Sebagai mana diketahui, di antara
nikmat Allah Ta’ala yang terbesar bagi hamba-Nya adalah nikmat
hidup. Allah Ta’ala telah menciptakan Kita sebagai manusia yang memiliki
keistimewaan dari makhluk lain.
Perlu diketahui, tidaklah Allah
menciptakan manusia dengan sia-sia, namun Allah menciptakan Kita dengan tujuan
yang mulia dan orientasi yang agung.
قَالَ الله تعالى : أَيَحْسَبُ
الإِنْسَانُ أَنْ يُّتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggung jawaban)?” (QS
Al Qiyamah : 36)
وقال تعالى : أَفَحَسِبْتُمْ
أَنَّمَاخَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَّإِلَيْنَا لَاتُرْجَعُوْنَ
“Maka apakah kamu mengira bahwa kami menciptakan kamu
main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (QS Al
Mu’minun: 115)
Tauhid Sebagai Tujuan Penciptaan Manusia
Kalimat Tauhid diambil dari kalimat وَحَّدَ –
يُوَحِّدُ – تَوحِيدًا : Artinya menjadiakn sesuatu
tunggal.
Sedangkan menurut istilah Tauhid
bermakna: Menjadikan Allah satu-satunya yang berhak disembah dengan segala
kekhususan-Nya, baik dalam Rububiyyah (perbuatan-perbuatan Allah seperti
menciptakan), uluhiyyah (ibadah), nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Al
qaulu al mufid Syarh Kitab Tauhid- Syaikh Muhammad Ibn Shalih al‘Utsaimin-
Rahimahullah-)
قال الله تعالى : وَمَاخَلَقْتُ
الجِنَّ وَالإنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ.
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya): “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka menyembah-Ku” (QS Adz Dzaariyat: 56)
Syaikh Muhammad ibn Shalih Al
‘Utsaimin –Rahimahullah- berkata: Ungkapan “illaa liya’ buduun” ditafsirkan
dengan “kecuali supaya mereka mentauhidkan-Ku”, dan ini makna yang
benar, dan ditafsirkan pula dengan makna “(supaya) mereka merendah diri kepada-Ku
dengan ketaatan yaitu dengan menunaikan perkara-perkara yang diperintahkan dan
meninggalkan perkara-perkara yang dilarang”, dan di antara bentuk ketaatan
kepada-Nya yaitu dengan mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala; maka
inilah hikmah dari penciptaan jin dan manusia.
Kemudian beliau melanjutkan: Dan
dengan tujuan ini Allah memberikan manusia akal dan Allah mengutus pada mereka
para Rasul dan Allah menurunkan atas mereka
kitab-kitab. Dan kalaulah tujuan penciptaan mereka seperti penciptaan binatang maka hilanglah
hikmah dari pengutusan para Rasul, penurunan kitab-kitab; karena pada akhirnya
hal tersebut menjadikannya seperti pohon yang tumbuh, berkembang dan hancur.
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya): “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk
(melaksanakan hukum-hukum) Al-Quran, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat
kembali.” (QS Al Qashas: 85)
Maka Allah pasti akan
mengembalikanmu ke Akhirat untuk dibalas atas perbuatanmu, jika amalannya baik
maka balasannya baik dan jika amalan buruk maka balasannya juga buruk. (Al Qaulu
Al Mufid Syarh Kitab Tauhid- Syaikh Muhammad Ibn Shalih al ‘Utsaimin-
Rahimahullah)
Maka semestinya manusia sadar akan
hari pembalasan, hari di mana semua amalan akan ditampakkan dan dibalas, sekecil
apapun amalan tersebut.
Tauhid Sebagai Hak Allah Ta’ala yang
Wajib Ditunaikan
Sahabat Mu’adz ibn Jabal –Radiyallahu
‘anhu- menceritakan: Aku pernah dibonceng Nabi –Shllalllahu ‘alaihi Wa sallam-
diatas seekor keledai, kemudian Beliau bertanya kepadaku: ”Wahai Mu’adz !
Tahukah engkau hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba dari Allah?” Maka Aku menjawab: Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui. Rasulullah bersabda: “Hak Allah atas hamba-Nya
adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak berbuat syirik kepada-Nya
sedikitpun dan hak hamba dari Allah adalah Allah tidak akan pernah menyiksa
seseorang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
Aku (Mu’adz) berkata: Wahai Rasulullah ! Tidak bolehkah Aku mengabarkan
berita ini kepada orang lain? Nabi menjawab: “Janganlah engkau
mengabarkannya kepada mereka, karena (dikhawatirkan) mereka bergantung dengan
(kabar gembira ini).” (Muttafaqun ‘Alaih)
Maksud Hadits di atas sebagai mana
dijelaskan oleh Syaikh ‘Utsaimin –Rahimahullah-: Sesungguhnya Allah
Tidak akan pernah menyiksa orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun, dan sesungguhnya maksiat akan diampuni dengan mewujudkan (hakikat)
tauhid, dan Rasulullah melarang Mu’adz mengabarkan kabar gembira ini kepada
sahabat lain supaya mereka tidak bergantung kepada kabar gembira ini tanpa
mewujudkan tuntutan (ketentuan-ketentuan) dari berita ini; karena mewujudkan
tauhid memestikan meninggalkan maksiat-maksiat; karena maksiat-maksiat tersebut
berasal dari hawa nafsu, dan ini tetmasuk satu macam dari kesyirikan. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya): “Apakah engkau (Muhammad) memperhatikan
orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan nya?” (QS Al
Jatsiyah:23). (Al Qaulu Al Mufid Syarh Kitab Tauhid- Syaikh Muhammad Ibn
Shalih al‘Utsaimin- Rahimahullah-)
Maka seorang yang berakal akan
berusaha mempelajari dan memahami hakikat Tauhid untuk mengamalkannya. Kemudian
dia mencurahkan segenap potensi dalam dirinya agar mampu mengabdi kepada Allah
–Ta’ala- agar dia meraih kebaikan di dunia dan Akhirat. Dan tentunya itu semua
dengan hidayah dan taufik dari Allah Ta’ala.
والله تعالى أعلم.
*) Oleh : Iwan Ridwan, Lc. (Bidgar
Dakwah PC Pemuda Persis Margaasih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar