Header Ads

  • NEWS UPDATE

    Sejarah dan Proses Penetapan Syariat Tarawih (Bagian II-Tamat)

    Pertanyaan
    Bukankah terdapat katerangan-keterangan lain baik berupa amaliyah Nabi maupun para sahabat tentang tarawih lebih dari 11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan 47 rakaat)?

    Jawaban
    Apabila keterangan-keterangan itu sahih, maka hal itu benar adanya. Namun karena status hadisnya daif,  maka hal itu tidak benar adanya. Keterangan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

    Tarawih Nabi 20 Rakaat + witir
    عَنِ ابْنِ عَبَّاٍس قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ ص يُصَلِّى فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ جَمَاعَةٍ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ.
    Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Nabi saw. salat pada bulan Ramadan tanpa berjamaah dua puluh rakaat dan (ditambah) witir.” H.r. Al Baihaqi, ath Thabrani, Ibnu Abi Syaibah. (Lihat, al Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, II:496, ath Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, XI:393, al-Mu’jam al-Ausath, I: 444 & VI: 210; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, II:285-286. Semuanya dari sahabat Ibnu Abbas Ra.)

    Keterangan:
    Hadis ini daif karena  semua sanadnya melalui seorang rawi dengan kunyah Abu Syaibah. Nama lengkapnya Ibrahim bin Usman bin Khuwaisati Al-Absiy (seorang maula Al-Absiy) Abu Syaibah Al-Kufi Qadi Wasith.
    Mu’awiyah bin Shalih mengatakan dari Yahya bin Main, ia berkata, “Ia Daif”.  Imam al- Bukhari berkata, “Sakatuu ‘anhu” (para ulama hadis meninggalkan hadisnya).” Abu Daud berkata, “Dha’iful Hadits.” At-Tirmidzi berkata, “Munkar al-hadits.” An-Nasai dan Abu Bisyr Ad-Dulabi berkata, “Matruk al-Hadits.” Abu Hatim berkata, “Da’if al-hadits, Sakatuu ‘anhu, dan para ulama meninggalkan hadisnya.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XX : 147; al-Kamil Fi Du’afa ar-Rijal, I : 239; al-Istidzkar, V : 156)

    Tarawih 20 rakaat Zaman Umar
    عَنْ يَزِيْدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانُوْا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَكَانُوْا يَقْرَأُونَ بِالمِئَينَ وَكَانُوْا يَتَوَكَّؤُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِي عَهْدِ عَثْمَانَ  مِنْ شِدَّةِ القِيَامِ   رواه البيهقي
    Dari Yazid bin Khushaifah dari As-Saib bin Yazid, ia berkata, ”Orang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab r.a pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat, ia berkata, ’Mereka membaca dengan miin (surat-surat yang lebih dari seratus ayat) dan mereka bersandar pada tongkat-tongkatnya pada masa Usman r.a, karena terlalu lama berdiri. (H.R. Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, II:496)
    Hadis ini diriwayatkan melalui Yazid bin Khushaifah. Menurut Syekh al-Albani, dalam periwayatan Ibnu Khushaifah, terdapat idhtirab (inkonsistensi). Terkadang ia meriwayatkan (jumlah rakaatQiyam Ramadhan) duapuluh satu rakaat, dan terkadang ia meriwayatkan duapuluh tiga rakaat.  Di samping itu, Al-Albani beralasan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, dalam komentarnya tentang Yazid, mengatakan bahwa ia (Yazid) seorang munkarul hadits.

    Sanggahan Terhadap al-Albani
    Penilaian al-Albani terhadap hadis Yazid telah ditanggapi oleh Syekh Ismail al-Anshari dalam kitabnya berjudul Tashhih Hadis Salatit Tarawih ‘Isyrina Rak’atan war Raddu ‘Ala al-Albani fi Tadh’ifihi. Tanggapan tersebut kami ringkas menjadi dua bagian:

    A.   Sanggahan Secara Umum
    Tidak ada seorang pun yang memungkiri bahwa salat Tarawih duapuluh rakaat itu merupakan amalan yang diterima masyarakat luas. Menurut Ibnu Abdil Barr, hadis tentang salat Tarawih duapuluh rakaat itu adalah shahih, yaitu berasal dari Ubay bin Ka’ab tanpa ada shahabat yang menentangnya.” Sedangkan at-Tirmidzi dalam kitabnya Sunan al-Tirmidzi, berkata: “Mayoritas para ulama mengamalkan riwayat dari Umar, Ali dan shahabat-shahabat Nabi saw lainnya yang salat Tarawih duapuluh rakaat. Inilah pendapat Sufyan al-Tsauri, Ibn al-Mubarak, dan al-Syafi’i. Bahkan al-Syafi’i menambahkan: “Demikianlah yang aku ketahui di Mekkah. Mereka salat dengan duapuluh rakaat.”
    Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, berkata, “Imam Malik, dalam salah satu pendapatnya, Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Abu Dawud memilih salat qiyam Ramadhan (Tarawih) dengan duapuluh rakaat selain salat witir.”
    Menurut Ibn Abd al-Barr: “Inilah pendapat jumhur ulama. Dan ini pula pendapat yang kami pilih. ” Demikian al-Hafizh Ibn al-Iraqi mengutipnya dalam kitab Tharh al-Tatsrib. Selanjutnya, Ibn al-Iraqi berkata, “Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Jumhur ulama. Pendapat tersebut juga telah diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah dalam kitabnya al-Mushannaf dari Umar, Ali, Ubay, Syutair bin Syakal, Ibnu Abu Mulaikah, al-Harits al-Hamdani, dan Abu al-Bukhturi.”  
    Imam Ibnu Taimiyah, dalam kitabnya al-Fatawa, berkata, “Hadis yang sahih menyatakan bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami para shahabat dalam salat malam pada bulan Ramadhan dengan duapuluh rakaat dan witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa itu adalah sunnah (berasal dari Nabi saw). karena Ubay saat itu mengimami jamaah yang terdiri dari kaum muhajirin dan kaum anshar. Dan ternyata tidak ada seorang pun dari mereka yang memprotesnya.”
    Dalam kitab Majmu’ah al-Fatawa al-Najdiyyah terdapat sebuah keterangan bahwa Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abd al-Wahhab memberikan jawaban ketika ditanya tentang jumlah rakaat salat Tarawih. Beliau menjawab bahwa Umar ra telah mengumpulkan para shahabat yang lainnya agar bermakmum pada Ubay bin Ka’ab. Karena itu mereka salat dengan duapuluh rakaat.
    Di samping itu masih banyak lagi keterangan-keterangan lain yang menunjukan bahwa para ulama salaf dan khalaf telah menerima adanya penambahan rakaat Tarawih lebih dari sebelas rakaat. Jika tidak ada pembuktian otentisitas hadis Yazid bin Khushaifah kecuali dengan kesepakatan para ulama diatas, maka hal itu sudah cukup sebagai dalil atas keshahihan hadis tersebut. Dan kita pun tidak usah lagi mempermasalahkan sanadnya. Sebab para ulama pun telah menerima isi dan kandungan hadis itu.  

    B.    Sanggahan Secara Khusus Berkaitan dengan Yazid bin Khushaifah
    Yazid bin Khushaifah adalah seorang tabi’i yang masyhur. Imam Ahmad telah menilai tsiqah dalam riwayat al-Atsram yang berasal dari padanya. Demikian pula Abu Hatim, an-Nasa’i dan Ibnu Sa’d. mereka sependapat dengan Imam Ahmad dalam menilai Yazid sebagai orang tsiqah. Yahya bin Ma’in berkata: “Ibnu Khushaifah adalah orang tsiqah dan hujjah. Imam Malik dan Imam-Imam lainnya menjadikan riwayatnya sebagai hujjah.” Sedangkan Ibnu Hibban memasukan Yazid ke dalam al-Tsiqah. Untuk lebih lengkapnya mengenai kredibilitas Yazid ini, silahkan lihat kitab Tahdzib al-Kamal. Karya al-Hafizh Abu al-Hajjaj al-Mizzi, juga dalam kitab karya al-Hafizh Ibnu Hajar, yaitu: Tahdzib al-Tahdzib dan Hady al-Sari. Adapun riwayat al-jiri dari Abu Dawud bahwa Imam Ahmad mengritik Yazid bin Khushaifah sebagai Munkar al-Hadsit (Hadisnya disebut Hadis munkar), sebagaimana yang dikutip oleh Al-Albani, maka kami sanggah disini dengan komentar al-Hafizh Ibn Hajar dalam Hadyi al-Sari ketika menyebutkan riwayat ini. Beliau berkata, ”Kata ini –yaitu Munkar al-Hadis- dikemukan oleh imam Ahmad pada orang-orang yang semasa dengan Yazid tetapi hadisnya gharib (asing). Hal itu diketahui setelah diadakan penelitian.” Kemudian Ibnu Hajar melanjutkan, ”Imam Malik dan imam-imam lainnya menjadikan Riwayat Ibnu Khusaifah sebagai hujjah.”
    Dari keterangan al-Hafizh Ibnu Hajar ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa komentar Imam Ahmad berupa munkar al-Hadits tidak menunjukkan atas kecacatan seorang rawi dalam periwayatannya. Tetapi komentar ini ditunjukan bagi orang yang meriwayatkan Hadis-hadis secara menyendiri dari rawi-rawi semasanya. Menurut al-Dzahabi dalam kitabnya Mizanul I’tidal, ketika menyebutkan biografi Ali bin al-Madini, bahwa seorang rawi yang tsiqah dan hafizh, apabila meriwayatkan Hadis-hadis secara menyendiri dan rawi-rawi lainnya, maka itu lebih tinggi dan lebih sempurna tingkatannya. Periwayatan tersebut, lanjut al-Dzahabi, menunjukan bahwa ia adalah seorang rawi yang paling adil dalam menukil ilmu Hadis sekaligus menghimpunnya. Padahal pada saat yang sama, rawi-rawi lainnya tidak meriwayatkan Hadis tersebut, sebab mereka tidak mengetahuinya. Kecuali jika dia terbukti membuat kekeliruan dan diduga membuat riwayat tersebut sehingga dia saja yang mengetahuinya. Kemudian al-Dzahabi melanjutkan, ”Perhatikanlah, pada masa awal islam, para sahabat Nabi saw, mulai yang yunior sampai yang senior, semuanya meriwayatkan Hadis secara sendiri-sendiri. Apakah kita katakan bahwa hadis riwayat mereka itu tidak dapat dijadikan hujjah ? Begitu juga para tabi’in, masing-masing dari mereka memiliki riwayat Hadis tertentu yang tidak dimiliki oleh yang lainnya, ”Demikian al-Dzahabi.
    Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam hadis Tarawih, Yazid bin Khushaifah tidak melakukan kekeliruan. Dia juga tidak meriwayatkan hadis tersebut secara sendiri, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.
    Adapun al-Dzahabi dalam kitabnya al-Mizan mencantumkan nama Yazid bin Khushaifah, hal itu tidak menunjukan kedhaifan Ibnu Khushaifah seperti yang dituduhkan oleh al-Albani. Karena dalam akhir kitab al-Mizan itu, adz-Dzahabi menyatakan, ”Pada dasarnya isi kitab al-Mizan itu mengenai rawi-rawi yang dhaif, tetepi disitu terdapat rawi-rawi yang tsiqat. kami tuturkan rawi-rawi itu untuk membela mereka Atau dengan kata lain, komentar tentang rawi-rawi itu tidak dapat mempengaruhi kredibilitas mereka sehingga mereka menjadi lemah.”
    Karenanya, Anda dapat melihat pernyataan adz-Dzahabi ketika menuturkan biografi Ja’far bin Iyas al-Wasithi, salah seorang rawi yang tsiqah. Dia berkata: ”Ibnu ‘Adiy dalam kitabnya al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal mengangap Ja’far sebagai rawi yang tidak baik.” Sedangkan mengenai biografi Hammad bin Abi Sulaiman, Al-Dzahabi mengatakan: “Jika Ibnu ‘Adiy tidak mencantumkan Hammad dalam kitabnya al-kamil, maka aku pun tidak mau menuturkannya.” Mengenai biografi Tsabit al-Bunani, menurut al-Dzahabi, Tsabit adalah tsabit (tsiqah) sesuai dengan namanya. Jika Ibnu ‘Adiy tidak menyebutkan nama Tsabit dalam kitabnya, maka aku pun tidak akan menuturkannya,” Tentang biografi Hammad bin Hilal, seorang ulama terkemuka, dia mengatakan: ”Biografi Humaid tercantum dalam al-Kamil Ibn ’Adiy, karenanya aku pun menuturkannya. Jika beliau tidak menyebutkannya, maka menurutku Humaid adalah hujjah.” Mengenai bigrafi Uwais al-Qarni, al-Dzahabi berkata: “jika al-Bukhari tidak mengatagorikan Uwais kedalam kelompok rawi yang dhaif, maka aku pun sama sekali tidak akan menyebutkannya. Sebab Uwais itu termasuk para wali Allah yang shalih.” Sedangkan mengenai biografi al-Hafizh Abd al-Rahman bin Abi Hatim, al-Dahabi berkata: “Aku tidak akan menyebutkan biografi ??? jika Abu al-fadhl al-Sulaimani tidak menuturkannya. Dan Abu al-Fadhl itu, dalam menguraikan biografi Ibn Abu Hatim, ternyata memandangnya buruk sekali.”
    Al-Dzahabi menulis sebuah risalah yang khusus berbicara tentang tema ini. Pada permulaan risalah tersebut, beliau berkata: “Di dalam kitabku, Mizan al-I’tidhal, Aku telah mencantumkan banyak nama-nama rawi yang tsiqat yang dijadijan hujjah oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam-imam yang lainnya, karena mereka rawi-rawi yang namanya tercantum dalam kitab-kitab jarh (yang memuat rawi-rawi yang lemah). Rawi-rawi yang lainnya yang aku cantumkan disini, bukan karena mereka itu dhaif, melainkan agar mereka itu diketahui biografinya (dari kitab-kitab yang lainnya). Dan masih ada rawi yang shahih yang dipermasalahkan dalam kitabku, hal itu tidak mempengaruhi dirinya.” Kemudian al-Dzahabi menuturkan satu-persatu rawi-rawi tsiqat yang dipermasalahkan tetapi tidak mempengaruhi ketsiqatan mereka.
    Kami kira, al-Albani juga mengakui bahwa Imam al-Bukhari dan Imam Muslim serta Imam-imam yang lainnya, semuanya menjadikan riwayat Yazid bin Khushaifah sebagai hujjah.
    Adapun komentar al-Albani bahwa riwayat Ibnu khushaifah itu idhthirab (tidak konsisten), terkadang ia mengatakan ثلاث وعشرين (dua puluh tiga rakaat) dan terkadang ia mengatakan: إحدى وعشرين  (dua puluh satu rakaat), maka kami dapat katakan bahwa idhthirab itu tidak mempengaruhi apa-apa selagi redaksi yang berbeda itu dapat dikompromikan. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bari mengkompromikan dua hadis diatas, bahwa perbedaan tentang rakaat yang lebih dari dua puluh itu dikembalikan pada perbedaan tentang rakaat salat witir. Maka witir itu terkadang dilakukan dengan satu rakaaat terkadang dilakukan dengan tiga rakaat. Demikian Ibnu Hajar.
    Inilah yang ingin kami sampaikan pada al-Albani, bahwa perbedaan para rawi dalam riwayat Muhammad bin Yusuf itu lebih banyak daripada perbedaan yang terjadi pada riwayat Ibnu Khushaifah.
    Imam Malik, dalam kitabnya al-Muwatha, meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Yusuf, dari al-Sa’ib bin Yazid, bahwa dia berkata:
    أَمَرَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدّارِيَّ أنْ يّقُوْمَا لِلناَّسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَرَكْعَةً
    Artinya: “Umar bin al-Khattab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk mengimami salat para sahabat lainnya dengan sebelas rakaat.”
    Muhammad bin Nashr al-Marwazi, dalam kitabnya Qiyam Ramadhan, meriwayatkan hadis dari jalur Muhammad bin Ishaq, dia berkata,  telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yusuf, dari al-Sa’ib, dia berkata: ثلاث عشرة  (tiga belas rakaat). Sedangkan dalam kitabnya al-Mushannaf, Abd al-Razzaq meriwayatkan Hadis tersebut dari Dawud bin Qais dan rawi lainnya dari Muhammad bin Yusuf, dari al-Sa’ib, dia berkata:      إحدى وعشرين   (dua puluh satu rakaat).
    Apabila perbedaan riwayat tentang jumlah rakaat dijadikan sebagai standar idhthirab (ketidak konsistenan) atau tidaknya, maka riwayat Muhammad bin Yusuf itu lebih tepat dikategorikan sebagai Hadis yang idhthirab dibanding riwayat Ibnu Khushaifah.
    Akan tetapi metode ulama dalam mengompromikan beberapa riwayat hadis, selagi hal itu mungkin, merupakan suatu keharusan. Karenanya, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bari mengomentari metode kompromi antar riwayat yang saling bertentangan itu sebagai berikut: “Mengompromikan riwayat-riwayat yang berbeda di atas itu mungkin sekali, yaitu dengan menyesuaikannya berdasarkan kondisi masing-masing. kemungkinan adanya perbedaan riwayat-riwayat tersebut dikarenakan bacaan salat, ada yang panjang dan ada juga yang pendek. Jika bacaan salatnya panjang, maka jumlah rakaat salatnya sedikit. Begitu pula sebaliknya. Jika bacaan salatnya pendek, maka jumlah rakaatnya banyak. Dan pemahaman inilah yang dipakai oleh al-Dawudi (pengikut Mazhab Dawud al-Zhahiri) dan lainnya.”
    Sedangkan al-Hafizh Ibn Abd al-Barr dan Abu Bakr bin al-Arabi mempunyai pendapat lain. Pada riwayat Malik (yaitu tentang jumlah sebelas rakaat), menurut kedua imam di atas, ada kekeliruan dari Malik sendiri. Yang benar adalah jumlah duapuluh satu rakaat. Komentar Ibn Abd al-Barr dan Ibn al-Arabi itu perlu dikritik, Riwayat Malik di atas  itu diriwyatkan pula oleh Abd al-Aziz bin Muhammad dan di cantumkan oleh Sa’id bin Manshur dalam kitabnya al-Sunan, dan diriwayatkan juga oleh Yahya bin Sa’id al-Qathan dan dicantumkan oleh Abu Bakr bin Abi Syaibah dalam kitabnya al-Mushannaf. Kedua riwayat pendukung di atas (yaitu riwayat Abd al-Aziz dan Yahya) berasal dari Muhammad bin Yusuf dari Sa’ib dengan redaksiثلاث عشرة   (tiga belas rakaat). Malik juga meriwayatkan hadis dengan redaksi tersebut dari Muhammad bin Yusuf. Maka dengan alasan ini, Malik tidak keliru seperti yang dituduhkan oleh Ibn Abdil Barr dan Abu Bakr Ibn al-Arabi di atas.
    Adapun ungkapan al-Albani mengenai riwayat Abdur Razzaq, bahwa: “Jika Abd al-Razzaq menerima Hadis dari rawi antara dia dengan Muhammad bin Yusuf, maka illah (cacat yang mempengaruhi otentisitas Hadis) dari riwayat di atas terletak pada Abd al-Razzaq. Sebab Abd al-Razzaq, meskipun dikenal sebagai orang tsiqah, hafizh, dan penulis buku yang masyhur, tetapi dia menderita buta mata pada akhir usianya. Sehingga riwayatnya berubah. Sedangkan Abd al-Razzaq diatas itu, tidak diketahui apakah terjadi sebelum dia terkena penyakit buta atau sesudahnya?”.
    Statemen al-Albani diatas dapat disanggah bahwa rawi antara Abd al-Razzaq dan Muhammad bin Yusuf adalah al-Imam al-Jalil Dawud bin Qais. Beliau dinilai tsiqah oleh al-Syaf’i, Ahmad bin Hanbal, Ibn Ma’in, Ali bin al-Madini, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ibn Sa’d, al-Nasa’i, al-Qa’nabi, dan Ibn Hibban, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Tahdzib al-Tahdzib.

    Tanggapan dari Kami
    Dari sanggahan di atas ada beberapa hal yang perlu kami tanggapi;
    Pertama: ungkapan munkarul hadits versi Imam Ahmad.
    Didalam kitabnya al-‘Ilal wa Ma’rifatur Rijal, Imam Ahmad sering menggunakan ungkapan munkarul hadits dalam menilai seorang rawi. Secara umum ungkapan tersebut menunjukkan jarh (celaan, kritikan) terhadap rawi yang daif. (Lihat, Syifa al-Alil, I:173)  sebagai contoh, rawi Salamah bin Wardan dinilai munkarul hadits oleh Imam Ahmad. (Lihat, al-‘Ilal wa Ma’rifatur Rijal, II:24)  Ungkapan ini menunjukkan bahwa Salamah bin Wardan rawi yang sangat daif, tidak bisa dipakai hujjah, menurut Imam Ahmad.
    Namun secara khusus ungkapan munkarul hadits versi Imam Ahmad itu ditujukan pula kepada rawi yang tsiqah (kredibel). Maka dalam hal ini, ungkapan seperti itu mempunyai dua pengertian;
    a)    Apabila periwayatan seorang rawi yang tsiqat (kredibel) tidak mukhalafah (menyalahi) dengan periwayatan rawi lain yang autsaq (lebih kredibel, kuat), maka ungkapan itu menunjukkan taffarud (rawi tersebut sendirian dalam meriwayatkan hadis).
    b)    Apabila periwayatan rawi yang tsiqat (kredibel) itu mukhalafah (menyalahi) dengan periwayatan rawi lain yang autsaq (lebih kredibel, kuat), maka ungkapan itu menunjukkan bahwa rawi tersebut mukhalafah dengan rawi yang autsaq. (Lihat, Dirasat fil Jarhi wat Ta’dil, hal. 271) Jadi rawi tersebut dikritik bukan dilihat dari aspek kepribadiannya, namun dari segi periwayatannya yang mukhalafah dengan rawi lain yang lebih tsiqat.
    Karena itu, untuk memahami ungkapan munkarul hadits dalam pengertian ini diperlukan i’tibar, yaitu penelusuran terhadap berbagai hadis dalam tema yang sama yang diriwayatkan oleh rawi yang dinilai demikian oleh Imam Ahmad.
    Dari kriteria khusus inilah kita dapat menilai kredibilitas Yazid bin Abdullah bin Khusaifah.  
    Dalam menilai Yazid bin Abdullah bin Khushaifah, Imam Ahmad memberikan dua penilaian;
    [a]   menurut Abu Bakar al-Atsram, Ahmad menyatakan tsiqat,
    [b]  menurut Abu Daud, Ahmad menyatakan munkarul hadits. (Lihat, Tahdzibul Kamal, XXXII:173;Tahdzibut Tahdzib, XI:340; Mizanul I’tidal, IV:430)
    Berdasarkan kriteria khusus di atas, kedua penilaian ini tidak ta’arudh (bertentangan), karena penilaian tsiqat ditujukan kepada kepribadian Yazid. Sedangkan munkarul hadits ditujukan kepada periwayatannya yang mukhalafah dengan rawi lain yang lebih tsiqat, sebagai berikut:
    Pada riwayat Yazid bin Khushaifah dari as-Saib bin Yazid diterangkan bahwa orang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat. Sedangkan pada riwayat Muhammad bin Yusuf, juga dari as-Saib bin Yazid diterangkan bahwa salat itu 11 rakaat
     عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوْسُفَ بْنِ أُخْتِ السَّائِبِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ أُبَيَ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
    Dari Muhamad bin Yusuf bin saudara perempuan as-Saib, (ia berkata), dari as-Saib bin Yazid, sesungguhnya ia berkata, “Umar memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dari untuk mengimami orang-orang sebelas (11) rakaat… (H.r. Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, II:496, No. hadis 4.392) 
    Dalam riwayat Ibnu Abu Syaibah diterangkan
    عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوْسُفَ أنّ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيٍّ و تَمِيمٍ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَقْرَأُونَ بِالْمِئَيْنِ يعني فِي رَمْضَانَ  رواه ابن أبي شيبة
    Dari Muhamad bin Yusuf, (berkata), ”Bahwasanya as-Saib bin Yazid mengabarkan, ’Bahwa Umar mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum pada Ubay (bin Ka’ab) dan Tamim (ad-Dari) sebelas (11) rakaat. Mereka membaca al-miin ayat lebih dari seratus ayat, yakni di bulan Ramadhan”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Al-Mushannaf, II:284, No. hadis 7.671)
    Dengan demikian terjadi perbedaan antara keterangan Yazid dengan Muhamad bin Yusuf, padahal keduanya menerima keterangan itu dari orang yang sama, yakni as-Saib bin Yazid. Keterangan siapa yang layak untuk diterima? Menurut kami, keterangan Muhamad yang lebih layak dijadikan pegangan, dengan alasan:
    1.      Dilihat dari kekerabatan, Muhammad bin Yusuf lebih dekat dengan as-Saib, yaitu sebagai cucu sudara perempuan as-Saib.
    2.      Dilihat dari kredibilitas, Muhammad bin Yusuf, menurut Ibnu Hajar, seorang tsiqat tsabt. (Lihat, Taqribut Tahdzib, II:563, No. rawi 6.672) Sedangkan mengenai Yazid bin Khushaifah, Ibnu Hajar menilainya tsiqat saja. (Lihat, Taqribut Tahdzib, II:673, No. rawi 8.017)
    3.      Dilihat dari bentuk periwayatan, riwayat Muhamad menunjukkan sima’ (menerima secara langsung dari as-Saib), yakni kata akhbarahu (mengabarkan kepadanya). Sedangkan riwayat Yazid tidak menunjukkan sima’ (tidak dapat dipastikan menerima secara langsung dari as-Saib), yakni kata ‘an (dari).
    4.      Dilihat dari redaksi matan, riwayat Muhamad lebih sharih (jelas, tegas), yaitu [1] pelaksanaan salat 11 rakaat ini diperintah langsung oleh Umar, [2] nama imamnya jelas (Ubay dan Tamim ad-Dari), [3] jumlah ayat yang baca jelas (200 ayat). Sedangkan pada riwayat Yazid tidak ada kejelasan siapa yang memerintah salat 20 rakaat itu dan siapa imamnya. Keterangan yang ada hanya menyebut ”Orang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab r.a pada bulan Ramadhan dengan 20 Rakaat”.
    Dilihat dari keempat aspek di atas, kami berkesimpulan bahwa riwayat Yazid bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat, yakni Muhamad bin Yusuf. Dari sinilah kita dapat memahami bahwamunkarul hadits Imam Ahmad terhadap Yazid bin Khushaifah itu merupakan jarh (celaan, kritikan), karena riwayat Yazid bertentangan dengan rawi yang lebih tsiqat.
    Dengan demikian, hadis Yazid tentang salat Tarawih sebanyak 20 rakaat tidak dapat diamalkan.
    Sedangkan pernyataan bahwa “salat Tarawih duapuluh rakaat itu merupakan amalan yang diterima masyarakat luas” adalah helah (mendalili amal), bukan mengamalkan dalil.
    Selain riwayat Yazid, Tarawih 20 rakaat diriwayatkan pula oleh Yahya bin sa’id
    أَنَّ عُمَرَ أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً رواه ابن أبي شيبة
    Dari Yahya bin Said, (berkata), “Sesungguhnya Umar memerintah seseorang untuk salat (Tarawih) berjamaah dengan orang-orang sebanyak dua puluh rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, II:285)
    Namun hadis ini juga daif, karena Yahya bin Said (bin Qais Al-Anshari), wafat tahun 143 H/760 M, tidak sezaman dengan Umar bin Khatab, wafaf tahun 23 H/643 H. Dengan demikian terdapat selisih selama 120 tahun dari kewafatan Umar. Oleh karena itu, hadis ini disebut mursal.
    Tarawih 20 rakaat Ali bin Abu Thalib
    عَنْ أَبِي الحَسْنَاءِ أَنَّ عَلِيًّا أَمَرَ رَجُلاً يُصَلِّى بِهِمْ فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً
    Dari Abul Hasna, bahwa Ali memerintah seseorang untuk mengimami mereka pada bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Al-Mushannaf, II :  90  No. 1)
    Pada sanad ini terdapat kelemahan, yaitu Abul Hasna majhul (tidak dikenal). Hadis itu  diriwayatkan pula oleh  al-Baihaqi dengan sedikit perbedaan kisah (Lihat, As-Sunanul Kubra, II:496).
    Demikian pula sanad hadis ini lemah, bahkan karena dua sebab:
    Pertama: Pada sanad hadis terdapat rawi bernama Atha bin as-Saib. Ia mukhtalit (pikun).
    Kedua: Terdapat rawi lain bernama Hamad bin  Syu’aib. Orang ini sangat daif. Al-Bukhari menjarahnya dengan ungkapan munkarul hadits dan terkadang dengan fihi nazhar.

    Tarawih 20 rakaat Ibnu Abu Mulaikah
    Pada riwayat lain diterangkan bahwa Ibnu Abi Mulaikah salat taraweh 20 Rakaat
    عَنْ نَافِعِ بْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً  رواه ابن أبي شيبة
    Dari Nafi bin Umar, ia berkata,”Ibnu Abi Mulaikah pernah salat bersama kami pada bulan Ramadan 20 rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah (Al-Mushannaf, II:285) 

    Keterangan
    Salat Tarawih dengan 20 rakaat ini bukan amaliah Nabi, bukan juga merupakan amaliah sahabat Nabi. Dengan demikian salat ini tidak dapat diamalkan.

    Tarawih 21 rakaat
    عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ عُمَرَ جَمَعَ النَّاسَ فِي رَمْضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَلَى تَمِيمٍ الدَّارِ عَلَى إِحْدَى وَ عِشْرِينَ رَكْعَةً يَقْرَأُونَ بِالْمِئَيْنِ وَيَنْصَرِفُونَ عِنْدَ فُرُوعِ الْفَجْرِ 
    Dari As-Saib bin Yazid, (ia berkata), ”Bahwasanya Umar mengumpulkan orang-orang pada bulan Ramadhan untuk bermakmum pada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari dengan dua puluh satu rakaat Mereka membaca Al-miina ayat dan selesai menjelang fajar”. (H.R. Abdurazaq, Al-Mushannaf, IV:260)
    Hadis ini diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tsiqat, namun tetap tidak dapat diamalkan, sebab kasusnya sama seperti hadis Yazid bin Khushaifah. Bedanya hadis ini melalui rawi Qais bin Daud, dari Muhamad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid. Sedangkan pada riwayat Malik bin Anas dan Yahya Al-Qathan, keduanya menerima dari Muhamad bin Yusuf dari As-Saib,diterangkan 11 rakaat. Dengan demikian periwayatan Qais bin Daud bertentangan dengan periwayatan Imam Malik dan Yahya al-Qathan. Sedangkan Imam Malik dan Yahya Al-Qathan lebih tsiqat daripada Daud bin Qais.

    Tarawih 23 rakaat
    §  Zaman Umar bin Khatab   
    عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُمَانَ أَنَّهُ قَالَ  كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً
    Dari Yazid bin Ruman, ia berkata,” orang-orang pada zaman Umar salat Tarawih sebanyak 23 rakaat (H.R. Malik, Al-Baihaqi, Lihat, Al-Muwattha’, I:138, as-Sunanul Kubra, II : 496)
    Keterangan: 
    Hadis ini juga daif, karena mursal, yaitu Yazid bin Ruman tidak sezaman dengan Umar bin Khatab. Hal ini Dinyatakan hampir dalam setiap kitab hadis, di antaranya; Al-Hafizh az-Zaila’i, An-Nawawi, dan al-Aini (Lihat, Al-Hafizh az-Zaila’i, Nasbur Rayah, II:154, An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, IV:33, dan al-Aini, Umdatul Qari, V:357)

    §  Tarawih 27 rakaat Ubay bin Ka’ab
    عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رَفِيعٍ قَالَ  كَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّى بِالنَّاسِ فِي رَمَضَانَ بِالْمَدِينَةِ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوْتِرُ بِثَلاَثٍ
    Dari Abdul Aziz bin Rufai, ia  berkata, ”Ubay Bin Ka’ab mengimami orang-orang pada bulan Ramadhan di Madinah sebanyak dua puluh rakaat dan berwitir dengan tiga rakaat. (Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi, III: 528)
    Keterangan:  
    Sanad ini munqathi’ (terputus), karena tarikh wafat Ubay bin Ka’ab berbeda 100 tahun dari tarikh wafatnya Abdul Aziz bin Rufai. Artinya, keduanya tidak mungkin bertemu.

    §  Tarawih Abdullah bin Mas’ud
    قَالَ الأَعْمَشُ كَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُودٍ يُصَلِّى عِشْرِينَ رَكْعَةً وَيُوَتِرُ بِثَلاَثٍ
    Al-A’masy berkata, ”Abdullah bin Mas’ud salat tarawih  dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat”. (H.R. Ibnu Nashr)
    Sanad hadis ini munqathi’, karena Al-A’masy tidak bertemu dengan Abdulah bin Mas’ud. (Lihat,Tuhfatul Ahwadzi, III: 2)

    Kesimpulan
    Salat malam ataupun salat Tarawih 20 rakaat baik dengan 1 atau 3 rakaat witir, hadis-hadisnya daif dan tidak boleh diamalkan.

    Tarawih 39 rakaat
    عَنْ قَيْسِ بْنِ دَاوُدَ قَالَ أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِالْمَدِينَةِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَ أَبَانِ بْنِ عُثْمَانَ يُصَلُّونَ سِتًّا وَ ثَلاَثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ رواه ابن أبي شيبة
    Dari Qais bin Daud, ia berkata,”Aku menemui orang-orang di Madinah pada jaman Umar bin Abdul Aziz dan Aban bin Abu Usman, mereka salat 36 rakaat dan witir 3 rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Lihat, Al-Mushannaf, II:285)

    Tarawih 41 rakaat
    قَالَ صَالِحٌ مَوْلَى التَّوْأَمَةِ أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَ أَرْبَعِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ مِنْهَا بِخَمْسٍ
    Shalih maula Tauamah berkata,”Aku menemui orang-orang sedang melaksanakan salat 41 rakaat yang witirnya 5 rakaat.” (Lihat, Al-Fathur Rabbani, V:18)
    Hadis ini daif karena Shalih bin Nabhan at-Tauamah rawi yang mukhtalith (pikun). (Lihat, Taqribut Tahdzib, I:252, No. rawi 2.970)

    Tarawih 47 rakaat
    عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عُبَيِدِ اللهِ قَالَ كَانَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنِ اْلأَسْوَدِ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ أَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُ بِسَبْعٍ   رواه ابن أبي شيبة
    Dari al-Hasan bin Ubaidillah, ia berkata,”Abdurrahman bin Al-Aswad pernah salat mengimami kami pada bulan ramadan dengan 40 rakaat dan witir 7 rakaat”. (H.R. Ibnu Abu Syaibah, Lihat, Al-Mushannaf, II:285)  

    Keterangan
    Salat Tarawih dengan 39, 41, dan 47 rakaat bukan amaliah Nabi, bukan juga merupakan amaliah sahabat Nabi. Dengan demikian salat termaksud ini dapat  diamalkan.

    Kesimpulan
    1.     Hadis-hadis tentang rakaat tarawih lebih dari 11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan 47 rakaat) statusnya daif.

    2.     Melaksanakan tarawih lebih dari 11 rakaat (21, 23, 39, 41, dan 47 rakaat) tidak sesuai dengan sunah Nabi saw.


    Oleh Ust. Amin Saefullah Muchtar


    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad

    trikblog.co.cc