Header Ads

  • NEWS UPDATE

    Kriteria Imkan Rukyat: Dasar dan Argumen Hukumnya

    Pada zaman sebelum Rasulullah saw, masyarakat Arab tidak murni menggunakan kalender qamariyah (bulan), tetapi setiap tiga tahun menambahkan satu bulan tambahan untuk menyesuaikan dengan musim. Sistem kalender campuran itu biasa disebut sistem qamari-syamsiah (luni-solar calendar). Nama bulan lain yang berkaitan dengan musim adalah Rabiul awal dan Rabiul akhir yang berarti bulan musim semi pertama dan terakhir. Berdasarkan nama tersebut, pada zaman itu Ramadan jatuh sekitar bulan Agustus-September, Rabiul awal pada Februari-Maret, dan Rabiul akhir pada Maret-April. Itu sesuai dengan keadaan musim di bumi belahan utara.
    Bila dihitung mundur, saat Nabi Muhammad saw. menerima risalah kenabian pada 17 Ramadan tahun gajah ke 41 (tahun ke 41 sejak kelahiran Nabi, 13 tahun sebelum hijrah) bertepatan dengan 13 Agustus 610. Perhitungan mundur itu menggunakan perhitungan kalender qamariyah murni. Mungkin ini bisa menunjukkan bahwa sampai dengan saat itu sistem kelender yang digunakan adalah sistem qamari-syamsiah. Dan sesudah kerasulan Nabi Muhammad saw. sistem kalender yang digunakan murni qamariyah. Tidak ada keterangan yang pasti sejak kapan Rasulullah saw. menetapkan sistem kalendar murni qamariyah, menggantikan sistem qamari-syamsiah. Namun sangat mungkin dilakukan setelah turunnya ayat At-Taubah 36-37 yang merupakan perintah Allah untuk menghapus sistem campuran tersebut dan menggantikannya dengan sistem qamariyah murni.
    Pada ayat 36 At-Taubah Allah menegaskan,
    إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ...
    "Sesungguhnnya jumlah bulan pada sisi Allah adalah dua belas menurut ketetapan Allah sejak hari diciptakannya langit dan bumi..."
    Dengan bahasa astronomi, ayat itu bermakna Allah telah menetapkan bahwa peredaran bumi mengitari matahari yang mendefinisikan batasan waktu 'tahun' setara dengan dua belas kali lunasi (datangnya hilal) yang mendefinisikan batasan waktu 'bulan'. Satu tahun syamsiah adalah 365,2422 hari, sedangkan satu bulan qamariyah adalah 29,5306 hari. Jadi satu tahun qamariyah berjumlah 354 hari, sebelas hari lebih pendek daripada kalender syamsiah.
    Ayat berikutnya, At-Taubah 37, mengecam praktek Annasiy, yaitu mengulur atau menambah bulan yang hanya akan menambah kekafiran, pengingkaran kepada Allah. Bulan suci yang telah disepakati bersama (Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah, dan Muharam) bisa tergeser karenanya. Sesudah Dzulhijjah ada bulan ketiga belas sehingga menggeser bulan Muharram.
    Penambahan bulan itu untuk menyesuaikan dengan musim, tetapi dilakukan sepihak sehingga bisa mengacaukan kesepakatan yang telah ada. Dalam prakteknya, annasiy bisa dilakukan dengan menambah satu bulan tambahan setiap tiga tahun untuk menggenapkan selisih tahunan yang 11 hari itu.
    Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa sebelum datang Islam (dengan diangkatnya Muhamad sebagai Rasul) kalender qamariyah dan syamsiah kedua-duanya telah digunakan oleh berbagai suku sesuai dengan keperluan masing-masing, baik aktivitas keagamaan maupun keduniaan. Meskipun demikian, kalender qamariyah biasanya digunakan untuk keperluan aktivitas keagamaan yang memerlukan ketepatan hari yang bisa dilihat di alam. Kalender syamsiah digunakan untuk aktivitas yang berkaitan dengan musim atau yang memerlukan keseragaman internasional.
    Kalender qamariyyah ditentukan berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit pertama) sesaat sesudah matahari terbenam. Alasan utama dipilihnya kalender bulan (qamariyah) nampaknya karena alasan kemudahan dalam menentukan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan. Ini berbeda dari kalender syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya. Untuk mengetahui munculnya hilal, bangsa Arab sebelum Islam menggunakan rukyat bil’ain, yakni melihat dengan mata fisik atau mata telanjang.
    Setelah Islam datang, pada periode Mekah (+ 13 tahun), kalender qamariyyah tetap digunakan sebagai penentu waktu (miqat zamani) aktivitas keagamaan, meliputi ibadah shaum, yakni asyura 10 Muharram dan ayyamul bidh (13, 14, 15 tiap bulan) serta haji. Untuk mengetahui munculnya hilal, waktu itupun digunakan rukyatbil’ain.
    Meskipun demikian selama itu tidak ada perintah Nabi mengaitkan ibadah-ibadah itu dengan rukyat hilal, apalagi pemberlakuan sumpah dan syahadat bagi yang mengku melihatnya. Dalam periode inilah kita dapat memahami bahwa rukyat itu tidak menjadi sebab dan syarat sahnya ibadah tersebut, tetapi yang menjadi sebab dan syarat itu adalah masuknya waktu yang telah ditentukan, yaitu bulan muharram bagi shaum asyura dan Dzulhijjah bagi haji serta tiap bulan bagi shaum ayyamul bidh. Jadi, rukyat atau melihat hilal pada periode itu tidak lain hanyalah sekedar alat untuk mengetahui masuknya waktu-waktu ibadah yang telah ditentukan itu. Sehubungan dengan itu Nabi bersabda:
    اِنَّا اُمَّةٌ اُمَيَةٌ لاَنَكْتُبُ وَلاَنَحْسِبُ. اَلشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ
    “Sesungguhnya kami ini satu ummat yang ummi. Kami tidak dapat menulis dan tidak dapat menghitung; Sebulan itu sekian dan sekian, ya’ni terkadang 29 (hari) dan terkadang 30 hari.” H.r. Al-Bukhari
    Jika hadis tersebut kita perhatikan dengan seksama, maka akan timbul pertanyaan: Bukankah Nabi termasuk bagian dari kaum tidak dapat menghitung, tapi dari mana Nabi tahu bahwa satu bulan itu terkadang 29 (hari) dan terkadang 30 hari? Ini menunjukkan bahwa beliau mengetahui itu berdasarkan “data” kalender qamariyyah yang telah berlaku sejak lama sebelum beliau diangkat jadi Rasul. 
    Dengan demikian dapat dipahami bahwa penentuan awal bulan dengan rukyat pada masa-masa itu hanyalah tradisi. Perbuatan ini biasa dilakukan semata-mata karena pada saat itu masyarakat Arab pada umumnya belum mengetahui/menguasai ilmu hisab/falak. Hal itu menunjukkan bahwa rukyat yang berlaku pada zaman Nabi tidak berarti menolak atau bahkan melarang penentuan hilal berdasarkan ilmu hisab. Dalam konteks inilah kita dapat memahami mengapa Nabi tidak mengaitkan persoalan ibadah dengan rukyat hilal.
    Hal ini amat berbeda jelas pada periode Madinah, khususnya tahun 2 H. Karena sejak tahun itu, terdapat perintah yang sharih (tegas dan jelas) dari Nabi untuk mengaitkan persoalan ibadah dengan rukyat hilal. Hal itu tampak jelas dalam penetapan ibadah shaum sebagai berikut:
    Ketika tahun I Nabi di Madinah, beliau masih menjalan syariat Shaum sebelumnya, yakni ayyamul bidh dan asyura, bahkan hingga bulan Sya’ban tahun ke-2 hijrah yang waktu itu bertepatan dengan bulan Pebruari 624 M. Jadi, sekitar 17 bulan sejak di Madinah, yaitu sejak Rabi’ul Awal hingga Sya’ban tahun ke-2 Nabi masih menjalankan ibadah shaum selain Ramadhan. Dan pada bulan-bulan itu tidak terdapat perintah rukyat hilal. Kemudian di akhir bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah, setelah selesai salat ashar berjama’ah, Nabi berkhutbah di hadapan para sahabat
    أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا
    “Hai manusia! Telah menaungi kamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan berkah, bulan yang padanya ada satu malam lebih baik dari seribu bulan. Allah tetapkan shaum padanya sebagai satu kewajiban, dan salat pada malamnya sebagai tathawu (sunnat).” H.r. Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, dan Al-Haitsami

    Nabi bersabda demikian, karena pada bulan Sya’ban tahun ke-2 itu Allah menurunkan ayat
    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ 
    “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari yang ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian di antara kamu, maka hendaklah ia menghitung (qadla) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang merasa payah boleh membayar fidyah dengan memberi  makanan pada orang yang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari, maka itulah yang lebih baik baginya.” Q.s. al-Baqarah : 183-184
    Pada waktu itu Nabi bukan hanya menginformasikan hukum Shaum Ramadhan, tetapi juga mengaitkan hukum itu dengan rukyat hilal sebagai petunjuk pelaksanaan shaum. Dalam hal ini Nabi bersabda:
     إِنَّ اللَّهَ جَعَلَ جَعَلَ اللهُ الأَهِلَّةَ مَوَاقِيْتَ لِلنَّاسِ فَصُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
    “Sesungguhnya Allah telah menetapkan hilal itu sebagai pertanda waktu bagi kepentingan manusia, maka shaumlah kalian karena melihatnya (hilal bulan Ramdhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika tidak kelihatan oleh kalian maka hitunglahlah ia (bilangan bulan Sya’ban atau bulan Ramadhan) menjadi 30 hari” HR. Abdur Razaq, al-Mushannaf, IV:156, No. 7306.
    Dalam riwayat al-Baihaqi dengan tambahan redaksi:
    فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ أَتِمُّوا ثَلاَثِينَ
    “Jika tidak kelihatan oleh kalian maka perkirakanlah ia (bilangan bulan Sya’ban atau bulan Ramadhan), sempurnakanlah menjadi 30 hari” (Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV:205, No. 8185).
    Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim dengan tambahan redaksi lain:
    وَاعْلَمُوا أَنَّ الشَّهْرَ لاَ يَزِيدُ عَلَى ثَلاَثِينَ
    “Dan ketahuilah bahwa bulan itu tidak lebih dari 30 hari” (Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:210, No. 1906; al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:423, No. 1539).
    Karena umur rata-rata 1 bulan itu 29,53 hari, maka satu bulan hanya mungkin 29 atau 30 hari, jadi mudah diperkirakan atau amannya digenapkan menjadi 30 hari.
    Hadis di atas diriwayatkan pula dengan redaksi lain:
    عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
    Dari Ibnu Umar Ra., dari Nabi saw. bahwa beliau menyebut bulan Ramadhan, maka beliau bersabda, “Janganlah kamu shaum sampai kamu melihat hilal (bulan sabit pertama Ramadhan) dan janganlah kamu beridul fitri sampai kamu melihatnya (bulan sabit pertama Syawal). Jika hilal itu tertutup bagi kalian, maka perkirakanlah” HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, II:674, No. 1807; Muslim, Shahih Muslim, II:759, No. 1080; An-Nasai, Sunan An-Nasai, IV:134, No. 2121.
    Dalam riwayat al-Baihaqi sabab al-wurud (latar belakang kemunculan) hadis itu disebutkan sebagai berikut:
    عَنْ أَبِيهِ طَلْقٍ قَالَ : سَمِعْتُ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْيَوْمِ الَّذِى يُشَكُّ فِيهِ فَيَقُولُ بَعْضُهُمْ : هَذَا مِنْ شَعْبَانَ ، وَبَعْضُهُمْ : هَذَا مِنْ رَمَضَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ.
    Dari Thalq, ia berkata, “Saya mendengar seseorang bertanya kepada Nabi saw. tentang shaum pada hari yang diragukan, sebagian dari mereka berkata, ‘Hari ini termasuk bulan Sya’ban’, dan sebagian lainnya berkata, ‘Hari ini termasuk bulan Ramadhan.’ Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah kamu shaum sampai kamu melihat hilal (bulan sabit pertama Ramadhan). Maka jika hilal itu tertutup bagi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan itu menjadi 30 hari.” (Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV:208, No. 8205)
    Sehubungan dengan rukyat hilal itu Nabi senantiasa memperhatikan dengan serius bulan Sya’ban, dengan menghitung jumlah hari-harinya. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam hadis sebagai berikut:
    عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي قَيْسٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِينَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
    Dari Abdullah bin Abu Qais, ia berkata, “Saya mendengar Aisyah Ra. berkata, ‘Rasulullah saw. memperhatikan dengan serius (hari-hari) bulan Sya’ban, yang hal itu tidak beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya, kemudian beliau shaum karena melihat hilal Ramadhan. Jika tidak dapat diru’yat (hilal tidak terlihat) beliau menggenapkan jumlah hari bulan Sya’ban itu 30 hari, kemudian beliau shaum’.” H.r. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:298, No. 2325
    Dalam riwayat Ibnu al-Jarud dengan redaksi:
    عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي قَيْسٍ قَالَ : بُعِثْتُ إِلَى عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ صِيَامِ رَمَضَانَ إِذَا خَفِيَ الْهِلاَلُ وَعَنْ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ  فَدَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ فَقُلْتُ : إِنَّ فُلاَنًا يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمَ بَعَثَنِي إِلَيْكِ أَسْأَلُكُ عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ  وَعَنْ الْوِصَالِ  وَعَنْ الصِّيَامِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ  فَذَكَرَ بَعْضَ الْحَدِيثِ قَالَ : قَالَتْ : وَكَانَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ  ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ  فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِينَ  ثُمَّ صَامَ  
    Dari Abdullah bin Abu Qais, ia berkata, “saya diutus menemui Aisyah untuk bertanya kepadanya tentang shaum Ramadhan apabila hilal tersembunyi dan tentang shalat setelah Asar, lalu saya menemui Aisyah, maka saya berkata, ‘Si Polan mengirim salam untukmu, ia mengutus saya menemuimu untuk bertanya kepadamu tentang shalat setelah Asar, shaum wishal, dan tentang shaum Ramadhan.’ Maka ia menyebutkan sebagian pembicaraan. Ia berkata, ‘Rasulullah saw. memperhatikan dengan serius (hari-hari) bulan Sya’ban, yang hal itu tidak beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya, kemudian beliau shaum karena melihat hilal Ramadhan. Jika tidak dapat diru’yat (hilal tidak terlihat) beliau menggenapkan jumlah hari bulan Sya’ban itu 30 hari, kemudian beliau shaum’.” (Lihat, al-Muntaqa min as-Sunan al-Musnadah:180, No. 377)

    Selain perhatian terhadap rukyat hilal sendiri, beliau sangat selektif terhadap orang yang mengaku melihat hilal, sementara orang itu belum dikenal kredibilitasnya. Sikap selektif ini diwujudkan dalam bentuk minta persaksian orang itu dengan syahadat, sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut ini
    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ أَعْرَابِيَّا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ : إِنِّيْ رَأَيْتُ الهِلاَلَ فَقَالَ : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ : أَتْشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله؟ قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : فَأَذِّنْ فِى  النَّاسِ يَابِلاَلُ, أَنْ يَصُوْمُوا غَدًا. رواه الخمسة, وصححه ابن خزيمة وابن حبان
    Dari Ibnu Abbas telah datang seorang Arab (baduy) kepada Nabi saw, ia berkata, “Sesungguhnya aku telah melihat hilal (Ramadhan)” Lalu Nabi bersabda,”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “ya” Kemudian beliau bersabda lagi, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhamad itu Rasulullah” Dia berkata, “Ya”. Kemudian Nabi bersabda, “Wahai Bilal, beritahu orang-orang untuk shaum besok hari.” H.r. al-Khamsah, dan telah dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban. (Lihat, Bulugh al-Maram:120, No. 655)
    Sikap yang sama diberlakukan pula dalam rukyat hilal Syawal dan Dzulhijjah sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut:
    عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُمُومَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا أُغْمِيَ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى عِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ
    Dari Abu Umer bin Anas bin Malik, ia berkata, “Paman-pamanku, para sahabat Rasul dari kaum Anshar, berkata, ‘Hilal Syawal terhalang bagi kami (Ramadhan jadi digenapkan 30 hari). Maka pagi hari (30 Ramadhan) kami saum. Kemudian datang rombongan di penghujung siang, lalu bersaksi di hadapan Nabi saw. bahwa mereka melihat hilal Syawal kemarin. Maka Nabi memerintah mereka untuk berbuka dan melaksanakan ied pada esok hari’.” H.r. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:529; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:300; Ibnul Jarud, al-Muntaqa: 77; an-Nasai, as-Sunan al-Kubra, I:542, dengan sedikit perbedaan redaksi.
    عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
    “Rasulullah telah mengamanatkan kepada kami agar melaksanakan ibadah haji karena melihat hilal (Dzulhijjah). Maka jika kami tidak melihatnya, sedang 2 orang saksi adil melihatnya, maka kami ibadah haji berdasarkan rukyat kedua saksi itu.” H.r. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:301
    Tiga bentuk sikap Nabi tersebut tidak pernah dilakukannya pada periode Mekah dan tahun pertama periode Madinah, padahal ibadah shaum (asyura dan Ayyamul Bidh) ketika itu sudah disyariatkan.

    Untuk memperkuat hal di atas kita analisis secara astronomis, menurut Sayyid Sabiq, ayat tentang shaum Ramadhan turun pada hari Kamis tanggal 28 Sya’ban tahun ke-2 H. (Lihat, Fiqh Sunah, I : 366) Menurut Adel A Al-Rumaih, bertepatan dengan tanggal 23 Pebruari 624 M, sedangkan 1 Ramadhan tahun itu jatuh pada hari Ahad, 26 Februari 624. Sedangkan 1 Syawwal tahun itu jatuh pada hari Senin, 26 Maret 624. (Lihat, Hijri-Gregorian Converter)
    Hal itu diperkuat oleh hasil perhitungan Dr. T. Djamaluddin, peneliti bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, Lapan, Bandung.
    Berarti jumlah hari bulan Sya’ban tahun 2 H. sebanyak 30 hari, dan hari terakhirnya adalah Sabtu 30 Sya’ban tahun 2 H. Sedangkan jumlah hari bulan Ramadhan tahun 2 H sebanyak 29 hari, dan hari terakhirnya adalah Ahad 29 Ramdhan tahun 2 H.
    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada Ramadhan pertama dimulainya ibadah shaum, hilal Ramadhan tidak berhasil dirukyat, sehingga jumlah hari bulan Sya’ban tahun 2 H. digenapkan menjadi 30 hari. Sedangkan untuk ‘iedul fitri pertama, hilal berhasil dirukyat, sehingga jumlah hari bulan Ramadhan tahun 2 H 29 hari. Berarti pada tahun pertama disyariatkannya saum Nabi melaksanakannya sebanyak 29 hari.
    Pada tahun-tahun berikutnya (3-10 H) hilal Ramadhan pada umumnya tidak berhasil dirukyat, sehingga jumlah hari bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Kecuali tahun 3 H, karena hilal Ramadhan berhasil dirukyat, maka jumlah hari bulan Sya’ban pada tahun itu 29 hari Sedangkan untuk hilal Syawal pada umumnya berhasil dirukyat, sehingga jumlah hari bulan Ramadhan 29 hari. Kecuali tahun 6 hingga 8 H, karena hilal Syawwal tidak berhasil dirukyat, sehingga jumlah hari bulan Ramadhannya digenapkan menjadi 30 hari.
    Bukti hilal Ramadhan tahun 3 H yang berhasil dirukyat dan bagaimana sikap Nabi dalam hal itu disebutkan dalam hadis di atas dari Ibnu Abas juga dari Ibnu Umar sebagai berikut:
    قَالَ ابْنُ عُمَرَ : تَرَائَ النَّاسُ الْهِلاَلَ فَاَخْبَرْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنِّيْ رَاَيْتُهُ فَصَامَ وَاَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
    Ibnu Umar berkata, “Orang-orang pernah melihat hilal, lalu saya kabarkan kepada Rasululah saw. bahwa saya (juga) telah melihatnya, maka Rasulullah (menetapkan) shaum dan beliau menyuruh orang-orang shaum,” Hr. Abu Dawud
    Dari berbagai pembahasan di atas akhirnya kita akan sampai pada pertanyaan: Apa kepentingan Nabi mengaitkan hukum shaum Ramadhan, Iedul fitri, dan haji dengan rukyat hilal dan bersyahadat bagi orang yang berhasil merukyat. Apakah bentuk-bentuk sikap yang berbeda ini dapat dikatakan hanya sebagai kebiasaan? Apakah sikap yang tidak biasa dapat dikatakan sebagai kebiasaan?
    Perbedaan bentuk sikap itulah yang menjadi qarinah (indikasi) bahwa dalam penentuan waktu-waktu shaum, iedul fitri, dan haji keadaan visibilitas Hilal (keterlihatan hilal) menjadi sabab al-hukmi (sebab hukum). Karena itu tepat sekali ketika para ulama secara umum menyatakan bahwa Harf Lam dalam matan (redaksi) hadits “suumuu li ru’yatih” adalah “li al-ta’lil (menunjukkan makna sebab)” sehingga matan itu dipahami menjadi
    صوموا بسبب رؤيتكم الهلال
    “Shaumlah kalian sebab melihat hilal.”
    Dari sikap dan sabda Nabi tentang visibilitas hilal di atas, para ulama ahli hisab berijtihad dalam menetapkan suatu kriteria yang dipandang “lebih mendekati” petunjuk Nabi tentang visibilitas hilal itu. Kriteria itu disebut Imkan rukyat, yaitu berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat bil ‘ain (dengan mata). 

    Kriteria ini pada hakikatnya merupakan gabungan antara data hisab dan data rukyat. Berdasarkan kriteria ini, walaupun menurut perhitungan hisab hilal sudah wujud di atas ufuk (wujud al-hilal), namun secara empirik perlu memperhatikan apakah bisa terlihat secara mata telanjang atau tidak. Karena itu, mereka menetapkan standar minimal agar wujud al-hilal itu bisa dirukyat bil ‘ain
    Dengan demikian kami berkesimpulan: 
    1.      Bahwa visibilitas hilal menjadi ‘illat (sebab hukum) kewajiban shaum Ramadhan, berbuka (Idul fitri), dan Iedul Adha.
    2.      Kriteria Imkan rukyat merupakan hasil ijtihad yang “lebih mendekati” petunjuk Nabi tentang visibilitas hilal itu.
    3.      Menetapkan shaum hari Rabu 10 Juli 2013 dengan pertimbangan kriteria imkan rukyat itu, hemat kami, lebih tepat.


    Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    trikblog.co.cc