Kedudukan Hadis Shaum Syawal (Bagian III-Tamat)
Alasan Penshahihan Hadis Saum Syawwal
A. Aspek Sanad
1. Keadaan Saad bin Said
Hadis saum Syawwal yang diterima dari sahabat Abu Ayub
Al-Anshari diriwayatkan oleh Muslim (Shahih Muslim, I:522), At-Thabrani
(Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:159-161 dan Al-Mu’jam Al-AwsathV:513,
VIII:335), Ahmad (Al-Musnad, IX:138, 142, 143), At-Tirmidzi (Sunan
At-Tirmidzi, III:132), An-Nasai (As-Sunan Al-Kubra, II:163-164),
Al-Baihaqi (As-Sunan Al-Kubra, IV:292), Abdur Razzaq (Al-Mushannaf,
IV:315-316), Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, II:33). Semuanya melalui rawi
bernamaSaad bin Said, dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayyub Al-Anshari.
Saad bin Said telah di-jarh atau di-tajrih (didaifkan)
oleh sebagian ulama. Namun yang perlu disikapi adalah pentajrihan Ibnu
Hajar dalam kitab-nya Taqrib At-Tahdzib, karena mubayyanus
sabab (diterangkan sebab kedaifannya), yaitu sayyiul hifzhi (buruk
hapalan).
Pentajrihan Ibnu Hajar terhadap Saad dari segi dhabth (hafalan
atau kapasitas intelektual)-nya, bukan adalah (integritas)-nya. Pentajrihan
terhadap seorang rawi yang seperti ini dapat kita terima selama rawi itu tafarrud (sendirian
dalam meriwayatkan hadis) atau mukhaalafah (periwayatannya
bertentangan) dengan rawi yang tsiqah (kredibel). Namun bila
rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadis seperti
yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang tsiqah selain dia,
maka hadisnya dapat diterima.
Dengan demikian, Pentajrihan Ibnu Hajar
terhadap Saad tidak berarti menolak seluruh hadis yang diriwayatkannya,
termasuk saum syawwal, namun bergantung atas tafarrud atau
tidaknya Saad dalam meriwayatkan hadis. Hal itu dapat kita lihat dari
sikap beliau terhadap riwayat Saad bin Said yang dimuat Imama
Al-Bukhari dalam Shahih-nya walaupun sebagai syahid (hadis penguat)
(lihat,Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, IV:180, Kitabuz
Zakah, babu Kharshit Tamri).
Sejauh penelitian kami, periwayatan Saad tentang saum
Syawwal tidak tafarrud (menyendiri), karena:
1. Periwayatan
Saad bin Said maqruunan (didampingi) oleh Shafwan bin Sulaim.
Keduanya menerima dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari, sebagaimana
tercantum pada riwayat An-Nasai (As-Sunan Al-Kubra II:163), Abu
Dawud (Sunan Abu Dawud II:544), Ibnu Hibban (Al-Ihsan Bitartibi
Shahihibni Hiban, V:257-258), Ath-Thabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir IV:161),
2. Periwayatan
Saad bin Said diperkuat oleh periwayatan Abdur Rabbih bin Said (saudara Saad
bin Said), dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari, sebagaimana
tercantum pada riwayat An-Nasai (As-Sunan Al-Kubra, II:163-164),
3. Periwayatan
Saad bin Said diperkuat oleh periwayatan Yahya bin Said (saudara Saad bin
Said), dari Umar bin Tsabit, dari Abu Ayub Al-Anshari, sebagaimana tercantum
pada riwayat At-Thabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir IV:162).
Berdasarkan periwayatan ketiga orang di atas (Shafwan
bin Sulaim, Abdur Rabbih bin Said, Yahya bin Said), maka dapat dipastikan
bahwa Saad bin Said tidak melakukan kesalahan dalam periwayatan hadis saum
Syawwal.
2. Periwayatan Saad dari Umar bin Tsabit
Jalur periwayatan Saad dari Umar bin Tsabit tidak
perlu diragukan lagi kemuttashilannya (bersambungnya), karena
periwayatan Saad bin Said, dari Umar bin Tsabit melalui Yahya bin Said pada
riwayat Abu Dawud Ath-Thayalisi dan At-Thabrani menunjukkan bahwa periwayatan
Saad bin Said tentang saum Syawwal melalui dua orang guru, yaitu Umar bin
Tsabit dan Yahya bin Said, dan periwayatan Saad bin Said dari Yahya bin Said di
dalam ulumul hadits disebut riwayatul aqran(sebaya atau satu
generasi), sebab Saad wafat tahun 141 H. (Lihat, Tahdzib Al-Kamal,
X:265), sedangkan Yahya wafat tahun 144 H. (Lihat, Tahdzib Al-Kamal,
XXXI:358).
Hal ini sama dengan periwayatan saum Syawwal versi
Abdur Rabbih bin Said, karena pada riwayat An-Nasai (As-Sunan Al-Kubra,
II:163) ia menerima dari Umar bin Tsabit secara langsung, sedangkan pada
riwayat At-Thabrani (Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:162) ia menerima melalui
Yahya bin Said.
3. Periwayatan Abdul Aziz bin Muhamad
Hadis Abu Ayyub yang diriwayatkan melalui Abdul Aziz
bin Muhammad bin Ad-Darawardi dapat diterima, karena ia memiliki mutabi’
(saksi atau penguat), yaitu:
1.
Syu’bah pada riwayat An-Nasai (As-Sunan
Al-Kubra, II:163),
2.
Abdul Malik bin Abu Bakar, Abdullah bin
Abu Bakar, dan Abdur Rabbih bin Said pada riwayat At-Thabrani (Al-Mu’jam
Al-Kabir, IV:162)
4. Periwayatan Ibnu Lahi’ah
Hadis Abu Ayub yang diriwayatkan melalui Yahya bin
Said, walaupun pada sanadnya terdapat rawi Ibnu Lahi’ah, namun tidak
menyebabkan periwayatan Yahya bin Said tertolak, karena pada riwayat
At-Thabrani lainnya diriwayatkan melalui rawi Uthbah bin Abu Hukaim dan Warqa.
(lihat, Al-Mu’jam Al-Kabir, IV:162)
5. Periwayatan Umar bin Tsabit dari Abu Ayub
Periwayatan Umar bin Tsabit dari Abu Ayub melalui rawi
bernama Muhamad bin Al-Munkadir, kata Abu Al-Qasim bin Asyakir, merupakan
kekeliruan, karena yang benar Umar bin Tsabit menerima langsung dari Abu Ayub
tidak melalui rawi bernama Muhamad bin Al Munkadir. (Lihat, Syarh Sunan
Abu Dawud, karya Ibnu Qayyim, VII:66).
Dengan demikian periwayatan Umar bin Tsabit melalui
rawi Muhamad bin Al-Munkadir merupakanIdraj fis sanad (sisipan rawi
pada sanad).
6. Kedudukan hadis dari Sahabat lain
Hadis saum Syawwal disampaikan pula oleh
sahabat-sahabat lainnya melalui beberapa sanad dengan rawi-rawi yang
berbeda, antara lain dari sahabat:
- Abu Hurairah diriwayatkan oleh Al-Bazar dan Ath-Thabrani
- Tsauban diriwayatkan oleh Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban
- Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, Ahmad, Al-Bazzar, dan Al-Baihaqi
- Aisyah diriwayatkan oleh Ath-Thabrani
- Al-Barra bin Azib diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni
Walaupun pada sebagian sanadnya terdapat rawi yang
dinyatakan daif oleh Al-Haitsami dalam kitabnya Majma’ Az-Zawa`id wa
Manba’ul Fawa`id, III:186-187, namun periwayatan dari Sahabat Abu Ayyub di
atas sudah cukup untuk menunjukkan kebenaran periwayatan saum Syawwal dari
sahabat-sahabat lainnya.
B. Aspek Matan
Dilihat dari segi matan, hadis tentang saum syawal
tidak mengandung kejanggalan, karena yang dimaksud dengan kalimat: كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ adalah besarnya pahala
yang akan diraih jika melaksanakannya.
Dengan demikian, kalimat tersebut mengandung
pengertian sesungguhnya saum enam hari itu seperti saum satu tahun, karena satu
kebaikan itu berbanding sepuluh. Maka satu bulan Ramadhan itu berbanding
sepuluh bulan, dan enam hari itu berbanding dua bulan. (Lihat, Syarh
Shahih Muslim, karya An-Nawawi, VIII:56).
C. Aspek Amaliah Ahli Ilmu
Saum Syawwal tidak diamalkan oleh ahli Ilmu
sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Malik tidak berarti menafikan atau
menegasikan hukum sunnahnya. Sehubungan dengan itu, Muhamad Syamsul Haq
berkata,
وَلاَ
يَخْفَى أَنَّ النَّاسَ إِذَا تَرَكُوْا الْعَمَلَ بِسُنَّةٍ لمَ يَكُنْ
تَرْكُهُمْ دَلِيْلاً تُرَدُّ بِهِ السُّنَّةُ
“Yang jelas apabila orang-orang tidak mengamalkan
suatu sunnah, maka tidak mengamalkannya mereka tidak menjadi dalil tertolaknya
sunnah itu”. (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud,VII:62)
Demikianlah di antara alasan-alasan ulama yang
menyatakan sunnah terhadap saum enam hari pada bulan syawwal.
Setelah memperhatikan berbagai argumentasi dari kedua
belah pihak, kami cenderung kepada argumentasi pihak kedua yang menyatakan
bahwa: Hadis-hadis tentang saum enam hari pada bulan syawwal
kedudukkannya sahih.
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar