Header Ads

  • NEWS UPDATE

    Shaum Ramadhan 1434 H 9 atau 10 Juli 2013?

    PENETAPAN WAKTU IBADAH
    Dilihat dari dimensi waktu, ibadah terbagi kepada dua: [1] Muaqqat, [2] Ghair Muwaqqat. Shalat, Shaum, dan Haji termasuk Ibadah Muaqqat, yaitu ibadah yang telah diatur dan ditentukan waktunya oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya.
    Untuk mengetahui ketetapan waktu ibadah itu Allah Swt. telah menciptakan as-Syams (Matahari/Sun) dan Qamar (bulan/Moon) sebagai alat yang berperan penting dalam penentuan waktu. Allah Swt berfirman:

    فَالِقُ الإصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (٩٦)
    Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS. Al-an-‘Am: 96)

    هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (٥)
    Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.(Qs. Yunus: 5)
    Kedua ayat tersebut mengisyaratkan bahwa penentuan waktu ibadah menuntut pengamatan fenomena matahari dan bulan. Penentuan waktu salat yang lima kali sehari memerlukan informasi tentang posisi matahari. Penetuan waktu saum, iedul fitri dan ibadah haji memerlukan informasi tentang posisi bulan. Allah Saw berfirman:

    أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (٧٨)
    Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Qs. Al-Isra: 78)
    Ayat ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima. tergelincir matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya.

    KEDUDUKAN HILAL
    Di dalam al-Qur’an ([6]:96, [10]: 5) walaupun qamar disebut sebagai alat untuk perhitungan waktu, namun dalam praktiknya, hilal yang dijadikan acuan, bukan posisi qamar. Allah Swt berfirman:

    يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ... (١٨٩)
    Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji  (Qs. Al-Baqarah: 189)
    Semua sepakat bahwa untuk penetapan awal bulan baru hilal lah yang dijadikan Acuan. Namun kenapa dibalik kesepakatan ini sering muncul ketidak sepakatan dalam penetapan awal bulan itu sendiri?. 
    Setelah melakukan kajian mengenai hal ini, hemat kami bahwa munculnya ketidak sepakatan (perbedaan) dalam penetapan awal bulan itu dikarenakan ketidak sepakatan mengenai definisi hilal menurut masing-masing pihak, dibalik kesepakatan mereka bahwa hilal adalah acuan masuknya awal bulan baru.
    Hal ini bisa kita perhatikan pada beberapa kriteria awal bulan yang digunakan di Indonesia, kita akan menemukan perbedaan mendasar mengenai definisi hilal.
    Setidaknya ada 3 kriteria awal bulan yang digunakan di Indonesia: [1] Ijtimak Qoblal Ghurub, [2] Wujudul hilal, [3] Imkanurrukyat.

    1.   Ijtimak Qoblal Ghurub
    Awal bulan terjadi bila ijtima’ (conjuntion) terjadi sebelum gurub matahari.
    Keterangan:
    Dengan Kriteria seperti ini mereka berkeyakinan bahwa hilal telah muncul, sehingga menetapkan masuknya/terjadinya awal bulan baru.

    2.   Wujudul Hilal
    Awal bulan terjadi jika Ijtima sebelum matahari terbenam, dan matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan. Serta bulan memiliki ketinggian  positif.
    Keterangan:
    Dengan Kriteria seperti ini mereka berkeyakinan bahwa hilal telah muncul, sehingga menetapkan masuknya/terjadinya awal bulan baru.

    3.   Imkanurrukyat[1]
    ·      Imkanurrukyat MABIMS
    Awal bulan terjadi jika Ijtima sebelum matahari terbenam, matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan, Tinggi hilal di atas 2°, Umur hilal di atas 8 Jam, dan Sudut Elongasi Bulan di atas 3°.
    Keterangan:
    Dengan Kriteria seperti ini mereka berkeyakinan bahwa Hilal telah muncul, sehingga menetapkan masuknya/terjadinya awal bulan baru.

    ·      Imkanurrukyat Astronomis PERSIS
    Awal bulan terjadi Jika Ijtima terjadi sebelum Matahari terbenam  serta posisi hilal memenuhi Relative  Altitude Topocentris: 4° dan Elongasi Topocentris: 6,4° 
    Keterangan:
    Dengan Kriteria seperti ini mereka berkeyakinan bahwa Hilal telah muncul, sehingga menetapkan masuknya/terjadinya awal bulan baru.

    Dari sini terlihat adanya perbedaan mendasar mengenai definisi hilal:
    1.      Ijtima Qablal Ghurub: Secara tersirat Ijtima Qablal Ghurub mendefinisikan bahwa hilal itu adalah: “Cahaya bulan baru sesaat setelah terjadi ijtimak sebelum ghurub terjadi, baik cahaya bulan tersebut terlihat atau tidak dan dimanapun posisi bulan itu berada dibawah atau di atas ufuk[2]”.
    2.      Wujudul hilal: Secara tersirat wujudul hilal  mendefinisikan bahwa hilal itu adalah: “Cahaya bulan baru setelah terjadi ijtimak, baik cahaya tersebut terlihat atau tidak oleh mata, serta ketika ghurub posisi bulan harus berada di atas ufuk”.
    3.      Imkanurrukyat: Secara tersirat Imkanurrukyat  mendefinisikan bahwa hilal itu adalah: “Cahaya bulan baru setelah terjadi ijtimak, cahaya bulan tersebut bisa (memungkinkan[3]) terlihat oleh mata, serta ketika ghurub posisi bulan harus berada di atas ufuk.

    PEMILIHAN KRITERIA YANG LEBIH SYAR’I.
    Secara demikian, untuk menentukan mana kriteria terbaik dan yang sesuai dengan syar’i, terlebih dahulu kita mesti menetapkan definisi hilal sesuai  dengan yang dimaksud oleh Istilah Syar’i.
    Namun perlu di ingat bahwa sebenarnya kata “Hilal” bukanlah istilah Syar’i, tapi merupakan istilah ‘Urfi. Tidak seperti halnya kata “Shalat”. Kata “Shalat” secara ‘urfi memiliki arti ad-Du’a (Do’a). Kemudian kata Shalat ini dijadikan istilah syar’i dengan pengertian:Sebuah perbuatan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam.
    Sementara kata Hilal sudah dikenal oleh orang arab sebelum Islam datang dan Syar’i tidak menetapkan istilah khusus untuk kata ini, syar’i mengikuti istilah ‘urfi yang telah lazim digunakan saat itu.
    Oleh sebab itu untuk mengetahui definisi hilal, kita mesti mengetahui arti kata Hilalsecara ‘urfi. 

    Dali-dalil Syar’i berkaitan dengan hilal
    a.      al-Qur’an
    Dalam  al-Qur’an kata hilal itu disebut cuman satu kali itupun dalam bentu plural (jamak) yakni al-ahillah. Sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 189:

    يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ...
    Mereka bertanya kepadamu tentang Ahillah, katakanlah hilal itu merupakan pertanda waktu  bagi kepentingan manusia dan buat keperluan ibadah haji..(QS. al-Baqarah [2]: 189) 

    b.      al-Hadis
    Di dalam al-Hadis Rasulullah Saw. banyak menyebut kata Hilal diantaranya adalah sebagai berikut: 

    عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (رواه البخاري)
    Dari Abdullah bin Umar radiallahu ‘anhuma: Sesungguhnya Rasulullah Saw. Menerangkan tentang bulan Ramadhan, maka beliau bersabda, “Janganlah kalian shaum hingga kalian melihat Hilal, dan janganlah kalian berbuka (Iedul Fithri) hingga melihat hilal. Bila terhalang atas kalian maka perkirakanlah. (HR. Al-Bukhari)

    عَنْ أََبِي هُرَيْرَةَ  tيَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ r أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ r صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ  (رواه البخاري)
    Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Nabi Saw. bersabda, atau Abu al-Qashim bersabda: “Shaumlah kalian pada waktu melihatnya (Hilal). Dan berbukalah (iedul Fithri) kalian pada saat melihatnya. Bila terhalang atas kalian maka genapkanlah hitungan bulan sya’ban 30 hari. (HR. Al-Bukhari)

    a.      Analisis semantik
    Makna asal dari lapadz hilal pada awal mula kata ini diciptakan oleh orang-orang arab adalah berarti: al-Bayadhu ( البياض) artinya: Putih. Hal ini sebagaimana tersebut dalam al-Faaiq:
    اَلهِلاَلُ وَهُوَ فِى الأَصْلِ اَلبَيَاضُ (الفائق 4:111).
    Hilal itu makna asalnya adalah putih. Al-faaiq IV:111.
    Oleh karena itu, warna putih dipangkal kuku-pun sering disebut orang arab dengan kata hilal.
    اَلهِلاَلُ اَلبَيَاضُ الَّذِيْ يَظْهَرُ فِي أُصُوْلِ الأَظْفَارِ
    Hilal adalah warna putih yang nampak pada pangkal kuku. (lisanul Arab XI: 704).
    Adapun kenapa qamar pada awal bulan disebut hilal oleh orang arab, maka hal ini dikarenakan qamar tersebut memiliki cahaya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mandzur: 
     اَلهِلاَلُ غُرَّةُ القَمَرِ حِيْنَ يُهِلُّهُ النَّاسُ فِي غُرَّةِ الشَّهْرِ
    Hilal adalah cahaya bulan, ketika orang-orang meneriakinya pada waktu awal bulan. (Lisanul Arab XI: 704)
    Di atas telah disebut bahwa Allah Swt. telah menyebut kata hilal dalam al-Qur’an dengan bentuk plural (jamak). Lalu apa makna hilal pada ayat tersebut?
    الأصل أن كلام الله جل وعلا يجرى على ظاهره في معاني كلام لغة العرب إلا بقرينة أو دليل يصرفه عن ذلك الظاهر
    Pada dasarnya bahwa Kalam (firman) Allah itu berlaku sebagaimana dzhahirnya dalam makna-makna kalam (ucapan) bahasa arab, kecuali bila ada qorinah atau dalil yang memalingkan dari makna dzhahirnya. (Durus wal Muhadharah as-Syaikh Shalih al-Maghamisy III: 1)
    Hal ini berarti hilal yang dimaksud oleh Allah Swt. dalam ayat itu adalah sama seperti hilal yang dimaksud oleh orang-orang arab, yaitu cahaya bulan, ketika orang-orang meneriakinya pada waktu awal bulan sebagaimana tersebut di atas.
    Kemudian  arti kata hilal berkembang dengan arti “Teriakan/suara keras”. Hal ini karena ketika mereka melihat hilal (bulan sabit pertama di awal bulan yang bercahaya putih) mereka suka berteriak-teriak. Maka “berteriak” itulah dalam perkembangan selanjutnya yang dijadikan arti untuk kata “Hilal”.  Seperti dalam sebuah hadis:
    إِذَا اسْتَهَلَّ الصَّبِىُّ وَرِثَ وَصُلِّىَ عَلَيْهِ
    Apabila seorang anak istahalla maka dia mewarisi dan (jika meninggal) di shalatkan. (HR. Al-Baihaqi IV: 8)

    Arti Istahalla di dalam hadis ini adalah: Raf’u Shaut ‘indal Wiladah (berteriak/menangis ketika dilahirkan)

    Dari analisis ini dapat disimpulkan bahwa hilal itu adalah Qomar pada awal bulan yang memiliki cahaya. (Variabel 1)

    b.      Analisis stuktur kalimat
    Dalam hadis di atas -dan hadis-hadis yang semakna dengannya- lapadz hilal dirangkaikan dengan kalimat رَأَى.
    Dalam bahasa arab kata رَأَى mempunyai dua arti: [1] melihat dengan mata dan [2] mengetahui atau yakin. Untuk mengetahui arti manakah yang dipakai olehnya dalam suatu kalimat, hal ini dapat dilihat dari objeknya: Bila objeknya satu maka berarti رَأَى tersebut bermakna melihat dengan mata, dan bila objeknya dua, maka رَأَى tersebut bermana yakin atau mengetahui. Sebagaimana dikatakan dalam lisanul Arab:
     اَلرُّؤْيَةُ بِالْعَيْنِ تَتَعَدَّى إِلَى مَفْعُوْلٍ وَاحِدٍ, وَبِمَعْنَى العِلْمِ تَتَعَدَّى إِلَى مَفْعُوْلَيْنِ
    Kata ro-a artinya melihat dengan mata bila muta’addi kepada satu maf’ul, dan dengan arti mengetahui bila muta’addi kepada dua maf’ul. Lisanul Arab XIV: 291.

    Setelah memperhatikan sabda Nabi dalam hadis hadis di atas dapat disimpulkan bahwa kata رَأَى dalam hadis-hadis Nabi Saw. tersebut bermakna melihat dengan mata, karena رَأَى tersebut hanya memiliki satu Maf’ul (objek) yaitu: Hilal. Seperti kata: تَرَوْا الْهِلَالَ atau kata تَرَوْهُ
    Dari analisis ini dapat disimpulkan bahwa hilal itu adalah cahaya  qomar pada awal bulan yang bisa terlihat oleh mata. (Variabel 2)
    Bertolak  dari analisis di atas diperoleh kesimpulan bahwa definisi hilal menurut urfi yang juga digunakan oleh syari’ adalah harus memenuhi dua Variabel di atas yakni Qomar pada awal bulan yang:
    1.       Memiliki cahaya.
    2.       Bisa teramati oleh mata.
    Sehingga dapat disimpulkan bahwa hilal adalah: “Cahaya bulan baru setelah didahului proses ijtimak, cahaya bulan tersebut bisa terlihat dengan mata, dan posisi bulan harus berada di atas ufuk”. Dan tidak bisa disebut hilal kalau tidak memilki cahaya atau memiliki cahaya tapi tidak terlihat atau tidak mungkin dilihat, walaupun menurut perhitungan astronomi (hisab) bulan sudah wujud (berada) di atas ufuk mar’i.
    Jadi bila ditimbang dari segi dasar pengambilan hukum, kami berpendapat hisab dengan kriteria Imkanurrukyat lebih dekat kepada dalil syar’i daripada kriteria wujudul hilal atau ijtima’ qablal ghurub, karena dalam Imkanurrukyat dipertimbangkan  dua Variabel Hilal di atas yakni: [1] Memiliki cahaya, [2] Bisa teramati oleh mata. Sedang pada dua kriteria yang lainnya (Ijtimak Qablal Ghurub dan Wujudul Hilal) hanya satu Variabel saja yang dipertimbangkan yaitu: cahya bulan, tanpa mempertimbangkan Variabel ke dua yaitu keterlihatan dengan mata.
    Ramadhan 1434 H.
    Dengan  memperhatikan uraian di atas dan perhitungan hisab dengan data sbb:
    Ijtima terjadi pada hari Senin tanggal 8 Juli 2013 (29 Sya’ban 1434 H) jam 14:14:32,32 WIB. Saat Maghrib hari itu di POB Pelabuhan Ratu (Lintang: -70 1’ 49,4” LS dan Bujur: 1060 33’ 35,1” BT), tinggi hilal mar’i hanya 000 45’ 23,51”. Relatif Altitude Topocentris (Beda Tinggi Bulan-Matahari Topocentris): 00° 45' 48,93'' dan Elongasi Topocentris (sudut pisah bulan-Matahari Topocentris): 04° 34' 20,21”.  Dengan data sepeti ini maka qamar (bulan) yang berada di atas ufuk mar’i pada saat maghrib tanggal 8 Juli 2013 bukanlah Hilal. Sehingga bulan Sya’ban di Istikmalkan (digenapkan) 30 hari. Dan  Awal Ramadhan ditetapkan pada tanggal 10 Juli 2013 M. (Lihat, Gambar Diagram Visuliasai)


    [1] para penganut Imaknurrukyat menyatakan bahwa kriteria Imkanurrukyat bukanlah kriteria yang statis (belum final), tetapi masih mungkin terus disempurnakan dengan semakin banyaknya data pengamatan.

    [2] Atau asumsi paham ini bahwa ketika ijtima’ terjadi sebelum ghurub maka bulan berada di atas ufuk, padahal kenyataannya tidaklah demikian, kadang bulan berada di atas ufuk dan kadang di bawah ufuk. Inilah yang dikoreksi oleh kriteria wujudul Hilal. 
    [3] Kemungkinan ini ditetapkan berdasarkan data-data empirik pengamatan  bulan-bulan dan tahun-tahun sebelumnya,


     Gambar 1: Inilah contoh Hilal
     Credit: Ivan Dryer (Astronomy, Maret 1995),

    umur bulan 13 s/d 14 jam

    Gambar 2: Contoh Proses Ijtimak
    Credit: BHR Depag RI


    Penulis
    Utsman Burhanuddin

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    trikblog.co.cc