Header Ads

  • NEWS UPDATE

    Tarikh Tasyri' (Sejarah Penetapan Syariat) Shaum Ramadhan


    Selama 13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, yakni sejak tahun 1 dari masa kenabian, Nabi Muhamad telah 13 kali mengalami Ramadhan, yaitu dimulai dari Ramadhan tahun ke-1 dari masa kenabian yang bertepatan dengan bulan Agustus tahun 611 M hingga tahun ke-13 yang bertepatan dengan bulan April tahun 622 M, namun selama waktu itu belum disyariatkan ibadah shaum pada bulan Ramadhan, yang telah disyariatkan adalah
    1.  Shaum 3 hari setiap bulan, yang kemudian dikenal dengan sebutan ayyamul bidh, yakni tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan pada kalender Hijriyah.
    2.  Shaum setiap tanggal 10 Muharram, yang kemudian dikenal dengan sebutan asyura.
    Kedua shaum inilah yang senantiasa dilaksanakan oleh Rasul selama 13 tahun di Mekah. Bahkan ibadah shaum ini telah disyariatkan pula kepada para Nabi dan umat sebelum Muhamad. Setelah Nabi mendapat perintah untuk hijrah, Nabi kemudian berangkat menuju Madinah, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M. dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”. (Lihat, Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98).
    Keterangan ini menunjukkan bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram. Antara permulaan hijrah Nabi dan bulan Muharam ketika itu terdapat jarak atau sudah terlewat sekitar 82 hari, karena awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M. Ketika tahun I Nabi di Madinah, beliau masih menjalani syariat Shaum sebelumnya, yakni ayyamul bidh dan asyura, bahkan hingga bulan Sya’ban tahun ke-2 hijrah yang waktu itu bertepatan dengan bulan Pebruari 624 M. Jadi, sekitar 17 bulan sejak di Madinah, yaitu sejak Rabi’ul Awal hingga Sya’ban tahun ke-2 Nabi masih menjalankan ibadah shaum selain Ramadhan. Kemudian di akhir bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah, setelah selesai salat ashar berjama’ah, Nabi berkhutbah di hadapan para sahabat
    أَيـُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا
    Hai manusia! Telah menaungi kamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan berkah, bulan yang padanya ada satu malam lebih baik dari seribu bulan. Allah tetapkan shaum padanya sebagai satu kewajiban, dan salat pada malamnya sebagai tathawu (sunnat). H.R. Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, dan Al-Haitsami dalam riwayat Ahmad dengan redaksi
     قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا قَدْ حُرِمَ – أحمد
    Nabi bersabda demikian, karena pada bulan Sya’ban tahun ke-2 itu Allah menurunkan ayat
    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
    Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari yang ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian di antara kamu, maka hendaklah ia menghitung (qadla) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang merasa payah boleh membayar fidyah dengan memberi makanan pada orang yang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari, maka itulah yang lebih baik baginya. (Q.S. al-Baqarah : 183-184)
    Dalam penurunan ayat ini sebagai pedoman kewajiban shaum Ramadhan ada tiga hal yang harus dicermati.

    a.    Aspek Historis/Sejarah Nuzul Ayat ini
    Ayat ini turun pada hari Kamis tanggal 28 Sya’ban tahun ke-2 H yang bertepatan dengan tanggal 23 Pebruari 624 M. Bila kita hitung sejak saat itu hingga akhir hayat Nabi tinggal di Madinah, berarti beliau sempat melaksanakan ibadah shaum sebanyak sembilan kali sebelum beliau wafat pada Senin/Sabtu 12 Rabi’ al-Awwal 11 H/6 Juni 632 M (Lihat, Tabel). Shaum pertama berawal pada hari Ahad, 26 Februari 624, dan Idul Fithrinya jatuh pada hari Senin, 26 Maret 624. Berarti lama shaum 29 hari.
    Menurut atsar Ibnu Mas’ud dan Aisyah disebutkan bahwa Rasulullah SAW. semasa hidupnya lebih banyak shaum Ramadhan 29 hari daripada 30 hari. Shaum Ramadhan pada zaman Rasulullah ini menarik perhatian astronom muslim untuk dibuktikan dengan hisab astronomi. Dr. T. Djamaluddin, peneliti bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, Lapan, Bandung, telah menghisab posisi hilal awal Ramadhan dan Syawwal semasa Rasulullah hidup dari tahun ke-2 - 10 H. Analisis astronomi memang menunjukkan selama sembilan tahun itu enam kali Ramadhan panjangnya 29 hari, hanya tiga kali yang 30 hari (lihat tabel). Dari analisis astronomi diketahui bahwa pada zaman Nabi, shaum dilakukan pada musim semi dan musim dingin dengan waktu shaum mulai sekitar pukul 04:30 sampai sekitar 16:40 pada musim dingin. Salah satu Idul Fithri pada zaman Nabi terjadi pada hari Jum’at, yaitu 1 Syawwal 3 H yang bertepatan dengan 15 Maret 625. Inilah satu-satunya Idul Fithri yang jatuh pada hari Jum’at semasa Rasulullah hidup. Mungkin inilah kejadian yang berkaitan dengan hadis yang membolehkan meninggalkan shalat Jum’at bila pagi harinya telah mengikuti salat hari raya. Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari ini (Jum’at) telah berkumpul dua hari raya, maka siapa yang mau, (salat hari rayanya) telah mencukupi salat Jum’atnya, tetapi kami tetap akan melakukan salat Jum’at”. H.R. Abu Daud dari Abu Hurairahb. Implikasi hukum dengan turunnya ayat ini, sebelum shaum Ramadan diwajibkan, yang wajib dilaksanakan adalah shaum Asyura dan shaum tiga hari setiap bulan, yaitu setiap tanggal 13, 14, dan 15 yang disebut ayyamul bidl. Maka dengan turun ayat ini jadilah shaum wajib itu hanya pada bulan Ramadan, sedangkan kedua shaum tersebut hukumnya menjadi sunat.

    b.    Proses Penetapan Hukum Shaum Ramadhan
    Kewajiban shaum Ramadhan ditetapkan melalui dua tahap; Tahap pertama dengan turunnya surat al-Baqarah : 183-184.
    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
    Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari yang ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian di antara kamu, maka hendaklah ia menghitung (qadla) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang merasa payah boleh membayar fidyah dengan memberi makanan pada orang yang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari, maka itulah yang lebih baik baginya. (Q.S. al-Baqarah : 183-184)

    Pada tahap ini kewajiban shaum Ramadhan masih berbentuk takhyir atau pilihan alternatif, yakni antara shaum dan fidyah.
    Tahap kedua, lalu Allah menurunkan ayat selanjutnya (185)
    شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنْ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
    (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

    Pada tahap ini kewajiban shaum Ramadhan sudah tidak berbentuk takhyir atau pilihan alternatif, tetapi sudah berbentuk ta’yin (pilihan satu-satunya) kecuali bagi mereka yang dibolehkan secara syar’i, mereka terkena kewajiban qadha atau fidyah.
    Setelah ayat ini turun, timbul pemahaman yang keliru pada myoritas sahabat dalam masalah ketentuan pelaksanaan shaum yaitu para shahabat Nabi SAW. menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan selama mereka belum tidur. Di antara mereka Qais bin Shirmah dan Umar bin Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi SAW untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat
     أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنْ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
    Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (Q.S. Al Baqarah: 187).
    Dengan turunnya ayat tersebut gembiralah kaum Muslimin H.R. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim, yang bersumber dari Mu'adz bin Jabal.

    Dari data sejarah ini ada hal yang patut kita jadikan ibrah (pelajaran) guna mempertebal keyakinan kita bahwa Al-Quran itu adalah salah satu bukti benarnya kekuasaan Allah, bagaimana tidak kita yang sudah 14 abad hidup setelah Rasul, masih mengakui aturan Allah dalam Quran diantaranya shaum Ramadhan. Dengan demikian, aturan Allah itu bersifat kekal abadi tidak mengalami revisi atau ada masa kadaluwarsa, sehingga tidak dipergunakan lagi, hal ini tentu saja akan berbeda dengan aturan yang dibuat oleh manusia.

    Lampiran. Tabel Ramadan dan Idul Fitri pada Zaman Nabi

    Tahun               Awal Ramadan                               Idul Fitri                          Hari Shaum
    Hijriyyah

         1               Ahad, 26 Februari 624               Senin, 26 Maret 624                          29
         2               Kamis, 14 Februari 625              Jumat, 15 Maret 625                         29
         3               Selasa, 4 Februari 626               Rabu, 5 Maret 626                            29
         4              Ahad, 25 Januari 627                 Senin, 23 Februari 627                      29
         5               Kamis, 14 Januari 628                Sabtu, 13 Februari 628                      30
         6              Senin, 2 Januari 629                  Rabu, 1 Februari 629                         30
         7               Jumat, 22 Desember 629           Ahad, 21 Januari 630                        30
         8              Rabu, 12 Desember 630             Kamis, 10 Januari 631                       29
         9              Ahad, 1 Desember 631               Senin, 30 Desember 631                   29

    Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar


    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    trikblog.co.cc