Hakikat Lailatul Qadar (Bagian II)
Makna
Kedua: Lailatul Qadar Pada Setiap Bulan Ramadan
Dalam
makna kedua, Lailatul Qadar adalah salah
satu malam yang terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Pemaknaan ini kita peroleh
dari jawaban Nabi terhadap pertanyaan yang diajukan oleh seseorang.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ : سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- وَأَنَا أَسْمَعُ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ فَقَالَ : هِىَ فِى
كُلِّ رَمَضَانَ
“Dari Abdullah bin Umar, ia
berkata, “Rasulullah saw. ditanya, tentang Lailatul Qadar dan aku mendengarnya.
Beliau bersabda, ‘Ia (Lailatul Qadar itu) ada pada tiap bulan Ramadhan.” HR.
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:53, No. 1387; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra,
IV:307, No. 8309; Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, III:84
Dalam
konteks inilah Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan diri
menyambut malam yang mulia itu. Nabi saw. bersabda:
إِلْتَمِسُوهَا فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ
“Maka carilah oleh kalian pada
sepuluh (malam) terakhir” HR. Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II:714, No. 1923; Ahmad, Musnad Ahmad, VI:50, No. 24.279;
al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:307, No. 8307; al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala
Ash-Shahihain, I:604, No. 1596; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:434, No.
3676; Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, III:88
Dalam
riwayat lain dengan redaksi:
فَلْيَلْتَمِسْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ
“Maka
carilah oleh kalian pada sepuluh (malam) terakhir” HR.
Muslim, Shahih Muslim, II:824, No. 1165; Ahmad, Musnad Ahmad, II:75, No. 5443
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ
رَمَضَانَ
“Selidikilah
oleh kalian lailatul Qadar pada sepuluh (malam) terakhir di bulan Ramadhan” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:714, No.
1923; HR. Muslim, Shahih Muslim, II:828, No. 1169; Ahmad,Musnad Ahmad, VI:50,
No. 24.279; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:160, No. 792; al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:307, No.
8310; Malik, al-Muwatha, I:319, No. 693; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf,
II:325, No. 9525
Berdasarkan
keterangan di atas kita mengetahui bahwa Lailatul Qadar yang dianjurkan untuk
dicari itu terdapat pada setiap bulan Ramadan, lebih tepatnya pada sepuluh hari
terakhir bulan itu. Meski demikian, Rasululullah tidak menerangkan secara pasti
tanggal berapa. Beliau hanya menganjurkan agar lebih diperhatikan malam-malam
setelah tanggal 20 Ramadhan. (lihat keterangan detailnya pada edisi selanjutnya)
Allah
sengaja tidak memberitahukan kepada Nabi secara pasti tanggal berapa Lailatul
Qadar itu terjadi, dalam hal ini terkandung nilai tarbiyyah (pendidikan)
yang amat mulia, yakni agar tiap malam kaum muslimin mengisi malamnya dengan
ibadah dan doa, terutama pada malam-malam ganjil setelah berlalu 20 Ramadhan.
Hal itu tampak jelas dari sikap Rasululah saw. pada sepuluh hari terakhir
setiap bulan Ramadan, dengan mengajak
keluarganya untuk bangun menghidupkan malam itu lebih giat dari malam-malam
sebelumnya. Aisyah menjelaskan:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم، إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ
مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Nabi
saw. apabila memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan
sarungnya dan tidak tidur serta membangunkan keluarganya.” HR.
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:711, No. 1920; Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah,
VI:389, No. 1829
Dalam
riwayat lain dengan redaksi:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - اذَا بَقِىَ عَشْرٌ
مِنْ رَمَضَانَ، شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَاعْتَزَلَ اهْلَهُ
“Rasulullah
saw. apabila tersisa sepuluh hari bulan Ramadhan, beliau mengencangkan ikat
pinggangnya dan menjauhi istrinya.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad,
VI:66, No. 24.422
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا
لا يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ
“Rasulullah
saw. bersungguh-sungguh pada sepuluh hari akhir bulan Ramadhan, yang tidak
beliau lakukan hal itu pada waktu lainnya.” HR. Muslim, Shahih Muslim,
II:832, No. 1175; Ahmad, Musnad Ahmad, VI:255, No. 26.231; At-Tirmidzi, Sunan
At-Tirmidzi, III:161, No. 796; An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, II:270, No. 3390;
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:562, No. 1767; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu
Khuzaimah, III:342, No. 2215; Al-Baihaqi,
As-Sunan al-Kubra, IV:313, No. 8344; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, II:252,
No. 8691.
Penjelasan
Para
ulama berbeda pendapat dalam memaknai kalimat:
شَدَّ مِئْزَرَهُ
“beliau
mengencangkan sarungnya”
Sebagian
ulama memahami kalimat itu secara kinayah (kiasan) dari makna bersiap
siaga untuk ibadah. Sementara ulama yang lain mengartikannya secara hakiki juga
kiasan, yaitu menggunakan sarung dan tidak melepaskannya, menjauhi istrinya
(tidak bercampur) dan bersiap siaga untuk ibadah. Namun kata Imam ash-Shan’ani,
pemaknaan kalimat itu meliputi ‘menjauhi istrinya’ tidak tepat sebab di dalam
riwayat lain disebutkan dengan redaksi:
فَشَدَّ مِئْزَرَهُ وَاعْتَزَلَ النِّسَاءَ
“beliau
mengencangkan sarungnya dan menjauhi istri-istrinya”
Penggunaan huruf waw, menunjukkan makna perbedaan.
Adapun
kalimat:
وَأَحْيَا
لَيْلَهُ،
“Dan
menghidupkan malamnya.” Menunjukkan makna majazi (kiasan), yaitu
tidak tidur di malam itu.
Sedangkan
kalimat:
وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“serta
membangunkan keluarganya.” Maksudnya untuk salat dan ibadah yang lain.
Sikap
keseriusan ini lebih dikhususkan oleh Rasulullah di sepuluh malam terakhir
karena waktu untuk ibadah demikian di bulan Ramadhan akan segera berakhir. (Lihat,
Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram, III:383)
Bagaimana
dengan orang yang tidak sanggup melakukan itu di sepuluh malam terakhir secara
terus menerus? Sehubungan dengan itu, Rasulullah saw. bersabda:
الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ
فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
"Carilah
ia pada sepuluh terakhir (Ramadhan), yakni Lailatul Qadr. Maka jika salah
seorang dari kalian lemah atau tidak mampu, maka jangan sampai terlewatkan
tujuh malam terakhir." HR. Muslim, Shahih Muslim, II:823, No. 1165;
Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:327, No. 2183
Dalam
riwayat lain dengan redaksi:
اطْلُبُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ
رَمَضَانَ فَإِنْ غُلِبْتُمْ فَلَا تُغْلَبُوا عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
"Carilah
Lailatul Qadar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Jika kalian tidak mampu
maka jangan terlewatkan pada tujuh hari yang tersisa." HR.
Ahmad, Musnad Ahmad, I:133, No. 1111
Sikap
demikian itu tampak lebih jelas lagi dari ajakan dan pengumuman yang dilakukan
beliau pada sore hari setelah salat Ashar, kepada khalayak untuk berjamaah
salat Tarawih di malam-malam ganjil.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ لَمَّا كَانَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ إِعْتَكَفَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِى الْـمَسْجِدِ فَلَمَّا صَلَّى الـنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ العَصْرِ مِنْ
يَوْمِ اثْـنَـيْنِ وَعِشْرِينَ قَالَ : إِنَّا قَائِمُونَ اللَيْلَةَ إِنْ شَاءَ
اللهُ، مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ وَهِيَ لَيْلَةُ ثَلاَثٍ
وَعِشْرِينَ فَصَلاَّهَا الـنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم جَمَاعَةً بَعْدَ
العَتَمَةِ حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَ انْصَرَفَ، فَلَمَّا كَانَ
لَيْلَةَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا
لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ قَامَ بَعْدَ صَلاَةِ العَصْرِ يَوْمَ أَرْبَعٍ
وَعِشْرِينَ ، فَقَالَ إِنَّا قَائِمُونَ
اللَّـيْلَةَ إِنْ شَاءَ الله ُ يَعْنِى لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ
فَلْيَقُمْ فَصَلَّى بِالنَّاسِ حَتَّي
ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ فَلَمَّا كَانَ لَيْلَةَ سِتٍّ
وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَ عِنْدَ صَلاَةِ
العَصْرِ مِنْ يَوْمِ سِتٍّ وَعِشْرِينَ قَامَ فَقَالَ إِنَّا قَائِمُونَ إِنْ شَاءَ اللهُ يَعْنِى
لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ قَالَ أَبُو
ذَرٍّ فَـتَجَلَّدْنَا لِلْقِيَامِ
فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ e حَتَّى ذَهَبَ ثُلُـثَا اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ اِلَى قُـبَّتِهِ
فِى الْـمَسْجِدِ فَقُلْتُ لَهُ إِنْ كُنَّا لَقَدْ طَمِعْنَا يَا رَسُولَ اللهِ
أَنْ تَقُومَ بِنَا حَتَّى تُصْبِحَ، فَقَالَ
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ إِذَا صَلَّيْتَ مَعَ إِمَامِكَ وَانْصَرَفْتَ
إِذَا انْصَرَفَ كُتِبَ لَكَ قُنُوتُ لَيْلَتِكَ
Dari Abu
Dzar, ia berkata, ”Tatlaka sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah saw.
itikaf di masjid, ketika salat ashar
pada hari ke 22, ia bersabda, 'Insya Allah kita akan berjamaah malam ini, siapa
di antara kamu yang akan salat pada malam itu silahkan ia salat, yakni malam ke
23, kemudian Nabi salat malam itu dengan berjamaah setelah salat isya sampai
lewat sepertiga malam. Kemudian beliau pulang. Pada malam ke 24, ia tidak
berkata apapun dan tidak mengimami, pada malam ke 25 beliau berdiri setelah
salat ashar, yaitu pada hari ke 24, kemudian bersabda, 'Kita akan berjamaah
malam ini Insya Allah yakni pada malam ke 25, Siapa pun yang mau ikut berjamaah
silahkan’ Kemudian ia mengimami orang-orang sampai lewat sepertiga malam.
Kemudian ia pulang. Tatkala malam ke 26 ia tidak berkata apa pun dan tidak
mengimami kami, tatkala malam ke 27, beliau berdiri setelah salat ashar pada
hari ke 26, kemudian berdiri dan bersabda, 'Insya Allah kita akan berjamaah
malam ini yakni pada malam ke 27, siapa yang akan mengikuti berjamaah silahkan
‘Abu Dzar berkata, 'Maka kami berusaha keras untuk ikut salat berjamaah itu,
lalu Nabi saw. mengimami kami sampai lewat dua pertiga malam. Kemudian beliau
pergi menuju Qubahnya di masjid (karena sedang I’tikaf). saya berkata padanya,
'Bagaimana jika kami sangat menginginkan tuan mengimami kami sampai subuh.
Beliau bersabda, 'Wahai Abu Dzar jika engkau salat beserta imammu, dan engkau
selesai (salat) ketika imam itu selesai, telah ditetapkan (pahala) untukmu
ketaatanmu pada malam itu.” HR. Ahmad,Musnad Ahmad, V:172, No. 21.549;
Ath-Thabarani, al-Mu’jam al-Awsath, I:141, No. 442, Musnad asy-Syamiyin, II:92,
No. 972.
Berbagai
keterangan di atas menunjukkan bahwa, keagungan Lailatul Qadar dan kebesaran
nilainya tidak ada artinya bagi kaum muslimin bila pada malam itu tidur atau
bangun tapi tidak melakukan amal ibadah, sebab pada malam itu Allah memberikan
kesempatan bagi kaum muslimin untuk bangun melakukan ibadah. Karena itu,
keagungan Lailatul Qadar akan menemui orang-orang yang mempersiapkan diri dan
menyucikan jiwa dalam menyambutnya. Hal itu tak ubahnya tamu agung yang
berkunjung ke satu tempat, ia tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi
itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Demikian juga halnya
dengan Lailatul Qadar.
Apabila
jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailatul Qadar datang
menemuinya, maka malam kehadirannya menjadi saat menentukan bagi perjalanan
sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah
titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat
kelak. Dan sejak saat itu malaikat akan turun guna menyertai dan
membimbingnya menuju kebaikan sampai
terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di kemudian hari.
Inilah
inti dari keagungan Lailatul Qadar yang akan terjadi setiap bulan Ramadhan.
Mudah-mudahan Allah swt. senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada
kita, sehingga kita menjadi salah seorang yang layak ditemui oleh "Tamu
Agung" Tersebut.
Oleh Ust.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar