Header Ads

  • NEWS UPDATE

    Milad, Maulid, Ulang Tahun, dan Natal



    Orang yang beriman tidak akan terkesan dan terpengaruh oleh sesuatu yang mereka lihat dari musuh-musuh Allah. Sebab ia yakin di dalam kepribadian Islam terdapat kebaikan serta kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, ia akan bersikap hati-hati terhadap berbagai cara dan pola hidup yang tidak jelas dalilnya. Sikap kehati-hatian itu diwujudkan dengan mempertanyakan berbagai macam acara dan upacara yang tidak dikenal di dalam Islam, meskipun dikemas dengan nama atau istilah arabi bahkan islami, seperti ‘ied, milad, maulid, dan syukuran.

    Asal-Muasal
    عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْيَهُودِ قَالَ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ آيَةٌ فِي كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا قَالَ أَيُّ آيَةٍ قَالَ (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا) قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ رواه البخاري
    Dari Umar bin Khatab, sesungguhnya seseorang dari kaum Yahudi berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, ada satu ayat dalam kitab kalian yang kalian biasa membacanya. Sekiranya ayat itu turun kepada kami bangsa Yahudi, niscaya kami jadikan turunnya itu sebagai ‘Ied” Umar bertanya, “Ayat yang mana” Dia menjawab, “Al-Yauma Akmaltu Lakum…” Umar menjawab, “Kami tahu hari dan tempat turunnya ayat itu kepada Nabi, yaitu ketika beliau wukuf di Arafah pada hari Jum’at”. H.R. Al-Bukhari

    Secara istilah, kata ‘ied memiliki dua makna :
    1)    Makna umum. Menurut Fairuz Abadi, Ied berarti sesuatu yang biasa datang kepadamu, seperti gelisah, sakit, sedih, dan lain-lain.” Al-Qamus al-Muhith : 386
    2)    Makna khusus. Menurut Fairuz Abadi dan Ibnu Manzhur, Ied adalah sebutan bagi hari yang padanya orang-orang berkumpul.” Al-Qamus al-Muhith:386; Lisanul ‘Arab, III:319.
    Al-Azhari berkata, “’Ied menurut orang Arab adalah waktu yang kembali padanya kegembiraan dan kesedihan” Lisanul ‘Arab, III: 319. Lois Ma’luf berkata, “Ied adalah tiap-tiap hari yang padanya orang-orang berkumpul atau mengenang orang yang punya keutamaan atau peristiwa penting. Al-Munjid: 836. Menurut Ibnu Hajar, “Hari itu disebut ‘ied karena kembali setiap tahun” Fathul Bari I: 146. Sedangkan menurut Ar-Raghib al-Ashfahani, “Di dalam syariat Islam, sebutan ‘ied dikhususkan bagi hari fitri (10 Syawwal) dan hari Nahar (10 Dzulhijjah/Adha). Ketika hari itu dijadikan sebagai hari kegembiraan menurut syariat sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw. “Hari makan-minum”, maka istilah ‘ied dipergunakan sebagai sebutan bagi tiap-tiap hari yang di situ terdapat kesenangan (hari raya).
    Di dalam Alquran dinyatakan :
    قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنْ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا ... (المائدة : 114)
    Isa putra Maryam berdoa, “Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami.. (Q.S. Al-Maidah: 114).” Al-Mufradat fi Gharibil Quran, II: 457

    Menurut Ibnu Taimiyyah ‘Ied terbagi kepada tiga macam; satu di antaranya adalah ‘ied yang berhubungan dengan waktu. ‘Ied yang berhubungan dengan waktu ada tiga macam;
    1)    Hari-hari yang dianggap agung oleh syariah dan terdapat dalil yang menunjukkan keutamaannya serta anjuran untuk beribadah pada hari-hari tersebut, seperti hari Jum’at, ‘Iedul fitri dan ‘Iedul adha.
    2)    Hari-hari yang tidak terjadi peristiwa apapun padanya dan tidak dianggap agung dan utama oleh syariah, namun diagung-agungkan oleh manusia, sehingga memiliki keistimewaan dibandingkan hari lainnya, seperti hari Kamis minggu pertama atau malam Jum’at pada bulan Rajab yang biasa disebut ar-Raghaib, yang dianggap istimewa oleh sebagian kaum muslimin. Pengagungan hari tersebut mulai terjadi sejak abad IV hijriah.
    3)    Hari-hari yang terjadi suatu peristiwa padanya dan tidak dianggap agung dan utama oleh syariah, namun dianggap penting oleh manusia karena peristiwa itu, sehingga memiliki keistimewaan dibandingkan dengan hari lainnya, seperti mengagungkan dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, yang lebih dikenal dengan sebutan maulid.
    Pada mulanya, istilah maulid dipergunakan bagi peringatan dan perayaan hari-jadi seorang yang dianggap suci, laki-laki atau perempuan, muslim, Kristen, atau Yahudi, yang sudah meninggal. Namun istilah ini kemudian populer dipergunakan bagi kelahiran Nabi Muhammad. Perayaan maulid Nabi Muhamad saw. pertama kali dilakukan pada zaman Fathimiyyah (dinasti yang didirikan pada 920 M) yang bermadzhab Syi’ah.
    Di kalangan sebagian muslim, istilah yang dipergunakan untuk perayaan itu sangat beragam. Di Mesir acara ini disebut maulid. Di Tunisia, istilah yang dipakai adalah zardah, sedangkan di negara Arab lainnya digunakan istilah mausim. Di Sudan disebut huliyyah. Hanya istilah huliyyah ini dipergunakan dalam rangka memperingati ulang tahun kematian, dan bukan ulang tahun kelahiran mereka, yaitu pendiri tarekat-tarekat sufi. 
    Kemudian dilihat dari aspek ketetapan waktu penyelenggaraan, cara atau bentuk upacara, ternyata perayaan dalam rangka memperingati “orang suci” itu pun sangat beragam. Banyak “maulid” bagi “orang-orang suci” ditetapkan pada hari-hari kelahiran mereka menurut kalender hijjriah. Namun tidak sedikit tanggal maulid ditetapkan menurut kalender syamsiah (masehi). Di samping itu, perayaan tersebut dapat berubah menurut kondisi-kondisi historis dan sosial. Seperti maulid Ahmad al-Badhawi di Mesir yang ditetapkan atas dasar keyakinan para pemujanya, bukan atas hari kelahiran yang sesungguhnya.
    Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa fenomena maulid berakar dari tradisi-tradisi kuno, seperti yang berlangsung di Mesir, untuk menghormati dewa-dewa setiap tahun pada saat panen, sementara kuil-kuil menyusun berbagai prosesi serta perayaan yang rumit. Sebagian ahli sejarah lainnya merunut maulid dari pengaruh Pharisaisme (sebuah sekte Yahudi kuno) dan perayaan kaum Yahudi pada masa Yahudi awal serta masa Kristen awal. Sedangkan bentuk modern maulid berakar dari tradisi sufi dan atau syi’ah yang muncul dari kawasan Maghribi (Maroko) dan Mesopatamia dan berkembang di Mekkah yang identik dengan praktik-praktik serupa di kalangan masyarakat Kristen dan Yahudi di Timur Tengah. (lihat, John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, 2002, jilid 3, hal. 75-76; jilid 4, hal. 22-24; jilid 5, hal. 228-229)
    Pada perkembangan selanjutnya, di kalangan sebagian muslim perayaan hari-jadi itu bukan saja ditujukan untuk memperingati Nabi Muhamad dan “orang shaleh”, namun bagi berbagai peristiwa yang dianggap penting oleh masing-masing, seperti hari kelahiran dan kematian, berdirinya suatu golongan atau organisasi, hari kemenangan golongan, kemerdekaan dari penindasan golongan lain, dan sebagainya. Istilah yang dipergunakan untuk peringatan dan perayaan itu pun menjadi beragam. Ada yang menyebut milad, dies natalies, ulang tahun, bahkan “syukuran”. Di kalangan Yahudi pun, istilah yang dipergunakan untuk peringatan dan perayaan “orang saleh” juga sangat beragam, namun pada umumnya ditujukan bagi berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa dan Bani Israil.
    Diceritakan dalam “Asar-asar Yahudi” bahwa pada hari raya Paskah, imam-imam orang Aseni memimpin upacara. Mereka berdiri menghadap ke arah negeri Mesir mengenang arwah Bani Israil yang mati dalam penyiksaan Fir’aun” (Lihat, Iqtidha Shiratil Mustaqim Mukhalafatu Ashabil Jahim, t.t. hal. 294; Parasit Aqidah: 324).
    Ibnu Abbas mengatakan
    قَدِمَ النَّبِيُّ ص الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هذَا قَالُوا هذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ - رواه البخاري و مسلم
    Dari Ibnu Abbas berkata, Ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, beliau medapati orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum pada hari Asyura. Mereka bertanya mengenai hal itu lalu mereka berkata, “Pada hari ini Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan bani Israil atas (kejaran) Fir’aun, dan kami menshauminya sebagai penghormatan.” Rasulullah Saw. menjawab, “Kamilah yang paling berhak dengan Musa daripada kamu.” H.R. Al-Bukhari & Muslim

    Bahkan perayaan itu bukan saja ditujukan bagi “orang saleh”, namun bagi setiap peristiwa yang dianggap penting oleh mereka, seperti
    1)    Memperingati kemenangan Yahudi atas bangsa Yunani pada 166-165 SM dengan menyalakan sembilan lilin dan api ungun yang disebut hari Hanukah (Lihat, Parasit Aqidah: 282)
    2)    Memperingati berdirinya suatu golongan, hool (haul), ulang tahun kelahiran dan kematian seorang imam yang masyhur, pesta-pesta kemenangan golongan, pesta kemerdekaan dari penindasan golongan lain. (Lihat, Parasit Aqidah: 283)
    Demikian pula halnya dengan kalangan Nashrani. Istilah yang dipergunakan untuk peringatan dan perayaan “orang saleh” juga sangat beragam, namun pada umumnya ditujukan bagi berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Isa, antara lain
    1)    Paskah, yaitu hari kebangkitan Yesus yang diperingati setiap tanggal 25 April. Upacara kebangkitan Yesus itu merupakan saduran dari upacara bangsa Phrygia, Yunani, dan Romawi.
    2)    Pantekosta, yaitu hari turunnya ruh suci yang dirayakan pada hari ke-50 seusai Paskah.
    3)    Natal, yaitu hari kelahiran Isa bin Maryam yang dirayakan pada 25 Desember.
    Sesungguhnya orang-orang Nashrani pertama tidak mengenal upacara natal, karena dianggapnya bukan ajaran dari nabi-nabi tetapi upacara kafir, yaitu merupakan pesta agama mithras, lalu bangsa Romawi merubahnya dan ditujukan pada dewa Yupiter. Namun Nashrani Romawi menjadikannya hari Natal Yesus. Dengan demikian, upacara natal menurut ajaran Nashrani pun sudah meruapakan bid’ah.
    Bahkan perayaan itu bukan saja ditujukan bagi “orang saleh”, namun bagi setiap peristiwa yang dianggap penting oleh mereka, seperti
    1)    Ulang tahun kelahiran. Pada mulanya orang-orang Nashrani generasi pertama tidak mengenal upacara ulang tahun, karena mereka menganggap bahwa pesta ulang tahun itu pesta yang munkar dan hanya pekerjaan orang kafir. Orang Nashrani yang pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nashrani Romawi.
    2)    Hari perkawinan. Disebut kawin perunggu, tembaga, perak, emas, dan berlian.
    3)    Hari kematian, diperingati untuk menjamu roh-roh di luar roh manusia dengan membuat sajian-sajian (sasajen). Di Inggris pesta roh tersebut disebut Hallowen, yang diperingati pada tiap 31 Oktober. (Lihat, Parasit Aqidah: 304-324)
    Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa perayaan milad, maulid, ulang tahun, dan “syukuran” untuk memperingati hari dan berbagai peristiwa penting, bersumber dari ajaran Yahudi dan Nashrani yang masuk kepada kaum muslimin melalui “pintu” tasawwuf dan Syi’ah.


    Oleh Ibnu Muchtar

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    trikblog.co.cc