Al
Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya, (terjemahannya seperti
ini) “Katanya ada hadis yang menjelaskan bahwa siapa yang ingin berqurban atau
keluarga yang diniatkan pahala untuk berqurban, maka ia tidak boleh mencukur
bulu, rambut kepala dan juga memotong kuku sampai ia berqurban. Apakah larangan
ini umum untuk seluruh anggota keluarga (yang diniatkan dalam pahala qurban),
baik dewasa atau anak-anak? Ataukah larangan ini berlaku untuk yang sudah
dewasa saja, tidak termasuk anak-anak?”
Jawab:
Kami tidak mengetahui lafazh hadits sebagaimana yang penanya sebutkan. Lafazh
yang kami tahu sebagaimana shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan oleh al Jama’ah kecuali Al Bukhari yaitu dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ
فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika
kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu
Dzulhijah, pen) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan
(artinya tidak memotong) rambut dan kukunya.” (H.R. Muslim no. 1977)
Dalam lafazh lainnya,
مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ، فَإِذَا أَهَلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ،
فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ، وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى
يُضَحِّيَ
“Siapa
yang punya binatang kurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah (1
Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.” (H.R. Muslim no. 1977)
Maka hadis ini menunjukkan terlarangnya memotong rambut dan kuku bagi orang
yang ingin berqurban setelah memasuki 10 hari awal bulan Dzulhijah (mulai dari
tanggal 1 Dzulhijah, pen).
Hadis pertama menunjukkan perintah untuk tidak memotong (rambut dan kuku).
Asal perintah di sini menunjukkan wajibnya hal ini. Kami pun tidak mengetahui
ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang wajib ini. Sedangkan riwayat
kedua adalah larangan memotong (rambut dan kuku). Asal larangan di sini
menunjukkan terlarangnya hal ini, yaitu terlarang memotong (rambut dan kuku).
Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang
melarang hal ini.
Secara jelas pula, hadis ini khusus bagi orang yang ingin berqurban. Adapun
anggota keluarga yang diikutkan dalam pahala qurban, baik sudah dewasa atau
belum, maka mereka tidak terlarang memotong bulu, rambut dan kuku. Mereka
(selain yang berniat qurban) dihukumi sebagaimana hukum asal yaitu boleh
memotong rambut dan kulit dan kami tidak mengetahui adanya dalil yang
memalingkan dari hukum asal ini.
Wa
billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa
shohbihi wa sallam.
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua,
Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Mani’ dan
Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota.
Sumber: Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal lIfta’,
soal ketiga dari Fatwa no. 1407, 11/426-427, Darul Ifta’
Sikap
Para Ulama Terdahulu
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang akan memasuki 10 hari
awal Dzulhijah dan berniat untuk berqurban.
Pendapat
Pertama:
Hukumnya Haram
Sa’id bin Al Musayyib, Robi’ah, Imam Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian ulama Syafi’iyyah
mengatakan bahwa larangan memotong rambut dan kuku (bagi shohibul qurban)
dihukumi haram sampai diadakan penyembelihan qurban pada waktu penyembelihan
qurban. (Lihat, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah, V:170)
Secara zhahir (tekstual), pendapat
pertama ini melarang memotong rambut dan kuku bagi shohibul qurban berlaku sampai hewan qurbannya
disembelih. Misal, hewan qurbannya akan disembelih pada hari tasyriq
pertama (11 Dzulhijah), maka larangan tersebut berlaku sampai tanggal tersebut.
Pendapat pertama yang menyatakan haram berlandaskan hadis larangan memotong
rambut dan kuku yang telah disebutkan dalam fatwa Lajnah
Ad-Daimah di atas.
Pendapat
Kedua:
Hukumnya Makruh
Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan sekolompok Hanabilah.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa hadis perintah untuk tidak memotong (rambut
dan kuku) menunjukkan mustahab. Sedangkan hadis larangan memotong (rambut dan
kuku) menunjukkan makruh yaitu makruh tanzih, dan
bukan haram.
Adapun dalil yang memalingkan dari hukum asal perintah dan larangan itu
adalah hadis ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah
berqurban dan beliau tidak melarang apa yang Allah halalkan hingga beliau
menyembelih hadyu (qurbannya di Makkah). H.R. al-Bukhari dan Muslim.
(Lihat, As-Syarh al-Kabir, II:12, as-Syarh as-Shagir,
II:144, Bidayah al-Mujatahid, I:424, Mughni al-Muhtaj,
III:283, al-Muhadzab, I:238, al-Mughni,
VIII:618, Kasysyaf al-Qana, III:5, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Ibn
Qasim, II:309)
Pendapat
Ketiga: Tidak
Makruh
Ulama Hanafiyyah berpendapat tidak makruh sama sekali, karena qurbani tidak
diharamkan untuk bercampur, berpakaian biasa. Demikian pula tidak makruh
memotong rambut dan kuku sebagaimana kalau ia tidak hendak qurban. (Lihat, al-Mughni, VIII:619)
Sikap
Kami
Pemaknaan rambut yang tidak dipotong itu termasuk bulu ketiak, kumis, bulu
kemaluan, rambut kepala dan juga rambut yang ada di badan (Lihat, Syarh Riyadh as-Shalihin, I:2023)
Selanjutnya, dalam mensikapi berbagai pendapat di atas, para ulama pada
periode selanjutnya juga berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa
pendapat yang arjah (paling kuat) adalah pendapat pertama, berdasarkan larangan yang disebutkan dalam hadis di atas dan
pendapat ini lebih hati-hati. Pendapat ketiga adalah pendapat yang
sangat lemah karena bertentangan dengan hadis larangan. Sedangkan pendapat yang
memakruhkan juga dinilai kurang tepat karena sebenarnya hadis ‘Aisyah hanya
memaksudkan bahwa Nabi saw. melakukan perkara yang sifatnya keseharian yaitu
memakai pakaian berjahit dan memakai wewangian, yang seperti ini tidak
dibolehkan untuk yang ihram. Namun untuk memotong rambut adalah sesuatu yang
jarang dilakukan (bukan kebiasaan keseharian) sehingga beliau masih tetap tidak
memotong rambutnya ketika hendak berqurban.
Tanggapan
Menurut kami pendapat yang arjah (paling
kuat) justru pendapat kedua (hukumnya Makruh) dengan argumentasi sebagai
berikut.
Metodologi pendapat pertama adalah “Asal perintah menunjukkan wajib, dan
asal larangan menunjukkan haram”. Karena tidak mengetahui ada dalil yang
memalingkan dari hukum asal perintah dan hukum asal larangan, maka disimpulkan
bahwa memotong rambut dan kuku hukumnya haram.
Sedangkan pendapat kedua secara metodologi tidak berbeda dengan pendapat
pertama. Hanya saja pendapat ini mengetahui adanya dalil yang memalingkan dari
hukum asal perintah dan larangan itu, yakni hadis Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: فَتَلْتُ قَلاَئِدَ بُدْنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم، بِيَدَيَّ، ثُمَّ قَلَّدَهَا وَأَشْعَرَهَا وَأَهْدَاهَا؛ فَمَا حَرُمَ
عَلَيْهِ شَيْءٌ كَانَ أُحِلَّ لَهُ
Dari Aisyah, ia berkata, “Saya memintal kalung-kalung Unta Nabi saw. dengan
tangan saya. Kemudian Rasulullah mengalungkannya, memberinya tanda dan
mengirimkannya. Tidaklah haram atas beliau sesuatu yang dihalalkan Allah untuk
beliau” (H.R. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:608, kitab al-Hajj, bab man asy’ara wa qallada bi Dzil Hulaifah tsumma
ahrama)
Hadis ini menunjukkan bahwa ketika beliau telah mengirim hadyu (sembelihan waktu ibadah haji) nya, tidaklah
haram atas beliau sesuatu pun karena itu dan beliau tetap dihalalkan ketika
masih berada di Madinah. Maka ketika itu tidak ada sesuatu pun yang dilarang
seperti yang dilarang bagi yang ihram.
Karena pendapat kedua memenuhi syarat metodologi di atas, yaitu:
الأَصْلُ فِي الأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ إِلاَّ لِقَرِيْنَةٍ
“Pada asalnya perintah itu menunjukkan wajib kecuali ada qarinah
(keterangan pendukung)”
الأَصْلُ فِي النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ إِلاَّ لِقَرِيْنَةٍ
“Pada asalnya larangan itu menunjukkan haram kecuali ada qarinah”
Dan dalam hal ini pendapat kedua mengetahui qarinah-nya
(hadis Aisyah di atas), hemat kami pendapat kedualah yang arjah.
Pandangan
Lain
1. Bukankah
hadis Aisyah itu berkaitan dengan hadyu (sembelihan
waktu ibadah haji), sedangkan hadis Ummu Salamah tentang larangan berkaitan
dengan udhhiyyah (kurban)?
2. Hadis
Aisyah mengabarkan fi’il (perbuatan)
Nabi dan hadis Ummu Salamah mengabarkan qawl (sabda) Nabi.
Sedangkan kaidah menyatakan: Al-Qawl muqaddamun ‘alal fi’l (Sabda
didahulukan daripada perbuatan).
3. Apabila
tidak dianggap bertentangan maka hadis Aisyah sifatnya ‘amm (umum) dan hadis Ummu Salamah sifatnya khash (khusus). Sedangkan kaidah menyatakan: Al-Khash muqaddamun ‘alal ‘Amm (Petunjuk khusus
didahulukan daripada petunjuk umum)
Tanggapan
Kami
Dalam hadis itu dinyatakan secara umum dengan menggunakan lafal man dan dzabhun (binatang sembelihan)
tanpa dibatasi untuk hadyu atau udhiyyah, sebagai berikut.
مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أَهَلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ،
فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
“Siapa yang punya binatang sembelihan dan apabila telah memasuki awal
Dzulhijah (1 Dzulhijah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai
ia berqurban.” (H.R. Muslim, Shahih Muslim, III:1566,
No. 1977; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, III:94, No. 2791)
Sedangkan dalam riwayat Abu Ya’la (Musnad Abu Ya’la,
XII:348, No. 6917 dan Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban,
XIII:239, No. 5917) dengan sedikit perbedaan redaksi:
مَنْ أَهَلَّ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَلَهُ ذَبْحٌ يُرِيْدُ أَنْ يَذْبَحَهُ
فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Siapa yang telah menyaksikan hilal Dzulhijjah dan punya binatang
sembelihan yang hendak disembelih, hendaklah ia membiarkan (tidak memotong)
rambut dan kukunya.”
Sedangkan hadis-hadis dengan redaksi udhiyyah atau yudhahhi, hemat kami bukanlah sebagai takhsis (pengkhususan) melainkan dzikr ba’dhi afrad al-‘amm (penyebutan sebagian satuan yang
tercakup oleh umum). Dengan demikian ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi
qurbani yang tidak haji.
Dengan demikian, Nabi tidak memotong rambut ketika masih halal (belum ihram haji) bukan karena perbuatan
itu jarang dilakukan oleh Nabi, melainkan sebagai syariat.
Selain itu terdapat penegasan dari Nabi bahwa memotong kuku dan mengambil
rambut itu bukan kewajiban melainkan sebagai pelengkap ibadah qurban. Beliau
bersabda:
فَتِلْكَ تَمَامُ أُضْحِيَّتِكَ عِنْدَ اللهِ
“Maka itu semua adalah kelengkapan qurbanmu di sisi Allah” (H.R. Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, III:93, No. hadis 2789) dan An-Nasai (As-Sunan Al-Kubra, III:52, No. hadis 4455, Sunan An-Nasai, VII:212, No. hadis 4365)
Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar