim, Yahya bin Said, dan Abdu Rabbih bin Sa’id, sehingga hadisnya shahih dan dapat dipakai hujjah tentang syariat Shaum 6 hari di bulan Syawal. Itulah sebabnya Imam Muslim memuat hadis tentang shaum Syawal dalam kitab Shahih-nya, dan hadis semacam ini memenuhi salah satu syarat shahih versi Imam Muslim.
Untuk mengukuhkan kesahihannya, perlu ditegskan pula di sini bahwa hadis shaum Syawal itu diriwayatkan pula oleh para sahabat Nabi saw. yang lainnya, di antaranya:
1.   Jabir diriwayatkan oleh At-Thabrani, Ahmad, Al-Bazzar, dan Al-Baihaqi,
2.   Abu Hurairah diriwayatkan oleh Al-Bazar dan At-Thabrani,
3.   Tsauban diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban,
4.   Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Ahmad, At-Thabrani, Al-Bazzar, dan Al-Baihaqi,
5.   Aisyah diriwayatkan oleh At-Thabrani,
6.   Al-Barra bin Azib diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni,
7.   Ibnu Umar diriwayatkan oleh At-Thabrani.

Sikap Para Ulama
Problem kelemahan sanad hadis shaum 6 hari Syawal telah selesai dikupas. Meski begitu terdapat sebagian ulama yang masih menilai dha’if hadis ini, paling tidak meragukan kesahihannya, dari segi matan karena mengandung kejanggalan, yaitu hadis shaum Syawwal diriwayatkan dengan beberapa redaksi, yang termasyhur di antaranya
كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ, فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
“Keadaannya seperti shaum setahun.” Atau “Seakan-akan shaum setahun.”

Penggunaan kalimat di atas tidak menunjukkan kejelasan, apakah yang diserupakan (ditasybihkan) itu shaumnya atau orang yang shaum (shaa’im). Di samping itu, penyerupaan sesuatu kepada sesuatu yang sejenis, yaitu “shaum seperti shaum” tidak sesuai dengan kaidah bahasa.

Tanggapan
Dilihat dari segi matan, hadis tentang shaum syawal tidak mengandung kejanggalan, karena kalimat: كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ menunjukkan besarnya pahala yang akan diraih jika melaksanakannya.
Perlu diketahui bahwa ungkapan “shaum selama satu tahun” dengan kalimat shiyaam ad-dahr atau shiyaam as-sanah digunakan oleh Nabi saw. bukan hanya untuk shaum Syawwal semata, karena dipergunakan pula untuk Shaum 3 hari setiap bulan hijriah, atau yang dikenal dengan Ayyaam al-Biidh. Misalnya dalam riwayat al-Bukhari disebutkan:
وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ كُلَّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ
“Dan cukuplah bagimu bila kamu shaum selama tiga hari dalam setiap bulan, karena bagimu setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu berarti kamu sudah melaksanakan shaum sepanjang tahun seluruhnya.“[37]

Dalam riwayat at-Tirmidzi dengan redaksi:
مَنْ صَامَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ تَصْدِيقَ ذَلِكَ فِي كِتَابِهِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) الْيَوْمُ بِعَشْرَةِ أَيَّامٍ
“Siapa yang shaum selama tiga hari pada setiap bulan, maka itulah shaum selama satu tahun” lalu Allah Azza wajalla menurunkan (ayat) pembenar hal itu dalam kitab-Nya: “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” (QS. Al-An’am:160) Satu hari sebanding dengan 10 hari.“[38]

Merujuk kepada sabda Nabi saw. di atas, kita mendapatkan perbandingan petunjuk untuk shaum Syawal bahwa kalimat “shaum di bulan Ramadhan lalu diikuti shaum enam hari bulan Syawal seperti shaum satu tahun” mengandung pengertian “pahala kebaikannya sebanding dengan satu tahun.” Bahkan untuk shaum Syawal didapatkan pula petunjuk khusus dalam sabda Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan Abdurrazaq dengan redaksi:
مَنْ صَامَ شَهْرَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كُتِبَ لَهُ صِيَامُ السَّنَةِ
“Siapa yang shaum di bulan Ramadhan dan diikuti dengan shaum enam hari di bulan Syawal, telah dicatat baginya pahala shaum selama satu tahun” [39]

Sementara dalam hadis Tsauban, Nabi saw. bersabda dengan redaksi:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ
“Barangsiapa shaum Ramadhan maka satu bulan sebanding dengan sepuluh bulan dan enam hari setelah Iedul Fitri maka itulah kesempurnaan shaum setahun.” HR. Ahmad. [40] Dalam riwayat al-Baihaqi dengan redaksi:
صِيَامُ شَهْرٍ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَسِتَّةُ أَيَّامٍ بَعْدَهُ بِشَهْرِينِ فَذَلِكَ تَمَامُ السَّنَةِ
“Shaum sebulan sebanding dengan sepuluh bulan dan enam hari setelahnya sebanding dengan dua bulan. Maka itulah kesempurnaan shaum setahun.” Kata Tsauban, yaitu bulan Ramadhan dan enam hari sesudahnya.[41]
Dalam riwayat Ibnu Majah, diakhir sabdanya beliau menyatakan:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” [42]

Dengan merujuk “matematis Ilhahi” di atas: 1 bulan Ramadhan = 10 bulan, dan 6 hari Syawal = 2 bulan, serta 1 kebaikan = 10 kebaikan yang serupa, maka teknis penghitungan pahala shaum Ramadhan plus 6 hari bulan Syawal sebanding dengan pahala satu tahun, menunjukkan hasil bahwa 1 bulan Ramadhan = pahala 10 bulan, dan 6 hari = pahala 2 bulan. Jadi, 10 + 2 = pahala 12 bulan (1 tahun). [43]

Waktu dan Teknis Pelaksanaan
Interval waktu pelaksanaan shaum 6 hari di bulan Syawal dimulai dari tanggal 2 hingga hari terakhir, karena pada tanggal 1 Syawal diharamkan shaum, sebagaimana diterangkan dalam hadis dari Abu Sa’id al-Khudriyyi dan Abu Hurairah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang shaum dua hari, (yaitu) di hari Fitri dan hari Adha.” HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dari Abu Sa’id al-Khudriyyi. HR. Ahmad, An-Nasai, Malik, Ibnu Hiban dari Abu Hurairah. [44]

Adapun teknis pelaksanaan 6 hari itu dapat dilakukan berturut-turut atau bersambung tanpa diputus selama 6 hari, namun dapat pula dilaksanakan dengan cara cicilan (terpisah). Demikian itu karena Nabi saw. tidak membatasi teknis pelaksanaanya, beliau hanya menyebut “6 hari di bulan Syawal.” Jadi, prinsipnya ukuran yang disyariatkan (miqdar Syar’i) 6 hari selama bulan Syawal. Sehubungan dengan itu, Ibnul Mubarak berkata:
إِنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ مُتَفَرَّقًا فَهُوْ جَائِزٌ
“Jika ia melaksanakan shaum 6 hari secara terpisah maka ia dibolehkan.” [45]
Imam An-Nawawi berkata,
قَالَ أَصْحَابُنَا : وَالْأَفْضَلُ أَنْ تُصَامَ السِّتَّةُ مُتَوَالِيَةً عَقِبَ يَوْمِ الْفِطْرِ فَإِنْ فَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عَنْ أَوَائِلِ شَوَّالٍ إِلَى أَوَاخِرِهِ حَصَلَتْ فَضِيلَةُ الْمُتَابَعَةِ لِأَنَّهُ يَصْدُقُ أَنَّهُ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ
“Kawan-kawan kami mengatakan, ‘Yang paling utama adalah shaum enam hari itu dilakukan secara berturut-turut setelah harti Idul Fitri. Jika memisahkannya (tidak berturut-turut) atau menangguhkannya dari awal syawal sampai akhir, maka tetap mendapatkan keutamaan mutaba’ah (berturut-turut) karena benar bahwa ia mengikutkannya enam hari pada bulan syawal.” [46]

Shaum Qadha atau Shaum Syawal?
Qadha adalah melaksanakan shaum di luar bulan Ramadhan sebagai pengganti hari yang ditinggalkan (tidak shaum) di bulan Ramadhan. Al-Quran, selain menerangkan berbagai pihak yang terkena kewajiban qadha, juga memberi petunjuk waktu pelaksanaannya, yaitu di hari-hari lain (Ayyaam ukhar). Allah Swt. berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya shaum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” QS. Al-Baqarah : 184
Kalimat ini ditegaskan kembali pada ayat selanjutnya. Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا اَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَياَّمٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka ia harus menggantinya (menurut bilangan hari yang ia berbuka) pada hari-hari lainnya.” QS. Al-Baqarah : 185

Kedua ayat di atas memberi petunjuk bahwa waktu pelaksanaan shaum qadha sangat leluasa, yaitu hari-hari lain di luar Ramadhan.
Jika tiba bulan Syawal, dipandang timbul masalah: apakah sebaiknya mendahulukan pelaksanaan shaum qadha yang hukumnya wajib ataukah shaum 6 hari bulan Syawal yang hukumnya sunat? Jumhur ulama berpendapat dibolehkan mendahulukan shaum 6 hari bulan Syawal meskipun belum melaksanakan shaum qadha, karena waktu pelaksanaan shaum qadha sangat leluasa berdasarkan petunjuk umum ayat di atas (pada hari-hari lainnya).
Namun sebagian ulama berpendapat tidak boleh melaksanakan shaum 6 hari bulan Syawal sebelum melaksanakan shaum qadha mengingat sabda Nabi saw. tentang shaum 6 hari bulan Syawal diperuntukkan bagi mereka yang telah selesai melaksanakan shaum Ramadhan secara sempurna, karena di dalam hadis itu Nabi saw. menyebut shaum 6 hari bulan Syawal dengan rangkaian kalimat sebelumnya: ‘Man Shaama Ramadhaan’ atau ‘Man Shaama Syara Ramadhaan’. Sementara kalimat awal menunjukkan telah melaksanakan shaum Ramadhan secara penuh, bukan sebagiannya. Jadi, shaum Ramadhan secara sempurna dapat dikategorikan sebagai syarat sah pelaksanaan shaum 6 hari bulan Syawal.
Karena itu, jika seseorang batal di bulan Ramadhan, lalu shaum 6 hari bulan Syawal, padahal belum menyempurnakan shaum Ramadhan dengan shaum Qadha berarti ia tidak memenuhi syarat pelaksanaannya, sehingga shaum 6 hari bulan Syawal dipandang tidak sah. [47]
Dalam hal ini, kami cenderung mengikuti pendapat jumhur ulama bahwa dibolehkan mendahulukan shaum 6 hari bulan Syawal meskipun belum melaksanakan shaum qadha, karena kalimat: ‘Man Shaama Ramadhaan’ atau ‘Man Shaama Syara Ramadhaan’, digunakan oleh Nabi saw. bukan dalam konteks syarat sah pelaksanaan shaum 6 hari bulan Syawal, melainkan syarat diperolehnya pahala besar bagi orang Islam yang melaksanakan shaum Ramadhan lalu diikuti shaum 6 hari bulan Syawal.

Kesimpulan
Shaum 6 hari pada bulan Syawal (Shaum Syawal) merupakan sunah Rasulullah saw. yang hukumnya sunat.
Shaum Syawal dapat dimulai awal bulan sejak tanggal dua, atau pertengahan, ataupun menjelang akhirnya, selama shaum itu tercakup di bulan Syawal, baik dengan cara berturut-turut ataupun secara terpisah.
Dibolehkan mendahulukan shaum 6 hari bulan Syawal meskipun belum melaksanakan shaum qadha.

Baca Juga: Kedudukan Hadis Shaum Syawal Bagian I, Bagian 2, Bagian 3.


[1] Lihat, Shahih Muslim, I:522, No. hadis 204/1164, Kitaabus Shiyaam, Baab Istihbaabi Shawmi Sittati Ayyaam min Syawwaal Ittibaa’an li Ramadhaan.
[2] Lihat, Musnad al-Imam Ahmad, XXXVIII:514-515, No. hadis 23.533.
[3] Lihat, Musnad al-Imam Ahmad, XXXVIII:537, No. hadis 23.556.
[4] Lihat, Musnad al-Imam Ahmad, XXXVIII:540, No. hadis 23.561.
[5] Lihat, As-Sunan Al-Kubra, II:163, No. hadis 2.862.
[6] Lihat, As-Sunan Al-Kubra, II:163, No. hadis 2.864.
[7] Lihat, Sunan at-Tirmidzi, III:132, No. hadis 759.
[8] Lihat, Sunan Ibnu Majah, II:333, No. hadis 1.715.
[9] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:159, No. hadis 3.902.
[10] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:159, No. hadis 3.903.
[11] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:159-160, No. hadis 3.904.
[12] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:160, No. hadis 3.905.
[13] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:160, No. hadis 3.906.
[14] Lihat, As-Sunan Al-Kubra, IV:292.
[15] Lihat, Al-Mushannaf, IV:315, No. hadis 7.918.
[16] Lihat, Al-Mushannaf, IV:315, No. hadis 7.919.
[17] Lihat, al-Mushannaf, Dar el-Fikr, 1989, II:509, Bab No. 104, No. hadis 1.
[18] Lihat, al-Musnad, al-Maktabah as-Salafiyah, Madinah, t.t. I:188, No. 380
[19] Lihat, al-Musnad, al-Maktabah al-’Ulum wal Hikam, Madinah, 1993, III:84, No. 1.142; hal. 87, No. 1.144, 1.145.
[20] Lihat, al-Musnad, al-Maktabah as-Salafiyah, Madinah, t.t. I:188, No. 380
[21] Lihat, Syarh Musykil Atsar, Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1994, VI:119, No. 2.337; hal. 120, No. 2.338 dan 2.340; hal. 121, No. 2.341; hal. 122, No. 2.342.
[22] Lihat, Syarhus Sunnah, al-Maktab al-Islami, Beirut, 1983,. VI:331, No. 1.780
[23] Lihat, Al-Musnad, I:188
[24] Lihat, Al-Musnad, III:86
[25] Lihat, Sunan Ad-Darimi, juz II, hal. 21
[26] Lihat, As-Sunan Al-Kubra, II:163
[27] Lihat, Sunan Abu Dawud, II:544
[28] Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:297
[29] Lihat, Al-Ihsan Bitartibi Shahihibni Hiban, V:257-258
[30] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:161
[31] Lihat, Syarah Musykil Al-Atsar, VI:122 dan 123
[32] Lihat, Al-Musnad, I:189
[33] Lihat, Syarah Musykil Al-Atsar, VI:124
[34] Lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:162
[35] Lihat, As-Sunan Al-Kubra II:163-164
[36] Lihat, Syarah Musykil Al-Atsar, VI:124
[37] Lihat, Shahih al-Bukhari, II:697, No. Hadis 1874, Kitaab ash-Shawm, baab Haq al-Jism fii Shawm.
[38] Lihat, Sunan at-Tirmidzi, III: 135, No. Hadis 762.
[39] Lihat, Mushannaf Abdurrazaq, IV:315, No. Hadis 7918
[40] Lihat, Musnad Ahmad, V: 280, No. Hadis 22.465.
[41] Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV: 293, No. Hadis 8216.
[42] Lihat, Sunan Ibnu Majah, I:547, No. Hadis 1715
[43] Lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, VIII:56
[44] Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II:800, No. hadis 827, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:319, No. 2417, Ahmad, Musnad Ahmad, III:96, No. 11.929, al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:297, No. 8242, Ahmad, Musnad Ahmad, II:511, No. 10.642, An-Nasai, as-Sunan al-Kubra, II:150, No. 2795, Malik, al-Muwatha, I:300, No. 665, I:376, No. 839, Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:363, No. 3598
[45] Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi, III:389
[46] Lihat, Syarah Shahih Muslim, karya An-Nawawi, Juz VIII:56
[47] Lihat, Penjelasan Abdurrazaq dalam Syarh al-Bulugh: ash-Shalah, al-Janaa’iz, ash-Shaum, al-Hajj, I:49; Juga Syekh Abdurrahman as-Suhaim dalam Ittihaf al-Kiraam bi Syarh Umdah al-Ahkam, hlm. 39;


Oleh: Amin Muchtar (sigabah.com/beta)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar